Jalan Panjang Belajar Feminisme

 

Saat masa pandemi Covid-19, seorang kawan baik menawarkan saya untuk nimbrung dengan sebuah program semacam seminar online yang diselenggarakan EA Books. Penerbit indie itu baru saja menerbitkan sebuah buku tentang seorang tokoh perempuan dari Perancis. Penulisnya Ester Lianawati, dengan buku Melintas Abad, sebuah biografi Simone de Beauvoir. Narasumber seminar online itu adalah Ester sendiri, dan bahasannya tentu tentang buku dan tokoh yang ia tulis.

Pertemuan virtual itu terlaksana. Seminar dilakukan 2 kali dan di setiap akhir pekan. Saya ikut dan menyimak. Ester dengan aksen Perancis, bersemangat dan bercerita banyak hal. Itu pertama kalinya saya mengenal Ester Lianawati, sekaligus dengan Beauvoir. Kurang lebih sepekan setelah kelas itu selesai, buku Melintas Abad yang saya pesan sebagai tiket ikut seminar tiba di Maumere.

Setelah selesai membaca Melintas Abad, mulai suka dengan feminisme. Saya memutuskan untuk membaca bacaan-bacaan lain tentang perempuan. Dilakukan pelan-pelan, di waktu senggang. Bacaan-bacaan itu sebagian hilang, sebagian mengendap, sebagian menguatkan saya untuk membuat keyakinan akan posisi perempuan di mana pun.

Akhir tahun 2022 datang, bersamaan dengan poster Beasiswa SPP (Sekolah Pemikiran Perempuan) yang berseliweran di story instagram beberapa kawan perempuan. Saya menimbang-nimbang, agak ragu, merasa belum layak untuk ada di Sekolah itu, takut tak punya waktu. Tapi perlu dicoba. Jika tidak lolos tahun ini, mungkin tahun depan saya bisa dapat kesempatan bagus.

Sehari sebelum deadline pendaftaran, saya baru mengirim CV dan motivation letter. Tidak lupa dengan Surat Rekomendasi dari Tika Solapung, rekan di Komunitas KAHE.

Saat menulis motivation letter, saya melihat diri saya lebih jauh. Tak bisa dipungkiri, saya adalah perempuan yang dibesarkan di lingkungan yang patriarki: masyarakat, adat istiadat, dan gereja. Di lingkungan saya, perempuan diajarkan untuk melayani laki-laki. Katanya buat ‘bekal’ untuk perempuan agar jika kelak menikah, bisa menjadi istri yang baik.

Semakin dewasa, seiring dengan perubahan tubuh seorang anak perempuan menjadi tubuh perempuan dewasa, bersamaan dengan pencarian identitas, penegasan-penegasan bahwa “kau adalah perempuan” semakin sering saya terima. Menjadi perempuan artinya ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Batasan itu beralaskan tubuh perempuan, sesuatu yang lahiriah, acap kali disebut kodrat, lalu melebar menjadi batas atas tindakan dan keputusan anak perempuan.

Saya (dan mungkin anak perempuan kebanyakan) akrab dengan narasi-narasi macam ini: ‘tinggilah tinggi nona sekolah, turunlah juga, juga di rumah tangga” , “enak jadi perempuan, nanti laki-laki datang lamar dan tinggal dikasih makan”, “perempuan punya payudara besar, pasti sudah dijamah”, “tidak tahu masak begini nih, nanti tidak bisa urus suami”, dan ujaran seksis lainnya.  Dan di sisi lain, anak perempuan luput dari ajaran dan didikan bagaimana ia harus bertindak dan bertanggung jawab atas tubuh dan keputusannya sendiri.

Di lain hal, menurut saya tradisi belis dalam praktiknya selalu rentan disalahartikan. Alih-alih sebagai penghargaan pada perempuan, belis yang bernilai luhur itu kerap dianggap sebagai alat tukar. Jika telah “dibayar lunas”, perempuan rentan menjadi korban KDRT karena dianggap “sudah menjadi milik”. Di kasus lain, hukum adat yang kabur, bias kepentingan, dan patriarki digunakan untuk menyelesaikan perkara pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual di Flores.

Sementara ada banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan, di sisi lain yang juga sekaligus tidak dianggap penting, perempuan punya kontribusi pada keluarganya: antisipasi menghidangkan makanan di tengah keterbatasan bahan pangan. Semisal minyak goreng langkah di awal tahun 2022 lalu, ibu-ibu rumah tangga mengakalinya dengan menakar minyak goreng sehemat-hematnya setiap kali memasak. Menopang ekonomi keluarga dengan kerja-kerja domestik. Melestarikan benih lokal dengan menyimpannya. Mengarsipkan motif tua tenun ikat dengan terus-menerus membuat tenun ikat. Melantunkan lamen dengan tulus saat ada kematian kerabat.

Perempuan juga lebih berempati kepada orang-orang mereka dengan gender yang berbeda. Perempuan lebih bisa menerima anak-anaknya dengan gender yang lain. Sebagai sosok yang berpeluang menjadi orang yang mengandung, melahirkan, dan merasa bahwa anak adalah bagian dari dirinya, maka perempuan juga lebih berpeluang menerima kondisi manusia lain dengan apa adanya, ketimbang laki-laki.

Di bagian akhir motivation letter untuk SPP saya menulis: Dari temuan sementara itu, mempelajari feminis menjadi kebutuhan saya secara personal dan untuk turut menjawab pertanyaan dasar seperti; apa itu feminisme dan bagaimana saya sendiri bakal mendefinisikannya, bagaimana menamakan sebuah gerakan perempuan sebagai bagian dari feminisme, untuk apa gerakan ini, dan bagaimana feminisme menjadi kontekstual di Flores?

Beberapa hari kemudian, kabar baik datang. Saya diterima!

Pekan-pekan selanjutnya adalah pekan yang menarik. Saya bertemu dengan 21 perempuan lainnya dengan wilayah geografis, latar pendidikan, dan aktivitas mereka yang berbeda, dengan konteks dan pengalaman yang tentu saja unik. Yang spesial, kami punya dua teman tuli, teman-teman queer, seniman, penulis, peneliti, penerjemah, dan lain-lain.

Sekolah Pemikiran Perempuan (atau Sekolah Penyihir Perempuan, sebutan tidak formal yang diam-diam kami sepakati) memfasilitasi bacaan yang melimpah (bacaan-bacaan wajib diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pula!), menyiapkan juru bahasa isyarat, dan narasumber-narasumber yang seru.

Selama kelas, saya terkagum-kagum (saya sering bergumam saat kelas berlangsung: kencang eee!-artinya keren sekali), kali lain saya merinding, ada saat di mana saya mau menangis karena haru.

Sepanjang kelas, saya lebih banyak diam, menyerap apa-apa yang diomong. Beberapa saya endapkan. Beberapa berlarian di kepala. Beberapa terus saya bawa kemana-mana.

Di pekan ketiga misalnya, Himas Nur dan kelompok belajar di SPP bicara soal perempuan yang menulis. Di lain kesempatan, Mbak Ita Fatia Nadia menekankan Kartini yang menulis pemikiran dan kondisi sosial pada masanya adalah tonggak gerakan perempuan modern.

Betapa menulis sangat penting. Betapa perempuan berprivilese (Kartini, misalnya) ini menyadari akan peran, posisi dan privilesenya sendiri dan berguna untuk kelompoknya.

Saya lalu mengira-ngira bagaimana posisi perempuan usai menikah, punya beban berlapis-lapis, dan tak punya waktu untuk diri sendiri, membaca atau menulis adalah hal sulit, persoalan lain. Sementara saya merasa berprivilese karena belum menikah,  bisa menulis dan baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi, tapi apakah saya mau (untuk mampu) menulis?

Saya adalah pembelajar yang lambat. Dalam proses belajar bersama di SPP, saya menempatkan diri seperti sponge, menyerap apa-apa yang dilangsungkan, dibagikan, diomongkan, termasuk pop up chat zoom. Ditambah lagi, jadwal Sekolah kadang bertabrakan dengan jadwal saya. Ada sedikit sesal usai membaca (berulang kali) bacaan-bacaan wajib itu dan baru memahaminya, saya hanya bisa mengikuti topik dengan rekaman. Kesempatan saya bertanya dan berdiskusi di kelas jadi hilang.

Meski belum kuat secara gagasan, saya sebut proses saya belajar di Sekolah Pemikiran Perempuan adalah awal. Sebab, dengan usai belajar bersama SPP, saya mulai punya perspektif yang berbeda saat melihat ragam isu. Saya mulai mencoba melihatnya dari pengalaman perempuan dan bertanya apa sistem besar di balik ini? Seperti yang pernah dibagikan oleh L. Ayu Saraswati di pertemuan kedua SPP agar selalu punya pertanyaan besar ini: who does it do and who benefits? Semisal; jika tradisi belis dijalankan dengan bias pemahaman akan nilai luhurnya, siapa yang dirugikan? Jika hukum adat tak bisa melindungi korban pelecehan seksual, siapa yang harus bertanggung jawab? Jika pendidikan seks pada remaja perempuan masih dianggap tabu, siapa yang dirugikan?

Saya juga masih punya pertanyaan (di Motivation Letter) yang perlu saya refleksi kembali: bagaimana saya mendefinisikan feminisme yang kontekstual di Flores? Tidak perlu muluk-muluk, definisi itu tentu untuk diri saya sendiri. Tapi saya sadar bahwa belajar feminis adalah jalan panjang, dan saya baru saja memulainya.

Di catatan ini saya ingin mengucapkan ucapan terima kasih kepada penyelenggara SPP atas ruang alternatif mempelajari pemikiran-pemikiran perempuan. Terima kasih untuk teman belajar (Zahrotun, Dida, Ishvara, Resti), serta para narasumber-narasumber. Atas pertukaran gagasan. Atas kejutan-kejutan tiap pekan. Semoga Sekolah Pemikiran Perempuan panjang umur, jadi ruang untuk mempertemukan gagasan dan kegelisahan.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th