Indah Darmastuti, Berkarya bersama Difalitera

Edisi I Nahkoda menghadirkan Indah Darmastuti, seorang perempuan, sastrawan yang giat menulis prosa, puisi, cerita anak, dan ulasan pertunjukan. Yang menarik dari kerja kesenian Indah Darmastuti adalah inisiatif dan dedikasinya untuk memperkenalkan sastra pada teman-teman difabel netra.
Tahun 2018, ia mendirikan Komunitas Difalitera (Sastra Suara Indonesia) dalam rangka mengupayakan inklusivitas literasi khususnya bagi difabel netra. Ia dan tim juga merintis Teras Baca, yaitu pembacaan karya sastra (khususnya novel) agenda rutin satu minggu sekali bersama teman-teman difabel netra.
Indah yang juga adalah seorang anggota Peretas juga terlibat dalam aktivitas Susur Selubung Kampung Wuring, Merekam Cerita Perempuan Pesisir di Kampung Wuring, Kab Sikka. Berikut obrolannya bersama Eka Putra Nggalu dan Kartika Solapung.

Tika: Mbak Indah, senang sekali hari ini bisa ketemu lagi, dengar cerita dari Mbak Indah. Mbak Indah lagi sibuk apa sekarang?
Indah: Sekarang ini saya masih menulis, bikin cerita. Untuk difalitera, seperti biasa setiap minggu saya membacakan mereka novel. Tapi, beberapa minggu terakhir saya bacakan bukunya Hellen Keller. Hellen Keller itu kan seorang difabel netra, tuli, dan wicara. Saya bacakan dua bukunya, Story of My Life dan Inilah Duniaku. Dua buku itu sudah selesai dibacakan. Minggu ini saya akan membacakan Jalan Raya Daendels punya Pram.
Tika: Dari postingan Mbak Indah atau Difalitera, saya lihat itu seru sekali kegiatan sama teman-teman difabel. Saya penasaran juga Mbak Indah gimana awalnya sampai punya perhatian sama teman-teman difabel?
Indah: Awalnya tahun 2015.  Kalau tidak salah ingat itu 2015 atau 2016. Pawon Sastra, tempat aku berkomunitas itu kerja sama dengan Radio Solo Pos di Solo. Di situ kami membuat acara, nama mata acara itu Bincang Sastra. Diadakan tiap minggu dari jam 4 sampai jam 5, hanya satu jam saja. Nah, itu berbagai tema sudah kami angkat. Kemudian kami cari-cari tema apa lagi yang perlu diangkat. Ketangkaplah itu sastra dan difabilitas.
Pada bincang sastra saat itu ada dua narasumber, yang satu difabel netra, yang satu difabel tuli wicara. Nah, yang tuli wicara ini dia sudah membawa teman juru bahasa isyaratnya. Lalu ditambah satu lagi, seorang wartawan situs online yang berkonsentrasi pada isu-isu difabel.
Narasumber kami yang namanya Agatha mengungkapkan bahwa meskipun teknologi sudah menjawab banyak kebutuhan dari difabel netra, tetapi buku sastra, terutama yang mutakhir masih sulit dicari. Artinya, mereka sulit mengikuti perkembangan dunia fiksi Indonesia yang sangat pesat. Dalam beberapa bulan sudah banyak sekali terbit novel, kemudian antologi cerpen, dan lain-lain. Mereka itu sebenarnya ingin juga mengetahui perkembangan sastra Indonesia.
Nah, bagaimana mereka akan tahu? Kalau misalnya mereka punya channel-channel yang asyik, yang oke, punya teman yang oke, bisa saja, tetapi kemudian bagaimana kalau tidak pernah kuliah, tidak pernah punya komunikasi yang mendukung, maka mereka tidak akan tahu. Itu yang pertama.
Yang kedua, seandainya mereka itu tahu, artinya dia bisa mengakses puisi secara online, mengakses cerita pendek atau novel, yang membacakan mereka itu mesin. Namanya screen reader. Enggak ada emosi-emosinya, kemudian lempeng aja. Jadi, membaca puisi, membaca cerpen itu kayak Google Maps. Ini yang diungkapkan Agatha. Waktu itu, aku cuek-cuek aja, “cuma oh gitu ya”.
Aku punya video yang aku pakai untuk mendokumentasikan sendiri (obrolan di atas). Baru sampai di rumah aku puter-puter lagi, aku terkejut. Loh, narasumberku ini mengungkapkan kesulitannya tapi kami cuek-cuek aja, gimana gitu kan? Dari situlah, aku berpikir setidaknya kami harus mencari cara agar membantu, menjawab sedikit apa yang mereka butuhkan.
Jadi, awalnya seperti itu. Tidak kemudian aku langsung menemukan sastra suara. Itu ada satu tahunlah.
Eka: Ini konfirmasi, Mbak Indah. Yang tergabung dalam difalitera netra itu cuma difabel netra atau yang lain?
Indah: Mulanya aku itu kepingin melibatkan juga teman-teman difabel yang lain. Waktu itu ada yang bipolar, kemudian daksa. Dua daksa, satu bipolar. Nah, tetapi kemudian seleksi alam.
Dari lima orang yang aku libatkan itu, sekarang tinggal satu difabel daksa, yang lainnya udah enggak tahan mungkin dengan cara kerjaku. Mereka udah nyerah. Ada satu lagi. Tapi karena ada pandemi,  tidak boleh kumpul dan dia harus ke Bali. Lalu tertahan di sana  dan belum kembali lagi di Solo.
Jadi, sebenarnya ada dua. Cuma yang aktif sampai hari ini hanya satu difabel daksa.
Eka: Total anggotanya sekarang berapa, yang sering kumpul?
Indah: Kalau difabel netra sekarang ini persisnya yang aku data itu ada 22 dari berbagai kota, bukan hanya di Solo. Mereka tinggal di asrama. Ada yang dari Semarang, Jepara, Jawa Timur, Ngawi, Malang.
Sorry, mereka kan kebanyakan muslim, tetapi volunter-volunter kebanyakan ngangkut dari kawan-kawanku di gereja. Teman-temanku yang dari gereja itu sudah mulai mencoba untuk, misalnya mengingatkan kalau sudah pukul 12, saatnya salat. Bahkan, pas kita kegiatan keluar, mereka bawakan sajadah untuk anak-anak. Nah, kemudian teman-teman netra yang kebanyakan muslim lama-lama bisa ngobrol, bisa bergaul. Ya jadi enaklah gitu.
Minggu kemarin aku kasih tawaran ke mereka, “Mbak Indah ada acara ke gua Maria. Itu tempat teman-teman katolik menjelang Paskah gitu, bagaimana mereka menghayati tentang penyaliban Kristus melalui  Via Dolorosa atau Jalan Salib. Kalian mau ikut enggak?” “Itu kayak apa Mbak?”
Dikiranya gua Maria benar-benar seperti gua. Waduh, ini kita lupa beritahu ke mereka. Mereka kan enggak bisa lihat.  Jadi, kemudian kita menjelaskan dulu maksud gua Maria itu begini. Lalu mereka mau, ternyata senang mereka.
Cara mereka membaca itu dengan meraba. Mereka aku ajak ke candi, meraba candi, meraba relief-relief. Waktu ke candi itu kan memang sudah diberitahu kalau di candi itu banyak sekali arca-arca manusia, monyet, binatang. Namun rupanya, ketika diajak ke sana mereka baru paham kalau itu nempel di dinding bukan berdiri sendiri-sendiri.
“Oh ini patung-patungnya nempel toh?” “Ya namanya juga relief, ya seperti itu.”
Seru dan asyik pokoknya sama mereka.
Eka: Saya penasaran metode apa saja yang Mbak Indah pakai ketika berusaha memperkenalkan sastra ke teman-teman?
Indah: Aku baru membacakan saja ya. Awalnya Difalitera: Sastra Suara Indonesia aku niatkan untuk keberpihakan pada difabel netra. Kemudian, untuk mengetahui seberapa yang kami lakukan itu bermanfaat kepada mereka, aku harus berbincang-bincang langsung dengan kawan-kawan netra. Lalu, aku minta salah satu kawan untuk mengenalkan ke mana aku harus mencari tahu bagaimana Difalitera itu bisa diserap.
Dibawalah aku ke asrama (tempat teman-teman difabel netra). Aku datang ke sana bukannya langsung mengenalkan Difalitera, aku malah terpesona. Jadinya aku bilang “mari aku bacakan saja.” Nanti Difalitera mah gampang, itu urusan belakangan. Aku tidak katakan aku misionaris sastra, bukan loh ya.
Eka: Wah, termnya itu bagus Mbak. Misionaris sastra, haha.
Indah: Ya, tapi aku aku hanya ingin berbagi kesenangan saja. Kalau aku berbagi kesenangannya lewat sastra ya aku ajak mereka bersenang-senang dengan sastra. Lalu aku tanyakan, “mau enggak kalau misalnya aku bacakan buku cerita, novel, lalu kalian menyimak?” Mereka bilang, “kalau hanya menyimak aja mau Mbak, tetapi apakah sebenarnya kedatangan Mbak Indah hanya untuk itu?”
Awalnya memang saya ditanyai gitu. Jadi, tidak langsung mereka welcome, tetapi dicurigai dulu. Ini orang maunya apa? Siang-siang datang. Rumahnya jauh, tetap datang hanya untuk membaca buku. Nah, karena sudah berjalan dua tahun, hampir tiga tahun, mereka paham. Awalnya dikira nanti aku mau mroyek atau gimana gitu, haha.
Eka: Haha… Biasanya karya-karyanya dikurasi Mbak Indah sendiri atau ada kadang-kadang mereka minta ingin dibacain apa?
Indah: Iya, gitu. “Ini dong Mbak”. “Kalau novel ini selesai, aku minta dibacakan novel horor”. Lalu di situ kami ngobrol-ngobrol horor.
Aku tanya bagaimana kalian membayangkan hantu? Kalau misalnya lihat film, kita bisa tahu kalau vampir itu seperti ini, kalau kuntilanak seperti ini. Lah kalau mereka tidak. Karena kalau mereka sudah pernah melihat artinya tidak blind sejak bayi, mereka masih bisa punya bayangan. Tetapi kalau misalnya tidak, susah. Jadi, konsep ruang dan waktu, jarak, dan lain-lainnya berbeda bagi orang yang blind sejak kecil dengan yang pernah melihat.
Soal pengenalan sastra, aku tanya ke mereka,

“kalau ada karya sastra misalnya puisi atau cerpen atau novel, atau apa pun mengatakan bahwa di langit itu bintang-bintang bertaburan, berkelap-kelip dengan sangat indah, kemudian senja itu berwarna jingga, lalu laut itu berwarna biru, cakrawala itu sangat mengesankan dan menakjubkan, kira-kira kalian tersinggung atau tidak? Ini satrawan-sastrawan ini sinting kali ya? Kok diminta membayangkan langit yang tinggi, bintang yang bertaburan, ini bagaimana? Kira-kira kalian bagaimana menanggapi karya sastra seperti itu?”

Satu orang mengatakan “kenapa kami harus tersinggung? Kan justru kami menjadi tahu, seharusnya kami berterima kasih, kami diberi informasi seperti itu.” Aku tuh sampai terharu, sampai terbengong-bengong. Mereka itu tahap penerimaan diri itu sudah benar-benar tahap makrifat.
Ada lagi, misalnya ketika aku membacakan novel karyanya Arswendo judulnya Canting. Di situ dikatakan bahwa Kartini berjalan dengan laku jongkok. Mereka itu bingung. Kalau yang sudah pernah melihat, tidak terlalu masalah. Bagaimana dengan yang blind total sejak kecil?
Kalau aku memberi contoh, mereka enggak melihat. Jadi, laku jongkok itu begini loh. Aku menarik seseorang untuk (memeragakan) “begini, begini, lalu tanganmu begini”. Lalu, yang satunya bilang, “ngapain sih itu?”
Annisa yang blind itu mengatakan pada kawannya, “gini loh, kakimu itu ditekuk lalu agak jongkok dikit, lalu tangannya itu untuk menahan tubuh.” Nah, dia bisa menceritakan kepada kawan-kawannya dengan bahasa netra. Aku kesulitan pada waktu itu, tetapi teman-teman itu sudah bisa membahasakan ke sesama teman netra.
Lalu satu orang berkata, ngomongnya bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia artinya “gimana sih itu orang, diberi kaki sehat, bisa berdiri, bisa berlari, bisa berjalan dengan baik, jalan kok jongkok?”
Nah, aku jelaskan bahwa itu salah satu bentuk feodal. Mereka tanya lagi, “feodal itu apa Mbak?” Rumit sekali pertanyaannya, panjang.
“Jadi, feodalisme itu kayak gini,” lalu aku mengatakan sampai mereka benar-benar paham apa yang dimaksudkan dengan feodal. Aku tes pemahaaman mereka dengan minta mereka buat satu kalimat tentang feodalisme. Aku coba terus sampai benar-benar bisa membuat kalimat yang mengatakan tentang feodal, kayak gitu.
Belajar sastranya kayak gitu. Tidak membaca lempeng, tapi bisa satu halaman lalu berhenti dan diskusinya lebih panjang. Menurutku itu penting. Itulah yang membuat mereka jadi kangen setiap minggu pingin dibacakan.
Tika: Jadi Mbak Indah menanyakan kepada mereka ya, apa yang mereka butuhkan, metode apa yang cocok buat mereka?
Indah: Iya, awalnya begitu. Jadi, aku tidak langsung datang ke sana, kemudian mengenalkan Difalitera. Aku datang ke sana sebagai teman. Aku melamar mereka menjadi teman. Aku jadi teman kalian, terimalah aku menjadi kawanmu. Nanti kita lihat akan seperti apa perkawanan kita. Lama-lama aku kenal.
Memang ada satu anak yang mengatakan bahwa dulu awalnya tidak suka kepadaku. Mengakunya bukan  sama aku tapi pada mahasiswa-mahasiswa yang datang.
Lah, kenapa enggak suka sama Mbak Indah?”
“Karena kupikir Mbak Indah itu seperti mahasiswa-mahasiswa yang pernah datang ke sini, kemayu, terus sok pintar, sok ngajarin ini itu, tetapi setelah dapat apa yang dia butuhkan, melupakan kita.” Dia katakan begitu.
Nah, urusanku itu berbeda lagi kan? Aku bertanya ke mereka, kalau kita mau belajar, metode apa yang kalian inginkan? Misalnya kayak gitu. Nah, tidak serta merta aku menemukan (metode).
Kemudian pandemi menghentikan aktivitas membaca novel setiap minggu. Kami harus diam di rumah hampir satu tahun. Tahun berikutnya, aku sudah mulai jengah, aku sering main ke asrama mereka tapi hanya sebentar. Kita kadang-kadang Zoom, Google Meet. Seru juga. Mereka seru-seru. Kadang selfie-selfie juga, agak meleset tapi baguslah.
Aku tawarkan ke mereka, ini kan sudah satu tahun kita berdiri. Kalian harus menajamkan dan melatih terus orientasi dan mobilitas mengenal lingkungan. Pada masa pandemi, Solo itu sedang dibangun. Banyak sekali tempat-tempat yang berubah, sehingga aku ingin mengenalkan pada mereka.
Aku bertanya pada mereka, “metode apa yang harus Mbak Indah gunakan untuk kalian supaya bisa belajar tentang lingkungan, tentang sekitar, tentang alam, tentang apapun?”
“Ya udah, Mbak, kita diajak jalan aja terus diceritakan di kanan-kiri ada apa.”
Kalau misalnya kita ingin mengatakan jalan ini lebarnya 5 meter,  pakai langkah. Kira-kira 50 langkah, misalnya.
Eka: Oke, Mbak Indah. Kembali ke sastra, sebenarnya apa harapan Mbak Indah ketika memilih untuk mendekatkan sastra ke teman-teman difalitera?
Indah: Sebenarnya mereka itu seperti kita, seperti warga-warga biasa. Ada yang menyukai sastra, ada yang enggak. Tetapi, setiap mereka pasti mengenal dongeng. Pasti pernah dongeng, didongengi. Rupanya mereka itu merindukan dongeng, merindukan ada orang yang menceritakan seperti itu.
Ini aku ketahui setelah sekian waktu ngobrol dengan mereka, tetapi  pada mulanya memang tujuan utamaku adalah menghadirkan sastra inklusi, sastra yang bisa dinikmati dengan lebih baik untuk teman-teman netra. Kalau cerpen ya dibacakan dengan emosi, dengan latar musik yang menarik gitu, sehingga bisa membawa mereka ke sastra yang ingin kita kenalkan.
Lalu tujuan yang berikutnya adalah aku ingin memberikan hak baca bagi mereka. Jadi, mereka mempunyai hak mendapatkan pengetahuan. Itu penting bagi mereka.
Sastra itu harus berjalan sesuai fungsinya, harus adil seadil-adilnya. Sastra harus menjangkau siapapun dan apapun yang dihadapi. Kalau harus menyentuh yang paling awam sekalipun ya, sastra harus mampu. Kalau sastra harus menyentuh yang difabel, ya sastra harus mampu. Kita yang harus memampukan sastra itu untuk sampai, gitu. Bukan teman-teman difabel yang enggak mampu, tetapi kita yang wajib memampukan (sastra) untuk sampai ke sana.
Eka: Iya, saya juga tertarik sama yang Mbak Indah bilang. Kalau mau dibilang ini juga aktivisme, sebenarnya kerja-kerja kita berangkat dari pertemanan dulu. Kalau pertemanannya sudah kuat, lebih jauhnya bisa dibuat banyak hal ya, Mbak Indah?
Indah: Iya, nanti di situ akan timbul rasa saling percaya. Sehingga canda-canda yang kita lakukan itu sudah inklusif juga, jadi tidak akan tersinggung. Misalnya, “kita harus dandan yang cakep nanti biar difoto ganteng”, mereka tidak akan tersinggung.
Bahkan dulu, ada teman-teman yang kurang paham, “Mbak Indah ini mengeksploitasi temen-temennya? Kenapa sih Mbak Indah harus pasang-pasang foto? Harus up di Facebook, harus up di IG padahal mereka enggak bisa lihat? Itu kan untuk menunjukkan bahwa Mbak Indah gini, gini, gini.”
Oh tidak! Kalau pingin lihat ya, teman-teman itu narsis-narsis loh, mereka itu sudah maniak foto semua.
Ini teman-temanku voluntir, yang teman-teman gereja, teman-teman penulis yang gabung, satu orang dampingi satu. Satu orang akan berkata begini, “Mbak aku dipotretin di sini, Mbak.” Dia bergaya, action.
“Aku udah kelihatan cakep enggak?”
Lah, coba bayangkan. Dia itu berdiri di satu batu, kita itu udah khawatir. “Nanti kamu jatuh.”
“Iya, aku mau foto di sini sebentar.” Bayangkan, kita sudah pusing, bagaimana ini anak-anak udah kayak gitu?
Dulu awalnya, aku juga mencoba untuk tidak boleh posting. Nah, suatu ketika ada teman merekomendasikan aku menjadi narasumber festival di Jakarta. Rupanya panitia mencari jejakku. Enggak ada jejaknya sama sekali.
Sampai akhirnya aku ditelepon. Katanya, “aku lihat di Facebook, di IG Mbak Indah itu enggak ada apa-apa sehubungan dengan aktivitas itu.”
“Oh, ya memang enggak, aku enggak pernah up”. Terus dia bilang “Mbak, sekarang Facebook dan IG itu menjadi portofolio.”
Aku bilang sama teman-teman Difalitera yang di teras baca, aku ceritakan masalahnya.
“Jadi, mereka itu rupanya melihat IG dan Facebook, enggak ada foto-foto kita. Mereka mengira aku ini abal-abal karena enggak ada bukti fotonya. Sekarang kan kalau enggak ada foto itu hoax. Aku minta izin, boleh enggak kira-kira kalau aku pasang foto-foto kita saat berkegiatan.”
Satu orang bilang, “boleh Mbak, asal yang dipasang itu pas aku kelihatan ganteng.” Bayangkan!
Eka: Saya juga baru tahu yang seperti ini, makanya tadi di beberapa bagian agak terkejut, tapi menarik. Mungkin kita lanjutkan petualangannya ke Wuring, Mbak. Mbak kemudian memilih Wuring untuk jadi tempat berkunjung, jadi tempat bekerja bareng teman-teman Susur Selubung. Ekspektasi Mbak datang ke Wuring, ada tidak hubungannya dengan Difalitera atau kerja-kerja Mbak di Solo?
Indah: Jadi, aku mau datang dengan siap terkejut, siap kecewa, siap hambar-hambar saja. Lalu kemudian, waktu itu aku berpamitan dengan anak-anak netra.
“Nanti kita akan berkegiatan lagi setelah Mbak Indah pulang dari NTT ya.” “Mbak Indah mau ke NTT?” “Iya, Mbak Indah mau ke Maumere.” “Ngapain di sana?”
Terus aku menceritakan kalau ada satu tim Peretas mau ke sana bla bla bla. Terus dia bilang, “oh jadi Mbak Indah mau main ke satu kampung yang berada di atas laut.”
“Ya tidak di atas laut benaran sih, artinya bukan mengapung-ngapung kayak kapal itu, tapi rumahnya disanggah kayu.”
Oalah gitu, dikirain mengapung-apung gitu gimana nanti kalau menjauh, mendekat.”
Lalu aku menceritakan, jadi ada tiang-tiang yang menyanggah rumah panggung. Terus akhirnya ada yang bilang “oh ya aku bisa membayangkan, Mbak, pasti itu lautnya bukan seperti samudra yang dalam kan, pasti lautnya yang di tepi-tepi pantai.”
“Ya kayaknya iya, soalnya Mbak Indah belum lihat sendiri. Besok kalau Mbak Indah udah lihat, Mbak Indah ceritakan.”
Nah, kemudian aku menceritakan bahwa ketika di sana, aku tidak menemui teman-teman netra, semua bisa melihat. “Oh gitu ya, Mbak?”
Mbak Indah juga tidak menemukan teman daksa, tidak ada kursi roda. “Ya iyalah Mbak, kalau rumah panggung gitu gimana? Nanti bisa jatuh di laut. Terus berarti di sana bagus ya, Mbak, sehat-sehat semua, enggak ada yang kayak kami.”
“Bisa jadi mungkin mereka punya ya saudara, tetapi tidak tidak ditaruh di situ, tidak diajak di situ, gitu.”
Nah, sebenarnya aku punya pikiran, gimana ya cara aku menjelaskan Wuring untuk mereka, tapi aku praktikkan yang tidak seperti di Wuring. Misalnya, ada jalan papan kemudian ada panggung seperti itu.  Ya, tidak di laut tapi mungkin hanya di rumah.
Memang, aku mencoba untuk mendekati apa yang ingin aku sampaikan. Misalnya dia tanya, “Mbak, arung jeram itu seperti apa?”
Tentu saja aku tidak berani membawa mereka ke arung jeram, tetapi Mbak Indah akan coba yang kecil-kecilan gitu bisa merasakan aliran yang mirip. “Tapi doakan Mbak Indah dapat dana supaya bisa bawa kalian ke tempat-tempat yang ingin kalian kunjungi,” gitu.
Nah, terus dia tanya lagi, “Mbak, kalau misalnya di tempat yang Mbak Indah kunjungi itu, apakah anak-anak itu semua bisa berenang?” Bisa. “Mbak, aku pingin bisa berenang.” Mampus, aduh. Mereka rara-rata bisa berenang karena kampung halaman mereka adalah laut.
Ketika aku mengikuti Susur Selubung,  yang aku tangkap adalah bagaimana aku bisa mengadvokasi, belajar pada Sr. Esto, totalitas mendampingi korban dan menjadi sayap. Seumpama dia itu burung rajawali, dia menjadi sayap yang menaungi anak-anaknya, yang mendukung, menjadi tempat mereka berteduh, mengadu, berkeluh kesah dan berproses bersama.
Ketika belajar di TRUK-F itu, aku mikir mestinya begini, ada advokasi, karena difabel netra dan difabel yang lainnya ada semacam kerentanan berlipat, berlapis ganda. Mereka sangat berpotensi mengalami pelecehan, penganiayaan, dan penolakan. Mereka ini perlindungannya kurang. Rentan. Jadi, dari keluarga ditolak hingga mereka lebih menyukai tinggal di asrama daripada di rumahnya sendiri karena tidak nyaman. Di asrama nyaman, mereka bertemu dengan orang-orang senasib.
Ketika ngobrol dengan anak-anak, banyak yang menceritakan, mereka mempunyai orang tua lebih dari dua. Bapak lebih dari satu, ibu lebih dari satu. Aku berpikir kenapa ya mereka ini kok berasal dari keluarga yang seperti itu. Hampir semua keluarga itu, minta maaf, kacau.
Setelah diselidiki, sebenarnya mereka bukan berasal dari keluarga yang kacau. Misalnya, ini ada suami istri kemudian istrinya hamil dan melahirkan anak difabel netra. Nah, mereka yang menjadi sumber kekacauan itu. Jadi, si suami katakan, “ini pasti kamu, ini dari genmu bla bla bla.” Si suami tidak bisa menerima keadaan bahwa anaknya ternyata difabel, lalu mencari istri yang lain, bercerai dan lain-lain.
Kalau si anak difabel netra ini mengetahui bahwa dirinya adalah penyebab kekacauan keluarga, apa yang terjadi coba? Secara mental, secara psikis, bagaimana ya kan? Mereka itu mengalami hambatan, udah gitu menjadi penyebab hancurnya keluarga, apa kata dunia?
Mereka ini membutuhkan teman, tempat curhat, penerimaan tanpa syarat. Jadi, lama-lama aku itu bisa masuk ke mereka dan mereka percaya kepadaku. Trust itu penting.
Eka: Sejauh mana Mbak Indah percaya kalau kesenian, aktivitas seni yang Mbak Indah lakukan itu cukup untuk mendorong advokasi, atau advokasi seperti apa yang Mbak Indah bayangkan?
Indah: Sebenarnya itu sulit ya, Ka, karena aku itu bukan aktivis. Aku hanya ingin berteman dengan mereka. Kebetulan aku itu ada di ranah seni, kebetulan aku itu penyuka sastra, jadi pintu itulah yang aku pakai untuk menjangkau mereka. Aku bukan berangkat dari aktivis.
Bedanya begini Ka. Kalau aku aktivis, aku akan melihat dulu akan memilih pintu masuk mana, gitu. Apakah aku mau pakai pintu masuk sastra, pintu masuk musik, pintu masuk tari, pintu masuk ekonomi, pintu masuk politik, atau pintu masuk teknologi, gitu kan?
Tapi aku bukan aktivis. Aku sudah berkesenian dulu. Jadi, mau tidak mau melalui pintu seni itu masuk ke mereka, berteman dengan mereka dan adalah sastra yang paling bersahaja untuk bisa masuk ke mereka, menjangkau mereka.
Sastra itu egaliter menurutku, politik belum tentu. Sastra paling mudah dan paling ramah untuk mereka gitu. Kemudian nanti aku mau masuk ke diskusi film. Aku harus belajar dulu tentang film bisik, nanti aku akan jadi pembisik. Kita belajar dulu, voluntir-voluntir ini harus belajar dulu membisik dan lain-lain. Mereka, aku yakin akan bertambah skill-nya.
Nah, satu bukti advokasinya gitu. Tadi Eka tanyanya begitu ya?
Eka: Advokasi yang Mbak Indah bayangkan itu seperti apa?
Indah: Suatu ketika salah satu anakku itu diajak, diundang untuk perayaan Hari Disabilitas, 2 Desember. Orang yang mengajak itu adalah mahasiswa yang sekolah di bidang sekolah luar biasa. Anakku ini satunya disuruh nyanyi, satunya disuruh main keyboard. Ketika selesai acara, anakku itu dibiarkan duduk di karpet. Yang lainnya foto-foto di depan dan dia itu kayak iklan gitu loh. Tega apa enggak coba? Mereka itu sinting po? Oh tidak manusiawi itu.
Aku marah, aku tarik anakku terus aku bilang, “kenapa kamu di sini?” Aku teriak keras di hadapan mereka. “Ayo kamu ikut Mbak Indah.” Anak-anak mahasiswa itu diam liatin aku. Aku galak waktu itu. Enak aja, macam-macam mempermainkan anak-anakku!
Habis itu, satu anak ini sudah mengajak pulang. Namanya Dinar. “Dek Dinar, ayo kita pulang, kita naik Grab.” Terus mereka bawa anak itu keluar.
Lalu aku tanya, “Dinar kamu tadi enggak pakai sandal ya?”
Terus mereka tanyain “oh iya dek, sandalmu yang mana ya tadi, warna sandalnya apa?”
Aku bilang, “kamu gimana sih masa dia ditanya sandalnya taruh mana?”
“Oh iya, maaf”, kata mereka.
Aku hafal sandalnya Dinar, ya udah aku ambil. Setelah itu aku cek terus di Grab, seperti apa, aman enggak, dan lain-lain.
Contoh lain lagi. Mereka naik Grab. Rupanya titik jemputnya itu salah, kurang tepat. Bapak driver Grab-nya omelin mereka. Aku masih ada waktu itu. Kami habis acara. Aku biarkan mereka panggil Grab sendiri, urus sendiri, cuma aku ngawasin aja. Mereka harus bisa gitu kan. Akhirnya mereka memang bisa, mereka sudah biasa.
Eh, di perjalanan, mereka tetap diomelin. Rupa-rupanya mereka ini diminta tambahan, gara-gara titik jemputnya salah. Sebelumnya kasih 25 ribu, sesuai ongkos di aplikasi. Ternyata sampai di perjalanan driver-nya minta tambahan sepuluh ribu, jadi dari 20 aku kasih 25, diminta tambah 10 jadi 30. Tetapi, mereka enggak punya uang sepuluh ribu, punyanya uang 20 ribu. Jadi, uang 20 ribu ditambah 20 ribu harusnya kan kembali sepuluh ribu, tapi enggak dikembalikan. Mereka nyadarnya ketika turun karena untuk ngecek angka uang itu butuh waktu.
Mereka langsung bikin bintang satu, lalu membuat pengaduan. Driver-nya itu di-suspend. Pihak Grab menelpon. Akhirnya uang itu dikembalikan. Itu artinya, mereka sudah bisa mengadvokasi diri sendiri. Hebat.
Itu menurutku goal-nya, pencapaianku. Aku katakan, aku baru bisa merasakan pencapaian ketika mereka mampu mengadvokasi diri sendiri. Ketika mereka itu berani memprotes, berani menuntut hak mereka sendiri, berani mengatakan itu keliru. Targetku memang di situ. Dan kalau di sastra, targetku mereka bisa menulis. Menulis pengalaman mereka. Sedang aku rintis.
Eka: Wah, menarik nih, Mbak Indah. Kasih bocoran, Mbak, soal menulis cerita sendiri itu. Saya kira itu penting juga karena kadang-kadang orang mengambil representasi untuk menceritakan soal teman-teman difabel atau teman-teman yang berkebutuhan khusus.
Indah: Tadinya ketika aku mempunyai ide seperti itu, mereka tidak tertarik, tidak paham. “Apa maksudnya Mbak Indah?” Itu berat banget.
Aku bilang gini, kalau kalian kuliah, suatu saat kalian harus membuat skripsi. Bagaimana kalau kalian itu tidak bisa menulis? Mumpung kalian itu masih semester satu, belajar menulis supaya besok itu kalau mau buat skripsi mudah. Itu satu.
Kemudian yang kedua, kalian harus membuat jejak. Memangnya kalau difabel netra enggak bisa jadi penulis?  Mereka nanya, “itu caranya gimana, Mbak? Kami enggak tahu harus memulainya bagaimana.”
Akhirnya aku pakai metode tulis cepat, membuat cerita mini, buat fiksi mini. Aku lempar tiga kata acak.
“Sekarang kalian buat satu paragraf cerita dari tiga kata yang Mbak Indah kasih modal buat kalian. Taruhlah: langit, sepatu, kayu.”
Mereka bikin. “Bisa kan? Itu tinggal kalian menjabarkan gitu. Udah selesai. Nah, sekarang tulislah cerita kalian sendiri.”
Mereka masih belum paham apa yang perlu diceritakan. Barulah ketika aku membacakan ceritanya Helen Keller, mereka jadi paham.
“Oh, jadi caranya bercerita begitu ya Mbak.”
“Iya, sekarang tulislah seperti kamu membaca Helen Keller. Tulislah seperti itu tapi versi kalian, sudut pandang kalian.”
Aku juga awalnya katakan versi itu apa, sudut pandang itu apa, apa yang diperlukan, kayak gitu. Pokoknya setiap ketemu itu energiku terkuras habis. Pulang dari ketemu anak-anak itu, rasanya aku tidur panjang banget. Udah makan banyak, minum banyak, tidur, capeknya ya ampun. Bukan hanya energi bicara tapi energi berpikir dan mengungkapkan supaya mereka paham gitu loh, berat.
Akhirnya mereka ini sudah mulai bisa menulis dengan sedikit-sedikit, menceritakan, terus dikirim ke WA. Aku pelajari. Tapi, dari semua yang ikut belajar itu, yang tertarik bikin hanya dua.
Jadi, kalau aku ditanya bagaimana memanfaatkan Susur Selubung waktu itu, ya jujur saja, di Wuring aku banyak takjub, banyak belajar, dan banyak mempunyai angan-angan. Kalau aku sandingkan ke Difalitera, aku lebih banyak ke TRUK-F dan anak-anak kecil itu. Kalau anak-anak Huruf Kecil aku udah ngerti karena di Sekolah Minggu Gereja kan ada. Tapi di TRUK itu benar-benar baru dan aku mencoba, aku bisa enggak ya kira-kira? Terus di SOS itu aku belajar, membayangkan kalau anak-anak yang ada di situ juga anak-anak netra, misalnya. Anak-anak netra itu sebenarnya ada juga yang punya bapak ibu tapi tertolak, ya kan?
Dari situ aku belajar bagaimana kita membentuk anak-anak bermartabat dan merasa dirinya berharga. Itu penting dan aku pelajari di SOS. Tetapi kalau bagaimana mengadvokasi, mendampingi korban lalu mencari keadilan, jelas di TRUK-F. Jadi, ya tentu saja setahun berjalan aku masih terkenang-kenang dan terbayang-bayang seminggu di Maumere. Masih suka ingat-ingat, masih suka renung-renung. Kok bisa kayak gitu ya? Aku mah enggak punya apa-apanya.
Eka: Oke, Mbak Indah. Terima kasih banyak sudah berbagi dengan kami kurang lebih satu jam, dan saya kira ini sangat inspiratif. Bagaimana kita saling belajar, berkaca, ketika Mbak Indah bilang saya enggak ada apa-apanya, waduh, apalagi kami?
Indah: Beda, Ka. Kita ambil bagiannya beda-beda. Kamu sudah banyak bekerja untuk Wuring misalnya. Aku enggak setangguh kalian kalau ke Wuring. Kita sudah punya langkah yang berbeda.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th