Meretas Cerita Tunggal, Mendengarkan Cerita para Perempuan Pesisir

 

Cerita tunggal adalah penceritaan yang menunjukkan orang-orang sebagai satu macam, hanya satu macam, terus-menerus. Tidak mungkin membicarakan cerita tunggal tanpa membicarakan kekuasaan. Cerita tunggal menciptakan stereotip, dan masalah dengan stereotip adalah bukan berarti hal itu tidak benar, tetapi tidak lengkap. Mereka membuat cerita menjadi satu-satunya cerita. Konsekuensi dari cerita tunggal adalah merampas martabat orang-orang, membuat pengakuan kita atas kesetaraan menjadi sulit. Hal itu menekankan bagaimana kita berbeda, bukan bagaimana kita adalah sama. Cerita-cerita itu penting.

The Danger of A Single Story – Chimamanda Ngozi Adichi

 

Bertemu Kaum Perempuan

Kampung Wuring adalah sebuah kampung nelayan suku Bajo dan Bugis, terletak sekitar 5 km dari Kota Maumere, di pesisir utara Pulau Flores. Dari segi budaya, Kampung Wuring sangat berjarak dengan Kota Maumere, meski jarak ruangnya sangat dekat. Kampung Wuring memiliki modal, potensi, dan berbagai isu budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Meski begitu, akses partisipasi politik masyarakat Kampung Wuring terbatas. Tidak banyak kontak sosial-budaya yang terjadi antara orang Wuring dan orang Maumere.

Biasanya masyarakat Kota Maumere datang ke Kampung Wuring sebatas untuk membeli ikan di pasar Wuring, membeli atau memesan aneka kuliner, atau sekadar jalan-jalan dan berfoto di dermaga tambatan perahu. Orang Wuring pun amat jarang berinteraksi dengan orang-orang di luar kampungnya, kecuali jika ada urusan dagang atau ketika berjualan di pasar.

Pengalaman saya bersama warga Kampung Wuring sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama. Kebersamaan itu mulai intens ketika saya meriset tentang suku Bajo-Bugis di Kampung Wuring, bersama Komunitas KAHE pada awal tahun 2020. Dalam proses riset, kami bertemu perempuan dan transpuan dari berbagai latar belakang. Mereka amat terbuka ketika berbagi cerita seputar kehidupan mereka. Keterbukaan ini menjadi modal yang amat berharga bagi kami untuk saling membangun relasi.

Ketika kembali melaksanakan kegiatan di Kampung Wuring dan secara khusus mengidentifikasi isu perempuan, saya mengingat-ingat pengalaman ketika kami membuka komunikasi dengan warga. Saya mengingat kembali kebersamaan yang terjalin ketika tinggal beberapa hari di rumah warga. Meski cukup dekat dengan dengan para ibu dan pemudi, sesungguhnya  belum banyak isu perempuan yang jadi bahan obrolan kami. Bisa jadi pula, isu perempuan itu amat transparan dan melekat dengan cerita-cerita tentang ekonomi keluarga atau kesulitan sekolah anak-anak dan kisah-kisah lainnya.

Selama kurang lebih enam bulan menyusun agenda pertemuan Susur Selubung Kampung Wuring: Merekam Cerita Perempuan Pesisir, kami mencoba melihat sebanyak mungkin hal mengenai perempuan yang dipelajari. Untuk menemukan hal-hal itu, kami merancang agenda, mengidentifikasi tema-tema, lalu meriset dan menyusun kemungkinan forum-forum yang akan dibuat bersama teman-teman anggota Peretas. Kali ini kami sepakat ingin lebih banyak mendengarkan cerita dan kisah perempuan-perempuan pesisir.

Berdasarkan identifikasi kami selama riset, forum-forum yang akhirnya dirancang untuk Susur Selubung Kampung Wuring banyak melibatkan teman bincang dari kalangan perempuan di Kampung Wuring maupun yang tinggal dan beraktivitas di Kota Maumere. Kisah perempuan di Kampung Wuring pun tidak hanya berkutat pada hal-hal domestik. Kaum perempuan yang menjadi teman bincang ini berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda.

Di Kampung Wuring, kami bertemu dan mendengarkan cerita dari Mbok (nenek) Rapise, seorang sandro, dukun pengobatan tradisional dan persalinan. Kami juga merancang obrolan dengan H. Pode dan Bibi Ase. Keduanya adalah pantoro, tukang masak kampung atau pegiat kuliner. Kami berkesempatan bertemu Bibi Ita dan Tina, dua perempuan nelayan lempara yang menggantungkan hidup mereka pada laut dan pelayaran. Cerita tentang para nelayan ini dilengkapi dengan kisah Kak Intan dan teman-teman yang berprofesi sebagai penjual ikan. Kami juga bertemu Bibi Wati, guru mengaji yang amat peduli dengan pendidikan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.

Tidak hanya dengan kaum perempuan, kami pun bertemu dengan para transpuan (waria). Wahida, seorang transpuan menjadi penggerak Posyandu di Kampung Wuring bersama ibu-ibu kader lainnya. Ia aktif terlibat dalam berbagai upaya sosialisasi kesehatan di kampung tersebut. Selain Wahida, ada juga Haji Mona, seorang transpuan pengusaha bakso ikan. Haji Mona adalah salah seorang eksponen penting Persatuan Waria Kabupaten Sikka yang amat berjasa dalam mengusahakan penerimaan terhadap kaum waria di Kabupaten Sikka sejak dekade 90-an.

Kami juga bertemu perempuan-perempuan di Kota Maumere yang mengabdikan hidupnya di tengah masyarakat yaitu Sr. Eustochia, SSpS sebagai Koordinator Divisi Perempuan TRUK (Tim Relawan untuk Kemanusiaan), Kak Rosvita yang menggerakan perempuan seniman dalam sanggar tenun Watubo, ibu-ibu asuh di panti asuhan SOS Children’s Village,  drg. Nur Kartika yang bergiat sebagai volunter komunitas Shoes for Flores dan Kikan pendamping Komunitas Huruf Kecil.

Forum Susur Selubung Kampung Wuring ini pertama-tama bertujuan mempertemukan teman-teman seniman dan perempuan warga Kampung Wuring dan Maumere. Pertemuan ini diharapkan bisa membangun solidaritas, pertukaran perspektif juga pengetahuan, serta minimal memperkaya pengalaman perempuan dalam melihat ragam konteks hidup yang berbeda-beda.

Mendengarkan sebagai Kata Kunci

Sebagai seorang seniman, penulis, atau peneliti, saya sering dihadapkan pada pertanyaan: apa yang bisa dilakukan dengan ide dan pengetahuan yang saya miliki mengenai suatu persoalan atau isu? Berhadapan dengan pertanyaan tersebut, yang kerap muncul adalah pemikiran atau keinginan untuk membuat sesuatu dengan metode tertentu atau teori yang ada. Pengalaman menjalankan aktivitas dalam forum-forum Susur Selubung membuat saya merefleksikan satu hal yang menjadi kata kunci dalam kegiatan ini yaitu pentingnya “mendengarkan”.

Mendengarkan berbeda dengan mendengar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendengar berarti dapat menangkap suara/bunyi dengan telinga, tidak tuli, mendapat kabar. Sementara itu, mendengarkan berarti mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh, memasang telinga baik-baik untuk mendengar. Ketika mendengarkan, seseorang ditarik untuk keluar dari konstruksi pikirannya sendiri ke gagasan dan emosi yang dibicarakan orang lain. Dengan demikian, mendengarkan menuntut seseorang membuka diri, berempati, membangun solidaritas dan lebih jauh, mencoba memahami orang lain dari sisi dan perspektif orang itu.

Mendengarkan adalah sebuah aktivitas yang bisa dikatakan sulit untuk dilakukan. Mendengarkan cerita-cerita dari orang lain yang kompleks kerap membuat lelah, karena jalinan emosi dan perasaan senasib sepenanggungan yang turut dilibatkan dalam proses tersebut. Apa lagi jika itu berkaitan dengan nilai-nilai esensial dan fundamental mengenai kehidupan.

Hal yang juga kerap terjadi, orang sering mengabaikan cerita atau penjelasan orang lain karena tidak mampu menguasai egonya sendiri untuk menunda memberi justifikasi, penilaian, atau penghakiman. Diam dan memberi perhatian kerap lebih sulit daripada bicara dan memberi nasihat. Dengan demikian, solidaritas, toleransi, keragaman, dan keterbukaan menjadi nilai-nilai dan kualitas yang amat ditekankan untuk diutamakan dalam forum Susur Selubung Kampung Wuring yang coba kami tawarkan.

Sejak awal, Komunitas KAHE menerapkan metode penelitian partisipatif, live in (tinggal dan mengalami kehidupan kampung) dan membuat forum-forum kecil untuk berdiskusi atau mendengarkan cerita-cerita warga Kampung Wuring. Ide tentang mendengarkan cerita perempuan ini berangkat dari pengalaman dan pengamatan kami tentang keterlibatan kaum perempuan dalam forum-forum formal seperti di Ikatan Remaja Masjid, pertemuan Rukun Tetangga (RT), atau aktivitas pendidikan.

Pernah dalam suatu forum pertemuan yang kami laksanakan bersama remaja masjid, tidak ada seorang perempuan pun yang diberikan kesempatan untuk urun pendapat mengenai suatu rencana yang sedang dibicarakan. Dalam forum, perempuan cenderung mengambil tempat paling belakang atau di sudut ruangan. Ketika diberikan kesempatan untuk bicara, pendapat umumnya selalu begini: kami ikut saja, kalau anak laki-laki bilang apa, itu sudah.” Hal yang identik terjadi di kalangan ibu-ibu, ketika ada acara-acara formal lain, misalnya yang berkaitan dengan hajatan pemerintah kelurahan.

Dari pengalaman ini, kami mengubah format forum, dari yang besar dan formal, menjadi forum kecil dan informal yang hanya melibatkan perempuan. Dalam forum informal ini kami lebih leluasa meminta mereka bercerita dan mereka pun bercerita dengan bebas dan terbuka. Forum menjadi sangat cair dan efektif karena mereka tidak ragu berbicara dan bebas dari tekanan ketika berpendapat, termasuk perihal pengalaman mereka yang amat pribadi, atau ingatan-ingatan mereka akan sejarah, pengetahuan tradisional, dan banyak macam hal lainnya.

Mendengarkan Cerita Perempuan Pesisir

Isu-isu mengenai perempuan di Kampung Wuring tidak jauh berbeda dengan isu-isu perempuan yang ada pada umumnya di Maumere, Flores, NTT atau daerah-daerah lain di Indonesia. Kami mendengarkan banyak sekali cerita. Baik cerita tentang sejarah dan kehidupan mereka yang menginspirasi, serta hal-hal sulit dan masalah yang mereka hadapi.

Meski demikian, ada banyak kualitas dan perspektif lain yang dari mereka kami pelajari, yang berangkat dari konteks mereka di Kampung Wuring dan memberi tawaran perspektif bisa jadi berbeda dan memperkaya kajian mengenai ide-ide emansipasi wanita. Satu keyakinan yang kami kembangkan dalam Susur Selubung Kampung Wuring adalah membaca kehidupan perempuan dari konteks lokal. Pengetahuan dan cerita mengenai perempuan Kampung Wuring tidak bisa terlepas dari relasi-relasi sosial, budaya, dan politik yang mengitarinya.

Perempuan di Kampung Wuring sangat berdaya secara ekonomi. Perempuan yang melaut, menjual ikan, menjual aneka kuliner, dapat menghidupi diri dan keluarganya. Bibi Ita dan Tina, misalnya. Mereka memilih hidup dari melaut. Saban sore mereka ikut dalam lempara, menjala ikan hingga subuh.

“Kalau kita ke sekolah, buang-buang uang, tetapi kalau ke laut, kita dapat uang. Di sekolah, tidak banyak uang kita dapat, hanya sepuluh ribu dan bayar uang sekolah. Kalau ikut lempara satu hari kita bisa dapat lima ratus ribu kalau tidak satu juta, pas ikan naik. Kalau ikan tidak naik biasa dua ratus atau seratus ribu,” ungkap Tina. Perihal memilih bekerja daripada sekolah, siapa yang bisa mengatakan mana yang lebih baik? Apa yang sebenarnya dibutuhkan Tina?

Konteks pendidikan di Kampung Wuring yang cenderung rendah tidak otomatis mempersempit ruang lingkup kerja-kerja mereka. Tidak banyak perempuan di Kampung Wuring yang berprofesi sebagai pekerja kantoran, PNS, atau akademisi. Namun, apakah dengan begitu secara serta merta mereka bisa dicap sebagai kaum terbelakang? Kayaknya, justifikasi-justifikasi seperti ini butuh ditunda.

Pilihan pekerjaan di Kampung Wuring pun cukup bebas ditentukan oleh perempuan. Dalam serba keterbatasannya, para perempuan di Kampung Wuring bisa memilih menjadi pedagang di kios dan aneka produk, penjual ikan, tukang masak, penjual kuliner, guru ngaji, dan ragam profesi lainnya. Hampir tidak ada perempuan di Kampung Wuring yang tidak menghasilkan uang. Haji Pode dan Bibi Ase menghidupi keluarganya dengan berjualan aneka makanan khas Bajo di Kampung Wuring seperti buras, gogos, bajabu (abon ikan), tapai ketan, dan lainnya. “Biasa banyak orang pesan buat buras bisa sampe seratus ikat, orang-orang dari Maumere juga,” cerita Bibi Ase.

Perempuan di Kampung Wuring juga menjadi kurator dan konservator ulung. Kuliner, obat tradisional, tenun, dan cerita sejarah adalah warisan pengetahuan yang dijaga dan dilestarikan oleh kaum perempuan di Kampung Wuring. Pengetahuan itu menubuh dalam praktik, cara pandang, dan cara berperilaku. Dengan hidup dan karya mereka, mereka merawat peradaban kampungnya.

Hal yang juga menarik di Kampung Wuring adalah pembagian peran dalam rumah tangga dapat terdistribusi dengan baik. Ketika bapak pergi melaut, ibu menjaga anak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika bapak pulang membawa hasil melaut, ibu yang akan menjualnya di pasar. Ketika ibu menjual, bapak yang menjaga anak dan mengurus rumah. Menjaga anak bahkan menjadi tanggung jawab tetangga atau keluarga yang lainnya ketika ibunya pergi berjualan atau sedang memasak.

Pembagian peran yang seimbang ini terlihat dengan jelas dalam keluarga-keluarga kecil sederhana yang tidak terlalu sibuk dengan strata sosial, bahkan mitos-mitos yang dibangun atas dasar nilai keagamaan. Suami dan istri saling menghormati dan menghargai. Mereka masing-masing menghargai peran bahkan kepemilikan satu sama lain.

Secara formal, terkesan perempuan di Kampung Wuring tidak bisa terlalu banyak berpartisipasi di ranah publik. Namun, sejatinya para perempuan di Kampung Wuring selalu berada di barisan paling depan untuk bertemu orang-orang yang datang, membuka komunikasi, dan menjalin negosiasi. Jika pasar yang terletak di Wuring Atas menjadi sentral pertemuan antara orang-orang di Kampung Wuring dengan orang-orang dari luar kampung, maka di situlah perempuan memainkan peran yang vital dan signifikan. Mereka menjadi gerbang bagi masuk keluarnya perspektif, cara pandang, relasi antara Wuring sebagai suatu entitas, dan lingkungan luar Wuring sebagai entitas yang lain.

Dalam berbagai forum pertemuan resmi, perempuan jarang mendapat tempat. Namun, ibu-ibu yang mampu berbicara memanfaatkan keleluasaan dan privilese dalam kegiatan di Posyandu. Hal yang sama juga dilakoni oleh kaum waria. Wahida yang adalah seorang transpuan dan beberapa ibu lain menjadi aktor penggerak dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. Mereka punya cara tersendiri untuk memberdayakan perempuan lainnya.

Mereka menjadi pintu masuk bagi program pemerintah yang kerap disepelekan warga karena proses sosialisasi yang tidak tepat sasaran. Mereka membimbing ibu hamil untuk merawat kandungan, mendampingi para pekerja seksual untuk tetap menjaga dan memperhatikan kesehatan, menggerakkan masyarakat untuk menjaga membersihkan tiap minggu, bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk menyediakan kantin sehat, membersihkan taman pemakaman umum (TPU) dan berbagai aktivitas sosial lainnya. Di era 90-an, Wahida dan timnya berhasil mengendalikan wabah campak yang menyerang Kampung Wuring, termasuk menyadarkan masyarakat untuk melakukan vaksinasi serta tertib Posyandu bagi ibu-ibu hamil dan menyusui.

Status sebagai kader sama artinya dengan volunter. Mereka tidak mendapat gaji profesional dari aktivitas-aktivitas itu. Namun, kaum perempuan dan waria di Kampung Wuring saling mendukung dan terus bekerja sama dengan sangat baik, demi kesejahteraan kampung mereka. Para kader ini juga bisa berasal dari beragam profesi, mulai dari ketua RT, pedagang, guru, atau ibu rumah tangga. Status sebagai kader Posyandu bagi beberapa orang adalah privilese tersendiri.

“Kalau kita hanya ibu rumah tangga biasa tidak mungkin kita bisa berdiri dan menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Kau siapa? Kalau kita sudah bergabung menjadi kader, kita bisa menyampaikan, tidak harus semua orang mendengar kita, tapi ibu-ibu akan pulang ke rumah dan menyampaikan kepada anak-anaknya dan anak-anak akan sampaikan ke teman-teman di sekolah. Begitulah informasi yang sangat baik beredar di masyarakat,” ungkap Ibu Sadia, seorang kader Posyandu di Kampung Wuring.

Kerja-kerja serupa kader Posyandu yang umumnya berstatus volunter ini juga dilakoni oleh Bibi Wati. Sejak awal datang ke Kampung Wuring, ia memantapkan niat untuk mengajarkan agama kepada anak-anak di lingkungan tempat ia tinggal. Hingga saat ini, ia setia mengajar mengaji meski tidak digaji. Pelan tapi pasti, ia membangun Taman Pendidikan Quran di Kampung Wuring Ujung.

Berbekal pengetahuan yang ia dapat di bangku SMA, ia berusaha mengajarkan agama kepada anak-anak dan juga orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tidak hanya agama, ia juga mengajarkan orang-orang di sekitarnya membaca, menulis, berhitung, sampai cara membuang sampah yang benar. Baginya, hal terakhir adalah yang paling sulit yang bisa ia lakukan.

Bergerak dari Kampung Wuring, kami juga merancang pertemuan dengan para perempuan di Maumere yang bekerja dalam berbagai sektor, mulai dari aktivis kemanusiaan, pelestari tenun ikat, pengasuh anak-anak, hingga para pekerja kreatif.

Perempuan pejuang seperti Sr. Eustochia selama puluhan tahun mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan khususnya mendampingi perempuan dan anak-anak korban kekerasan human trafficking, dan berbagai diskriminasi terhadap perempuan. “Kami TRUK-F divisi perempuan khusus untuk perempuan dan orang miskin. Perempuan, anak, dan orang miskin itu menjadi satu prioritas yang tidak bisa diabaikan, tidak bisa diganggu gugat. Apapun situasinya, perempuan dan anak itu menjadi keberpihakan kami, juga orang miskin,” ungkapnya.

Menarik pula kisah ibu-ibu asuh yang kami temui di SOS Children’s Village yang mengabdikan hidup mereka untuk menjadi ibu bagi anak-anak yatim piatu dan telantar. Mereka bersedia tidak menikah agar dapat memberi seluruh diri mereka demi anak-anak yang mereka asuh. Niat awal mereka bergabung dengan SOS Children’s Village adalah mencari uang. Namun, dalam perjalanan waktu, cinta, dan nilai-nilai profesional tumbuh dalam relasi antara mereka dan anak-anak. Motivasi mereka tidak sebatas uang. Gaji dan jaminan hidup bukanlah yang utama. Kasih mereka kepada anak-anak dan kemanusiaan menjadi dasar yang menguatkan mereka pada panggilan yang mereka pilih ini.

Di lain tempat, di Watublapi, ada Kak Rosvita yang menjadi ketua sanggar tenun Watubo. “Kita memilih untuk membangun kelompok Watubo, karena kita ingin tetap melestarikan budaya dan lingkungan. Yang juga menjadi hal utama adalah bagaimana kreativitas dan inovasi anak muda kita gunakan untuk tetap mengambil bagian dalam pelestarian tradisi dan budaya,” ucapnya.

Kak Ros adalah anak muda yang bersemangat untuk melestarikan tradisi tekstil dan tenun ikat. Ia mengajak para perempuan, mama-mama pencipta tenun tradisional untuk menciptakan ragam kreativitas bagi pelestarian budaya. Ia juga memperjuangkan produk tenun ikat sebagai komoditas ekonomi kreatif. Ia ingin para pegiat tenun tidak hanya dihargai sebagai pengrajin, tetapi juga pencipta dan pelestari.

Jika Kak Rosvita menggiatkan pelestarian seni tradisi, drg. Nur dan Kikan menjadi representasi perempuan yang bergiat dan mengupayakan kerja-kerja kreatif di Kota Maumere dengan segala konteks urban dan modern yang mengitarinya. drg. Nur giat menjadi volunter komunitas Shoes for Flores yang aktif dalam kegiatan sosial terkait pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak di desa-desa yang kesulitan akses dan terhadap dua jenis kebutuhan dasar ini. Sementara itu, Kikan menjadi inisiator berdirinya Komunitas Huruf Kecil.

Di komunitas tersebut, bersama para volunter lainnya, ia aktif mendampingi anak-anak di sekitar Kota Maumere untuk mengembangkan minat dan bakat mereka melalui kesenian. Baginya, seni adalah salah satu pintu masuk yang cukup efektif untuk membangun karakter anak-anak, terutama kecerdasan sosial mereka, kemampuan bersolider dan berbagi, kerja dalam kelompok, dan menghargai keragaman.

drg. Nur dan Kikan adalah aparatur sipil negara (ASN) dalam lingkup pemda Sikka. Keduanya punya keyakinan bahwa pemerintah tidak pernah punya cukup waktu dan tenaga untuk melakukan pembangunan karakter manusia. Karena itu, gerakan untuk membangun masyarakat sudah selayaknya berakar pada komunitas masyarakat itu sendiri.

Harapan Pascapertemuan, Kembali pada Pertanyaan

Bekerja dengan isu perempuan di Kampung Wuring menghadapkan kami pada dua lapisan perspektif mengenai kaum marjinal. Pertama, tentang Kampung Wuring sebagai kampung yang dihuni oleh kaum minoritas dalam konteks geopolitik dan geokultural Kabupaten Sikka. Kedua, perihal perempuan.

Dalam banyak sekali forum dengan perspektif aktivisme di Indonesia, lazim terdengar anggapan yang menyatakan bahwa masyarakat tradisional terlebih kaum perempuan di daerah-daerah adalah kaum marginal. Beberapa pandangan mengungkapkan bahwa perempuan sulit berbicara di depan umum dan berada atau bekerja di ranah publik.

Mereka terbelenggu oleh konteks sosial budaya atau adat tertentu yang didominasi oleh nilai-nilai patriarki. Masyarakat adat pun kerap dijejalkan dengan term-term dekolonisasi, sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme jenis baru yang dimainkan oleh negara yang korup atau oligarki-oligarki yang hanya mau mengeruk keuntungan dari sumber daya alam yang tersedia di suatu daerah.

Hal ini bisa jadi benar. Namun, agak tidak adil jika secara serta merta, kelompok masyarakat adat dan perempuan dilabeli status “kaum marginal” tanpa terlebih dahulu diidentifikasi konteks yang mengitari kehidupan dan aktivitas mereka. Kesalahan terbesar yang kerap dilakukan oleh para aktivis lewat kampanye-kampanye di sosial media adalah melakukan simplifikasi sekaligus generalisasi terhadap satu kasus atau isu tanpa menimbang keanekaragaman konteks sejarah dan budaya di tiap-tiap daerah. Ketika suatu tatapan menatap yang lain sebagai marjinal, tatapan tersebut haruslah berdasar pada satu standar tertentu, atau mengidentifikasi dirinya sebagai pusat dalam relasi oposisi biner tertentu terhadap yang ditatap.

Mendengarkan cerita perempuan di suatu konteks tertentu amat signifikan, sebelum menempatkan perempuan pada situasi atau posisi tertentu. Ada banyak cerita atau konteks yang berbeda dalam setiap komunitas masyarakat. Kerelaan untuk mendengarkan menegosiasi potensi untuk terjebak pada satu macam cerita tunggal, membaca kisah hidup perempuan dengan satu teori tunggal, yang sudah pasti berangkat dari konteks sosial masyarakat tempat ia dicetuskan. Dengan mendengarkan, konteks berusaha dijajarkan, jalinan relasi dan kemungkinan-kemungkinan hubungan kekuasaan dijabarkan untuk selanjutnya coba dipelajari dan dipahami lebih jauh.

Dalam konteks feminisme, perjuangan kaum perempuan mesti dilihat juga dari latar belakang masyarakat tempat ia hidup. Konsep-konsep feminisme barat yang marak berkembang dan menjadi kiblat harus terus menerus dicurigai, dikritisi, dan dievaluasi. Setiap masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan cara pandang akan hidup. Pengetahuan dan nilai-nilai tradisional bahkan konvensional itu, termasuk di dalamnya nilai-nilai tentang keluarga, perkawinan, tradisi, mitologi, teknologi tidak bisa serta-merta dianggap sebagai belenggu bagi perempuan atas nama kemajuan dan emansipasi.

Kampung Wuring dengan bentangan konteksnya, bisa menjadi bahan pertimbangan. Di Kampung ini, misalnya, para perempuan punya pembagian peran yang disepakati dengan kaum laki-laki, perempuan berdaya dari segi ekonomi, cukup bebas menentukan pilihan hidupnya, dan bisa mengusahakan pekerjaan tanpa perlu bergantung pada lowongan kerja. Mungkin mereka tidak membutuhkan kegiatan selain mencari atau menjual ikan. Perempuan di Kampung Wuring tidak perlu podium di forum resmi untuk bicara tetapi mereka akan berbicara di lapak-lapak pasar atau di sepanjang jalan kampung mereka.

Cara mereka membagi pengetahuan pun tampaknya sederhana, lewat praktik memasak, mengobati pasien, atau menenun. Mereka menghidupkan teknologi tradisional untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari: membuat aneka pengawetan makanan, menciptakan macam-macam perangkap ikan, meramu dedaunan dan ragam biota laut sebagai ramuan, membuat klasifikasi makanan untuk mengendalikan penangkapan yang berlebihan terhadap biota laut yang langka seperti kima, siput, dan kerang. Apakah teknologi ini kalah dengan teknologi informasi yang berkembang masif di konteks global? Tidak juga. Mama-mama di Kampung Wuring tidak butuh grup Whatsapp untuk update informasi atau LinkedIn untuk mempromosikan profesi mereka.

Terlepas dari masalah sampah, kebersihan lingkungan, dan hal lain yang menjadi problem kampung pada umumnya, perempuan di Kampung Wuring dalam sisi tertentu memperlihatkan kedaulatan yang sesungguhnya. Mereka menjadi cerminan karakter yang bisa hidup, mengolah, dan mengelola ragam isu, potensi, dan modal yang mereka punya tanpa perlu terjebak dalam mekanisme pasar global yang menuntut setiap orang untuk bisa mengkonsumsi kemajuan (teknologi informasi, hiburan, gaya hidup, dll.), formalitas pendidikan, standar-standar kesejahteraan yang ditentukan oleh konteks di luar mereka. Mereka jeli mengidentifikasi hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk kebahagiaan mereka sendiri.

Asumsi lain yang mungkin kerap mengkritik refleksi bernada membenarkan situasi di atas adalah bisa jadi semua yang dialami perempuan dan warga Kampung Wuring semata-mata terjadi karena mereka telanjur termarjinalisasi oleh sistem politik dan ekonomi yang beroperasi di sekitar mereka sehingga mereka tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pemukiman yang layak.

Jika demikian, persoalannya amat kompleks, dan mau tidak mau, yang harus dirombak adalah sebuah sistem yang sudah mengakar dalam dan kuat. Berhadapan dengan itu, yang relevan saat ini adalah mungkin pertanyaan berikut: apakah yang benar-benar diinginkan perempuan Kampung Wuring saat ini? Apakah yang benar-benar mereka butuhkan saat ini? (Sambil mengulang pertanyaan ini) Apakah (yang kerap dipandang sebagai) subaltern dapat (benar-benar) berbicara (dan kita mendengarkan)?

 


 

*) Tulisan ini juga terdapat dalam buku Perempuan yang Menambatkan Hatinya di Laut (Antologi Tulisan Forum Susur Selubung Kampung Wuring: Mendengarkan Cerita Perempuan Pesisir), diterbitkan oleh Penerbit Komunitas KAHE tahun 2022.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] program SSKW sembari mengkaji ulang tentang ideal “mendengarkan” dalam laku aktivisme pada esai Meretas Cerita Tunggal, Merekam Cerita Para Perempuan Pesisir. Pada haluan yang sama, Mario Nuwa dalam esai Susur Selubung Kampung Wuring dan Ruang Berbagi […]

trackback

[…] Tulisan-tulisan dalam antologi ini merupakan upaya mendengarkan “suara-suara kecil” tentang perempuan di Wuring dan daerah lainnya di Maumere sebagaimana yang ditulis Kartika Solapung, “ketika mendengarkan, seseorang ditarik untuk keluar dari konstruksi pikirannya sendiri ke gagasan dan emosi yang dibicarakan orang lain.” (hlm. 51). Sejak riset praresidensi, para peserta forum SSKW telah sadar akan betapa minimnya kesempatan yang bisa diakses oleh perempuan di Wuring untuk membuat suara mereka terdengar dengan jelas. Bahkan, dalam sebuah forum yang diikuti komunitas KAHE dengan beberapa warga Wuring, tidak ada seorang perempuan yang mengutarakan pendapat. Peristiwa ini memberikan kesan bahwa suara perempuan di Wuring sama sekali tidak penting. Meskipun d…  […]

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th