Warga dan Arsitektur: Komposisi/Fungsi

Tahun 2017, Komunitas KAHE menginisiasi sebuah kegiatan bertajuk M7,8 SR: Pameran, Diskusi, dan Pertunjukan (Refleksi Tsunami di Maumere dalam Memori, Perubahan, dan Ancaman). Rangkaian kegiatan dalam M 7,8 SR ini sebetulnya merupakan momen yang dimaksudkan untuk mengajak segenap warga Maumere melihat kembali dan merefleksikan kembali peristiwa gempa bumi dan tsunami pada Desember 1992 yang mengguncang pulau Flores dan wilayah sekitarnya.

M 7,8 SR mencoba melihat peristiwa bencana tersebut tidak saja sebagai bencana alam yang menghancurkan dan menghanyutkan benda-benda material seperti bangunan dan harta benda, serta manusia, tetapi juga sebagai bencana kultural yang turut menghancurkan dan menghanyutkan nilai-nilai kebudayaan.

“Gempa” dan “tsunami” selain memiliki makna simbolis, juga menempatkan manusia, ruang hidupnya, pemaknaan atas ruang hidupnya, dan manifestasi dari pemaknaan tersebut dan relasi resiprokalitas yang tidak dapat dihindari di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain “gempa” dan “tsunami” hadir sebagai bayang-bayang perubahan dan ancaman.

Tulisan-tulisan dalam Laune edisi Warga dan Arsitektuk menyoroti bagaimana warga sebagai pusat dan pencipta kebudayaan melihat dan memaknai ruang hidupnya, bagaimana pemaknaan tersebut terwujud dalam bangunan fisik dan bangunan kultural yang didirikan warga, serta perubahan dan ancaman yang berpotensi menjadi “gempa” dan “tsunami” bagi bangunan tersebut.

Johanes Marno Nigha, dalam tulisannya, “Arsitektur Uma Humba dan Komersialisasi Ruang” menjelaskan makna Uma Humba dan Rumah Marapu dan bagaimana pemaknaan itu diwujudkan dalam struktur bangunan yang dengan tegas menerangkan fungsi masing-masing bagian dari bangunan. Meskipun demikian, kelangkaan material bangunan memaksa warga Sumba untuk bernegosiasi dengan keadaan sambil tetap berusaha menjaga makna rumah mereka.

Namun, “Cara melihat orang luar yang sering bertentangan dan bergantung pada posisi kepentingan apa yang hendak dicapai di sana” kemudian menjadi ancaman dalam wujud komersialisasi ruang hidup mereka. Kepentingan pariwisata dan ekonomi kemudian membuat Uma Humba menjadi seperti toko.

Dari tempat yang berbeda, di bawah kolong jalan tol di Jakarta, Ayos Purwoaji dalam “Pemandangan dari Bawah Jalan Raya” membawa kita pada konteks masyarakat pinggiran Jakarta. Lahir dari konteks “perebutan ruang dan sumber daya perkotaan yang sesak dan semakin tersekat-sekat”, warga kampung Kolong Tol Penjaringan memiliki pemaknaan yang unik terhadap ruang hidup mereka. Keterbatasan ruang dan sumberdaya ini tampak dalam material bangunan yang diambil dari sisa-sisa bahan bangunan yang bisa mereka temukan.

Kesadaran bahwa mereka hidup dan tinggal di wilayah milik negara secara illegal kemudian membuat warga  mengembangkan strategi untuk membangun rumah semi permanen yang siap dibongkar-pasang kapan saja untuk menghindari penggusuran.

Lemahnya model pembangunan tanpa perencanaan yang matang dan menolak menempatkan warga sebagai subyek utama, menyebabkan terciptanya jurang lebar antara kelompok masyarakat kota di Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya prinsip-prinsip kolektivitas yang umumnya kita kenal hidup pada masyarakat tradisional pedesaan. Lemahnya kolektivitas ini adalah akibat absennya sejarah dan memori bagi kaum miskin kota. Sampai di sini kita paham bahwa cara paling mudah menghancurkan satu kelompok masyarakat adalah melenyapkan ingatan, ikatan-ikatannya dan sejarah masa lalunya.

Tulisan Ayos menangkap realitas dan jantung kota dari sisa yang selama ini mungkin diabaikan, tidak hanya oleh pemerintah, politisi atau media, tetapi juga bagi para seniman yang karya-karyanya mungkin berjarak dari masyarakat.

Sementara itu, Rahmadiyah Tria Gayathri membicarakan banyak hal berkaitan beberapa persamaan antara Flores dan Palu seperti daerah jalur gempa dan keragaman arsitektur peninggalan kolonial Belanda. Tulisan Ama (dapat dibaca dalam rubrik Jala), mencatat pengalamannya selama berada di Maumere.  Pengalaman-pengalaman itu ia rajut bersama dengan pengalaman traumatisnya sebagai penyintas gempa yang menimpa kota Palu pada tahun 2018. Sejak awal, ia menolak menempatkan dirinya sebagai turis yang datang ke Maumere dan melihat segala sesuatu secara eksotis. Ama melihat jauh ke belakang, ke peristiwa sejarah kolonialisme dan modernisme yang melatari terbentuknya kota dan masyarakat yang ada saat ini.

Wacana tentang arsitektur di Flores juga dapat kita dengar dari para tukang kayu dan bangunan yang bekerja untuk misi pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan seperti sekolah-sekolah dan rumah sakit. Wawancara dengan Paman Nurdin, seorang tukang bangunan yang bermukim di Wuring (dapat dibaca di rubrik Nahkoda) menghadirkan sebuah cara pandang lain dalam melihat rumah.

Warga wuring yang menggantungkan hidupnya pada laut juga memiliki cara memaknai rumah yang berbeda. Rumah dengan ruang tamu yang luas tanpa sekat-sekat memungkinkan banyak orang bisa ditampung di dalamnya. Posisi bangunan di atas laut juga membutuhkan strategi khusus yang mau tidak mau mesti melibatkan peran warga sekitar ketika hendak membangun sebuah rumah.

Semoga Lau Ne dapat membantu kita membaca kembali sejarah dan masyarakat yang melatari dan menggerakkan hidup kita saat ini. Penting bagi kita untuk selalu menoleh ke belakang, melihat kembali secara kritis apa yang terjadi hari ini, dan senantiasa membuka diri untuk masa depan yang lebih baik, sehingga kita tidak lalu bersama angin, yang menyentuh puncak-puncak menara rumah kita, lalu pergi tanpa meninggalkan jejak.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th