Memori Paman Nurdin

 

Mario Nuwa dan Kartika Solapung berbincang dengan Paman Nurdin, seorang tukang bangunan asal Buton yang bermukim di kampung nelayan terbesar di Maumere, Kampung Wuring. Paman Nurdin menceritakan kisahnya menjadi sosok yang biasanya diandalkan dalam pembangunan rumah-rumah di atas laut. Ia belajar secara otodidak, learning by doing, dan merancang karyanya hanya dengan memori. Ia terbiasa tukar pendapat dengan para pemilik rumah tentang rancangan bangunan dan struktur, sedianya seorang arsitek. Orang-orang seperti Paman Nurdin jarang disoroti publik jika bicara soal arsitektur. Namun, angkuh jika kita tidak coba melihat ia dalam menciptakan ruang berkarakteristik yang berguna, kokoh, dan estetik bagi kebutuhan pokok manusia.

 

Gee: Selamat sore, Paman. Terima kasih karena mau diajak ngobrol sore-sore. Pertama,  mungkin Paman bisa perkenalkan diri, nama kemudian aktivitas sehari-hari.

Paman Nurdin: Nama saya Nurdin. Saya kelahiran Buton, dari Pemana. Saya ambil istri orang di sini (Wuring, -red.).  Semenjak berapa tahun itu, sekitar 7 tahun itu, langsung saya kerja bangunan, pokoknya sehari-hari pekerjaan saya itu saja.

Gee:  Sebelum ke Wuring, Paman di mana?

Paman Nurdin:  di Pemana, kampung Buton.

Gee: Paman kerja sebagai tukang bangunan itu mulai kapan?

Paman Nurdin:  Semenjak saya masih anak muda.

Gee: Sebelum jadi tukang bangunan, Paman kerja apa?

Paman Nurdin: Nelayan. Pertama kan nelayan dulu. Nelayan dari masih pas keluar dari sekolah kelas tiga. Namanya kita kan manusia, kita berbeda pendapat juga. Ada yang lulus sampai sarjana apa. Kalau kita, namanya kita putus sekolah kan kita tidak tahu. Mulai dari situ, langsung saya terjun ke laut. Sekitar 23 tahun saya sudah ikut bangunan.

Gee: Berarti dari kecil Paman di laut. Di Buton, Paman dengan siapa?

Paman Nurdin: Sama-sama dengan Paman, karena dia punya di sana itu kehidupannya nelayan juga.

Tika: Paman kerja bangunan di laut Wuring saja atau di darat juga?

Paman Nurdin: Pernah juga. Kalau rumah di darat, saya bukan kerja di sini, di bagian Bima sana, Sape. Saya kerja di sana juga, kerja rumah batu.

Gee: Berarti Paman dari Pemana ke Bima dulu setelah itu ke Wuring? Atau bagaimana paman?

Paman Nurdin: Tidak. Saya ke Bima itu sesudah menikah, sudah 2 orang saya punya anak. Kebetulan juga, tukang di sana itu tidak ada, itu rumah keluarga. Jadi, harus saya bantu.

Gee: Paman kenapa mau jadi tukang bangunan? Dulu, orang bilang orang Bajo kan nelayan. Tapi, paman mau jadi tukang bangunan.

Paman Nurdin: Mungkin juga karena saya pikir-pikir kalau bangunan itu kan sudah tersimpan uangnya, kalau nelayan ini kan masih kita cari. Kalau bangunan kan sudah, ya maksudnya sudah ada, sudah pasti begitu. Walaupun pekerjaannya berat tapi sudah pasti.

Gee: Berarti bangunan lebih pasti daripada di laut.

Tika: Dalam satu tahun itu Paman kerja berapa rumah atau dalam berapa bulan berapa rumah?

Paman Nurdin: 3 bulan 2 rumah di Wuring.

Tika: Paman belajar kerja rumah di Wuring ini dari siapa dan sejak kapan?

Paman Nurdin: Saya tidak pakai belajar. Waktu itu kan saya sudah tukang, waktu saya baku ambil dengan saya punya istri. Saya punya peralatan tidak ada, saya secukupnya saja, peralatan seadanya. Pada waktu mereka tahu saya di sini tukang, saya beli sudah peralatan untuk barang-barang bangunan.

Tika: Ada banyak tukang di sini?

Paman Nurdin: Banyak tukang. Walaupun banyak tukang, masing-masing orang punya rumah kan masing-masing selera.

Gee: Betul, betul. Berarti Paman belajar sendiri saja?

Paman Nurdin: Sendiri saja.

Gee: Mungkin belajar dari orang lain atau sebelumnya ikut-ikut orang? Siapa itu?

Paman Nurdin: Ada juga. Saya punya paman sendiri juga di Pemana. Saya masih anak muda, semenjak dari situ sudah ada pengalaman saya.

Tika: Paman kan pernah bangun rumah di darat dan di atas laut, mungkin Paman bisa cerita sedikit bedanya atau mungkin sebelum bedanya, paman bisa cerita bagaimana kesulitan atau tantangan membangun rumah di Wuring?

Paman Nurdin: Kalau untuk masalah di laut ini susah. Susahnya itu karena bahannya itu di darat, jadi mesti kita pikul dulu ke sini. Jadi, itulah susahnya karena dia punya bahan-bahan di darat. Tidak sama dengan di darat yang sudah sedia memang bahan pekerjaan di darat. Macam bangunan di laut begini harus kita pikul semua sendiri.

Tika: Itu bangunan Paman pakai gambar dulu atau bagaimana?

Paman Nurdin: Tidak. Tidak pakai gambar. Kalau saya itu, setiap saya kerja sudah kasih masuk di saya punya memori semua. Jadi, sebelum saya tidur itu saya pikir dulu. Besok tinggal saya kerja.

Tika: Oh, jadi gambarnya dalam otak. Coba Paman cerita bagaimana teknik membangun rumah di atas laut, mungkin ada cara khusus dan kapan waktu yang pas. Lalu, pakai kayu apa atau percampuran untuk cornya bagaimana? Pasti beda dengan yang di darat. Paman cerita sedikit prosesnya.

Paman Nurdin: Kalau masalah itu sama saja. Di darat atau di laut sama saja, walaupun kayu sama saja. Kelapa bisa juga dipakai bangunan di darat. Kayu kelapa ini di Maumere itu saja, soalnya kalau kayu dari Sulawesi itu mahal. Tapi lebih kuat dari kayu kelapa, tahan di air, dan juga tidak mudah patah kayu kelapa ini.

Gee: Berarti, semua bahan-bahan ini dibeli dari pasar di Maumere?

Paman Nurdin: Iya, di pasar.

Gee: Orang bilang supaya kuat, kayu kelapa mesti direndam kah?

Paman Nurdin: Iya, di sini kan supaya jangan dimakan boku atau rayap.

Tika: Kalau untuk fondasi di dalam laut itu bagaimana Paman?

Paman Nurdin: Dulu itu kalau untuk fondasi orang pakai (kalau bahasa di sini) tiang ledung yang bulat itu. Itu hanya satu tahun sudah hancur. Jadi, dari situ itu orang ke tiang cor. Soalnya pada umumnya begitu, biar di darat kan semua harus pakai tiang beton. Alih lagi ke situ. Kalau di sini cara cornya itu tunggu air kering dulu.

Tika: Air surut, kering yang benar-benar tidak ada air yang tergenang?

Paman Nurdin: Iya. Baru kita kerja. Kita gali dulu, barang setengah meter begitu. Digali manual biasa.

Tika: Berarti itu sesuaikan air surut, itu harus segera itu Paman.

Paman Nurdin: Soalnya kalau kerja di sini itu bisa juga gotong royong. Kalau kita mampu kasih makan banyak orang ya gotong royong. Tapi kalau tidak ya, tidak bisa.

Tika: Paman kepala tukangnya, terus banyak yang bantu paman itu pas kasih naik fondasinya. Jadi, kerja pertamanya itu fondasi duluan, tanam fondasi duluan?

Paman Nurdin: Kaki dulu, cakar ayam. Setelah dari situ baru tiang sudah.

Gee: Biasanya, berapa lama Paman kerja gali fondasi?

Paman Nurdin: Tidak lama juga, soalnya kita saling membantu. Bukan cuma kita saja yang sendiri gali, banyak orang yang gali. Pas surut, langsung gali, langsung pasang cakar ayam.

Tika: Mungkin Paman bisa cerita, kan untuk satu rumah rata-rata kalau kita lihat di Wuring ni ukurannya tidak terlalu jauh beda besarannya berapa kali berapa meter itu tiangnya harus berapa atau menghadap ke mana?

Paman Nurdin: Kalau dari ukurannya itu kita melalui dari RT dulu. Setelah mereka ukur, kita ambil patokan, baru kita bisa kerja, kalau untuk ukuran.

Tika: Ini kan bangun di atas laut. Soal perizinan RT semua oke, tapi maksudnya kalau orang beli tanah atau beli area di atas laut itu bagaimana paman cara mengukurnya?

Paman Nurdin: Tempat di sini tidak pakai beli, ini kan untuk keperluan masyarakat di sini saja, kepentingan masyarakat di sini, jadi siapa pun yang mau bangun, bangun. Yang penting kita sudah minta di RT, karena ini kan masih tanah negara. Tidak bisa kita mau beli.

Tika: Persyaratan lain misalnya, di kedalaman berapa boleh bangun, kalau sudah terlalu dalam itu tidak bisa atau bagaimana?

Paman Nurdin: Ini sama kedalamannya semua. Satu meter lebih.

Gee: Terus syarat warga yang boleh bangun rumah di sini itu bagaimana? Misalnya dia baru tinggal di Wuring satu hari dia langsung bisa bangun atau bagaimana?

Paman Nurdin: Oh tidak. Dia di sini kalau orang pendatang minimal 10 tahun baru bisa dia bangun. Soalnya kita pakai juga peraturan dari RT. Jadi, kalau seandainya pendatang datang ke sini, dalam satu dua bulan dia membangun tidak bisa, maksudnya harus melalui dari RT dulu. Seandainya RT tidak izinkan harus ikut bertahap dulu.

Tika: Biasanya yang sudah menikah, berumah tangga sampai lama dulu baru bisa bangun, 10 tahun menetap paling kurang. Mungkin Paman bisa cerita model-model rumah yang Paman bangun selama di Wuring.

Paman Nurdin: Kalau di sini, kita tidak bisa kalau kita mau cari model. Memang kalau untuk mau model saya bisa, tapi di sini kan ekonominya susah juga. Jadi, kita tidak bisa memaksa yang punya rumah juga. Jadi, ya seadanya saja, entah pakai halar, pakai seng. Makanya orang heran ini saya punya rumah kenapa bisa bikin begini, karena ini kan saya mampu to, karena kepentingan saya juga.

Tika: Itu kalau masalah model yang jenis bagus tidaknya, tapi kalau misalnya dari segi keselamatan atau apa istilahnya kalau bangun rumah di atas laut itu hal yang paling penting itu harus bagaimana, harus ada apa atau tidak boleh ada apa?

Paman Nurdin: Kalau untuk itu, tukang harus yang ahlinya kan supaya tahu dia punya kuatnya, kuat bangunannya ini. Jadi, kalau misalnnya orangnya tidak begitu mahir juga biasa kan baru-baru ini kan gempa, kalau tidak terlalu kuat posisi fondasinya di bawah tetap dia runtuh. Soalnya sekarang saya kerja ini sudah pakai dua baut, saya tanam dua baut. Untuk di landasan di bawah, kalau yang lain-lain itu mereka satu saja, di atas cor tiang.

Tika: Yang dari bawah dengan yang mau taruh rumahnya di atas, antara tiang?

Paman Nurdin: Antara tiang ke kayu. Kalau untuk rata-rata di sini satu. Kalau untuk sekarang sudah mulai dua.

Tika: Supaya kuat. Kalau gelombang atau musim angin itu bagaimana?

Paman Nurdin: Ini kalau angin tidak begitu goyang juga rumah.

Gee: Paman sudah pikirkan lebih dulu nanti gelombang atau gempa macam kemarin itu aman.

Paman Nurdin: Sekarang kalau kita bikin rumah rata-rata tinggi tiga meter lebih. Tiga meter dari dasar.

Tika: Tinggi juga ya dari dasarnya.

Paman Nurdin: Iya, kan kita sekarang menjaga saja. Semakin lama semakin naik air laut.

Gee: Iya, iya. Itu paman rasa e makin lama air laut makin naik.

Paman Nurdin: Iya. Sedangkan jembatan saja itu dulu rendah, sekarang sudah sama tingginya dengan rumah. Dulu di sini minimal itu satu satu meter tingginya air laut, sekarang sudah satu meter lebih.

Tika: Kalau Paman bangun rumah sekarang itu bagaimana, maksudnya kita lihat rumah Bajo dulu awal-awal rumahnya los begitu atau sudah mulai bagi kamar, WC, dan kamar mandinya bagaimana? Mungkin Paman bisa cerita seperti apa istilahnya sanitasi untuk WC dan ruangan-ruangan itu apa ada aturan khusus atau kebiasaan orang di atas laut itu tidak perlu ada WC misalnya.

Paman Nurdin: Itu tergantung dari yang punya rumah juga. Kalau misalnya yang punya rumah juga bikin dengan WC, bisa juga. Di sini rata-rata WCnya minimalis saja, tidak pakai closet. Karena mungkin sudah kebiasaan begitu juga. Semenjak saya kerja ini baru mereka sudah mulai pake closet lagi. Soalnya kalau seandainya tidak pakai closet, balok-balok kayu di bawah rumah dia rusak. Makanya saya sistem cor sudah sekarang ini, supaya kita bisa pakai lama.

Tika: Itu salurannya langsung buang ke laut atau tanam atau bagaimana?

Paman Nurdin: Itu ada yang langsung buang, ada yang pakai penampung.

Gee: Kalau dalam rumah tidak ada pembagian-pembagian ruang kah atau los saja atau pada umumnya bagaimana, Paman?

Paman Nurdin: Di sini pada umumnya itu ruangan terutama itu besar, ruang di muka. Tapi kalau saya kerja tidak. Saya bikin, kecil 3×4 begitu. Kalau di sini tidak, saya kan beda pendapat dengan orang Bajo di sini. Kalau kami di Buton sana itu saja, 3×4 ruangan tamu, kasih besar yang ruang keluarga. Tapi kalau di sini tidak. Ruangan tamu yang besar, ruang keluarganya kecil, soalnya ya namanya masing-masing pendapat suku, jadi saya harus ikut mereka punya kemauan, bukan saya. Tidak bisa juga saya ambil sembarang saja, harus tukar pendapat dengan yang punya rumah.

Gee: Biasanya mereka sampaikan duluan maunya bagaimana.

Tika: Butuh berapa lama untuk bangun satu rumah, Paman?

Paman Nurdin: Ya minimal satu bulan lebih, satu bulan.

Tika: Oh, satu bulan sudah jadi?

Paman Nurdin: Itu yang dari bahannya saja, kalau yang punya berduit, cepat.

Gee: Di sini bahannya apa-apa saja paman?

Paman Nurdin: Itu saja; kayu kelapa, atau lontar atau koli. Soalnya, di sini perekonomiannya sulit juga, kalau mau kayu itu mahal. Jadi kita ambil saja yang murahnya, yang penting kita sudah bisa tinggal.

Tika: Dindingnya pakai apa itu, Paman?

Paman Nurdin: Biasanya di sini itu pakai halar. Sekarang sudah pakai kalsiboard, bukan tripleks, ini sudah kalsiboard namanya (ketuk-ketuk dinding) tebal 6mm. Dinding ini, pintu itu juga kalsiboard. Dulu, di sini rumahnya dulu pakai halar. Karena tidak begitu tahan, sekarang orang sudah pakai kalsiboard. Soalnya, mana lagi tikus kasih lubang.

Tika: Kelihatan dari jauh seperti tembok. Ini murah?

Paman Nurdin: Ini kalau tikus tidak bisa gigit dia. Ini seratus lebih satu lembar. Terus atapnya seng biasa.

Gee: Berarti sebulan itu kerja satu rumah itu Paman sendiri? Paling kalau dasarnya itu gotong royong baru minta orang gotong royong.

Paman Nurdin: Iya. Kalau misalnya kita untuk mau lantai itu, lantai dek, kita gotong royong di sini. Tiang, kita gotong royong. Ada juga kita mau sewa orang juga bisa, satu tiang 250 ribu.

Tika: Yang paling susah ketika bangun rumah di atas laut itu bagian mana, Paman?

Paman Nurdin: Kalau untuk masalah pekerjaannya itu sama, susahnya hanya untuk angkat bahannya ini kan jauh, itu saja susahnya. Semakin jauh itu rumahnya yang kita bangun, semakin susah. Biasa juga pakai sampan.

Gee: Paman di sini punya pengalaman tidak misalnya orang memilih kalau mau bangun rumahnya gayanya Bajo atau Bugis atau gaya-gaya khusus atau bagaimana?

Paman Nurdin: Tidak ada. Saya tidak pernah juga. Hanya mereka serahkan ke saya kalau mulai sudah kerja, dan saya juga tidak bisa memaksa juga. Kalau cuma untuk model saya bisa kasih model, tapi kalau untuk masalah harus kita bikin ini, ini kan susah juga, perlu uang banyak juga. Biasa juga saya kerja itu ada beberapa rumah ini saya tidak pakai sewa tukang, karena di sini keluarga juga.

Gee: Kalau di Maumere sini di darat paman pernah juga bangun rumah?

Paman Nurdin: Pernah juga di dekat pasar Alok, dekat pom bensin, saya hanya pasang tegel saja.

Tika: Kalau bangun rumah apa ada upacara atau secara tradisi di sini, misalnya harus potong babi misalnya atau doa-doa?

Paman Nurdin: Tidak ada. Cuma ada doa, kalau kita mau pindah rumah. Kasih tanam tiang itu ada doanya. Secara Islam. Tidak ada ritual khusus kalau paman bangun rumah, paling doa saja.

Tika: Tadi paman bilang soal kekuatannya itu, apa ada trik atau cara khusus menurut paman yang paling kuat?

Paman Nurdin: Iya, dari campuran saja dengan besinya. Minimal besinya itu 12mm dan campurannya itu kita mesti kasih kuat memang, soalnya kalau kita tidak kasih kuat semennya akan dikalahkan matahari, kalau seandainya campuran tidak bagus dia akan gugur.

Tika: Itu besarnya/lebarnya sesuaikan dengan ukuran rumah atau semua rumah harus lebarnya begitu?

Paman Nurdin: Itu dari yang punya rumah juga, kalau seandainya ukurannya lingkaran 80 ya sesuaikan dengan keuangaanya.

Tika: Tapi yang pasti, Paman bisa pastikan bahwa ini kuat.

Paman Nurdin:  Iya, kalau masalah kuat, kuat. Kalau kita kerja di laut begini harus, walaupun tidak ada uang harus dikasih kuat.

Tika: Itu kalau cor, kalau misalnya tiangnya pakai kayu?

Paman Nurdin: Kalau tiang kayu, di sini palingan satu tahun sudah dimakan rutus.  Sekarang sudah mulai pakai cor.

Tika: Apa ada perbedaan yang paman lihat dari rumah dulu dengan sekarang, yang paling mencolok itu apa kira-kira? Dari bangunannya mungkin.

Paman Nurdin: Kalau di sini untuk masalah itu, kayu ini kita ongkos berulang-ulang itu masalahnya. Satu dua tahun itu sudah ganti, jadi bagaimana caranya pun kita harus usahakan walaupun anggarannya besar cor ini, mendingan kita ongkos satu kali daripada kita mau berulang-ulang.

Tika: Paman ada sampan? Kalau bangun rumah biasanya sampan juga masuk di bawah kolong rumah e

Paman Nurdin: Iya, yang kecil. Saya tidak punya sampan. Dulu di wilayah sini tidak ada rumah, ini kosong, barunya ada tanggul itu baru mulai orang bangun. Soalnya di sini itu kalau gelombangnya itu lumayan juga.  Soalnya di sini sama halnya dengan gelombangnya tsunami juga.

Gee: Waktu tsunami itu paman di mana?

Paman Nurdin: Saya masih kecil, di Pemana.

Tika: Jadi, kalau misalnya setiap kali musim barat, rumah-rumah yang bagian sini sudah terhalang gelombang dari tanggul itu, dia punya tingkat kerusakan itu sudah kurang, Paman?

Paman Nurdin: Iya sudah kurang. Soalnya pemecah gelombang tidak begitu lagi. Biasanya pecahnya gelombang itu di sini, di bawah rumah sini (di wilayah bagian sebelah barat kampung Wuring, -red.). Soalnya, dulu orang takut bangun di sini karena ada gelombangnya, setelah ada tanggul orang sudah mulai membangun, tidak ada lagi keraguan.

Kalau untuk masalah angin tetap ada. Musim barat itu kencang juga. Ada rumah satu tumbang pada waktu itu, karena gelombangnya besar. Tiang cor, tapi dia punya cara kerjanya tidak kuat, tidak digali cakar ayamnya, dan ukuran rumahnya 5×8 kah. Jadi, pertahanan fondasinya tidak kuat. Soalnya barang dia sudah tinggi lagi pada waktu itu, jadi tidak ada kekuatannya. Coba macam 7×9, karena rumah di sini semakin lebar semakin kuat dia punya pertahanan di bawah. Tidak sama dengan kayu, kalau kayu hanya goyang saja kan tidak mudah untuk mau jatuh, soalnya tertanam sampai ke bawah itu tiang. Kalau di sini itu, tiang ditanam dulu kasih dalam ke bawah ya sekitar satu setengah meter. Kayu ledung cukup lama juga satu tahun itu, kalau kayu biasa tidak sampai satu tahun sudah rusak.

Tika: Kalau kita lihat, masih banyak yang pakai kayu-kayu

Paman Nurdin: Mereka pakai kayu karena perlu cepatnya. Kalau seandainya tiang cor, lama prosesnya, tenaganya lagi, biayanya lagi. Kalau ini, supaya mereka lebih cepat tinggal di rumahnya. Setiap tahun mereka harus ganti, soalnya kalau tidak ganti, sudah dimakan rutus kalau bahasa di sini, harus dia ganti sudah. Kalau seandainya sudah putus baru kita ganti, biasa dia miring itu rumah, makanya kebanyakan rumah di sini sudah miring. Kebanyakan miring karena sudah terlambat pergantian tiang. (Tunjuk rumah di sebelah, -red.) Itu saya juga yang cor itu, kerja gotong royong juga.

Tika: Setelah cor ini kerja sudah lantai dasarnya?

Paman Nurdin: Tidak, itu kan kayu semua, itu kayu lontar. Hanya orangnya masih cari uang.

Tika: Itu bagaimana Paman susun dulu di darat sana, sudah jadi lembaran besar baru datang pasang atau?

Paman Nurdin: Tidak, kerja langsung di sini saja, kerja satu kali di situ. Makanya mereka ikat bambu supaya kayunya itu kasih naik di atas bambu, supaya kita mudah jalan ke rumah.

Gee: Kalau sudah cor begitu pasti kuat.

Paman Nurdin: Iya, soalnya kalau di sini itu seandainya mau rusak tinggal cat saja. Cat lagi tiang itu dengan air semen supaya tidak lagi gugur. Kalau musim barat, tidak ada orang tinggal di sini. Pada lari ke atas semua, kasih tinggal saja rumahnya begitu. Tapi rumahnya tidak apa-apa, kita waspada saja to.

Tika: Itu air lautnya naik tinggi sampai dekat rumah?

Paman Nurdin: Iya tinggi, dua meter lebih. (Tunjuk rumah baru yang dibangun) kalau ini cor semua ini, yang punya rumah juga yang cor. Di sini, dalam satu bulan itu bisa sepuluh atau lima rumah dibangun.

Tika: Ini masih ada kemungkinan bangun lagi ke sana?

Paman Nurdin: Masih, soalnya pemerintah macam RT ini tidak bisa dia larang juga, karena kalau misalnya dia larang yang tidak kebagian mau tinggal di mana.

Gee: Mereka biasa kasih batasan atau larangan ini tidak boleh, takutnya di sini bahaya atau bagaimana?

Paman Nurdin: Tidak ada pemikiran sampai di situ juga, kalau untuk bahaya, bahaya semua ini, soalnya kita ini tinggal di laut.

Tika: Kami di darat ini berpikirnya ini bahaya sudah dalam, setiap hari ada bahayanya.

Paman Nurdin: Iya, ini kan kecuali kita tinggal di jurang, ini rata semua ini, tidak bisa kita prediksi ini bahaya apa.

Tika: Laut sekitar Wuring ini masih dangkal sampai kira-kira berapa meter atau km jauhnya?

Paman Nurdin: Sampai di bodi sana, jauh juga, kalau surut itu sampai di sana, sampai di bodi itu (tunjuk sebuah kapal bodi sekitar 1 km ke arah laut, -red.). Kalau di sana jauh, kan takanya di sini dia agak memanjang ke sana.

Tika: Kalau mau dipikir-pikir juga, pemerintah sudah sejak awal peringatkan.

Paman Nurdin: Ini tahun ’92 itu kan sudah dilarang orang tinggal di sini, soalnya di sini garis merah, tapi karena tempat tinggalnya orang Bajo di laut, jadi  harus tetap di laut.

Tika: Saat-saat kapan Paman mereka merasa cemas?

Paman Nurdin: Musim barat, bulan dua. Kalau masa sekarang ini tidak gelombang, cuma angin saja, kalau angin aman.

Tika: Apa lagi yang Paman rasa menarik ketika bangun rumah di atas laut? Atau Paman ada pikiran tertentu, karena sudah biasa bangun rumah mau bikin inovasi atau apa begitu?

Paman Nurdin: Iya, ada juga. Itu sudah tadi, hanya saya itu biasa tukar pendapat dengan yang punya rumah. Saya mau kasih model yang yang lain juga itu, karena saya ini kan setiap rumah, dalam satu rumah, saya bikin harus beda modelnya, kalau yang lain sama semua. Hanya di bagian depan saja saya kasih ada perbedaan.

Tika: Itu Paman pikir sendiri atau Paman sempat cari-cari di mana model rumah di atas laut?

Paman Nurdin: Tidak, saya pikir sendiri juga, karena saya ini jiwa-jiwa orang seni juga.

Tika: Yang penting itu kuat, aman, lalu berpikir soal model. Kita lihat juga sudah sangat beragam to rumah di Wuring ini. Mulai dari kayu saja, cor, halar ke seng, ke kalsiboard, kira-kira paman lihat ke depannya itu akan seperti apa bangunan di Wuring?

Paman Nurdin: Kurang tahu juga soalnya kita tidak bisa, kalau untuk model kan tetap ada.

Tika: Ini Paman akan bangun rumah terus?

Paman Nurdin: Iya, ini kita punya pekerjaan sudah itu. Penghasilan oke dari bangun rumah. Soalnya kalau tukang yang lain itu kan selesai rumah habis uangnya. Kalau saya tidak, saya selesai rumah baru saya terima. Yang lain-lain mereka ambil sedikit-sedikit jadi selesai rumah mereka tidak ada lagi sisa mereka punya upah. Saya tidak, selesai rumah baru terima soalnya kita pikir ke depannya, karena kita ini buang tenaga bukan satu dua hari.

Tika: Jadi, Paman bangun rumah itu sesuaikan dengan keinginan pemilik rumah dan biayanya.

Paman Nurdin: Setiap rumah juga beda. Saya sudah (kerjakan, -red.) berapa rumah ini sampai di tengah itu, orang tidak pernah bilang saya punya pekerjaan itu tidak bagus, karena saya kasih ada perbedaan dalam satu rumah saya kerja. Orang kan biasanya cepat bosan juga, model-model itu saja, jadi saya harus cari model yang lain, supaya ada variasinya juga.

Tika:  Dari warnanya juga? Paman sampai cat juga?

Paman Nurdin: Iya, itu saya cat sendiri itu. Warna-warna itu saya pilih sendiri.

Tika: Paman di sini hanya kerja rumah saja atau juga perbaiki sampan begitu?

Paman Nurdin: Bisa juga saya perbaiki sampan, saya ini serba bisa semua.

Tika: Di sini orang ada bikin sampan atau hanya perbaiki?

Paman Nurdin: Hanya perbaiki saja. Saya masih anak muda saya kerja bodi, kerja kapal di Pemana. Di Wuring ini tidak ada, kalau bodi itu dari Sulawesi, bagian Bonerate sana.

Gee: Jadi, Paman serba bisa, pokoknya yang berhubungan dengan tukang, Paman bisa.

Paman Nurdin: Kalau mesin saya tahu juga karena saya ini bekas bas juga, di kapal saya punya paman, setiap kali ikut saya harus bas.

Tika: Bas itu yang bagian permesinan di kapal.

Gee: Tidak ada ukiran-ukiran e, Paman?

Paman Nurdin: Kalau ukiran saya tidak.

Tika: Kalau cat-cat juga pamannya pikirkan ini seninya bagaimana?

Paman Nurdin: Iya, harus sesuaikan dulu. Di dalam ini saya sudah model kayu jati, saya kerja bikin sendiri dulu itu, pas saya buka-buka YouTube itu padahal ada juga, sebelum itu saya belum lihat di YouTube.

Tika: Sudah mulai ada sentuhan modern-modernnya.

Paman Nurdin: Ini saya punya rumah yang kaca itu bisa digeser yang dinding di tengah ini, bisa digeser, dilipat saja. Kan pakai roda itu. Makanya orang dari Maumere itu dia heran juga kau bisa buat begini. Pak dewan saja juga heran. Dia bilang, “Eh kau bisa juga kerja begini?” Kecuali orang-orang yang tempat KW to, banyak orang yang heran juga, soalnya kalau saya pikir pasang mati maksudnya pasang tidak bisa lagi dibongkar, itu orang bisa bosan juga, dan juga untuk dalam ruangan rumah kalau kita pakai lipat bisa bongkar pasang kan kalau ada acara dikasih luas, makanya saya pikir sampai di situ bagaimana ruangan kecil ini dikasih besar. Kalau macam ada hajatan apa di sini bisa dilipat itu dinding di tengah sudah luas, di sini pada umumnya pasang mati saja tidak bisa lagi dibuka, jadi saya cari lagi model lain lagi.

Gee: Terus, kalau jembatan ini bagaimana paman dari bambu sekarang sudah cor, pakai papan?

Paman Nurdin: Ini jembatan dulu kerja gotong royong masyarakat, kalau yang ini disewa sudah sekarang ini, digaji, kalau yang baru ini digaji karena ini dana dari pemerintah.

Gee: Proses kerjanya kurang lebih sama seperti bangun rumah?

Paman Nurdin: Sama saja tiangnya.

Tika: Pas surut, cor. Pas musim panas baru bangun?

Paman Nurdin: Tidak, pas musim begini sudah. Paling bagus pas musim barat, karena air keringnya besar, surutnya besar.

Tika: Kalau di darat kan tunggu musim panas bukan musim hujan.

Paman Nurdin: Kalau masalah hujan macam di dalam mulut mal itu bisa ditutup. Kalau musim gelombang itu yang susah. Jadi, habis musim barat orang berlomba-lomba untuk bangun rumah.

Tika: Jadi, seluruh aktivitas di Wuring atau di pesisir ini mengikuti keadaan alam, arah angin dan gelombang. Selain bisa bangun rumah juga harus bisa membaca keadaan alam.

Paman Nurdin: Iya, keadaan air laut ini.

Tika: Memang hanya orang-orang di laut yang bisa membaca dengan pasti keadaan di laut. Kira-kira Paman mau kasih tahu apa lagi satu dua hal?

Paman Nurdin: Sekarang ini kalau rumah tiang kayu, mereka ganti satu-satu ganti dengan tiang cor. Ini sementara saja tiang kayu, kalau sudah ada uangnya baru mereka ganti.

Tika: Terima kasih paman, sudah mau cerita. Semoga lancar-lancar membangun rumahnya, Paman.

Paman Nurdin: Iya, kalau sekarang ini mereka sudah mulai ikut cor supaya aman. Sudah mulai cari-cari modelnya, mulai sama sudah rumah di darat dengan di laut.

Gee: Keren, keren. Nanti kalau ada yang mau tanya soal bangun rumah dengan gaya rumah panggung bisa langsung ketemu Paman di Wuring.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th