1. Polemik Awal
Saya akan mulai artikel ini dengan membicarakan adegan makan dalam film Istirahatlah Kata-kata. Mengapa saya memilih tema tersebut? Salah satu alasannya ialah karena dalam beberapa resensi yang saya baca tentang film ini muncul diskusi yang menarik. Di antaranya adalah diskusi antara Eric Sasono dan Dea Anugrah.
Pada satu sisi, Eric Sasono, dalam artikelnya yang berjudul ‘Istirahatlah Kata-kata’: Keseharian Membosankan Penyair Wiji Thukul[1] secara gamblang mengungkapkan kesan bahwa adegan makan dalam film tersebut terlalu banyak; terdapat sekitar lima adegan makan di film ini. Menurut dia, itu amat banyak untuk ukuran film Indonesia yang kebanyakan tokohnya seakan tak perlu makan. “Apa itu semua demikian penting untuk tampil di dalam film? Bukankah kita semua melakukan itu dalam kehidupan sehari-hari?”[2] Eric kemudian mengatakan bahwa adegan itu penting, tetapi sayang, dia tidak membuat elaborasi lebih dalam tentang “adegan makan” dan makna struktural di baliknya.
Pada sisi lain, Dea Anugrah dalam artikelnya di tirto.id berjudul Istirahatlah Kata-kata: Film Penting Belum Tentu Bagus[3] mengamati secara serius adegan makan dalam film dan mengatakan bahwa berbagai adegan itu tidak muncul secara acak, sebaliknya mempunyai struktur tertentu. Artikel Dea sebetulnya bisa dibaca sebagai polemik atau dialog untuk menanggapi artikel Eric Sasono yang terbit lebih dahulu di BBC daring.
Dalam artikelnya Dea mengatakan adegan “makan” pada tentara mempunyai makna simbolik yang berbeda dengan “makan” yang melibatkan Wiji Thukul. Bahkan dia sampai pada kesimpulan bahwa “Yosep Anggi Noen, penulis skenario sekaligus sutradara Istirahatlah Kata-kata, menggunakan seks – atau simbol-simbol yang mengacu kepada seks – dengan cara yang mirip dengan makanan.”[4]
Dea Anugrah di akhir artikelnya mengatakan film tersebut penting, tetapi keliru kalau orang menganggapnya film bagus. Dia mengemukakan tujuh “dosa pokok” yang menjadi landasan argumennya. Dalam daftar “dosa” nomor 3 dia memasukkan topik tentang “makan”; “Apakah Wiji Thukul ditembak mati setelah adegan makan yang dibuka dengan sorotan berlarut-larut pada lukisan The Last Supper?”[5]
Nah, adegan makan dan lukisan Perjamuan Terakhir (Perjamuan Malam Terakhir, -red.) tersebut akan saya jadikan pintu masuk pembahasan saya. Artikel singkat ini dalam arti tertentu coba digagas untuk melanjutkan percakapan Eric Sasono dan Dea Anugrah.
2. Soal Perjamuan dan Bias Agama
Perlu diakui sejak awal saya tidak bisa menghindari “bias agama” dari proses menafsir film ini. Ketika melihat adegan awal yang menampilkan gambar perjamuan terakhir di dinding yang mendapat ruang cukup besar dalam sorotan extreme close up kamera, saya langsung mendapat kesan dalam hati: “wah ini film cocok betul diputar saat Prapaskah! Jangan-jangan ada agenda kristenisasi terselubung ini?”[6]
Namun, yang menarik perhatian saya dari adegan tersebut ialah soal posisi para pemainnya. Ada dua elemen yang saya amati. Pertama, ada posisi egaliter antara gambar di dinding dan para tokoh dalam film. Baik Yesus dan para rasul di gambar maupun Wiji Thukul, cs berada dalam posisi yang sama, yakni duduk (kita yang nonton di luar juga kebanyakan duduk bersila!). Walaupun gambar perjamuan terakhir itu ada dalam posisi yang lebih tinggi dari para tokoh, pada akhirnya dia disorot memenuhi layar. Ekspansi wilayah yang dimainkan kamera untuk menampilkan gambar itu mengirimkan pesan bahwa ada hubungan tertentu antara perjamuan Wiji Thukul dan Perjamuan Yesus 2000 tahun lalu.
Kedua, gambar yang mengundang para tokohnya terlibat. Kalau kita memperhatikan adegan tersebut, Wiji Thukul, dkk membelakangi penonton. Jadi, adegan itu seolah-olah mengatakan bahwa Wiji Thukul, dkk “mengambil bagian” dalam perjamuan Yesus atau sebaliknya, Yesus “terlibat” dalam perjamuan Wiji Thukul. Boleh dikatakan ada resiproksitas yang tercipta antara gambar di dinding dan para tokohnya.[7]
Kehadiran gambar perjamuan terakhir yang menonjol pada awal film diteguhkan oleh banyaknya adegan perjamuan makan seperti yang dikemukakan Eric Sasono di atas. Dalam pengamatan saya, adegan makan itu menjadi – meminjam istilah dalam analisis sastra biblis – inclusio yang membuka dan menutup seluruh film. Susunan skematis yang agak kasar bisa menjadi seperti ini:
A: Makan; foto perjamuan terakhir dan acara makan Wiji Thukul
B: Isi cerita: makan 1, makan 2, makan 3, makan 4, dan adegan lain
A’: Makan; adegan makan Wiji dan istrinya, Sipon
Tidak hanya menjadi inclusio, “makan” juga menjadi motif yang terus berulang dalam seluruh film. Klimaks adegan di seputar makan boleh jadi terfiksasi dalam puisi Kemerdekaan yang dideklamasikan Wiji Thukul di warung bersama teman-temannya. “Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tahi”. Bunyi “i” yang dihasilkan pada tiap baris kalimat menimbulkan efek puitik. Dalam budaya yang diterima umum, orang dianggap tidak senonoh bila bicara jorok saat makan. Namun, tahi kalau dijadikan puisi bisa enak juga!
Menurut hemat saya, puisi ini mengandung unsur nihilisme. Ada nada pesimis dalam perjuangan untuk merdeka. Dalam logika baris-baris kalimat itu, sebagai manusia kita tidak pernah benar-benar merdeka. Kemerdekaan itu ibarat sayap elang yang patah. Oleh karena itu, untuk membalikkan yang sia-sia ini menjadi sesuatu yang penuh harapan maka puisi itu sendiri perlu didekonstruksi. Kalau dibaca dalam kacamata “pertumbuhan” yang menjadi tema dari festival ini, maka kata “nasi” dalam puisi itu bisa ditukar dengan kata “benih padi” misalnya atau “benih bunga” seperti lagu dari puisi Wiji Thukul yang dinyanyikan di akhir film.
Dengan begitu, imajinasi tentang “benih” mencegah relasinya yang langsung dengan ciri manusia. Sebaliknya ia membangun harapan tentang sebuah kehidupan baru. “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 12:24). Puisi di atas lantas bisa digubah menjadi: Kemerdekaan itu padi/ ditumbuk jadi nasi. Jadi, “tahi”, meminjam jalan pikiran Derrida, ditunda atau ditaruh di dalam kurung!
3. Identitas Pribadi
Dalam tradisi biblis, terutama Perjanjian Baru, perjamuan atau makan adalah motif yang sering terulang dalam seluruh Injil. Bahkan boleh dikatakan makan bersama adalah cara kelompok Kristen menampilkan identitas mereka. Sunat sebagai ritus yang menjamin identitas Yahudi ditukar dengan permandian dan ekaristi. Bahkan, dalam Injil Markus perjamuan Herodes dikontraskan dengan perjamuan Yesus. Herodes Antipas mengundang para pejabat dan militer, orang-orang penting di Galilea dan memenggal kepala Yohanes Pembaptis, sedangkan Yesus memberi makan lima ribu kepala keluarga. Di sana sebetulnya ada isu soal jumlah followers dan subscribers. Ada momentum di dalam teks biblis di mana isu kuantitas juga menjadi latar sosiologis yang menyokong narasi cerita. Perjamuan menjadi identitas baru, dirayakan dalam ritus yang teratur dan tinggal dalam memori kolektif para penganutnya.
Politik identitas di masa Orde Baru dirumuskan sebagai pro Komunis atau anti Komunis. Nasionalis atau separatis. Negara dalam diri ABRI dan kaki tangannya menjadi pihak yang mengontrol identitas tersebut. Semua harus diseragamkan. Suara-suara kritis dianggap mengganggu stabilitas nasional.
Dalam hubungan dengan itu, identitas pribadi menjadi soal yang cukup rawan dalam iklim politik yang penuh represi pada zaman Orde Baru. Isu tersebut digambarkan dalam adegan di salon saat cukur rambut. Saya melihat ada kontras menarik yang coba ditampilkan dalam film ini. Pada satu sisi, Paul (Wiji) pergi ke salon untuk menyembunyikan identitasnya atau menyamar, sedangkan pada sisi lain, si tentara pergi juga ke tempat yang sama tetapi justru untuk menegaskan identitas plus otoritasnya.
Sebagai tentara di zaman Orba dia bisa serobot antrean dan merayu tukang pangkas untuk bisa mendapat layanan gratis (VIP). Yang menarik, baik rambut Paul maupun si tentara sama-sama digunting pendek. Hanya saja, efek maknanya pada si tentara berbeda dengan efek makna yang timbul pada seorang buronan macam Wiji Thukul. Tambahan pula, om tentara yang datang ke salon itu tak bernama (anonim). Jadi, film ini seolah-olah mau menggambarkan bahwa semua tentara pada masa Orba sama saja.
Penyamaran memang salah satu fenomen yang lazim di zaman Orde Baru. Setiap suara kritis dianggap sebagai upaya makar atau rencana melengserkan rezim Soeharto. Sebagai cara bertahan hidup orang menyembunyikan identitas yang sebenarnya.[8]
Maafkan saya, imajinasi saya kembali kepada kisah-kisah dalam Injil. Kita patut menduga-duga, barangkali situasi represi itulah yang melatarbelakangi munculnya nama samaran beberapa murid terdekat Yesus. Simon yang disebut juga Petrus, duet Yohanes-Yakobus disebut Boanerges, Thomas yang disebut juga Didimus.
Pilihan nama Paul sebagai samaran dari Wiji Thukul, terlepas dari relasinya dengan realitas historis, menurut hemat saya membawa pesan yang bermakna. Ada kesamaan tertentu antara Paul dalam film Istirahatlah Kata-kata dengan Paulus dalam Perjanjian Baru. Paulus yang terakhir ini adalah seorang yang juga dikejar-kejar, pernah dipenjarakan, dikucilkan dari komunitas Yahudi dan juga seorang penulis yang produktif. Rasul bangsa-bangsa itu setidaknya mempunyai tiga nama: Saul (Ibrani), Saulus (Yunani), Paulus (Romawi).[9]
Pilihan sutradara untuk menyorot etape sunyi dari seorang aktivis jalanan dan penyair panggung macam Wiji Thukul menurut hemat saya adalah caranya mengatakan bahwa perlawanan frontal juga kadang-kadang perlu diimbangi dengan menyepi. Judul Istirahatlah Kata-kata sendiri terepresentasi secara simbolis dalam irama film yang lambat. Seolah-olah judul itu sinonim dengan ungkapan “istirahatlah gambar-gambar”. Kita tidak disuguhkan dengan perpindahan cepat kamera dari satu adegan ke adegan lain a la film La casa de Papel (Money Heist).
Wiji Thukul pun seolah-olah puasa bicara, dia bukan singa jalanan yang garang, bukan suara yang berseru-seru di padang gurun. Puncak dari kesunyian itu dalam film tergambar dalam percakapan per telepon antara Paul dan istrinya, Sipon. Di ujung telepon istrinya bersiul mengikuti melodi sebuah lagu. Ibarat semafor yang eksklusif dan hanya dimengerti mereka berdua. Kata-kata rehat, diganti dengan tweet. (Bdk. Film IKK 1:05:46)
4. Pernyataan akhir
Kata, logos (Yunani), dabar (Ibrani), verbum (Latin) atau dalam terminologi yang lebih teologis: Sabda (dengan “S” besar) tidak pernah bisa diistirahatkan. Sabda, kebenaran tidak pernah bisa dibungkam. “Aku berkata kepadamu: jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak.” (Luk 19:40). Kalau manusia kehilangan suara kritis, maka akan ada unsur kosmik yang bangkit dan melawan para penindas. Kata-kata Pemuda Nazaret dalam Luk 19:40 terinspirasi dari Perjanjian Lama; “Bahkan batu-batu di tembok berseru-seru mengutuk engkau, dan tiang-tiang rumah akan menyahut seruan itu” (Hab 2:11).
Dalam film Istirahatlah Kata-kata perlawanan sesungguhnya tidak pernah surut. Tekanan tentara begitu hebat. Kontrol negara merangsek sampai hal-hal yang paling privat sehingga BAB pun orang tertekan. Yang menarik, Wiji Thukul tidak kehabisan akal. Di saat-saat paling kritis, tahi bisa diandalkan sebagai “senjata biologis”. Dalam adegan tersebut peribahasa “nasi sudah menjadi bubur” menemukan pola lain yang sarkastik “nasi sudah menjadi tahi”, dan tahi sudah mengusir dua intel!
Ada ungkapan “kita adalah apa yang kita makan”. Dalam perjamuan malam terakhir, Yesus mengucapkan sebuah kalimat, yang menurut para ahli Kitab Suci, merupakan kata-kata asli yang keluar dari mulut Yesus sendiri, dalam ungkapan Latin ipsissima verba Jesu.
Yesus mengambil roti dan berkata: “terimalah dan makanlah, inilah tubuh-Ku!” Memberikan tubuh sebagai “makanan” adalah tanda altruisme total dan sikap manusia yang tercerahkan. Mistik Kristiani mengatakan bahwa kemerdekaan jiwa yang sejati dicapai ketika orang sampai pada pemberian diri semacam itu. Dalam jalan pikiran demikian, Wiji Thukul adalah seorang penyair, aktivis, dan pada akhirnya seorang pengikut radikal Pemuda Nazaret yang 100% Katolik dan 100% Indonesia.
*) Artikel ini dibawakan sebagai pemantik diskusi film Istirahatlah Kata-kata dalam Festival MAUMERE CINEMA yang diselenggarakan Komunitas KAHE di Maumere pada Sabtu, 12 Maret 2022. ↑
- Eric Sasono, “’Istirahatlah Kata-kata’: Keseharian membosankan Penyair Wiji Tukul” dalam BBC online edisi 9 Desember 2016, diakses Sabtu, 12 Maret 2022. ↑
- Ibid. ↑
- Dea Anugrah, “Istirahatlah Kata-kata: Film penting belum tentu bagus” dalam tirto.id edisi 27 Januari 2017, diakses Sabtu, 12 Maret 2022. ↑
- Ibid. ↑
- Ibid. ↑
- Menurut hemat saya, pemilihan gambar perjamuan malam terakhir agak problematis dari sisi pembaca (penonton) riil di Indonesia. Padahal, target penonton film ini adalah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Gambar perjamuan terakhir berisiko menjadi sekadar “tempelan” kalau audiens tidak mengerti tentang latar belakang historis di balik gambar itu. Ada missing link antara cita-cita penulis dan sutradara dan audiens yang disasar. Mungkin maksudnya untuk memancing pertanyaan penonton, mengapa gambar perjamuan terakhir? Atau barangkali untuk menyentuh juga penonton Eropa? Untuk memahami problem penulis-pembaca ideal dan penulis-pembaca riil dari kaca mata analisis naratif Bdk. Daniel Marguerat-Yvan Bourquin, Cómo Leer Los Relatos Bíblicas Iniciación al Análisis Narrativo (Santander: Sal Terrae, 2000), hlm. 25-31. ↑
- Pengalaman semacam ini saya alami pertama kali pada tahun 2006 ketika diselenggarakan Festival Ledalero. Oscar Motuloh, seorang wartawan foto senior dari Kompas memamerkan fotonya. Salah satu yang menghentak saya ialah gambar Yesus dengan tangan terikat bersandar pada sebuah tiang kayu. Kalau dilihat sambil lalu, foto itu biasa saja seperti kebanyakan foto lain. Namun, yang mengejutkan ialah caption pada foto itu. Pada bagian bawahnya tertulis: “Yesus di hadapan Pilatus”. Efek sebaliknya terdapat dalam sebuah lukisan di altar Kapela Rutan Maumere. Ada perjamuan, tetapi Yesus memunggungi penonton. Jadi, sebagai umat kita seperti undangan pesta yang sedang menunggu giliran makan malam. Kita terlibat tetapi ada jarak tertentu. ↑
- Fenomen akun palsu di media sosial barangkali mesti dilacak dalam kerangka berpikir ini juga ya? Isu tentang kerentanan data pribadi dalam penggunaan internet akhir-akhir ini memunculkan fenomen akun palsu. Di internet tidak ada lagi yang rahasia. Netizen mengalami panopticon effect seperti kata Michel Foucault di mana warga penjara dimata-matai setiap saat. Akibatnya, orang bisa saja menarik diri dan bersembunyi di balik cangkang identitas artifisial. Persoalannya adalah tatapan mata sipir penjara dalam analisis Foucault sekarang justru ada dalam genggaman kita sendiri dalam rupa kamera telepon pintar. Sorot kamera adalah panopticon yang menyeragamkan gestikulasi massa. ↑
- Martin Suhartono, Pengantar Tafsir Surat-surat Paulus [Manuskrip] (Yogyakarta: Sanata Dharma, 1998), hlm. 4. ↑
[…] ini menghadirkan Ve Nahak (Penulis, Dosen di STFK Ledalero) yang berbagi mengenai apresiasinya atas film dalam kaitannya dengan biografi dan ketokohan Wiji Thukul sebagai aktivis dan…, serta Eka Putra Nggalu (Kurator MAUMERE CINEMA, Komunitas KAHE) yang berbagi mengenai […]