Setiap awal pekan, sekitar pukul lima hingga tujuh malam di kawasan perkantoran daerah perkotaan adalah waktu yang tepat untuk menemui kemacetan. “Jamnya orang pulang kantor.” Saking terbiasanya dengan rutinitas, kalimat itu sudah jadi jawaban default; “pengaturan pabrik” untuk menjelaskan kondisi macet. Setiap akhir pekan, jalanan di sekitar tempat-tempat wisata mengalami kemacetan yang sama. Wisatawan dari berbagai daerah datang berbondong-bondong.
Meskipun sama-sama merupakan kemacetan, perbedaan antara dua kemacetan dapat dijelaskan oleh gerak tubuh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dari orang-orang yang baru pulang dari kantor, kemungkinan besar kita akan menemukan orang-orang berpakaian kemeja atau blus dengan wajah yang lelah tetapi sarat kelaziman dan penerimaan akan situasi rutin itu. Tubuh mereka pegal dan kaku. Dari para wisatawan, kemungkinan besar kita akan menemukan orang-orang lebih beragam, berpakaian cantik mulai dari yang minimalis hingga parlente, dengan wajah yang bahagia tetapi penuh penantian, kapan macet akan terurai? Tubuh mereka luwes dan melebur dengan lingkungan yang ingin mereka kunjungi.
Dari tubuh orang-orang di dua lokasi dan peristiwa yang berbeda itu, tergambar identitas masing-masing. Semua orang berekspresi melalui gerak tubuhnya. Mereka menunjukkan identitas diri dengan tubuhnya: ideologi, kepercayaan, mode berpakaian dan konsumsi, bahkan preferensi politik. Tubuh menjadi jembatan agar identitas itu dapat ditunjukkan, sekaligus alat agar identitas antarindividu dapat terbaca dan dipahami. Melalui tubuh, individu berkenalan satu sama lain. Syukur syukur, bisa saling menerima dan memahami satu sama lain.
Gerak yang ditunjukkan tubuh manusia menjadi panggung yang menyimpan berbagai catatan mengenai hal-hal yang telah dan sedang terjadi dalam diri manusia di balik panggung. Sebagai wacana yang sudah sangat tua, wacana tubuh terus berkembang sebagaimana dinamika wacana mengenai identitas di tengah ekspansi industri media global saat ini. Di dalamnya terjadi pertempuran ideologis untuk memenuhi posisi hegemoni kekuasaan di arena budaya populer. Kebertubuhan dan identitas menjadi kunci segala macam persaingan politik, pencarian identitas yang terjadi pada suatu bangsa, dengan keterlibatan transnasional dan dimensi global.
Tubuh, semakin jelas, menjadi titik persilangan antara daya bio-seksual, daya Ego, dan daya sosial—sebagaimana terungkapkan dalam kritik dan pengembangan wacana oleh Erikson terhadap Freud. Posisi Erikson penting karena memperluas kebertubuhan menjadi juga soal kerangka lingkungan psikobudaya dan psikohistoris. Pencarian identitas manusia sangat terkait dengan sifat dasar lembaga sosial budaya dan tatanan nilai yang ada pada kebudayaan dan periode zaman tertentu.
Pada refleksi Carlin Karmadina di rubrik Jala, “Jalan Panjang Belajar Feminisme“, kita melihat bagaimana sistem sosial masyarakat patriarkal mempengaruhi pemahaman mengenai tubuh perempuan terutama dalam ruang-ruang domestik. Pemahaman mengenai tubuh di lingkungan terdekat seperti keluarga di rumah dan sekolah, kelak mempengaruhi bagaimana individu memperlakukan dirinya dan sesama.
Dalam “Tafsir Pembebasan sebagai Jalan Dialog dengan Minoritas Gender dan Seksual“, Dosen Kitab Suci IFTK Ledalero, Servinus H. Nahak membahas identitas gender dan seksual sebagai hal yang krusial, di tengah maraknya stigma negatif, diskriminasi, dan perlakuan tidak adil. Fenomena ini dibaca melalui beberapa teks ajaran resmi Gereja Katolik dan tanggapan dari teolog, ekseget dan mereka yang berpastoral di medan ini.
Perkara tubuh dan identitas individu dapat berkembang menjadi apa yang disebut Barbara Hatley sebagai “refleksi kondisi politik” di rubrik Jangkar dalam “Teater Modern Indonesia dan Politik“. Teater sebagai produk kebudayaan menjadi salah satu sikap dan ekspresi menanggapi kondisi sosial dan politik negeri. Tulisan Barbara berfokus pada aktivitas teater modern di Indonesia, terutama di Yogyakarta, pada periode menuju Reformasi dan tahun-tahun sesudahnya.
Berkaitan dengan itu, catatan proses Yudi Ahmad Tajudin di rubrik Layar, “Perihal Kenapa Perjalanan Ini Ditempuh“, dapat memberi gambaran soal pengambilan keputusan dan sikap sutradara di balik pertunjukan Teater Garasi, “Waktu Batu. Kisah-Kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu” tahun 2003. Dengan mengusung tiga pertanyaan besar: waktu, transisi, dan identitas, kita dibawa kepada refleksi mengenai orientasi ruang-waktu di antara segala perubahan yang terjadi.
Dua tulisan di rubrik Jangkar dipersembahkan khusus untuk mengenang sosok Pater Georg Kirchberger, SVD yang berpulang pada Senin, 5 Juni 2023. “Selamat Jalan, Turi” sebuah catatan dari Komunitas KAHE. Aktivitas dan cita-citanya tinggal di Maumere sejak tahun 1976 memberi tunjuk leburnya batas-batas identitas diri. Sebuah penggambaran yang menarik ketika membaca bahwa Beliau sedang mewujudkan cita-citanya mengelola restoran makanan Bavarian, yang mengingatkannya pada masa kecil dengan keluarga di kampung. Sementara di waktu yang sama, Beliau juga punya spirit dan kecintaan untuk membangun manusia-manusia Flores, khususnya Maumere.
Tulisan kedua, “Abschiedsworte an Georg” adalah surat untuk mendiang yang ditulis oleh keluarga. Mengenai tempat berpulangnya Ledalero, mereka menulis, “Di bukit Ledalero, di bukit itu telah berpuluhtahun menjadi rumahmu, tempat di mana engkau menyemaikan dan memetik buah-buah kebaikanmu.” Belajar dari Kirchberger, ada kalanya identitas atau jati diri tidak lagi berorientasi pada waktu dan ruang spesifik, di mana seseorang tinggal lebih lama (identitas historis), melainkan bisa juga soal upaya manusia mencapai dan melampaui dirinya (identitas eksistensial). Kirchberger telah pulang dengan sesuatu yang ia mantapkan selama hidupnya.
Indonesia sebagai ruang yang plural; yang penuh dengan percampuran dan persaingan berbagai sudut pandang, pertanyaan-pertanyaan soal peran dan representasi identitas menjadi sangat bertalian dengan hidup manusia Indonesia, dengan gerak etis yang diterima, disusun, dan dilakukan seseorang. Edisi Tubuh dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi hendak menyediakan ruang untuk merefleksikan hal itu. Tulisan-tulisan yang ditayangkan pada edisi kali ini sama sekali tidak tertutup untuk tanggapan. Jadi, kami menunggu kontribusi Anda, para pembaca.
Selamat menikmati. Epan gawan.