Siasat Ruang: Menyoal Kerentanan Bencana di Maumere dan Palu

 

Saat Marianus Nuwa mengajak saya untuk menyumbang tulisan tentang kesamaan arsitektur peninggalan Kolonial di Maumere dan di Palu, saya diam sejenak membaca pesannya. Saya ingin sekali menolak, alasannya jelas karena saya tidak percaya diri kalau harus bicara banyak soal arsitektur.

Tawar-menawar kami berujung pada upaya untuk  menceritakan ingatan tentang pengamatan tata ruang bangunan peninggalan Belanda yang memiliki kemiripan siasat penempatan ruang aman dari kerentanan bencana di Palu dan di Maumere. Dengan sangat hati-hati, saya membuka kotak ingatan visual  di kepala saya tentang bangunan-bangunan gereja yang saya kunjungi selama beberapa hari di Maumere.

Pengalaman mengunjungi gereja di kampung halaman saya adalah hal yang jarang sekali bisa dilakukan, bukan hanya karena saya seorang muslim, tapi konflik antar agama yang melibatkan trauma bagi ingatan kolektif masyarakat di Sulawesi Tengah, membuat kami sangat canggung dan hampir tidak pernah bisa bermain atau sekadar melihat-lihat bangunan rumah ibadah kawan dari agama lain, khususnya Nasrani atau Katholik.

Di Maumere, saya seperti diberi kunci masuk ke dalam banyak bangunan gereja, bisa membukanya, berkeliling, bercerita dengan Pastor juga Suster dan sesekali berdoa. Pengalaman ini cukup membekas di ingatan saya. Bagaimana tidak, Gereja Tua Sikka menjejali penglihatan saya dengan konstruksi bangunan yang megah luar biasa, kayu-kayu penopang atap gereja didesain saling mengikat seperti rusuk ikan raksasa, dan sirkulasi udara dari Laut Sawu menyergap masuk dari ventilasi gereja.

Saat melangkahkan kaki ke altar, mulut saya menghitung jumlah pintu di kanan kiri dindingnya, dalam hati saya bicara “ini kalau gempa, saya bisa lari lurus, atau terobos salah satu pintu darurat”. Lagi-lagi saya tidak pernah selesai berurusan dengan trauma sebagai penyintas gempa.

Gereja Tua Sikka terletak di Desa Sikka, Kecamatan Lela. Kami menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari kota Maumere. Gereja tua itu berdiri tegak tepat di samping Laut Sawu. Meski letaknya berdekatan dengan laut, gereja ini berdiri di atas tanah yang menjulang tinggi dari bibir pantai, ada rasa aman yang setidaknya bisa saya percaya terlebih karena mengingat fakta gempa bumi dan tsunami flores tahun 1992 bermuasal dari laut di sisi yang berbeda di teluk Maumere.

Pertemuan dengan gereja tua Sikka, memberi saya pelita dari upaya mengumpulkan jejak cerita dan siasat orang-orang Belanda dan Portugis menentukan ruang ibadah yang minim dari kerentanan bencana. Hal ini sama persis terjadi di kampung halaman saya. Ketika gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi terjadi di Kota Palu, hampir tidak ada bangunan tua atau tepatnya bangunan peninggalan belanda yang rusak, bukan hanya persoalan material bangunan yang mereka gunakan baik, tapi penentuan lokasi yang mereka pilih saat ini ditetapkan sebagai zona hijau, kawasan aman dari bencana.

Sebagai penyintas bencana, saya tidak hanya kehilangan rumah, tapi juga kawan, saudara. Mereka hilang dan meninggal tanpa jasad yang bisa dimakamkan, sebagian besar dari mereka saat itu tinggal dan sedang berada di kawasan rentan tsunami, gempa dan likuifaksi. Lalu, pelajaran berharga yang saya temukan selama berupaya melakukan rekonsiliasi dengan kenyataan bencana adalah, gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi adalah bukan bencana alam. Fenomena alam ini bagi sebagian besar orang dimaknai sebagai malapetaka, padahal alam tidak pernah mau menjadi bencana, dia hanya sedang melakukan ritualnya, berputar, dan kembali pada wujud aslinya.

Gempa, tsunami, dan likuifaksi tidak membunuh, yang membunuh kita adalah bangunan yang dibangun di kawasan rentan, ketidaktahuan, dan pengetahuan yang dikuburkan. Saya menggunakan pedoman itu, setelah beberapa tahun menghabisi kemarahan dengan alam yang dulunya saya kira sedang punya dendam besar dengan manusia.

Pandangan ini kemudian saya cerna sebagai bekal untuk mengecek kembali pilihan orang-orang yang bermukim di wilayah rentan dengan tawaran keberlanjutan hidup, isi dapur dan kepentingan investasi lainnya. Analogi sederhananya “siapa yang tidak mau hidup dekat dengan ikan, buka mata langsung bisa memancing, dijual, dan dapat uang.”

Pilihan-pilihan untuk bermukim dekat dengan lumbung pangan seperti menjadi dilema dua sisi atas tawaran yang berdampingan, lahan-lahan basah seperti laut, dan pemukiman pesisir ini memang bikin kita cepat kaya, tapi di saat yang bersamaan, kita terus mengambil lahan yang sebenarnya bukan tempat yang aman untuk kita bisa tinggal lama.

Lalu apa hubungannya celoteh saya ini dengan siasat penempatan lokasi gereja dan bangunan peninggalan kolonial dengan penentuan tata ruang yang aman dari ancaman bencana?

Setelah mengunjungi Gereja Sikka, saya melanjutkan kunjungan ke Gereja Katolik Hati Yesus Yang Maha Kudus di Desa Kokowahor. Letaknya cukup jauh dari laut, sekitar 3 kilo dari pusat kota Maumere. Gereja tua ini dikelilingi kuburan dengan nisan berdesain gothic, seperti di film-film Eropa, bangunan di gereja ini tidak serigid konstruksi Gereja Sikka, namun ruangannya lebih luas, penopang atap, kursi dan dindingnya masih menggunakan kayu-kayu ulin, ada kemiripan dengan konstruksi gereja tua Sikka. Meski usia gereja ini juga sudah cukup renta, saya menaruh percaya pada keamanan bangunannya jika terjadi gempa dibanding harus berdiri di dalam gedung-gedung beton di kota besar.

Halaman gereja ini juga lumayan luas, cukup untuk orang-orang berkemah. Saya lalu duduk lama, melihat dua sumur besar yang berdiri kokoh di samping gereja. Kepercayaan saya terhadap siasat penentuan tata ruang bangunan kolonial semakin kuat. Mereka sudah tahu di mana lokasi yang aman untuk beribadah dan menaruh investasi panjang di masa depan dengan membangun dua sumur agar siapa saja tidak perlu kesulitan mengambil air jika di bawah terjadi bencana. Asumsi-asumsi saya perihal penempatan tata ruang bagi bangunan kolonial saya akui cukup sentimental.

Dalam perjalanan pulang, saya harus menghadapi kenyataan bahwa bangunan perumahan warga di pesisir yang berdempet dan berhadapan dengan laut. Kenyataannya tidak ada jalur evakuasi yang mudah diakses karena sepanjang pantai Kota Maumere adalah pemukiman padat penduduk.

Kecemasan saya terbukti saat gempa berkekuatan 7,4 SR terjadi di Laut Flores pada 14 Desember 2021, gempa bumi yang memicu peringatan dini tsunami di wilayah pesisir Flores ini berhasil membuat orang-orang berlarian di tengah jalan yang tentu saja mesti menyusur lurus di area pesisir. Jalur evakuasi yang semestinya memotong kompas ke arah barat menjadi kenyataan yang sulit ditemukan. Beruntungnya, gempa yang cukup besar itu tidak memanggil gelombang tsunami, kesyukuran panjang yang terus saya rapalkan hingga saat ini.

Singkat cerita, darmawisata mengunjungi gereja di Maumere, saya lanjutkan ke salah satu Paroki tua bernama Paroki Habi yang terletak di Kecamatan Kangae. Gereja ini dibangun juga di kawasan yang cukup jauh dari laut, bahkan menurut cerita kawan-kawan di Maumere, saat gempa di bulan Desember tahun 2021 kemarin, sebagian besar masyarakat di pesisir Maumere mengevakuasi diri di Desa Habi.

Kenyataan semacam itu memperkuat keyakinan saya terhadap politik orang-orang Belanda dan Portugis di tanah Flores yang mengakusisi ruang-ruang aman bukan hanya sebagai investasi bangunan tahan gempa, tapi juga sebagai titik evakuasi. Bagaimana tidak, hampir tidak ada gereja yang tidak memiliki halaman yang luas, hampir tidak ada gereja yang menggunakan material konstruksi yang murahan, hampir tidak ada gereja yang dibangun dalam jarak dekat dengan laut.

Asumsi pendek saya, mereka tahu betul di mana harus mencari makan, dan di mana harus pulang, beristirahat juga beribadah dengan aman. Perjalanan saya mengunjungi gereja berakhir di satu gereja besar di pusat Kota Maumere, letaknya tidak langsung berhadapan dengan laut. Namun bagi saya, lokasinya masih sangat dekat dengan ancaman bencana. Gereja Katedral St. Yosef, Maumere lokasinya tepat berada di jantung Kota Maumere, berdekatan dengan stadion Gelora Samador yang belakangan saya tahu digunakan sebagai lokasi evakuasi saat gempa 2021.

Tawaran arsitektur gereja moderen ini seringkali menyilaukan kenyataan bahwa bangunan ini berdiri di kawasan yang tidak cukup aman dari ancaman bencana. Bicara soal arsitektur modern, sejak tahun 1900, Belanda menggunakan arsitektur modern sebagai bentuk protes pada desain-desain Empire Style. Menurut catatan dari jurnal seorang arsitektur Indonesia, arsitek Belanda yang di masa itu berpendidikan akademis mulai datang ke Hindia Belanda. Mereka mendapatkan gaya arsitektur yang cukup asing karena Empire Style yang saat itu berkembang di Perancis tidak mendapatakan sambutan di Belanda.

Keterasingan itu menjelma menjadi konstruksi bangunan kantor, rumah, hingga gereja yang mereka tinggalkan di Indonesia. Sayangnya, kita sering kali melihat dangkal kepentingan orang-orang yang datang di tanah kita. Saat memilih ruang untuk membangun tempat mereka berlindung, selain pemilihan lokasi, material bangunan, juga buruh yang mereka gunakan hampir semuanya menggunakan sumber daya yang kita punya.

Hari ini di Kota Palu dan Maumere kita masih bisa melihat dalam jarak dekat konstruksi bangunan peninggalan kolonial yang dibangun di kawasan aman dari ancaman bencana. Jika kita berkunjung ke sana, satu-satunya keasingan yang bisa kita rasakan adalah ketidaktahuan dari siasat mereka menyusunan pertahanan bangunan sebagai penjajah di tanah kelahirannya sendiri.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th