Teater Modern Indonesia dan Politik

Fokus tulisan ini adalah kegiatan teater modern di Indonesia, terutama di  Yogyakarta, pada periode menuju Reformasi dan tahun-tahun sesudahnya, sebagai refleksi kondisi politik pada masa itu.

Mulai pada akhir tahun 1970-an, teater Indonesia modern bisa disebut ekspresi perlawanan bersama terhadap penguasaan negara. Ketika keterlibatan dalam politik dilarang,  teater merupakan saluran untuk tenaga yang tidak boleh diungkapkan dalam aktivisme politik. Tokoh utama dalam proses ini adalah W.S. Rendra.

Rendra lahir dan dibesarkan di Solo, berkuliah di Universitas Gajah Mada pada tahun 1960-an dan sesudah lulus mendapat kesempatan studi teater di Amerika. Sesudah pulang ke Indonesia, dia mendirikan grup Teater Bengkel di Yogyakarta. Pementasan awalnya drama avant garde, eksperimental, hampir tanpa dialog, yang disebut ‘mini kata’;  juga saduran karya barat seperti Oedipus dan Macbeth. Namun, pada pertengahan tahun 1970-an  Rendra mulai menulis dan mementaskan naskahnya sendiri, seperti Mastodon dan Burung Kondor, Kisah Perjuangan Suku Naga, yang walaupun settingnya khayal, menyampaikan kritik yang sangat keras terhadap kondisi politik kontemporer.

Dalam Kisah Perjuangan Suku Naga, tokoh ratu rakus merupakan sindiran kepada Ibu Tien, istrinya Presiden Suharto dan gambar negeri bernama Astina yang ingin merampas  tanah suku Naga merujuk pada keputusan pemerintah pusat di Jawa untuk mengundang perusahaan asing mengambil alih daerah terpencil di pulau lain.

Sebagai kontras,  fokus Sekda ( Sekretaris Daerah) adalah pejabat-pejabat pemerintah kontemporer yang korup dan munafik. Dalam suatu adegan drama itu yang sangat lucu, seorang gubernur turun ke bawah untuk bertemu dengan rakyat. Untuk membuktikan empatinya dengan ‘wong cilik’ ini, semua pakaiannya dibuka dan diberi kepada mereka. Sekretaris daerah dan seorang pejabat lain yang datang bersama gubernur, walaupun kaget dan sangat malu, terpaksa ikut contohnya.

Sikap pemerintah terhadap Rendra dan Teater Bengkel  tentu saja sangat kritis. Sesudah 1974, Teater Bengkel dilarang main di Yogyakarta, tetapi  latihan untuk pementasan di kota lain di depan rumah Rendra masih bisa dilihat oleh banyak penonton. Juga, pada dua kali waktu larangan itu ditetapkan – pada 1977 untuk Sekda dan 1978 untuk Perjuangan Suku Naga –  ratusan penonton, terutama mahasiswa dan anak muda lain, berteriak menyetujui  setiap serangan pada kewibawaan pemerintah.

Namun, menghadapi akhir 1978, ketika sikap kritis dan represif pemerintah meningkat, suatu bom diledakkan waktu Rendra sedang membaca puisinya di Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Dia ditangkap dan dipenjarakan karena dituduh “mengancam keselamatan publik.”  Waktu dibebaskan, Rendra dilarang sama sekali mengadakan acara publik selama tujuh tahun. Teater Bengkel di Yogya dibubarkan. Meskipun demikian, Rendra mendirikan Teater Bengkel baru di Jakarta pada tahun 1985 dengan bentuk dan misinya  yang lain.

Namun, warisan Rendra di Yogya ternyata diteruskan dalam kegiatan grup teater lain, awalnya Dinasti, lalu Gandrik.

Nama Dinasti, yang merupakan singkatan dari Dana Informasi Nasional Taruna Indonesia, juga bisa dimengerti sebagai rujukan kepada fakta bahwa grup ini didirikan oleh beberapa aktor yang sebelumnya anggota Teater Bengkel dan melangsungkan ‘warisan’  Bengkel  dengan cara mereka. Mula-mula, pementasannya adalah versi baru dari cerita sejarah Jawa, yang biasanya dimainkan oleh grup teater  populer ketoprak. Pertunjukan Dinasti pertama misalnya, adalah Ki Ageng Mangir, cerita tentang pemimpin desa yang berlawanan dengan Senopati, raja Mataram. Dalam lakon ketoprak, persoalannya adalah pajak yang mestinya dibayar oleh rakyat Mangir, tetapi dalam versi Dinasti, Ki Ageng Mangir mencela  cara Senopati menguasai Mataram yang tidak demokratis dan tidak memberi kesempatan kepada anak muda untuk belajar menjadi pemimpin. Di sini, bisa dilihat hubungan erat dengan pengalaman pemain dan penonton pertunjukan, yaitu anak muda  yang disingkirkan oleh sistem politik yang otoriter.

Pada tahun 1982, ada perubahan dalam pementasan Dinasti – dari cerita mengenai kerajaan Jawa zaman dulu ke drama fiksi, yang menyampaikan kritik sosial  politik yang sangat keras dengan tokoh yang merujuk pada pejabat pemerintah kontemporer yang kejam dan edan. Misalnya, Sepatu Nomor Satu mengenai raja yang memakai sepatu yang sangat besar sampai tidak ada kontak dengan tanah, yang merupakan simbol dari jarak sangat jauh antara pejabat dan rakyat. Namun, sesudah lakon ini dilarang persis pada malam pembukaan, ada perselisihan opini antara anggota grup mengenai penggunaan teater sebagai senjata politik. Dinasti kemudian pecah.

Lima aktor  yang dulu anggota Dinasti membentuk  grup baru Gandrik  yang cara mainnya disebut sampakan – sederhana, lucu, dinamis. Kritik keras dari pementasan Dinasti diganti dengan gaya main yang menyampaikan kritik secara lebih lembut, yang  disebut oleh anggota Gendrik  ‘guyon parikena’, mencubit tanpa menyebabkan rasa sakit. Tokoh pementasannya bukan pejabat saja, tetapi juga orang biasa – pesinden desa, orang tua pikun yang menunggu pensiun mereka, bahkan pencuri di pasar. Ada yang mengkritik grup Gandrik sebagai “menertawakan wong cilik.” Namun, respon anggota Gandrik adalah “Mereka merasa  terwakili”. Dan memang  Gandrik sangat populer selama tahun 1980-an sampai awal 1990-an, dengan orang kelas bawah yang menonton pementasannya di televisi, dan orang kelas menengah, 1000-1500 orang, yang mengisi gedung teater tiap kali Gandrik main.

Pada tahun 1997-1998  suasana politik di Indonesia memanas. Mahasiswa mengadakan demonstrasi disertai pementasan pendek teater. Selama bulan April 1998 ada serial peristiwa kesenian  untuk memperingati Hari Bumi. Kegiatan ini disebut  ‘ruwatan’, ritus tradisional pembersihan dengan maksud menyampaikan pesan bahwa Indonesia yang kotor dan rusak harus dibersihkan. Kerusakan itu tidak hanya pada lingkungan hidup, tetapi juga di bidang politik, ekonomi dan rohani.

Pertunjukan teater mempunyai peranan penting dalam kegiatan ini. Pada suatu pementasan yang diterima dengan semangat oleh penonton, aktor Butet dari Teater Gandrik muncul.  Dengan suara yang persis seperti suara Presiden Suharto, dia mengungkapkan cinta mendalam untuk Indonesia, cinta yang begitu besar sampai dia tak tahan melihat negara tercinta ini dalam keadaan tidak rapi. Dia akan merapikan Indonesia dengan ‘memotong rambutnya’ – menebang  pohon hutannya dan menjual kayu dari  pohon itu ke negara asing.

Pada 20 Mei, satu hari sebelum Presiden Soeharto mundur terjadi pementasan yang paling besar, satu juta penduduk berkumpul di alun-alun Jogja; Butet memperkenalkan Sultan Hamengkubuwana yang mohon rakyatnya menyokong Reformasi.

Pada era Reformasi, dengan transisi dari Orde Baru  ke zaman otonomi daerah, ada perubahan penting juga di kegiatan teater. Banyak festival pertunjukan tradisional diadakan untuk merayakan kebudayaan lokal. Pada waktu yang sama grup teater modern mementaskan drama yang mengeksplorasi persoalan pada identitas kultural dan kondisi sosial/politik daerah.

Teater Garasi, misalnya, dengan seri pertunjukan Waktu Batu menggambarkan mitos dan sejarah Jawa sebagai noda  yang ‘menghantui’  kehidupan kontemporer. Pementasan Je.jal.an melukiskan politik kehidupan sehari-hari di Indonesia sekarang sebagai jalan di mana bermacam-macam kelompok – anak muda, penyanyi dangdut, orang Islam fanatik, dan kelompok-kelompok lainnya, merebut tempat. Kemudian, timbul pertanyaan tentang masa depan Indonesia, “Kita mau ke mana?”

Anggota teater Garasi juga ‘membagikan’ cara mereka mencipta pertunjukannya dengan grup teater di daerah lain,  mengeksplorasi dan mendiskusikan persoalan-persoalan lokal, terus mementaskan drama mengenai topik itu.  Mereka pergi ke Madura dan Flores dan mengajak grup lokal mengekspresikan persoalan  sosial-politik dalam hubungan dengan identitas kultural di sana.

Masa depan Indonesia tidak  bisa diramalkan, tetapi teater akan tetap mempunyai peranan penting dalam mengekspresikan keadaan sosial, politik, dan ekonomi dari masa ke masa.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th