Perempuan Penyihir dan Kapitalisme

 

Fenomena

Dalam dekade terakhir, dunia politik Amerika Latín diwarnai dengan kebangkitan ideologi kiri, sosialisme (kemenangan sosialisme mencapai puncak dengan terpilihnya Lula, Presiden Brasil yang terpilih pada 31/10/2022). Orang-orang dari golongan sayap kiri (Los Izquierdistas), menurut saya, cerdas membaca situasi sosial kultural dan lihai dalam memilih diskursus politik. Ketika golongan kanan (Los Derechistas) memilih berdiam dalam tempurung konservatisme-tradisionalisme, para politisi sayap kiri getol mempromosikan diskursus resistensi. Dengan semangat postmodernisme, orang-orang kiri membangkitkan gairah perlawanan di akar rumput, tidak hanya dalam aspek ekonomi, tetapi yang menjadi senjata ampuh adalah perlawanan di ranah sosial-kultural. Politik kiri mengakomodasi diskursus feminisme, dekolonisasi, dan ideologi gender.

Seiring dengan berkembangnya paham anti katolisisme di Amerika Latin, perbincangan tentang inklusivisme bergaung di ruang-ruang akademis hingga di sudut-sudut jalanan. Gerakan feminisme dan LGBTIQ semakin militan memerjuangkan hak-hak orang-orang terdiskriminasi dalam sistem masyarakat patriarkal. Bahkan di ranah teologi Katolik, bangkit beragam refleksi dengan pendekatan kontekstual yang menggunakan logika resistensi. Tidak heran jika banyak aliran teologi di Amerika Latin sering dicurigai berbau Marxist atau teologi Kiri.

Fenomena menarik terjadi pada seremoni pelantikan Presiden Colombia terpilih Gustavo Petro beberapa bulan yang lalu. Sejarah mencatat Petro sebagai presiden pertama Colombia dari partai politik sayap Kiri, Pacto Histórico. Beberapa hari sebelum pelantikan Presiden Petro, berkumpul ratusan orang pribumi (Indigenas) dari pelosok-pelosok Colombia di depan Istana Presiden dan Gereja Katedral Agung di Bogotá (di seluruh negara bekas jajahan Spanyol di Amerika Latin, Gereja Katedral dan Istana Presiden atau Gubernur dibangun berdampingan sebagai simbol kesatuan Gereja dan Negara). Yang menarik dari fenomen ini adalah los indigenas melakukan seremoni atau ritual adat yang sejak berabad-abad oleh para penjajah Spanyol dan oleh Gereja Katolik dianggap sebagai bidaah atau La Brujeria (Perdukunan atau Sihir). ’Perempuan-perempuan penyihir (Las Brujas)’ dengan dupa dan kembang, menari bersorak-sorai, membacakan mantra-mantra, merayakan kemenangan Presiden Petro, presiden orang-orang Kiri.

Bagi orang-orang Kristen dan Katolik di Colombia, fenomena ini tentu merupakan fenomena terkutuk, pencemaran iman katolik, penyembahan iblis, dan pembawa malapetaka bagi Colombia. Namun, saya melihat fenomena ini sebagai salah satu bentuk perlawananan terhadap hegemoni Gereja katolik yang sejak zaman kolonisasi spanyol memberanguskan tradisi-tradisi pribumi dan menganggap bidaah beragam praktik adat indígenas yang diindentifikasi sebagai paganisme, animisme, dll. Para ‘perempuan penyihir’ ini menampakkan dirinya sebagai wujud resistensi. Bagi mereka kemenangan Petro, adalah kebangkitan mesias yang membawa harapan bagi pembebasan tradisi-tradisi indígenas dari hegemoni Katolisisme dan lebih dari itu pembebasan tubuh perempuan dari lilitan perbudakan kapitalisme (politik golongan Kanan). Di sinilah diskursus resistensi orang-orang Kiri menjadi relevan.

 

Perempuan dan Penyihir

Sudah sejak 20 abad yang lalu, banyak tradisi mitos dan kepercayaan religius membangun perspektif inferioritas gender. Perempuan, dianggap sebagai sumber dosa dan penyebab keburukan di dunia. Pandora, Eva, dan masih banyak lagi sosok perempuan dalam kepercayaan kuno yang dituduh sebagai sumber malapetaka bagi kemanusiaan.  Salah satu figur feminim yang sampai saat ini masih dianggap sebagai representasi kejahatan, teror dan malapetaka adalah perempuan penyihir.

Tradisi kuno mencatat relasi para perempuan penyihir dengan ritus dan mitologi Dewi Hécate, Dewi Berkepala Tiga (Ular, Kuda dan Anjing), penguasa tumbuh-tumbuhan beracun, dengan kemampuannya untuk menyembuhkan maupun mematikan. Bacaan-bacaan dongeng anak-anak, film-film horor tentang penyihir, dan kepercayaan-percayaan masyarakat tradisional mengilustrasikan perempuan penyihir sebagai seorang perempuan tua dengan kemampuan supranatural, terbang dengan sapu, membuat ramuan beracun, membunuh orang-orang dari jarak jauh, menculik anak-anak serta mengadakan pesugihan dan perjanjian dengan iblis.

Namun menariknya, rumpun bahasa indoeuropea mengidentifikasi perempuan penyihir ini dengan terminologi Weik, ‘Portadora del Conocimiento’ (Pintu gerbang ilmu pengetahuan). Dalam Bahasa Inggris kata Witch memiliki akar kata Wicca yang berarti penyembuh atau peramu. Menurut Manuela Dun Mascetti dalam bukunya Diosas, La canción de Eva, para Witches adalah kaum medis pertama. Namun karena perkembangan paham machisme dan patriarkalisme, figur Witch mendapat konotasi negatif sebagai perempuan tua dengan kemampuan supranatural, buruk rupa dan jahat.

 

Perburuan Perempuan Penyihir dan Kapitalisme

Fenomena ritus las brujas dalam seremoni pelantikan Presiden Colombia, Gustavo Petro, bagi saya, menarik untuk diulas lebih dalam, khususnya tentang relasi sejarah pemburuan ‘perempuan penyihir’ dengan sistem politik-ekonomi kapitalisme. Silvia Federici, seorang feminis Italia mengafirmasi bahwa pemburuan dan inkuisisi oleh Gereja dan Negara terhadap perempuan penyihir atau terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan ritus okultisme adalah salah satu fenomena mengerikan di abad pertengahan yang dapat digolongkan sebagai pemusnahan sistematis terhadap perempuan, dilatarbelakangi proses pembentukan model ekonomi baru dalam masyarakat, yaitu sistem kapitalisme. Motifnya jauh lebih kompleks daripada sekedar motif religius.

Pada pertengahan abad ke-18 ketika kaum kapitalis mendominasi sistem ekonomi dan produksi pengetahuan, cerita-cerita tentang pemburuan dan inkuisisi para perempuan penyihir oleh banyak sejarawan hanya dianggap sebagai fenomena purifikasi ajaran agama. Hampir tidak ada sejarawan yang melihat fenomena abad pertengahan ini dalam bingkai politik ekonomi, apalagi menidentifikasi motif kapitalisme yang tersembunyi di balik pemusnahan para perempuan penyihir ini.

Dokumen-dokumen kuno tentang pemburuan para penyihir ditulis oleh mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan Gereja dan Negara, yaitu para hakim inkuisisi, magisterium gereja dan para demonolog. Baru pada tahun 1970an El Movimiento de Liberación de la Mujer (Gerakan Pembebasan Perempuan) melakukan studi yang mendalam tentang la caza de brujas (perburuan perempuan penyihir) dan menganalisis motif ekonomi yang tersembunyi dibalik inkuisisi.

Silvia Federici dalam bukunya “Calibán y la bruja. Mujeres, cuerpo y acumulación originaria” menyajikan investigasi yang mengulas secara mendalam tentang relasi pemusnahan para perempuan penyihir dan upaya mengimplementasikan sistem ekonomi kapitalisme modern.

Perburuan perempuan penyihir merupakan elemen penting dalam membangun sistem kapitalis modern karena secara tegas mengubah hubungan sosial, dimulai dari hubungan laki-laki dan perempuan, kemudian hubungan perempuan dan negara. Perburuan penyihir melemahkan perlawanan akar rumput terhadap transformasi yang menyertai kebangkitan kapitalisme di dunia barat, misalnya perampasan hak-hak sipil atas tanah komunal, kemiskinan dan kelaparan masif, kemunculan populasi proletariat tak bertanah yang mayoritasnya adalah perempuan tua yang dibatasi kemampuan kreatif dalam mengolah tanah dan meramu obat-obatan.

Perburuan penyihir mengancam eksistensi para tabib dan bidan perempuan. Mereka yang memiliki keahlian menyembuhkan dan meramu obat-obatan dicurigai sebagai penyihir. Apalagi, para perempuan yang memiliki sistem pengetahuan medis dan keahlian pengobatan yang berbeda dengan yang diproduksi oleh sistem kapitalis. Perburuan penyihir di Eropa mewariskan model feminitas baru yang mengafirmasi inferioritas perempuan dalam strata sosial.

Dalam bayang-bayang perburuan penyihir, perempuan berada dalam lingkaran ketakutan untuk menciptakan kegiatan ekonomi kreatif dan mandiri. Perburuan penyihir bukan hanya perang melawan perempuan, melainkan seluruh komunitas desa, petani dan tukang. Fenomena ini menciptakan bentuk baru konsep keluarga dan disiplin sosial di tempat kerja, terutama bagi perempuan. Transformasi tubuh proletariat diorganisasi secara ekstensif.

Perburuan penyihir berada dalam konteks perjuangan yang dilakukan oleh proletariat abad pertengahan – petani kecil, pengrajin, buruh – melawan kekuasaan feodal dalam segala bentuknya. Perempuan adalah bagian dari proletariat itu dan akan secara aktif berpartisipasi dalam perang melawan privatisasi properti komunal yang mengguncang Eropa pada akhir Abad Pertengahan dan yang secara mendalam mengubah kehidupan para budak.

Pada abad pertengahan, kerja diorganisasi berdasarkan subsisten, pembagian kerja secara seksual kurang menonjol dibandingkan dalam sistem kapitalis, tidak ada pemisahan sosial antara produksi barang untuk hidup dan reproduksi. Namun, dalam transisi sistema kapitalis terjadi penggantian layanan kepada majikan untuk pembayaran uang, monetisasi kerja, proletarisasi banyak budak, serta implikasi sosial ekonomi dalam kehidupan perempuan karena dalam keluarga perempuan memiliki akses langsung dalam keuangan dan kepemilikan tanah.

Sihir dan praktik okultisme lainnya dikategorikan sebagai ajaran sesat oleh Magisterium Gereja. Namun dalam konteks Abad pertengahan, perkembangan berbagai ajaran ‘sesat’ juga dapat dilihat sebagai manifestasi lain dari perlawanan terhadap perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat. Partisipasi dan peran perempuan dalam gerakan ‘sesat’ tersebut bukanlah kebetulan. Bidaah dan Sihir adalah praktik yang paling banyak diasosiasikan kepada wanita. Kekuasaan Gereja dan Negara mati-matian melawan ajaran ‘sesat’ ini sehingga pada pertengahan abad ke-15 pengadilan terhadap para perempuan penyihir diadakan di beberapa negara Eropa.

Perburuan penyihir berimplikasi pada citra perempuan dalam masyarakat. Kecurigaan terhadap perempuan penyihir menumbuhkan mentalitas misogini. Salah satu akibat buruk dari perburuan penyihir adalah pemerkosaan terhadap perempuan proletar tidak lagi dianggap sebagai kejahatan di banyak kota di Eropa. Degradasi dan domestikasi perempuan serta redefinisi feminitas-maskulinitas pada periode ini ditandai dengan pengusiran perempuan dari ruang publik karena dianggap membahayakan tatanan sosial baru. Kebanyakan wanita petani miskin, yang dicurigai penyihir karena melakukan praktik meramu obat atau tumbuhan herbal, menjadi sasaran penganiayaan ini.

Kelas penguasa Eropa melancarkan serangan global terhadap masyarakat proletar selama hampir tiga abad yang kemudian membangun fondasi sistem kapitalis dunia. Bagian penting dari strategi ini adalah apa yang disebut Foucault sebagai “disiplin tubuh” untuk mengubahnya menjadi tenaga kerja yang patuh. Strategi untuk mencapai ini sangat keras dan melibatkan ribuan eksekusi. Perburuan dan pembakaran penyihir berada dalam upaya ‘mendisiplinkan’ tubuh perempuan.

Para kapitalis abad pertengahan melakukan serangan terhadap perempuan karena perempuan proletar adalah yang paling getol menolak penyebaran ide-ide kapitalis sebab kekuasaan mengontrol seksualitas mereka, kendali atas reproduksi dan kemampuan perempuan untuk menyembuhkan. Praktek penyembuhan oleh para tabib perempuan yang kemudian dicurigai sebagai penyihir dianggap berlawanan arah dengan disiplin kerja baru.

Disiplin untuk pembentukan konsepsi “menjadi perempuan” ini dilakukan melalui tindakan koersif dan kekerasan, baik fisik, mental maupun simbolis. Tujuan akhir dari tuduhan, penghukuman, penyiksaan dan kematian para perempuan penyihir, antara lain, penyerahan ruang-ruang penting bagi partisipasi sosial perempuan, seperti penyembuhan, bidang kesehatan, yang kemudian didominasi laki-laki untuk membangun profesi kedokteran. Semua itu bertujuan untuk menutup, merongrong dan mereduksi ruang sosial, ekonomi dan politik bagi partisipasi perempuan, kemudian menciptakan keterkungkungan fisik domestik dan keterkungkungan relasional.

Dengan kata lain, perburuan penyihir adalah penganiayaan untuk merendahkan, menghancurkan dan mereduksi kekuatan sosial perempuan. Penyihir dikecam karena pergaulan bebas dan praktik sesat karena dalam sistem kapitalis ada kebutuhan untuk mengatur seksualitas laki-laki dan perempuan untuk tujuan reproduksi.  Perempuan harus tinggal di rumah membesarkan anak-anak mereka untuk menjadi pekerja disiplin di masa depan dan laki-laki harus tetap bekerja dan menjadikan tubuh mereka alat bagi jam kerja yang panjang. Perburuan penyihir adalah langkah strategis dalam mengubah seksualitas wanita menjadi pekerjaan.

 

Refleksi 

Fenomena ritus ‘brujeria’ pada seremoni pelantikan Presiden Colombia, Gustavo Petro, membangkitkan kembali memori inkuisisi dan perburuan perempuan penyihir di Amerika Latin. Atas nama pembangunan peradaban Kristiani, para penjajah menafsir kepercayaan dan ritus tradisional indígenas sebagai karya diabolos. Pemusnahan sistematis para perempuan penyihir dianggap bagian dari purifikasi masyarakat dari kekuasaan iblis sekaligus pengukuhan model ekonomi baru, Kapitalisme. Para perempuan indígenas adalah sosok yang paling gencar menentang kolonialisme serta indoktrinasi para misionaris yang bermental misoginis dan memiliki konsep tentang ilmu sihir warisan Eropa.

Pembakaran para perempuan penyihir di tiang-tiang hukuman menciptakan trauma mendalam bagi para perempuan sepanjang sejarah. Perempuan-perempuan takut bermimpi untuk ‘terbang’. Sayap-sayapnya dipatahkan oleh belenggu patriarkalisme. Tubuhnya dirantai oleh sistem kapitalis. Perburuan penyihir di zaman ini termanifestasi dalam wajah baru melalui beragam sistem sosial yang mengekang hak-hak perempuan untuk mengaktualisasi diri secara penuh, dengan kreativitas dan bakat yang dimiliki.

Sekarang, di Amerika Latin, ritus-ritus tradisional oleh para perempuan indígenas yang dicurigai ‘brujas’ dianggap sebatas patrimonio atau warisan budaya. Namun, semangat resistensi untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap tubuh dan otonomi perempuan tetap membara. Bau dupa dan kemenyan simbol kesucian tubuh perempuan merebak di sudut-sudut desa dan kota. Mantra-mantra dan kidung protes terhadap kelaliman dan penindasan sistem kapitalis bergaung di tiap persimpangan jalan. Perempuan-perempuan kini berjuang untuk keluar dari ketakutan. Pelan-pelan mengepakkan sayapnya yang dirantai berabab-abad. Berani untuk terbang tanpa takut dicurigai si tua penyihir, buruk rupa dan jahat.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] para perempuan penyihir (Las Brujas) di Columbia, seperti yang digambarkan Roy Ngatu dalam Perempuan Penyihir dan Kapitalisme, memperlihatkan bagaimana imaji-imaji negatif yang diproduksi Gereja Katolik dan Pemerintah […]

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 16th