Ritus: Metafora, Simulasi, dan Penularan Imajinatif

 

“Life imitates Art far more that Art imitates Life

(The Decay of Lying, Oscar Wilde, 1889)

 

Dalam salah satu karyanya yang terkenal, The Myths to Live By, Joseph Campbell (1972) menulis demikian “The function of ritual, as I understand it, is to give form to human life, not in the way of mere surface arrangement, but in depth.” Campbell mengungkapkan dengan cukup sederhana esensi dari apa yang saat ini kita sebut sebagai ritus.

Ritus adalah cara manusia memberi bentuk-bentuk sebagai tanggapan atas berbagai pengalaman hidupnya. Bentuk-bentuk itu, sebagaimana yang diungkapkan Capmbell, tidak sebatas konfigurasi hal-hal yang kasat mata, tetapi juga jauh melampui bentuk-bentuk fisik yang terlihat di permukaan.

Ritus merupakan representasi dunia virtual di mana manusia mengkonstruksi berbagai konsep terkait dirinya dan dunia tempat tinggalnya. Kata ‘virtual’ belakangan menjadi bagian penting dari leksikon masyarakat di berbagai belahan dunia terutama sejak pandemi Covid-19 terjadi. Istilah-istilah seperti kelas virtual, pertemuan virtual, arisan virtual, atau bahkan ibadah virtual menjadi bagian dari keseharian masyarakat kita saat ini.

Berbagai hal virtual ini memberikan bentuk-bentuk baru bagi kehidupan masyarakat kita saat ini. Bentuk-bantuk baru ini juga mengarahkan masyarakat pada tata cara berkomunikasi atau berinteraksi yang baru juga. Konsep dasar realitas virtual dapat dipahami melalui tiga aspek realitas virtual, yakni metafora, simulasi, dan penularan imajinatif.

Metafora sering dianggap sebagai fitur khusus bahasa yang digunakan dalam karya sastra atau sebagai perangkat retorika. Padahal, metafora merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pikiran dan tindakan manusia. Untuk memahami realitas di luar dirinya, manusia mengkonseptualisasi realitas di luar dirinya secara metaforis. Inti dari konsep metafora adalah “memahami dan mengalami satu jenis hal dalam kaitannya dengan yang lain” (Lakoff dan Johnson, 2003). Elemen konstitutif dari metafora adalah domain sumber dan domain target. Domain sumber adalah hal-hal yang sudah dikenal orang dan biasanya bersifat fisik. Domain target biasanya lebih abstrak dan tidak diketahui oleh kebanyakan orang (Foley, 2001).

Untuk mendeksripsikan seseorang yang menjadi orang yang dipercaya, bahasa Indonesia memiliki ungkapan metaforis ‘tangan kanan’. Kepercayaan adalah domain target yang abstrak, sementara tangan kanan adalah elemen fisik yang sangat akrab dengan manusia. Korespondensi antara dua domain metafora ini membantu manusia menjelaskan gagasan abstrak dan tidak berwujud melalui pengalaman yang lebih konkret dan nyata. Hubungan antara kedua ranah ini juga menghasilkan “makna kolektif” di komunitas di mana metafora digunakan (Hall, 1997). Karena itu, setiap komunitas memiliki metafora-metafora yang akan sulit dipahami orang-orang di luar komunitas tersebut.

Mekanisme yang dikembangkan oleh pikiran manusia untuk memahami metafora adalah dengan mengembangkan simulasi imajiner yang berbasis dari pengalaman ketubuhan manusia untuk merefleksikan konsep yang direpresentasikan dalam metafora (Gibbs Jr. dan Matlock, 2008). Konsep ini disebut “embodied simulation” (Gibbs, 2006; Lakoff & Johnson, 1999). Masyarakat Krowe, misalnya, menggunakan ungkapan metaforis ina nian tawa wawa, ama lero wulan reta (Ibu bumi tanah di bawah, ayah matahari bulan di atas) sebagai representasi wujud tertinggi. Melalui elemen-elemen yang dapat dialami tubuh mereka seperti tanah, matahari, atau sosok manusia lain seperti ayah dan ibu, masyarakat Krowe menciptakan simulasi realitas wujud tertinggi (Gibbs Jr. dan Matlock, 2008).

Metafora dan simulasi dimungkinkan oleh bahasa. Kondisi penting bagi munculnya bahasa adalah kemampuan untuk mengakses dan menggabungkan konsep secara rekursif sebagai kata demi bentuk, bukan makna (Reuland, 2010). Representasi konsep wujud tertinggi dengan menggunakan ungkapan metaforis menyiratkan mekanisme imajinasi karena bahasa secara fungsional didedikasikan untuk mengaktifkan imajinasi. Melalui bahasa, penutur suatu bahasa dapat membuat orang lain membayangkan sesuatu tanpa menghadirkan materi persepsi apa pun untuk dialami oleh orang lain (Dor, 2014). Imajinasi membawa penutur suatu bahasa pada dunia fiksional yang secara substansial berbeda dari dunia material, tetapi memiliki resiprokalitas yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Resiprokalitas antara dunia fiksional dan material serta proses yang terlibat di dalamnya dapat dijelaskan melaui prinsip realitas (Walton, 1990). Menurut Walton, ketika dunia fiksional (konsep-konsep yang dapat direpresentasikan melalui bahasa tetapi tidak memiliki referensi material) cukup mirip atau sangat mendekati gambaran material teretentu, pikiran kita membuat interpretasi dan kesimpulan berdasarkan kepercayaan kita terhadap hal-hal duniawi (benda-benda material yang dapat dialami secara fisik). Akibat dari prinsip realitas adalah implikasi kita pada dunia fiksional mengikuti implikasi pada dunia material atau dengan kata lain, “If we could legitimately infer q from p, we can legitimately infer the fictionality of q from the fictionality of p, since the latter fictional truth will imply the former(Walton: 146).

Secara sederhana, prinsip realitas ini dapat diterapkan saat kita membaca atau mendengarkan pembacaan karya sastra seperti puisi atau cerita pendek. Seorang tokoh dikisahkan sangat membenci sahabatnya. Sekalipun tidak digambarkan secara jelas apa yang terjadi dalam dunia psikis tokoh tersebut, ketika dia bertemu dengan orang yang dibencinya kita dapat membuat kesimpulan secara hipotetis (Lanur, 2002) berdasarkan pengalaman kita yang sangat mirip dengan situasi tersebut. Representasi fiksional dalam bahasa memampukan kita memprediksi implikasi-implikasi logis berdasarkan kondisi-kondisi yang sesuai pengalaman kehidupan kita sendiri (Reuland, 2010).

Kodifikasi linguistik untuk merepresentasikan entitas yang tidak memiliki referensi langsung dalam bahasa menyebabkan penularan imajinatif (imaginative contagion) yakni mekanisme yang melaluinya hal-hal dalam imajinasi atau dunia virtual manusia dapat meluap dan mengkontaminasi keyakinan duniawi kita tanpa disadari (Gendler, 2010).

Ungakapan ina nian tana wawa ama lero wulan reta pada masyarakat Krowe menyebabkan mereka menciptakan gambaran sosok pencipta dan penguasa alam semesta sebagai ina ama, ibu dan bapa mereka yang menghadirkan mereka ke dunia, merawat, menjaga, dan memelihara mereka . Hal ini kemudian mempengaruhi pola tingkah laku mereka. Sebagaimana mereka hormat dan tunduk pada ibu dan bapa, mereka juga kemudian mengungkapkan rasa hormat dan tunduk mereka melalui ritus-ritus simbolis pada entitas yang direpresentasikan dalam ungkapan ina nian tana wawa ama lero wulan reta tersebut.

Penularan imajinatif membuat batas-batas antara yang real dan yang imajiner menjadi sangat kabur. Dalam kaitannya dengan ritus sebagai sebagai sebuah cara memberi bentuk pada kehidupan manusia, penularan imajinatif menyebabkan kita kesulitan menentukan apakah pengalaman di dunia material mengkonstruksi dunia imajiner atau imajinasi yang justru mengkonstruksi pemahaman kita akan pengalaman material.

Perburuan para perempuan penyihir (Las Brujas) di Columbia, seperti yang digambarkan Roy Ngatu dalam Perempuan Penyihir dan Kapitalisme, memperlihatkan bagaimana imaji-imaji negatif yang diproduksi Gereja Katolik dan Pemerintah digunakan untuk memotivasi dan melegitimasi praktik inkuisisi. Praktik inkuisisi didasarkan pada realitas imajiner tentang perempuan penyihir yang dikonstruksi oleh Gereja dan Pemerintah. Konteks sosial di mana imaji-imaji mengenai sosok perempuan penyihir menyebabkan mereka mengalami berbagai pengalaman fisik seperti perampasan tanah komunal, kemiskinan, dan kelaparan. Penularan imajinatif di sini memperlihatkan adanya semacam pola transaksi; Gereja dan Pemerintah mengimpor imaji-imaji bahwa para perempuan penyihir adalah kelompok orang-orang jahat ke dalam keyakinan masyarakat, lalu keyakinan tersebut digunakan sebagai basis tindakan masyarakat pada para perempuan penyihir.

Dance Offering, sebagaimana yang diuraikan oleh Eka Putra Nggalu dalam Dance Offering, dari Ritual Warga hingga Panggung Virtual, memperlihatkan pada kita bagaimana penularan imajinatif terjadi. Dance Offering adalah representasi konsep mengenai posisi manusia sebagai subjek yang dapat memberi imbalan pada dewa. Dalam kerangka metafora, konsep mengenai posisi tawar manusia dan dewa merupakan domain target yang abstrak dan sulit dikenali. Karena itu, tarian persembahan, dengan tubuh manusia sendiri sebagai medianya, adalah konkretisasi (domain sumber) yang dapat dicerap oleh manusia.

Tarian itu juga mengaktifkan realitas virtual di mana simulasi-simulasi imajiner muncul sebagai bagian dari interaksi pengalaman ketubuhan manusia serta konsep mengenai relasi manusia dan dewa. Karena itu, Dance Offering adalah cara masyarakat Thailand yang dijumpai Eka untuk memberi bentuk bagi pengalaman dan imaji mereka mengenai yang transenden. Pada saat yang sama, tubuh para penari itu sendiri adalah media di mana penularan imajinatif terjadi, tempat percampuran antara yang realitas material dan spiritual di mana batas keduanya menjadi sangat kabur.

Selain sebagai cara memberi bentuk (to form) pada pengalaman-pengalan manusiawi, ritus juga merupakan cara untuk menampilkan atau mempresentasikan bentuk-bentuk tersebut (to perform). Eka Wahyuni dalam Artefak, Gerak, dan Memori dalam Tari Gong dan Ananta Rahayu dalam Turut Berduka Cita memperlihatkan bagaimana mereka menampilkan bentuk-bentuk (to perform) pemaknaan pada artefak, gerak, dan memori.

Melalui Tari Gong, Eka memanfaatkan tubuh tidak saja sebagai medium, tetapi juga sekaligus menjadi portal menuju realitas virtual yang tidak akan ditemukan tanpa perlakuan khusus pada tubuh seperti melalui praktik yoga dan meditasi. Tubuh digunakan untuk mengatasi pengalaman ketubuhan itu sendiri.

Di sisi lain, minimnya referensi untuk menanggapi peristiwa kematian mamanya menginspirasi Ananta untuk membuat ibadah penghiburan virtual. Dengan memanfaatkan aplikasi Zoom, Ananta juga menunjukkan pada kita bagaimana batasan antara yang privat dan personal, yang profan dan yang sakral tidak lagi dapat dikenali dengan jelas. Ananta menampilkan bentuk duka melalui struktur atau tata ibadah penghiburan virtual. Sekalipun dilakukan secara virtual, Ananta tetap menggunakan embobodied simulation ketika misalnya memasukkan nyekar virtual sebagai salah satu bagian dari ibadah penghiburan virtual. Di sini, sekali lagi, dapat dilihat bahwa transaksi antara realitas imajiner dan realitas material melatarbelakangi bentuk dari rasa duka yang Ananta ciptakan dan tampilkan.

Lau Ne Edisi Warga dan Ritus adalah sebuah pengantar untuk merefleksikan pengalaman sehari-hari para pembaca dalam kaitannya dengan ritus. Ritus mungkin selama ini terlalu diasosiasikan dengan praktik religius dalam kerangka agama, padahal praktik sederhana seperti mengecek Whatsapp dan email setelah bangun tidur atau anak-anak yang mencium tangan orangtua sebelum berangkat ke sekolah juga merupakan ritus. Ritus dilakukan tidak saja dalam kerangka agama. Ritus juga dapat dilihat sebagai cara manusia memberi (to form) dan menampilkan (to perform) bentuk-bentuk konkret sebagai representasi atas konsep-konsep abstrak berkaitan dengan pengalaman manusiawi. Duka, bahagia, cinta, hormat, kebebasan, kekhawatiran memicu manusia menciptakan bentuk-bentuk tersebut.

Selamat membaca dan berefleksi!

 

Referensi

Campbell, Joseph. (1972).  The Myths to Live By. New York: Bantam Books.

Dor, Daniel, (2014). “The instruction of imagination: language and its evolution as a communication technology”. In The Social Origins of Language, Daniel Dor, Chris Knight, and Jerome Lewis (eds). Oxford: Oxford University Press.

Eliade, Mircea 1959 The sacred and the profane: The nature of religion. Trans. by Willard R. Trask. New York: Harcourt, Brace and Company.

Gendler, Tamar Szabo. (2010). Intuition, Imagination, and Philosophical Methodology. Oxford: Oxford University Press.

Gibbs, R. (2006). Embodiment and cognitive science. New York: Cambridge University Press

Gibbs Jr., Raymond W and Matlock Teenie (2008). “Metaphors, Imagination, and Simulation”. In Metaphor and Thought. Raymond W. Gibbs Jr. (ed), 110-128. Cambridge: Cambridge University Press.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. London Thousand Oaks, CA: Sage in association with the Open University.

Lakoff, George. (1993). “The Contemporary Theory of Metaphor”. In Metaphor and Thought. Andrew (ed.), 202-251. Cambridge: Cambridge University Press.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1999). Philosophy in the flesh: The embodied mind and its challenge to western thought. New York: Basic Books.

Lakoff, G. & Mark Johnson. (2003). Metaphors We Live By. Chicago: Chicago University Press.

Lanur, Alex. (2002). Logika Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.

Reuland, E. (2010). “Imagination, Planning, and Working Memory: The Emergence of Language”. In Current Anthropology, 51 (S1), S99–S110. https://doi.org/10.1086/651260

Walton, K. L. (1990). Mimesis as Make-Believe. In International Studies in Philosophy (Vol. 25, Issue 1). Harvard University Press. https://doi.org/10.5840/intstudphil1993251117

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st