Pertanyaan-pertanyaan
5 Desember 2022, saya tiba di City Center, Bangkok sekitar jam 19.00 malam. Selepas menyelesaikan kendala pemesanan kamar di Asia Hotel, saya bergegas menyimpan barang-barang bawaan dan mencari warung terdekat untuk makan malam. Pesawat yang telat berangkat membuat saya terpaksa menahan lapar cukup lama. Bow, seorang Thai yang baru saya kenal dan akan menemani saya berkeliling Bangkok merekomendasikan sebuah rumah makan sederhana tetapi cukup popular, Jae Koy di daerah Phetchaburi, Ratchathewi. Sekitar delapan menit jalan kaki dari tempat saya menginap.
Keluar dari pelataran Asia Hotel, saya lantas mengalami jalanan kota Bangkok untuk pertama kalinya. Pemandangan awal yang menarik perhatian saya adalah sosok seorang pejalan kaki yang sedang berdoa di sebuah kuil kecil persis di depan hotel tempat saya menginap. Saya mendekat, sembunyi-sembunyi mengambil gambar orang itu, lalu terus berjalan.
Setelahnya, sepanjang perjalanan melewati depan hotel, rumah makan, atau bahkan bar, saya kerap menemui kuil-kuil kecil dengan arca dewa-dewi di dalamnya. Beberapa disinggahi orang untuk berdoa atau membakar dupa. Pada beberapa kuil diletakkan minuman berwarna merah, koin atau uang-uang kertas 50 baht (1 baht = 480 rupiah kurs saat itu). Tak jelas apakah kuil dan arca-arca itu berasal dari tradisi Hindu, Budha, atau agama Thai tradisional. Tak jelas juga dengan cara apa orang-orang yang saya jumpai itu berdoa. Saya tak paham, bahkan tak mencari tahu perihal Bangkok sebelum menginjakkan kaki di kota ini.
Saya mengira-ngira kalau keberadaan kuil-kuil dan praktik seperti ini lazim di Bangkok. Pikiran ini membuat saya sedikit terkejut. Betapa Bangkok yang sudah amat urban, menjadi salah satu capital city yang berpengaruh di Asia Tenggara, masih menampilkan praktik-praktik religiositas yang begitu performatif di ruang publik dan sepertinya berakar pada tradisi dan sejarah peradabannya. Demikian saya berasumsi.
Seusai melahap beberapa menu olahan babi dan bir, yang gurih, segar dan cocok dengan lidah orang Flores, saya pulang. Kembali saya susuri jalanan kota Bangkok, melihat rupa-rupa wajah orang-orangnya yang berasal dari berbagai ras, budaya, dan gender, sembari sesekali mengamati deretan bar yang memutar musik disko hingga pop Thai.
Sepanjang perjalanan yang lambat tetapi penuh semangat itu, pertanyaan-pertanyaan menyeruak di kepala saya: mengapa orang-orang kota ini berdoa? Apa yang mereka mohonkan? Kepada siapa mereka berdoa? Bagaimana dan dengan medium apa mereka menyampaikan doa-doa dan permohonan mereka? Mengapa di tengah segala hal yang amat sekuler ini, orang masih percaya pada sesuatu yang sifatnya spiritual/supranatural?
Pertemuan Tradisi-Tradisi Keagamaan
Keesokan harinya, saya mengunjungi Queen Sirkit National Convention Centre (QSNCC). Ini adalah satu dari dua belas venue yang dipakai untuk menampilkan karya-karya Bangkok Art Biennale. Dalam galeri di lantai B2 gedung ini, ditampilkan karya-karya beberapa seniman kenamaan semisal Marina Abramovic, Chiharu Shiota, Robert Mapplethorpe, Jake and Dinos Chapman, Alwin Reamillo, hingga karya kolektif komunitas muslim di Bangkok, Satu ≠ Padu Collaborative.
Selepas melihat-lihat karya Biennale Bangkok di QSNCC, saya dan Bow beristirahat sejenak, menenggak Thai tea sembari bertukar kesan dan pandangan kami tentang karya-karya yang baru saja kami lihat. Venue ini untuk saya secara personal paling menarik dibandingkan dengan venue-venue lainnya di Bangkok Art Biennale tahun ini. Pengelolanya menimbang dengan amat teliti segi pemajangan (display) maupun struktur naratif tiap-tiap karya dalam ruangan (dramaturgi). Bow sendiri punya kesan serupa. Meski secara umum ia merasa hingga tahun ketiga perhelatannya, Bangkok Art Biennale masih amat konvensional dan tidak memberikan tawaran lain yang menyegarkan.
Dari soal karya, entah kenapa obrolan kami lantas berpindah ke perihal agama. Bow bercerita tentang bagaimana ia hidup dalam tradisi Cina dan Budhisme yang diyakini oleh keluarganya. Sebagai Budhis, tiap pagi keluarganya memiliki kebiasaan memberikan sedekah kepada para biksu yang lewat di depan rumahnya. Ini dilakukan secara rutin seperti sebuah ritual.
Saya bercerita tentang pengalaman saya semalam dan mengkonfirmasi perihal kuil-kuil yang tersebar di ruang-ruang publik. Bagi Bow, praktik itu amat lazim di Thailand. Kuil-kuil itu berakar pada tradisi Thai, perihal memberikan rumah bagi spirit-spirit tertentu yang tinggal di suatu tempat, atau bahkan bagi arwah-arwah leluhur. Praktik itu kemudian mengalami inkulturasi yang sama kuatnya dengan tradisi asli setelah Hinduisme dan Budhisme masuk dan diterima di Thailand.
Bow juga bercerita, meski keluarganya Budhis, di rumahnya ada sebuah kuil untuk meletakkan arca berbentuk kucing dengan tangan kanan melambai. Saya sendiri kerap menemui boneka yang mirip di beberapa mobil travel, restoran dan toko-toko kelontong miliki warga keturunan China. Kata Bow, dewa ini diyakini mampu memanggil pelanggan dan memperlancar bisnis. Bagi ia dan keluarga yang hidup dari penghasilan mengelola bisnis grosir, dewa ini amat dihormati.
Dari Bow, saya juga tahu kalau ternyata para penganutnya yakin kalau dewa-dewa ini suka dengan minuman-minuman yang berwarna merah. Karena itu, tidak heran jika botol-botol fanta, atau minuman berwarna merah lainnya sering sekali dijumpai di kuil-kuil di pinggir jalan. Saya sempat berpikir, jangan sampai minuman merah ini punya asosiasi ke darah. Ketika membahas ini, saya dan Bow sama-sama tertawa ngeri.
Saya juga berasumsi jika inkulturasi antara tradisi Thai, Hinduisme dari India, dan Budhisme yang diyakini secara dominan datang dari Cina berlangsung amat kuat di Bangkok. Dialog tradisi-tradisi keagamaan ini bisa dilihat dalam praktik-praktik religiositas di kuil-kuil di ruang publik yang sedikit banyak mengakomodasi anasir-anasir dari tradisi-tradisi tersebut.
Karena saya begitu penasaran perihal kuil-kuil dan praktik religiositas di ruang publik, Bow kemudian mengajak saya ke kuil Erawan, di daerah Ratchadamri Rd, Lumphini, Pathum Wan, salah satu sudut kota Bangkok. Dari stasiun Queen Sirkit, kami menuju stasiun Chit Lom menggunakan Bangkok Skytrain (BTS). Di dalam kereta menuju kuil Erawan, di kepala saya muncul imaji-imaji tentang tradisi mendicantes para Karmelit, koreri orang-orang Papua, hingga tung piong yang dipraktikkan warga suku Krowe, di Maumere tempat saya hidup saat ini.
Dance Offering di Ruang Publik
Hari sudah agak sore ketika kami tiba di Kuil Erawan. Sebelum memasuki area kuil, di trotoar-trotoar jalan saya menemukan banyak pedagang kaki lima dengan aneka jualan: bunga-bunga berwarna kuning (saya menduganya bunga matahari atau bunga tahi ayam), kembang-kembang aneka rupa, dupa, hingga merpati. Harga tiap-tiap jualan amat bervariasi. Dari 50 baht, hingga 1000 baht. Di depan area kuil, terpampang sebuah papan nama bertuliskan Than Tao Mahaprom Foundation Erawan Hotel.
Konon, kuil Erawan baru dibangun tahun 1956. Tujuan utamanya adalah untuk membuang karma buruk akibat pembangunan hotel Erawan. Diceritakan, sebuah kapal yang mengangkut bahan-bahan bangunan hotel tenggelam sebelum mencapai Thailand. Selain itu, konstruksi hotel tersebut diyakini membawa petaka setelah kecelakaan demi kecelakaan yang memakan korban jiwa terjadi selama pembangunan. Kuil Erawan dibangun atas dasar nasihat para Brahman Hindu.
Sebagaimana orang-orang pada umumnya, saya dan Bow masuk melalui pintu bagian depan yang berhadapan dengan jalur BTS. Setelah berhasil memasuki area kuil, kami menepi. Saya mencari posisi yang bagus untuk mengamati. Sementara Bow duduk di bangku taman. Bow ataupun saya tidak membeli bunga atau jualan-jualan lain yang kemudian saya tahu itu adalah persembahan bagi dewa di kuil tersebut.
Kuil Erawan adalah sebuah rumah yang dibentuk sebagai singgasana Phra Phrom, representasi dewa pencipta Hindu, Brahma, dalam masyarakat Thailand. Inilah sebabnya mengapa tempat suci ini juga dikenal dengan nama San Pha Phrom. Brahma di kuil Erawan memiliki empat wajah. Orang-orang meyakini bahwa empat wajah ini mewakili empat keberuntungan. Setelah sampai ke dalam area kuil, para pengunjung yang datang untuk berdoa langsung mengambil tempat di sisi-sisi tertentu yang menampilkan wajah sang dewa. Mereka biasanya memberi persembahan atau berdoa, dari satu sisi ke sisi yang lain. Menurut Bow, orang-orang yang datang biasanya memiliki ujud-ujud khusus yang ingin dikabulkan. Semakin besar dan penting ujudnya, persembahan yang diberikan juga semakin besar.
Selain itu, banyak juga yang datang untuk bersyukur setelah ujud mereka dikabulkan. Mereka membawa bunga, melepas merpati yang mereka beli dari pedagang di depan kuil, atau hanya sekadar berdoa.
Saya berkeliling kuil tersebut, memperhatikan wajah-wajah dan sikap-sikap orang berdoa. Meski kuil Erawan bercorak Hindu, warga yang datang berdoa tak melulu beragama Hindu. Menurut Bow, banyak juga di antara para pengunjung yang berdoa adalah warga keturunan China yang beragama Budha. Saya juga mendapati beberapa warga berparas India, Melayu berhijab yang saya kira beragama Islam, hingga para wisatawan Eropa yang mungkin sedang mencoba-coba keberuntungan atau sekedar menikmati keeksotisan tempat ini.
Cara berdoa masing-masing orang juga berbeda-beda. Ada yang berdiri, ada yang duduk bersimpuh, juga berlutut. Bagi para pendoa disediakan semacam teks doa yang ditulis dalam beberapa bahasa: Thai, Inggris, dan India. Beberapa orang menggunakan panduan tersebut sementara yang lainnya memilih berdoa dalam diam.
Di salah satu sudut area kuil, saya menemukan patung-patung gajah berwarna keemasan, dijejer memanjang. Beberapa petugas dengan sigap mengangkat patung-patung dengan berbagai ukuran itu ketika dibutuhkan. Patung-patung itu ternyata disewakan kepada pengunjung untuk dijadikan persembahan secara simbolik kepada dewa. Selesai berdoa, patung-patung yang disewakan dengan rentang harga 200-an hingga 700-an baht ini dikembalikan kepada petugas yang menatanya. Praktik seperti ini amat mengejutkan saya.
Di sisi lain kuil, beberapa penari perempuan dengan pakaian tradisional Thai berwarna merah dan biru bernyanyi sambil menari diiringi musik dari semacam plat logam gamelan dan gendang yang tengah dimainkan oleh beberapa orang pemusik. Di hadapan para penari tersebut, bersimpuh orang-orang, para pendoa. Mereka didoakan oleh para penari. Ujud-ujud mereka diantarkan lewat sebentuk pertunjukan tari. Belakangan saya akhirnya tahu kalau jenis tarian ini disebut dance offering.
Bentuk tari dalam dance offering sebenarnya berangkat dari sebuah tarian tradisional masyarakat Thailand yang dikenal dengan sebutan Rum-Kea-Bon. Tarian ini bersifat semi ritual, sebagai bentuk negosiasi antara manusia yang memohon dengan Tuhan yang mendengar dan memutuskan permohonan. Para penari menggunakan tubuh, musik, dan suaranya sebagai media perundingan dengan Yang Ilahi.
Dance offering di kuil Erawan ditarikan oleh para penari perempuan dalam jumlah yang berbeda-beda tergantung permintaan pemohon. Mula-mula, setiap orang yang ingin agar ujud mereka dihantar menggunakan tari harus membeli paket, dibuka dengan harga 260 baht untuk dua orang penari hingga 710 baht untuk delapan orang penari. Setelah itu, mereka harus menunggu giliran sesuai nomor pendaftaran. Selain penari, mereka juga bisa memesan paket persembahan lain seperti dupa atau bunga untuk menambah kasiat doa-doa mereka.
Selain memohon, orang-orang yang datang juga berintensi menyampaikan syukur dan terima kasih karena doa mereka telah terkabul. Orang-orang yang datang dengan intensi ini biasanya memberikan persembahan jauh lebih besar daripada yang datang memohon.
Selama kurun waktu sejam saya berada di sana, pojok dance offering rasa-rasanya tak pernah sepi. Giliran demi giliran berlangsung, hampir tak berhenti. Orang-orang dari berbagai usia, personal maupun keluarga, atau pasangan-pasangan muda yang terlihat amat membutuhkan, memakai jasa ini.
Ritus dance offering buka sejak pukul 08.00 pagi hingga 21.00 malam. Bayangkan. Jika dalam sejam sekurang-kurangnya 10 tarian dengan harga terendah ditarikan, maka selama beroperasi, sekurang-kurangnya tempat ini meraup pemasukan sekitar 20.280 baht sehari atau setara 16.224.000. Ini belum terhitung harga persembahan, kotak derma, dan tarian dengan jumlah penari lebih dari dua.
Saya memperhatikan beberapa keluarga keturunan Cina dengan wajah gembira bersimpuh sembari para penari menghantar doa-doa mereka. Yang lain, sepasang muda-mudi dengan wajah cemberut seperti baru selesai ribut terlihat berharap doa mereka dikabulkan. Si pemudi yang terlihat seperti baru selesai menangis hanya menunduk. Sementara si pemuda dengan mata yang dipaksakan sekuat tenaga untuk pejam terlihat berkomat-kamit tak karuan.
Sore itu, di depan patung dewa berwajah empat, saya berdoa dan menyampaikan satu permohonan. Namun, di kepala saya, pertanyaan dan imaji tentang Yesus yang memporakporandakan Bait Allah tampak jelas dan mengganggu. Di dalam taksi menuju Chinatown, saya tiba-tiba ragu, kalau-kalau doa saya tak bakal dikabulkan sebab saya tak membayar.
Dance Offering dari Panggung ke Panggung
Pengalaman mengamati praktik ibadah di kuil Erawan terutama menyaksikan dance offering mengingatkan saya pada obrolan mengenai invisible dance yang saya alami bersama Komunitas KAHE dan beberapa kelompok seniman dalam program bersama Teater Garasi dan Goethe Institut Indonesia. Invisible dance atau tari tak kasat mata bertumpu pada refleksi atas gagasan invisible theatre Augusto Boal dan mencoba melebarkan observasi pada ragam tari atau koreografi sosial yang ada di masyarakat.
Tidak kasat mata dalam obrolan kami menjadi begitu terbuka, tidak hanya melihat ragam-ragam aktivitas sosial sebagai sesuatu yang bisa dibaca sebagai dramaturgi/koreografi (social practice as dramaturgy/choreography), tetapi juga membaca ragam praktik tari yang ada dan berlangsung dalam masyarakat tetapi tak dibaca/dirujuk dalam diskursus tari sebagai bentuk kesenian/kebudayaan tertentu. Definisi ini tentu belum memadai tetapi cukup operasional sebagai hipotesis awal dalam membangun metode dan praktik riset yang kami lakukan. (Bahasan mengenai proyek Komunitas KAHE dalam program ini bisa dibaca di laune.id edisi berikutnya).
Saya coba berspekulasi tentang praktik ibadah di kuil Erawan dalam kemungkinan-kemungkinan parameter yang dipakai dalam observasi invisible dance. Mula-mula saya mencoba menyadari struktur peristiwa yang berlangsung di kuil Erawan. Mulai dari interaksi para pengunjung dengan para pedagang hingga mereka selesai berdoa dan keluar area kuil. Saya mengingat-ingat bentuk-bentuk interaksi, sikap tubuh, gestur, kerangka waktu dan hal-hal lainnya. Saya bertanya-tanya bagaimana warga melihat praktik ini? Aapkah ia murni dibaca sebagai ritus religius? Apakah ia adalah ia objek wisata? Pasar? Atau tari dalam dance offering turut hadir dalam diskusi tari kontemporer di Thailand? Dengan pemahaman akan sejarah seni umumnya dan terutama kebudayaan Thailand yang terbatas, saya kemudian berbagi cerita tentang apa yang sedang saya pikirkan kepada Bow.
Bow memperkenalkan saya pada Henry Tan, seorang kurator muda, manajer program seni, dan seniman yang berbasis di Bangkok. Henry pernah terlibat dalam penciptaan karya tari berbasis riset atas dance offering yang digarap oleh Kornkarn Rungsawang, seorang penari dari Pitchet Kluncun Dance Company. Melalui Henry, kami akhirnya bisa berkontak dengan Kornkarn. Ketika pertama kali bertemu di studio Pitchet Kluncun, saya kemudian sadar kalau saya pernah menyaksikan dance offering karya Kornkarn di program Kampana pada perhelatan Indonesian Dance Festival 2022 yang lalu. Obrolan santai dan hangat dengan Kornkarn kemudian berlangsung.
Sebagai seorang penari yang tumbuh dalam praktik dan observasi yang mendalam perihal tari tradisional Thailand, Kornkarn amat akrab dengan dance offering. Menurutnya, Rum-Kea-Bon sebagai ritus dan basis dari dance offering telah jadi budaya dan tercatat sejak lampau dalam sejarah Thailand. Pertunjukan ini adalah bentuk vernakular, tarian rakyat, ruang pengharapan, aspirasi, dan spiritualitas. Dilihat dari banyaknya kuil-kuil sudut jalan yang tersebar di manapun di Thailand, tari persembahan ini terbukti terus berkembang dan beradaptasi melewati perubahan sosial dan budaya.
Hal lain yang ia amati dari dance offering adalah komunikasi manusia dengan wujud tertinggi yang ia yakini ada di luar dirinya serta perihal penggunaan tubuh dan diri manusia dalam tari sebagai medium bagi perwujudan doa-doa. Mengenai hal yang pertama, hampir mirip dengan pertanyaan yang saya ajukan di atas, Kornkan bertanya tentang apa motif orang berdoa, kepada siapa mereka berdoa dan mengapa manusia membutuhkan komunikasi dengan semesta di luar dirinya.
Kornkarn melihat diri manusia bukan hanya sebagai subjek yang memohon kepada dewa, tetapi sebagai makhluk yang mampu memberi timbal balik (imbalan) ketika doa/keinginan mereka dikabulkan. Kornkarn juga menandai aspek mediasi yang perannya dimainkan oleh tubuh manusia yang menari. Baginya media dan komunikasi lintas ruang dan waktu yang hadir dalam wujud tarian persembahan ini amat menarik karena berpeluang membuka imajinasi atas ruang dan waktu yang lain, atau bahkan membuka kemungkinan penjelajahan atas realitas (semesta) yang lain dari yang eksis saat ini.
Riset-riset Kornkarn sungguh menarik. Ia dan teman-teman meneliti model-model persembahan yang biasanya dipakai dalam ritus sembahyang. Selain bunga-bunga, merpati yang saya temui di Erawan, ia juga menemukan beberapa objek lain seperti ayam, zebra, sejumlah uang dan beberapa material lain. Ia juga membuat semacam kategorisasi dari tiap-tiap material persembahan dan nilainya. Selain itu, Kornkarn juga membangun sebuah semesta virtual, realitas yang lain yang coba ia imajinasikan sebagai semesta tempat yang Ilahi berdiam.
Pada kesempatan yang lain, ia mengintervensi para penari dance offering di kuil-kuil sembahyang. Ia membayar penari untuk bertukar posisi, menarikan sendiri dance offering untuk ujud-ujud yang ia doakan. Kesadaran bahwa tubuh, tarian yang dilakukan dan dihidupinya adalah media bagi permohonan pun syukur tentu memperkaya dirinya sendiri.
Kornkarn kemudian menggarap dance offering dalam beberapa bentuk yang bisa sedikit saya terangkan di sini dengan segala keterbatasan.
Bersama Henry Tan, Kornkarn membangun sebuah pertunjukan interaktif melalui platform dalam jaringan. Ia hadir dalam sebuah ruang virtual dengan pakaian tradisional sebagaimana para penari dance offering pada umumnya. Dibantu Henry, mereka membuat avatar-avatar yang merepresentasikan persembahan-persembahan kepada dewata. Mereka juga membuat beberapa wujud dewa sebagai tujuan permohonan. Para partisipan pertunjukan bisa memilih sendiri persembahan yang akan mereka beri dan kepada dewa yang mana persembahan itu lewat fitur-fitur interaksi yang disediakan.
Kornkan sendiri sempat menguji coba memonetisasi karya ini lewat transaksi dengan partisipan. Para partisipan/penonton yang ingin berdoa, meyampaikan permohonan atau mengucap syukur kepada dewa bisa membeli dan membayar persembahan melalui paypal. Setelah pembayaran terkonfirmasi, Kornkan sebagai penampil akan menarikan dance offering bagi mereka. Para partisipan yang membayar juga bisa mengalami realitas virtual, berjumpa dengan dewa melalui gawai masing-masing.
Dalam percobaan ini, Kornkan bahkan menemui penonton yang berani membayar hingga 10.000 baht. Kornkarn kemudian menyadari transaksi ekonomi sebagai salah satu yang amat menonjol dalam praktik dance offering dalam masyarakat Thailand saat ini. Baginya pasar adalah bagian yang amat dekat dan lekat dengan agama, jika kerap diabaikan hubungannya dengan religiositas. Pertukaran yang terjadi tidak hanya bersifat spiritual belaka antara manusia dan dewa, tetapi juga terjadi pertukaran kapital antar manusia. Kata ‘pertukaran’ menjadi kata kunci dalam karya dance offering fase ini.
Dalam presentasinya di Tanzkongress 2022, Kornkarn mengeksplorasi gagasan perihal motif orang berdoa. Menurutnya, praktik dan ritus dance offering berakar kemudian berkembang dari ketakutan dan kekurangan manusia akan sesuatu: ketakutan akan kelaparan karena kemiskinan mengakibatkan keinginan akan uang dan kemakmuran; rasa takut gagal dalam tanggung jawab mengakibatkan keinginan untuk berhasil dalam studi atau pekerjaan; rasa takut disakiti atau ditinggal sendirian mengakibatkan keinginan akan keselamatan atau belahan jiwa yang cocok.
Ia juga mengeksplorasi persepsi penonton atas tari yang ia tarikan di ruang publik di Gutenbergplatz di depan Staatstheater, Mainz. Ia menghadirkan realitas imajiner melalui piranti VR (virtual reality) yang ia kenakan selama menari. Para penonton diajak berinteraksi lewat ragam bentuk: merespons tarian yang ditarikan secara langsung lewat gerak tubuh, memberi/menerima persembahan-persembahan tertentu dalam bentuk avatar melalui gawai ponsel, hingga mencoba mengalami realitas virtual yang sama yang ia alami ketika menari, melalui kacamata VR.
Pada pentas di Indonesian Dance Festival, Kornkarn mengajak penonton menghaturkan doa/keinginan melalui sebuah kuil digital. Jika terkabul, ia menari sebagai bentuk timbal balik (imbalan). Kuil digital yang ia rancang adalah ruang imajiner tempat harapan, keinginan, dan keyakinan berada. Sebuah ruang negosiasi imajiner antara yang duniawi dan ilahiah. Untuk memanipulasi proses persembahan, sebuah headset VR dipakai di kuil digital ini. Setiap penonton juga bisa menyaksikan visual secara personal, lewat pengalaman AR (augmented reality) di gawai masing-masing.
Secara personal, bagi saya upaya Kornkarn menggarap dance offering dalam berbagai format telah membangun perspektif juga trajectory karya ini sekaligus keberadaan dance offering dalam praktik warga yang ia rujuk dalam spektrum tari tradisional, skena seni, praktek religiositas yang berbasis pada budaya dan sejarah, serta transaksi ekonomi yang lekat dengan pariwisata. Tawaran-tawaran gagasan dan bentuk yang ia bangun dari waktu ke waktu setidaknya membincangkan dimensi-dimensi tersebut, yang hadir secara nyata dalam ritus juga praktik yang dilakukan warga dan mudah sekali ditemui di jalan-jalan kota Bangkok serta wilayah lain di Thailand.
Lebih personal lagi, saya merasa mendapat referensi untuk memikirkan kembali proyek invisible dance, observasi atas praktik/fenomena sosial budaya yang dibaca sebagai koreografi. Dance offering versi Kornkarn adalah wujud yang bisa dijadikan acuan terutama soal cara mempresentasikan hasil riset/analisis sosial menjadi sebuah pertunjukan seni. Unsur-unsur pertunjukan seperti dramaturgi, penampil, panggung dan pemanggungan, reproduksi artistik dan makna serta eksplorasi media dalam dance offering versi Kornkarn dikembangkan dengan sangat baik dari fase ke fase dan bernilai sebagai rujukan.
Ketika saya bertanya apakah pertanyaan-pertanyaannya perihal keyakinan dan agama yang ia kemukakan sejak awal sudah terjawab, Kornkan dengan mudah menjawab belum dan mungkin tak apa-apa untuk tidak terjawab. Bagi saya, pilihannya membangun realitas virtual dalam karya ini, beserta realitas-realitas tambahan lainnya adalah sebuah upaya membangun ruang bersama yang global, yang meretas batas-batas religiositas, budaya, ruang fisikal maupun status sosial ekonomi. Jika ditarik lebih jauh, realitas-realitas imajiner dan simbolik yang coba ia bangun dalam pertunjukannya bisa jadi adalah utopia lain, sebuah semesta apokaliptik-eskatologis, harapan juga doa, yang ada dan terus dihidupi oleh manusia. Minimal, sebagai unsur paling inti dan intim dalam setiap sembahyang.
Perjalanan ke Bangkok adalah bagian dari riset kuratorial untuk Biennale Jogja 2023.