MAUMERE CINEMA dan Riak-Riak Pertumbuhan

 

Pada 10-12 Maret 2022 yang lalu, Komunitas KAHE bersama dengan beberapa komunitas film dan platform televisi daring di Maumere, antara lain UGU Film, OMK Pasir Maumere, MBC TV, Maumere TV, Ngakak Sembarang, dan Kapilawit Chanel menggelar mini festival pemutaran dan diskusi film MAUMERE CINEMA. MAUMERE CINEMA menjadi inisiatif yang menarik dan merintis ruang alternatif untuk distribusi dan apresiasi karya sineas lokal dalam bentuk festival.

MAUMERE CINEMA adalah pengembangan dari KAHE Cinema, sebuah bioskop alternatif yang memutar karya-karya film yang mengangkat isu-isu dalam masyarakat maupun yang berkaitan dengan sejarah perkembangan perfilman, serta film-film yang relevan untuk disimak dan dipelajari.

Awalnya, KAHE Cinema berorientasi pada literasi dan pengengembangan penonton dan terbatas pada anggota Komunitas KAHE. Kini, MAUMERE CINEMA juga berorientasi membangun platform apresiasi, kritik, dan distribusi karya-karya film lokal dan global, guna menjadi salah satu dimensi yang merangsang tumbuh kembang ekosistem perfilman di Kota Maumere khususnya dan Flores umumnya. 

Pada perhelatannya yang pertama, MAUMERE CINEMA digelar dalam format mini festival dan mengusung tema “Tumbuh”. MAUMERE CINEMA mengajak para praktisi film di Maumere dari berbagai platform untuk sama-sama memutar karya, saling menonton, serta membangun apresiasi juga kritik untuk satu sama lain. 

Tema “Tumbuh” berangkat dari amatan atas maraknya praktik penciptaan film dengan berbagai pendekatan yang berlangsung di Kota Maumere. Hal ini bisa dibaca sebagai pertumbuhan yang baik dan perlu ditandai dengan pengamatan yang lebih mendalam dan proyeksi yang relevan untuk perkembangan selanjutnya dalam perspektif ekosistem.

Selain itu, “Tumbuh” juga terinspirasi dari hidup dan semangat Gunawan Maryanto, seorang aktor (film dan teater), sutradara teater dan penulis, rekan Komunitas KAHE yang genap 100 hari meninggal pada medio Februari 2022 yang lalu. Hidup dan spiritnya dalam dunia perfilman di Indonesia memantulkan makna “Tumbuh” yang sesungguhnya, yang lahir dari disiplin, kerja bersama, dan tentu komitmen yang tinggi pada kerja-kerja kreatif kesenian.

Ada lima sub tema yang digagas dalam lima sesi MAUMERE CINEMA kali ini. Tema-tema itu adalah Film dan Masyarakat, Membingkai Identitas, Fiksi dan Problem Representasi, Model Produksi Youtube Series di Maumere.

Film dan Masyarakat

Tema ini membahas berkembanganya inisiatif-inisiatif dan praktik penciptaan film di Maumere hari ini. Inisiatif-inisiatif yang lahir dari praktisi maupun kolektif-kolektif film ini juga menimbang faktor-faktor yang kontekstual dengan masyarakatnya seperti isu, skala produksi, distribusi karya, dan pilihan-pilihan artistik dalam film-film yang dihasilkan.

Yang juga dipantik dalam diskusi pada tema ini adalah sejauh mana praktik-praktik yang berkembang bisa saling terhubung dan membentuk satu ekosistem bersama dan saling menopang kerja-kerja penciptaan karya selanjutnya. Kehadiran pemerintah dan sektor yang bisa menunjang desain ekonomi kreatif dari ekosistem perfilman lokal juga turut direfleksikan dan ditegaskan.

Sesi ini memutar karya dokumenter jurnalistik Maumere TV berjudul Vanili: Kami Menanam Vanili dan Memanen Pencuri. Hadir sebagai pembicara, Herman Yoseph Ferdi (Direktur Maumere TV) Are de Peskim (jurnalis), Yohanes F.H.Maget (UGU Film), dan Petrus Poling Wairmahing (Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka).

 

Membingkai Identitas

Sesi ini menghadirkan dua film yang berkisah soal Kampung Wuring, Kabupaten Sikka dan isu-isu identitas di dalamnya.

Film pertama berjudul Ula-ula (Komunitas KAHE, 2021) menceritakan negosiasi masyarakat adat dalam menjaga warisan budayanya, berhadapan dengan modernisme dan intoleransi. Film kedua berjudul Mona, Bergerak dari Pinggir  (Maumere TV, 2021) berkisah tentang kehidupan Haji Mona, seorang waria yang menjadi salah satu penggerak awal Persatuan Waria Kabupaten Sikka dan menjadi aktor utama yang mengusahakan penerimaan terhadap waria di Kampung Wuring dan Maumere umumnya.

Dua film ini membentangkan ragam pertanyaan, beberapa di antaranya adalah 1) bagaimana film berperan sebagai media reproduksi wacana subversi, berhadapan dengan stereotipe-stereotipe yang sudah berlangsung dan mapan di masyarakat? 2) apakah kedua film di atas secara estetis dan politis sudah cukup mampu mengambil peran tersebut?

Hadir dalam diskusi, Mario Nuwa (Komunitas KAHE) yang berkisah mengenai proses kerja bersama warga Kampung Wuring juga signifikansi  film ini bagi isu identitas di kalangan warga, serta Karlin Karmadina yang berbagi kisah soal kehidupan Haji Mona dan proses kreatif yang dilaluinya ketika membuat film ini. RP. Felix Bhagi,SVD dosen filsafat dan estetika STFK Ledalero menanggapi kedua film itu dengan telaah filsafat, sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan diskusi di atas.

Fiksi dan Problem Representasi

Dalam sesi ini diputar film-film fiksi yang diproduksi oleh sineas dan kelompok kreatif di Maumere. Film-film itu antara lain Miu Mai (Viu Shorts,2019), Rima (OMK Pasir, 2021), dan Untuk Mama (UGU Film, 2021). Ketiga film ini mengangkat kisah-kisah dalam kehidupan sehari-hari di kalangan warga Kabupaten Sikka.

Miu Mai mengangkat cerita mengenai tradisi tung piong di kalangan masyarakat suku Krowe. Rima berkisah mengenai dilema keluarga yang mengalami persoalan ekonomi dan kerinduan anak-anak yang merayakan Natal tanpa ayah yang meninggal akibat Covid-19. Sementara, Untuk Mama merekam dilema  masyarakat akan produk-produk modern yang perlahan-lahan merusak apresiasi dan permintaan akan kerajinan tradisional. 

Ada problem yang seringkali tidak dibahas dalam perbincangan mengenai fiksi realis, yaitu bagaimana ia membentuk citra mengenai dunia yang ia rujuk (mimesis akan realitas). Cerita-cerita realisme dalam karya fiksi bisa jadi menghadirkan di kepala penonton imaji-imaji yang dianggapnya benar-benar secara persis dan faktual terjadi di masyarakat. Selanjutnya, citra itu bisa berkembang menjadi stereotipe tentang realitas yang dirujuk. Misalnya,kalau mayoritas film di Maumere mengangkat cerita tentang kemiskinan, bisa jadi citra yang dibangun di kepala penonton adalah ‘Maumere itu miskin’, ‘Maumere itu tertinggal’, ‘Maumere belum beradab’.

Pertanyaan yang timbul adalah 1) bagaimana realitas idealnya ditampilkan dalam karya-karya fiksi? 2) imaji tentang Maumere yang seperti apa, yang ditampilkan dalam ketiga film di atas? 3) bagaimana seniman/sineas mengambil posisi ketika bercerita tentang kenyataan dalam masyarakat?

Sesi ini menghadirkan Tika Solapung aktor Miu Mai, Alfrid Kekang sutradara Rima dan Yohanes F. Maget sutradara Untuk Mama. Para pelaku film ini berkisah mengenai proses penggarapan ide dan pilihan-pilihan artistik yang dipilih untuk menyampaikan ide yang digarap tersebut. Hadir sebagai penanggap Rini Kartini, dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Nipa.

Model Produksi Youtube Series di Maumere

Sesi ini menghadirkan dua konten dari kanal Youtube yang lagi hangat di Maumere yaitu Ngakak Sembarang dan Kapilawit Channel.

Mereka merintis web series yang berkisah tentang kehidupan keluarga muda dan kelompok anak muda di Maumere. Kisah-kisah yang mereka angkat adalah kisah-kisah keseharian yang amat dekat dengan penonton. Kedua kanal ini dengan cepat mendulang viewers dan subscribers dan para inisiatornya mendadak menjadi selebriti di sosial media. Yang menarik, kedua kanal ini diproduksi secara amatir dengan memanfaatkan modal-modal yang tersedia di sekitar mereka.

Pertanyaan-pertanyaan yang memantik diskusi perihal dua kanal Youtube ini adalah 1) bagaimana modus penciptaan dan produksi karya-karya mereka? 2) bagaimana strategi mereka dalam menjaga audiens? 3) bagaimana mereka mengembangkan pasar di sekitar mereka?

Hadir sebagai teman diskusi Lena dan Kobus (Ngakak Sembarang), Tino (Kapilawit Channel) dan Bernard Lazar yang memberikan tanggapan atas karya dan praktik kedua kanal kreatif tersebut.

Merayakan Pertumbuhan

Dalam sesi ini, diputar film Istirahatlah Kata-kata, karya Yosep Anggi Noen. Film ini merekam sebuah masa dari perjalanan hidup Wiji Thukul, seorang sastrawan dan aktivis yang hilang di era Orde Baru.

Sosok Wiji Thukul yang membara seperti api, yang menggerakkan buruh dan melawan kekejaman ABRI dengan puisi digambarkan secara berbeda dalam film ini. Film ini memuat kesunyian yang dialami sang penyair, saat-saat yang jauh dari riuh ramai jalan kala demonstrasi, saat ketika ia menepi, merenungi hidupnya, lari dari kejaran aparat keamanan.

Pada saat yang sama, dikenang hidup dan karya Gunawan Maryanto. Aktor yang berhasil memerankan Wiji Thukul. Yang muncul sekejap di dunia perfilman, meraih penghargaan-penghargaan paling bergengsi bagi seorang aktor di Indonesia, lalu hilang, dipanggil pulang ke hadirat Sang Khalik. Wiji dan Chindil, demikian nama panggilan mereka, adalah dua sosok yang mencerminkan pertumbuhan. Bagaimana kita belajar dari keduanya? Bagaimana kita memaknai pertumbuhan?

Sesi ini menghadirkan Ve Nahak (Penulis, Dosen di STFK Ledalero) yang berbagi mengenai apresiasinya atas film dalam kaitannya dengan biografi dan ketokohan Wiji Thukul sebagai aktivis dan penyair, serta Eka Putra Nggalu (Kurator MAUMERE CINEMA, Komunitas KAHE) yang berbagi mengenai  apresiasinya atas film dalam kaitannya dengan biografi dan ketokohan Gunawan Maryanto.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Dalam sebuah ulasan film, Adegan Makan dan Persoalan Identitas (Membaca permainan semiotik dalam film Istirahatlah Kata-kata), Pater Ve Nahak membahas tentang simbol-simbol perlawanan yang terdapat pada film dari sudut pandang yang amat religius-humanis. Dalam esainya, MAUMERE CINEMA dan Identitas Ipse: Membaca Realitas Film dari Perspektif Filsafat, Pater Felix Baghi membuka jalan menuju pembacaan lebih dalam terhadap film-film dalam MAUMERE CINEMA dengan kacamata “film sebagai filsafat”. Tak boleh dilewatkan pula esai obituari dari Eka Nggalu, Beristirahatlah, Mas Gun, tentang sosok almarhum Gunawan Maryanto yang telah menjadi inspirasi MAUMERE CINEMA—yang serba-serbinya bisa dibaca dalam tajuk MAUMERE CINEMA dan Riak-Riak Pertumbuhan. […]

trackback

[…] Artikel ini dibawakan sebagai pemantik diskusi film Istirahatlah Kata-kata dalam Festival MAUMERE CINEMA yang diselenggarakan Komunitas KAHE di Maumere pada Sabtu, 12 Maret 2022. […]

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 16th