Ide tentang disrupsi sedang jadi barang baru dewasa ini. Umat manusia dianggap sedang bergerak, berinovasi, dan mengalami perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan, dan lanskap yang ada ke cara-cara baru. Di satu sisi, ide yang grande itu tanpa sadar menjauhkan manusia dari cara-cara hidup dan/atau kerja yang hening, mendalam, dan saling tatap dengan sesama. Dalam disrupsi, segalanya seolah-olah tentang pergerakan dan ketergesaan. Namun di sisi yang lain, perubahan itulah yang umat manusia inginkan. Sebuah perpindahan ke arah yang lebih menguntungkan tetapi tentu saja tetap humanis.
Di sela tren tentang ide tersebut, sebagai sebuah media alternatif, Laune hadir setelah vakum beberapa bulan. Laune mengangkat tema Identitas/Subversi yang menyoroti dua agenda kebudayaan khas dan spesifik yaitu Susur Selubung Kampung Wuring: Merekam Cerita Perempuan Pesisir (Disingkat SSKW) dan MAUMERE CINEMA. SSKW yang digagas oleh Maria Ludvina Koli, Kartika Solapung, dan saya memfokuskan pada laku mendengarkan narasi-narasi lokal. Sedangkan MAUMERE CINEMA yang digagas oleh beberapa komunitas film dan platform televisi daring di Maumere mendekati isu-isu melalui film dan diskusi-diskusi. Keduanya dipilih sebab secara konseptual, dua agenda tersebut sama-sama pertama, memilih untuk fokus pada konteks dan problem masing-masing wilayah dan segmen; kedua, menggunakan metode yang guyub dan plural sehingga menuntut sikap saling terbuka dan memahami satu sama lain. SSKW memfasilitasi para seniman dan aktivis perempuan dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendengarkan narasi-narasi khas suku Bajo-Bugis di Kampung Wuring. Sementara itu, MAUMERE CINEMA mengangkat tema “Tumbuh” untuk fokus memperbincangkan bagaimana proses tumbuh yang baik dan kebutuhan untuk menandainya dengan pengamatan mendalam dan proyeksi relevan untuk perkembangan selanjutnya dalam perspektif ekosistem.
Cara hidup dan/atau kerja seperti yang diusung kedua agenda ini tampaknya bisa diartikan sebagai sebuah perhentian sementara, sebuah interupsi pada proses berpikir yang telah berlangsung secara berkesinambungan. Hal tersebut mengandaikan adanya perubahan, perpindahan, dan kedalaman. Dengan berhenti dan beristirahat sejenak di jalur yang telah lama dilewati sepanjang zaman, bukan tidak mungkin kita memberi pemaknaan alternatif dan radikal pada istilah subversi. Kita menggoyang pemaknaan, menafsirkan kembali laku atau tindakan, menimbang lagi visi dan misi. Kita merayakan kegelisahan tentang hal-hal yang sudah mapan dan telanjur menancapkan kuasanya, tentang apa saja: wacana feminisme, problem representasi, advokasi, batas-batas eksploitasi. Inilah yang hendak dimaksud oleh Laune edisi Identitas/Subversi. Jika kita mengedepankan perspektif yang dialogis antar-identitas, maka kita dapat beralih ke kondisi baru yang lebih baik dalam relasi antar-manusia ataupun manusia dengan dunia.
Dengan rubrik-rubrik baru, Laune menghadirkan beragam tulisan. Kartika Solapung, mencoba menjabarkan program SSKW sembari mengkaji ulang tentang ideal “mendengarkan” dalam laku aktivisme pada esai Meretas Cerita Tunggal, Merekam Cerita Para Perempuan Pesisir. Pada haluan yang sama, Mario Nuwa dalam esai Susur Selubung Kampung Wuring dan Ruang Berbagi Pengetahuan berbagi tentang pengalamannya ketika terlibat dalam upaya memperoleh pengetahuan ala SSKW. Masih seputar SSKW, Dimas Radjalewa dalam resensi Mendengarkan yang Maha Kecil membahas pembacaannya tentang buku Antologi Tulisan Forum Susur Selubung Kampung Wuring: Merekam Cerita Perempuan Pesisir yang merupakan buah manis dari program SSKW. Dalam rubrik Nahkoda bertajuk Indah Darmastuti, Berkarya bersama Difalitera, kita bisa melihat penafsiran mengenai “advokasi” yang kemudian menjadi modal pergerakan aktivismenya dengan kawan-kawan difabel netra.
Dalam sebuah ulasan film, Adegan Makan dan Persoalan Identitas (Membaca permainan semiotik dalam film Istirahatlah Kata-kata), Pater Ve Nahak membahas tentang simbol-simbol perlawanan yang terdapat pada film dari sudut pandang yang amat religius-humanis. Dalam esainya, MAUMERE CINEMA dan Identitas Ipse: Membaca Realitas Film dari Perspektif Filsafat, Pater Felix Baghi membuka jalan menuju pembacaan lebih dalam terhadap film-film dalam MAUMERE CINEMA dengan kacamata “film sebagai filsafat”. Tak boleh dilewatkan pula esai obituari dari Eka Nggalu, Beristirahatlah, Mas Gun, tentang sosok almarhum Gunawan Maryanto yang telah menjadi inspirasi MAUMERE CINEMA—yang serba-serbinya bisa dibaca dalam tajuk MAUMERE CINEMA dan Riak-Riak Pertumbuhan.
Laune edisi Identitas/Subversi bisa dibilang hendak menjabarkan upaya-upaya pencarian kemungkinan untuk produksi/reproduksi wacana demi mengantar ke gerakan penerimaan atas persepsi yang beragam dan tidak diskriminatif. Ini adalah sebuah ajakan untuk berkaca dari gerakan kebudayaan yang sudah-sudah, untuk menjadikan aktivisme atau agenda budaya sebagai gerakan saling dukung atau boleh pula saling sanggah yang sehat dan berkelanjutan. Di masa yang akan datang, rubrik-rubrik dalam Laune akan hadir setiap bulan dengan tema yang beragam, dengan tetap mengusung semboyan knowledge through art.