Artefak, Gerak, dan Memori dalam Tari Gong

 

The Enchantment of Tari Gong – selain sebagai karya tari, saya juga menganggapnya seperti kendaraan yang mengantarkan saya ke berbagai macam tempat. Tempat yang membuat saya tumbuh sebagai koreografer tari kontemporer dan memahami semestanya. Juga mengantarkan saya ke hal-hal yang tidak saya duga sebelumnya. Karya ini juga memberikan saya pemahaman tentang tubuh.

Saya ingat di tahun 2016 lalu, untuk pertama kalinya saya ingin sekali menciptakan karya tari yang berangkat dari rasa penasaran terhadap tari kontemporer. Tiga tahun belakangan memang saya sedang tertarik dengan karya-karya tari kontemporer.

Ketika menonton, seperti ada sensasi yang diberikan si karya ke saya. Saya seperti diajak berdialog. Sensasi ini berbeda ketika saya menonton tari kreasi daerah. Saya melihatnya sebagai suatu perayaan karena selalu berkesan megah dan meriah. Namun menonton tari kontemporer, hubungan saya menjadi lebih intim dengan karya. Dari sanalah, kemudian saya terpacu untuk mengenal dan menelusuri dunia ini.

Namun karena pengalaman mencipta saya hanya berangkat dari sanggar tari asrama daerah di Yogyakarta, saya masih merasa kebingungan bagaimana seharusnya mencipta tari kontemporer. Pikir saya waktu itu, ini tidak hanya tentang membuat gerakan dan menghitung dari satu hingga delapan berulang kali dengan ritme tertentu. Akhirnya setelah melakukan pengamatan singkat di internet dan melihat pertunjukan tari kontemporer di Yogyakarta, saya memulainya dari hal yang terdekat dengan saya dulu.

Saya adalah penari tari tradisi Kalimantan Timur di Yogyakarta. Saya mempelajari dan mementaskan beberapa karya tari tradisi dan kreasi Kalimantan Timur dan Utara. Namun yang paling memesona saya waktu itu adalah tari Gong. Tidak seperti banyak tarian di Indonesia, si penari hanya berada di satu titik. Namun justru titik ini meluaskan pandangan saya sebagai penonton (dan terkadang di pengalaman saya, sebagai penari). Si penari akan bergerak lembut dan berputar di atas gong dari level atas ke bawah dan kemudian kembali ke atas lagi. Saya juga melihat dan merasakan kekuatan gerak dan tubuh penari selama proses putar dari atas ke bawah ini. Ia seperti membangun koneksi, tidak hanya ke bumi tapi juga ke sekitar.

Bekal itulah yang saya bawa untuk mencipta tari kontemporer pertama saya. Saya memberi judul The Enchantment of Tari Gong karena berangkat dari pengalaman saya yang terpesona akan tarian tersebut dan juga pada saat yang sama saya sedang membaca buku Pagelaran yang ditulis oleh Lono Simatupang. Salah satu bagiannya menjelaskan tentang teori Alfred Gell “The Technology of Enchantment and the Enchantment of Technology”. Saya meminjam tawarannya untuk mendekati tari Gong karena kala itu sangat sesuai dengan kondisi saya yang tidak punya wawasan yang lebih dalam tentang tari Gong.

Saya kemudian mengajak penari yang berasal dari Kalimantan Timur dan penari tari Gong. Melalui penari ini, saya ingin menelisik bagaimana kesadaran tubuh penari bekerja. Saya melepaskan konteks sosial tarian ini supaya bisa mencerna dan menggali lebih dalam pengalaman dan peristiwa ketubuhan penari. Kami berdua mencari pengalaman estetis ketika menari tari Gong yang dimulai dari sensasi motoriknya. Karena yang dicari adalah sensasi motoriknya, maka yang saya mainkan adalah tempo tubuh penari ketika menari dari sangat lambat ke sangat cepat.

Kami berdua kemudian mencatat sensasi yang didapatkan selama mencoba tempo yang bervariasi itu. Catatan inilah yang kemudian menjadi bekal saya menciptakan The Enchantment of Tari Gong #1 dan juga bekal saya dalam mencipta tari kontemporer. Saya pun mulai memahami bagaimana berkomunikasi dengan penari, apa itu tubuh dan bagaimana memperlakukannya.

Bekal ini pula yang mengantarkan saya ke karya selanjutnya, The Enchantment of Tari Gong #2, dengan fokus pada energi penari ketika menarikan tari Gong. Sebelumnya, saya mengira bahwa energi adalah kekuatan (power), sehingga yang dikejar adalah stamina. Namun ternyata, setelah bekerja lebih dalam dengan tubuh pada proses penciptaan saya sebelumnya, saya mulai memahami bahwa energi lebih dalam dan lebih subtil. Ia tidak sekedar kekuatan. Ia juga berarti getaran (vibration). Karena itu, yang dilihat dan dibongkar adalah ruang dalamnya, sehingga eksplorasi saya kala itu fokus pada bagaimana mengenali ruang dalam masing-masing penari.

Kami akhirnya lebih banyak bermeditasi, mempelajari yoga, dan mencoba terhubung dengan getaran sekitar dengan menghidupkan seluruh indera. Ini pula yang memperkaya percakapan saya dengan beberapa kawan yang merasa bahwa ketika menonton tarian, mereka merasa tubuhnya kosong karena sekedar menggerakkan gerak tari. Bekal saya sebagai koreografer pun bertambah.

Sehabis presentasi karya tersebut, saya menabung untuk bisa ke kampung Dayak di Berau. Kunjungan saya bertujuan agar bisa mendapatkan lebih banyak informasi terkait tarian ini. Saya ingat waktu itu, dengan tabungan yang seadanya saya mengajak Azwar untuk menelisik tarian ini. Kami berdua bersiasat. Azwar datang terlebih dahulu dan mengamati beberapa kampung Dayak yang sekiranya dapat menunjang pencarian kami tentang tari Gong.

Dengan kondisi keuangan saya saat itu, akhirnya kami hanya memilih Kampung Merasa untuk kami datangi dengan durasi waktu 3 hari. Kami berdua sepakat, ketika datang di kampung tersebut kami tidak hanya mencari tahu tentang tari Gongnya tapi juga bagaimana kehidupan masyarakatnya saat ini. Hal ini penting bagi saya untuk diketahui karena saya percaya suatu tarian juga tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Tidak disangka ternyata masyarakat di sana tidak terlalu tahu tentang tari Gong. Tarian ini hanya diturunkan melalui gerak dengan cara meniru. Saya akhirnya mencoba mencari informasi dari beberapa generasi tentang Gong yang kemudian saya bagi menjadi tiga hal. Gong sebagai alat tukar pada generasi yang berusia lebih dari 90 tahun, sebagai alat komunikasi pada generasi yang usianya rata rata di atas 50-an tahun, dan sebagai tarian dalam suatu perayaan pada generasi sekarang.

Saya juga melihat bagaimana kehidupan masyarakat Dayak di kampung Merasa yang sangat dekat dengan alam dari bagaimana pengetahuan mereka tentang tanaman dan tumbuhan serta cara mereka memanfaatkan hasil alam di sana.

Saya akhirnya membuat karya selanjutnya, namun dengan judul berbeda – Resonansi. Saya menggunakan pendekatan persepsi untuk mendekati kenyataan yang paling dekat dengan sejarah tari Gong. Di sini saya sadar bahwa saya sedang berbicara tentang suku Dayak yang sedang saya representasikan melalui karya. Sehingga saya harus sangat hati-hati dan menyadari posisi saya pada karya ini. Hal ini pula yang menambah catatan dan pengingat saya sebagai seorang koreografer.

Karena masih terbatas dengan informasi tari Gong, akhirnya saya mendekati tarian ini dengan mengulik kembali data-data yang saya dapatkan. Kali ini, saya mengajak Azwar dan Linda untuk membantu saya membaca kembali data-data yang saya punya. Kami sampai pada titik melihat tari Gong dan suku Dayak Kenyah hari ini yang termediasi oleh media digital sehingga tiga karya saya selanjutnya selalu lekat dengan kehadiran kamera dan layar, ditambah dengan kondisi pandemi yang menguatkan isu tersebut.

Kami menemukan bahwa kamera dan video tidak hanya sebagai teknologi untuk merekam dan mentransfer dokumentasi tapi juga sebagai media artistik. Mengalami medium video jadi hampir sama seperti menelusuri sejarah tari Gong melalui potongan-potongan artefak, gerak dan ingatan; di mana jarak, penyesuaian fokus dan distorsi saling terkait.

Karya Enchantment of Tari Gong dalam Kampana Trajectory IDF 2020 – Eka Wahyuni

 

Akhirnya saya menciptakan karya Enchantment of Tari Gong dalam program Kampana Trajectory IDF 2020. Dari sini, akhirnya penelusuran kami lebih dalam dan melihat bagaimana konsep keindahan pada gerak dan tubuh perempuan (terutama penari tari Gong) yang hadir karena perspektif kamera melalui karya Pesona yang ditampilkan secara daring dalam program Helatari Salihara 2021.

Setelah itu kami menandai ada gejala yang khas berupa selera, rasa, sudut pandang, bahkan pertimbangan estetis dan etis dari cara si pemotret dalam menatap tari Gong. Seolah ada panduan yang tak bisa diindera turut mengatur sudut pandangan lensa. Saya pun membuat karya dengan judul yang sama, Pesona, dengan mempertukarkan sudut pandang dan membaca ulang unsur-unsur yang turut mempengaruhi rasa visual jepretan lensa foto terhadap tari Gong Dayak Kenyah. Karya ini ditampilkan di Indonesian Dance Festival 2022 dalam program Kampana.

Beberapa waktu setelah pementasan Pesona, saya lalu bertemu Ridho dan melihat potensi yang lain. Bahwa artefak pada karya ini, yakni hasil foto-foto yang dipotret oleh penonton melalui kamera gawainya, jika kemudian dilepas dari asalnya apakah orang yang berinteraksi dengan hasil foto-foto tersebut akan melihat kesamaan dan sekaligus perbedaan pola dan sudut pandang dalam menangkap momen?

Foto-foto ini akhirnya kami bawa dan pamerkan di festival BabadLembâna 2022 dan disaksikan oleh warga Lembâna dan sekitarnya dengan judul Sehabis Pesona. Hal yang menarik yang saya lihat di festival ini adalah bagaimana warga terlibat dan menginterpretasi karya secara bebas.

Satu waktu, saya pernah menemani satu keluarga untuk melihat karya saya. Mereka sangat antusias, terutama si Ibu. Karya saya mengingatkannya kembali pada kenangannya sewaktu menjadi penari. Dan foto-foto Sehabis Pesona itulah yang menjadi pantikan utama ingatannya tersebut. Pertemuan karya dan pengunjung akhirnya menghilangkan satu batasan dan memberikan satu perspektif baru.

BabadLembâna adalah persinggahan terbaru karya ini. Tentu karya ini akan melanjutkan perjalanannya. Masih banyak potensi yang bisa saya kembangkan dan masih banyak catatan yang mesti saya realisasikan. Semakin ke sini saya juga semakin yakin bahwa karya-karya ini bermuara pada satu tempat, yakni (koreografi) tubuh.

Saya menyadari bahwa beberapa karya terakhir saya juga melihat bagaimana tubuh pun dikoreografi oleh tangan-tangan yang tidak tampak. Dan dengan menyadarinya, paling tidak bagi saya sendiri, dapat membebaskan diri saya dari sistem ini,rerta dapat membicarakannya secara aman. Karena hal ini pula, sebagai koreografer, saya senang karena berada di jalur yang tepat. Saya dapat mengungkapkan hal-hal yang sulit diungkapkan lewat jalur-jalur kesenian.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th