Turut Berduka Cita

 

Ananta Dewi Rahayu (b.2000, Bandung) adalah seorang mahasiswi Seni Rupa Murni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia gemar bereksperimen dengan berbagai disiplin dan memiliki ketertarikan pada sastra, matematika, seni audio-visual, dunia digital, dan fiber art. Karya tulis essaynya tergabung dalam buku “Seni Lukis, Anak, dan Jogja Kyoto” dari IVAA tahun 2021. Saat ini ia bekerja sebagai pengajar di Drawing Home Studio Yogyakarta dan editor tulisan lepas. Keterlibatannya sebagai peserta OpenLab Teater Garasi tahun 2021 memulai projeknya yang mengulik bagaimana duka diekspresikan dalam dunia virtual di Indonesia. Bagi Ananta, seni merupakan cara untuk berbicara.

 

Eka: Terima kasih untuk Ananta Rahayu yang sudah berkenan hadir di podcast Lau Ne edisi Warga dan Ritus. Pada podcast kali ini, kita akan berbincang-bincang mengenai karya work-in progress dari Ananta yang berjudul Turut Berduka Cita. Karya ini pertama kali dipresentasikan di Open Lab Teater Garasi. Bagi saya, karya ini sangat personal karena menampilkan bentuk-bentruk pemanggungan yang sangat dekat dengan saya sebagai seorang Katolik karena presentasinya dalam bentuk Ibadat Sabda. Gagasan yang ditampilkan karya ini juga sangat bagus.

Tapi, sebelum kita bicara lebih jauh soal karyamu, apa kesibukan Ananta saat ini?

Ananta: Belakangan ini, selain tugas akhir, saya juga bekerja di Yayasan Biennale Yogyakarta, mengajar di Drawing Home Studio Yogyakarta. Tiga hal ini yang paling menyita waktu saya saat ini.

Eka: Di ISI Ananta belajar apa?

Ananta: Di ISI, saya mengambil jurusan seni rupa murni dengan peminatan seni patung.

Eka: Tugas akhir Ananta soal apa?

Ananta: Saya mengangkat soal idiom-idiom anggota tubuh dalam bahasa Indonesia karena menurut saya kalau dibayangkan secara bentuk, idiom-idiom anggota tubuh seperti ‘empat mata’, ‘kepala keluarga’, dan ‘tulang punggung’ relasi bentuk dan maknanya menjadi unik. Idiom-idiom ini pasti berbeda di bahasa-bahasa lain. Karena itu idiom-idiom ini bisa menjadi semacam bentuk identitas kita yang tidak disadari.

Eka: Apakah tugas akhirnya dalam bentuk tulisan?

Ananta: Saya mengambil bidang penciptaan.

Eka: Berarti akan ada karya yang ditampilkan dari idiom-idiom tersebut?

Ananta: Silakan ditunggu!

Eka: Sebenarnya, apa latar belakang gagasan Ananta untuk bekerja dengan idiom-idiom itu?

Ananta: Saya dari kecil suka menulis dan dekat dengan karya-karya sastra. Bapak saya kalau memberi nasihat juga biasanya memakai idiom-idiom seperti ‘tangan kanan’ ketika dia bicara soal masalah di tempat kerjanya. Mungkin, dari sini saya merasakan kedekatan dengan idiom-idiom itu. Lalu kemudian saya tertarik untuk menggarap visualnya dalam bentuk patung.

Eka: Sekarang kita akan bicara soal karyamu di Open Lab, Turut Berduka Cita. Dari mana sebenarnya gagasan untuk karya ini muncul?

Ananta: Turut Berduka Cita itu pada esensinya adalah upaya saya sebagai seorang anak untuk menanggapi atau merayakan kematian ibunya. Bisa juga dilihat sebagai persembahan kasih yang terlambat. Saya mulai menyadari soal bentuk ibadah online itu ketika saya mengikuti ibadah pemakanan dari ayah sahabat saya beberapa bulan sebelum saya mendapat kabar mama saya meninggal. Ada ratusan orang yang hadir di room Zoom itu. Di situ, saya merasa seperti menonton kembali video bagaimana almarhum dimakamkan, ada doa bersama juga. Kemudian, saya merasa “sampai segininya.”

Waktu itu, saya dan beberapa teman membuat grup chat sendiri untuk saling bertanya kalau ada hal yang tidak dimengerti. Di grup chat itu, saya kemudian menemukan ada percakapan-percakapan yang menurut saya tidak sopan untuk dilakukan pada saat ibadah pemakaman ayah dari teman saya. Saya merasa tersinggung dengan hal itu karena menurut saya kita lagi berada di ibadah pemakaman orang tua sahabat kita sendiri.

Eka: Lalu, bagaimana selanjutnya?

Ananta:  Beberapa bulan setelah itu, saya mendapat kabar kematian mama saya via telepon secara tiba-tiba. Saat itu, saya belum tahu bagaimana saya harus merespon itu karena pada saat ditelepon, saya diberitahu bahwa sore nanti mama akan dimakamkan. Saat itu, saya di Yogyakarta dan mama di Jakarta. Jadi, waktu itu saya hanya menunggu link Google Meet untuk menonton pemakaman mama. Setelah itu, tidak ada kelanjutan. Saya tidak diberitahu harus berbuat apa setelah itu.

Kemudian, saya lihat di status Whatsapp postingan soal acara yasinan untuk mama. Mama saya muslim, sementara saya sendiri Kristen. Karena ditinggal mama dari SD, hubungan saya dengan keluarga mama tidak terlalu dekat. Dari situ, muncul banyak kebingungan pada diri saya. Saya merasa saya ini anak mama saya, tetapi tidak melakukan apapun untuk kematian mama saya. Namun, apa yang harus saya lakukan? Apa yang bisa saya lakukan?

Ini juga kematian orang terdekat saya yang pertama. Sebelumnya, saya tidak dekat dengan ritual apapun berkaitan dengan kelahiran atau kematian. Saya bertumbuh di Kota Bandung. Orangtua saya bekerja. Jadi, lebih banyak waktu saya habiskan sendiri. Di sekolah saya juga tidak diajarkan soal bagaimana merespon peristiwa seperti kematian. Jadi, ketika berhadapan dengan kematian mama, saya sendiri bingung bagaimana meresponnya. Di Turut Berduka Cita sendiri, tiga ata kuncinya adalah: ritual kematian, agama, dan konsep virtual.

Eka: Apakah kamu bisa memberikan gambaran soal latar belakang kamu dan keluarga untuk membantu memahami konteks karyamu itu?

Ananta: Saya lahir pada tahun 2000 yang mana sudah dekat dari kecil dengan gadget dan internet. Saya besar di Kota Bandung, di pusat kota. Sebagian besar masa kecil saya, saya dibesarkan oleh ayah, yang mana ayah orang yang sangat rasional, strategis, manajemen, tidak dekat dengan perasaannya. Saya sudah tidak dididik atau diasuh oleh mama dari SD sehingga tidak punya banyak memori tentang beliau karena kedua keluarga saya dari mama dan bapak tidak dekat. Dari kecil sampai sekarang, saya merasa sulit untuk dekat dengan kedua keluarga. Mungkin karena besar di kota dan tidak banyak mendapat paparan tradisi atau adat, saya bingung untuk menyikapi hal-hal yang bisa dirayakan dengan upacara atau perkumpulan, hal-hal semacamnya yang asing buat saya.

Eka: Agama bagimu kemudian jadi sangat kuat, jadi rujukan perayaan juga?

Ananta: Iya, saya berpegang pada agama Kristen karena itu lebih berperan besar pada bagaimana saya menyikapi kejadian-kejadian sekitar saya. Agama itu jadi panduan dan pegangan saya karena tidak ada latar belakang budaya yang kuat yang bisa saya jadikan rujukan.

Eka: Lingkungan urban itu yang kemudian yang menjadi konteks atau latar belakangmu. Selain bicara soal hal-hal personal, Ananta punya pertanyaan-pertanyaan soal agama dan soal mediasi perangkat digital. Bagaimana proses Ananta memasuki gagasan ini?

Ananta:  Saya merasa prosesnya cukup singkat dan mendapat banyak sekali dukungan dari orang-orang di sekitar saya. Saya mulai dengan mengumpulkan pengalaman-pengalaman yang serupa dengan pengalaman saya yang berkaitan dengan kematian dan yang secara virtual juga. Saya mewawancarai dua sahabat saya, Jesica dan Meliani Intan Putri, tentang apa yang mereka rasakan, apa hal pertama yang dilakukan ketika mendengar kabar kematian itu, dan bagaimana orang-orang di sekitar mereka menanggapi peristiwa kematian itu. Diskusi yang paling berperan besar itu adalah diskusi dengan Mbak Linda Agnesia. Dia yang menyarankan agar apa yang ingin saya utarakan itu tidak lagi sesuatu yang sangat personal tetapi bisa relate dengan orang lain.

Dari diskusi itu, muncul gagasan untuk membuat satu buku panduan yang bisa disebarluaskan, dibaca, mudah dipahami, dan praktis digunakan banyak orang. Lalu, dari diskusi dengan mentor di Teater Garasi, Mbak Sita dan Mas Ugo, saya akhirnya mengambil bentuk ibadah penghiburan sebagai bentuk presentasi karya saya.

Hal yang agak tricky adalah persoalan teknis karena saya membuat sebuah ruang ibadah penghiburan virtual di Zoom dengan keluarga saya, yang mana itu juga ditonton oleh penonton secara virtual dan juga yang ada secara fisik di studio. Awalnya, pemilihan Zoom sebagai media ini karena pertimbangan praktis. Namun, secara teknis dan perasaan ternyata tidak mudah.

Eka: Bagaimana soal pemilihan bentuk ibadah penghiburan yang dipentaskan? Ibadah penghiburan itu sebenarnya apa dan bagaimana ketika itu dipentaskan sebagai sebuah pertunjukan?

Ananta:  Saya punya beberapa checklist hal-hal yang harus saya lakukan berkaitan dengan kematian mama saya. Salah satunya adalah doa bersama yang tidak saja melibatkan kakak dan bapak saya, tetapi juga pihak keluarga mama. Sebagai orang yang dibesarkan dalam ajaran agama Kristen, saya tahu ada yang namanya ibadah penghiburan. Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan ibadah itu sebagai momen doa bersama dengan keluarga saya dan pihak keluarga mama saya.

Karena acara ini ditonton secara umum, saya sangat hati-hati dalam mempersiapkan ibadahnya karena pesan dari bapak saya. Banyak penyesuaian seperti kata-kata, nama-nama bagian dalam ibadah yang saya lakukan untuk menghormati anggota keluarga mama yang bukan Kristen.

Eka:  Bagaimana struktur ibadah penghiburan pada agama Kristen dan struktur ibadah penghiburan pada karya Ananta?

Ananta: Pastinya, ada pendeta yang memandu ibadat. Lalu, ada doa pembuka, doa syafaat di akhir, dan nyanyian. Nyanyian itu yang saya ganti dengan pemutaran audio. Nyanyian itu sebenarnya cukup penting tetapi diganti karena yang ingin saya tekankan adalah apa yang diingat anggota keluarga saya tentang mama. Ini kebutuhan saya yang tidak punya banyak memori tentang mama saya sendiri. Lalu, untuk bagian ini saya sendiri yang memimpin, bukan pendeta karena saya yang menuntut adanya kegiatan itu. Selain itu, di ibadah penghiburan pembagian tugas sangat jelas. Namun, di presentasi karya saya, pembagian tugas itu jadi agak kabur karena saya tidak berusaha menempatkan orang di posisi tertentu seperti misalnya, saya sebagai anak menjadi paling bawah yang hanya menurut saja sebagai peserta ibadah. Bagi saya, ketika merasakan duka, semua yang terlibat merasakan hal yang sama terlepas dari posisi dan tanggung jawab mereka. Jadi, yang berbeda di sini adalah nyanyian, bacaan kitab suci, dan pembagian peran-peran yang tegas.

Eka: Menurut Ananta, apakah ada yang berbeda dari bentuk presentasi Turut Berduka Cita? Apakah ada hal yang berharga dari situ?

Ananta: Saya sebetulnya awam di dunia seni pertunjukan. Saya tidak tahu banyak hal. Setelah melihat kembali apa yang saya lakukan, saya merasa saya sangat nekat. Alasannya, memang karena saya tidak tahu banyak hal terkait seni pertunjukan. Saya bersyukur sekali banyak mentor yang mengarahkan saya.

Sejauh pengalaman dan pengamatan saya, saya belum pernah menonton presentasi karya yang seperti Turut Berduka Cita, di mana saya sebagai penonton entah penonton fisik atau online dapat langsung melihat dan merespon sesuatu yang sangat personal. Saya sendiri juga merasa aneh mengapa saya bisa memilih bentuk presentasi seperti itu.

Eka: Bagaimana perasaan kamu terkait tegangan antara yang privat dan yang publik pada saat presentasi Turut Berduka Cita?

Ananta: Saya tidak terlalu merasa gugup saat presentasi karena di studio saya dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung saya. Sejak awal saya menyadari bahwa hal ini merupakan dorongan dari dalam diri saya yang harus saya lakukan. Jadi, ketika selesai presentasi saya merasa lega. Saya juga tidak menyangka karya ini sampai bisa dikenal orang yang saya sendiri tidak kenal.

Hal yang sebenarnya cukup sulit bukan meminta anggota keluarga untuk ikut karena saya adalah orang yang sulit untuk bicara, tetapi untuk bisa berbicara di hadapan keluarga saya, penonton, dan orang lain yang tidak mengenal saya. Hal ini sampai sekarang masih membuat saya gemetar membayangkannya.

Eka: Bagaimana respon keluarga besarmu terkait karyamu ini?

Ananta: Sekitar dua minggu sebelum presentasi, saya baru menghubungi keluarga saya karena saya punya ketakutan mereka tidak akan mau ikut. Lalu, saya juga mempertimbangkan siapa saja yang harus saya undang. Saya akhirnya mengundang keluarga dari pihak mama dan bapak. Secara mengejutkan, mereka semua tidak keberatan dan bersedia untuk ikut tanpa banyak tanya seolah-olah hal yang saya lakukan ini wajar dan sudah mereka nantikan.

Setahun setelah karya itu dipresentasikan, saya baru menanyakan respon keluarga saya. Kakak saya merasa bersyukur karena dia juga merasakan hal yang sama dengan yang saya rasakan. Karena saat itu kakak saya sedang studi di Amerika dan hal itu membuat dia juga bingung bagaimana merespon berita kematian mama. Kalau dari keluarga pihak mama, mereka juga senang. Menurut mereka, acara itu dilakukan dengan rapi. Mereka juga tidak menyangka saya membuat acara ini dan juga bersyukur bisa ada momen seperti itu di mana saya mengumpulkan kembali keluarga pihak mama dan bapak.

Eka:  Bagaimana proses presentasinya sendiri? Tahap-tahapnya apa saja? Bagaimana pelibatan keluarga di Zoom?

Ananta: Saya membuat undangan lalu mengirimkannya pada keluarga saya. Saya sengaja membuat konsep undangan yang sangat sederhana. Saya berusaha membuat ini tampak biasa saja seperti mengundang orang untuk acara yasinan. Saya tidak mau membuat ibadah ini menjadi terkesan sangat artsy karena saya ingin merasa lebih dekat dengan mama saya yang tidak artsy, yang biasa-biasa saja. Setelah saya berikan undangan dan pengarahan, ada beberapa pertanyaan seputar hal-hal teknis karena ada hal yang mungkin orang belum familiar seperti nyekar virtual.

Biasanya, nyekar dilakukan anggota keluarga dengan datang ke makam dan menebarkan bunga di makam. Namun, saya tidak mengalami hal itu dan di kepala saya hal itulah yang identik dengan mengunjungi orang yang sudah meninggal pada liburan atau hari raya. Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan nyekar virtual sebagai bagian dari presentasi saya. Saya meminta anggota keluarga di Jakarta untuk mengambil foto makam mama. Saat presentasi karya itu, ada bagian di mana saya menampilkan foto makam mama, lalu kami memakai fitur anotasi di Zoom untuk menggambar bunga di foto makam mama. Kesulitannya adalah ada anggota keluarga yang tidak bisa menggunakan fitur anotasi atau tidak bisa menggambar bunga.

Setelah berdiskusi dan menentukan bentuk presentasi karya seperti apa, saya membuat susunan acara atau liturginya dengan berkonsultasi pada Mas Ugo dan Mbak Sita lalu saya bagikan juga ke keluarga. Ada banyak tanggapan, terutama dari bapak saya yang meskipun menurut saya tidak paham dengan maksud saya melakukan hal ini sebagai persembahan untuk mama, tetapi tetap saya terima karena saya paham bahwa bapak ingin acara ini berjalan lancar dengan melakukan beberapa revisi pada susunan acaranya. Setelah direvisi, saya melakukan beberapa kali latihan teknis di Teater Garasi.

Presentasi karya ini terdiri atas tujuh bagian. Pertama, ada persiapan. Di bagian ini ada pembacaan tata ibadah kepada penonton, lagu pembuka, lalu saya masuk ke dalam studio dan menyalakan lilin. Di studio, ada tampilan Zoom yang diproyeksikan ke layar, lalu ada satu kursi dan satu meja. Saya duduk membelakangi penonton dengan maksud agar pusat perhatian tidak tertuju pada saya. Di samping saya, ada dua lilin, rangkaian bunga, dan lukisan mama yang saya lukis sendiri. Semua objek ini memang diperlukan dalam ibadah. Di bagian kedua, saya juga memberi salam kepada keluarga dan undangan dan penonton dan memberi semacam disclaimer bahwa ibadah ini dilakukan menurut kepercayaan saya sebagai orang Kristen. Selanjutnya, bagian ketiga ada ajakan doa. Keempat, cerita dari perwakilan keluarga, yaitu kakak dari mama, bapak saya, dan suami dari mama saya. Kelima, nyekar virtual. Di sini, saya memberi instruksi untuk membersihkan tangan dan permukaan layar dengan hand sanitizer. Walaupun nyekar dilakukan secara virtual, instruksi ini menurut saya membantu dalam meyakinkan keluarga dan tamu undangan bahwa nyekar ini memang benar terjadi. Setalah itu, pada bagian keenam saya memutar lagu Jikalau Kau Cinta. Terakhir, bagian ketujuh adalah doa penutup. Setelah itu saya mempersilakan hadirin untuk mengambil konsumsi melalui QR Code pada buku panduan.

Eka:  Saya tertarik dengan karya ini karena konsep liturgi ibadah Kristen yang Ananta adaptasi dengan membuat ibadat yang lebih sekuler ini tetap menjadi peristiwa anamnesis yang penting dan tidak mengurangi nilainya. Setelah presentasi karya ini, apa saja temuan Ananta soal pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan tiga kata kunci yang disebut di awal tadi (ritual kematian, agama, dan konsep virtual)?

Ananta: Kalau pertanyaan sepertinya tidak terjawab karena karya ini tidak saya mulai dengan pertanyaan tetapi lebih berupa dorongan yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Namun, pertanyan-pertanyaan yang muncul selama proses itu juga bukan pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban yang tetap. Mereka cukup jadi pertanyaan-pertanyaan saja, cukup. Tidak ada jawaban yang bisa memuaskan, menurut saya.

Saya menemukan banyak hal dan perspektif melalui diskusi-diskusi sesudah presentasi, terutama mengenai bagaimana karya saya itu bisa dilihat atau apa saja yang muncul dari karya saya. Saya mendapat banyak masukan dari Mas Yudi. Menurutnya, karya saya itu “provokatif terhadap batas”, terus soal “is performance” or “as performance”, dan juga soal sifat tidak stabil dari karya ini yang membuat dia tidak bisa diulang dan kalaupun diulang tidak akan sama nilainya, meskipun tidak masalah.  Diskusi lain yang membuat saya menemukan hal lain adalah diskusi dengan Eka dan Mas Abdi Karya bahwa karya saya ini hanya untuk lingkup saya saja, apa yang saya alami dengan latar belakang saya tanpa mempertimbangkan bagaimana peristiwa kematian itu dirayakan di tradisi lain di tempat lain di Indonesia seperti hari khusus menangis atau penggunaan baju hitam selama bertahun-tahun bagi orang yang pasangannya meninggal. Hal-hal ini membuka mata saya bahwa apa yang saya alami walaupun secara virtual bisa membuat saya merasa terisolasi, ternyata saya tidak sendirian. Ada banyak cara sebenarnya untuk merayakan atau mengekspresikan duka.

Eka: Bagaimana Ananta akan melanjutkan karya ini?

Ananta:  Ada dua jalur menurut Mas Yudi yang bisa saya gunakan untuk mengembangkan karya ini. Pertama, memperluas pendekatan metodologi pertunjukan yang mengulak-alik dengan bentuk yang berbeda. Kedua, dimainkan ulang dengan prinsip rehearsal yang membuatnya “stabil” tetapi membuka potensi baru. Ada juga beberapa orang yang menyarankan saya membuat naskah pertunjukannya supaya bisa dipertunjukan ulang dan melihat apa yang sebenarnya bisa muncul dari itu.

Menurut saya, yang paling ideal untuk kondisi dan kemampuan saya ini adalah melanjutkan buku panduan virtual itu karena buku itu yang paling mudah disebarluaskan dan bisa menjadi repertoar yang bisa digunakan atau dikembangkan oleh orang lain.

Harapan saya sebenarnya adalah membuat aplikasi sederhana yang menjadi panduan ketika anggota keluarga atau orang terdekat kita meninggal dunia, semacam protokol duka terutama dalam kaitan dengan dunia virtual dan yang lebih mengarah ke hal-hal teknis seperti bagaimana mengurusi pemakaman, lalu di agama orang yang meninggal perlu ada acara seperti apa, apa saja yang harus dipersiapkan. Hal ini memang bisa jadi membuat saya tidak banyak berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar saya. Namun, saya percaya kalau ada bentuk tertulis dari hal-hal teknis macam ini, panduan itu akan membantu orang-orang yang menghadapi duka atau perasaan-perasaan lain yang membuat kita tidak bisa berpikir untuk melakukan apa. Jadi, informasi dalam panduan ini nantinya bisa bermanfaat bagi orang-orang yang ketika tumbuh besar tidak dekat dengan adat atau agama apapun untuk mengatasi kebingungan seperti yang saya alami. Ini bisa menjadi semacam panduan siap pakai ketika ada orang lain yang bingung menanggapi duka. Mereka bisa melakukan seperti yang saya lakukan dalam presentasi kemarin.

Eka:  Apa yang penting dari presentasi karya yang Ananta buat itu?

Ananta: Karya Turut berduka Cita menjadi momen saya belajar berkomunikasi kembali tidak hanya dengan anggota keluarga saya, tetapi juga orang-orang terdekat saya dan mentor-mentor saya. Saya belajar mengenal diri saya sendiri, belajar melakukan riset, belajar hal-hal teknis untuk sebuah pertunjukan. Saya menyadari bahwa kebingungan yang saya alami juga dialami oleh orang-orang sebaya saya. Karena itu, kalau saya bisa menemukan salah satu cara mengekspresikan duka yang dapat diterima semua kalangan, hal itu bisa membantu teman-teman yang mengalami kebingungan yang sama, yaitu bahwa ibadah itu bisa dilakukan tanpa ada kerangka agama. Kebingungan terjadi saat berhadapan dengan peristiwa duka justru karena adanya batas-batas seperti budaya dan agama.

Ketika saya mencoba mencatat apa yang saya alami, ternyata hal itu masih sulit. Di situlah saya sadar bahwa saya sedang berduka. Saya belum selesai hal ini. Saya kira dengan karya kemarin yang berupaya merasionalkan perasaan saya sendiri, saya bisa lepas dari perasaan duka. Ternyata, perasaan itu lebih rumit dari yang saya antisipasi.

Eka: Selain teknis, mungkin ada tantangan yang sangat personal?

Ananta: Saya banyak merasa bersalah karena saya merasa tidak punya banyak memori tentang mendiang. Padahal, selama prosesnya dan setelah itu terjadi, saya mulai menyadari banyak sebenarnya dampak-dampak atau memori-memori kecil yang ada di dalam diri saya sendiri. Bahkan, ketika saya bercermin, sebenarnya saya sedang melihat beliau juga di wajah saya.

Tantangan personal itu adalah bagaimana saya harus memberanikan diri karena selama ini saya bisa dibilang cukup tertutup orangnya dan sangat menghindari untuk mempertunjukkan hal yang personal, tetapi karena virtual ini yang semakin saya lihat, ketika saya riset, sebenarnya menentukan batas personal atau publik itu siapa? Hal-hal yang sangat personal pun sudah dipertontonkan sekarang. Jadi, yang menentukan batas itu siapa?

Virtual itu awalnya saya pikir hanya sekadar teknis, tapi sebenarnya virtual itu sudah ada di posisi mana di keseharian kita? Saya merasa itu sudah lebih dari teknis karena mempengaruhi sebagian besar bagaimana saya berpikir, bagaimana saya merasakan sesuatu.

Eka: Sekarang siapa yang menentukan yang personal dan yang publik? Ini tergantung pertanyaan, bagaimana cara duka diekspresikan. Ketika ekspresinya lewat sosial media, ya apa yang personal sebetulnya?

Ananta: Sudah tidak ada lagi yang personal menurut saya. Agak “naif” kalau kita membagikan sesuatu ke internet dan berharap orang-orang bakal meresponnya dengan positif atau baik, atau etis malah. Banyak orang yang iseng atau anak kecil iseng yang berkomentar tanpa pertimbangan etis. Kalau ingin mendapat respon yang baik, tidak usah di sosial media karena batas publik dan privat sudah tidak jelas di sana.

Eka: Bagaimana kemudian kamu merasa bahwa sosial media dan empati yang kamu rasakan di ibadatmu? Apakah kamu merasakan adanya empati yang sama dari keluarga ketika kamu berusaha untuk mencari cara ekspresi duka? Apakah empati lewat sosial media berlangsung atau tidak?

Ananta: Ada, memang. Mungkin karena bentuknya saja yang berbeda, agak lain. Ini spekulasi saya: apa yang mungkin generasi saya dan generasi baru yang masih lebih muda dari saya, mereka justru bisa lebih relate dengan apa yang terjadi dengan dunia virtual. Apa yang di dunia asli malah jadi asing. Interaksi sosial yang terjadi di realita itu asing jadinya.

Eka: Menurutmu, sederhananya, encounter, ibadah, atau komunio yang terjadi di virtual itu juga masih bisa kamu rasakan di saat ibadat?

Ananta: Bisa, tapi suasananya jadi jelas terasa berbeda karena saya terpengaruh dengan misalnya, saya mengikuti ibadah online tapi di kamar saya lebih panas rasanya, terus saya jadi tidak fokus, ada notifikasi Whatsapp, kucing saya lewat, dan segala macam. Dibilang makin sulit juga tidak, tapi karena ada kemudahan sendiri yang datang dengan itu. Berbeda saja. Sulit untuk membandingkannya karena aspeknya banyak yang berbeda.

Eka: Tapi kamu masih merasa bahwa ada satu komunitas yang kamu bayangkan, ada satu komunio, perkumpulan orang-orang yang sama-sama merayakan ibadah ini? Itu masih terasa?

Ananta: Merayakan gimana maksudnya?

Eka: Walaupun di virtual tapi kehadiran keluarga, papa, itu masih kamu rasakan, “Ini kita bersama-sama mengenang Mama.”

Ananta: Yang saya rasakan datang dari sesuatu yang dilakukan secara virtual itu, kehadiran itu terasa, tapi ketika misalkan aplikasi Zoomnya dimatikan, selesai semua. Blas! tidak ada apa-apa lagi. Ketika ini selesai, tidak ada impresi atau apapun yang teringat lagi. Apa yang dilakukan secara virtual itu jadi mudah dilupakan, malah. Setidaknya itu yang saya alami.

Eka: Terakhir, kamu punya rencana apa untuk selanjutnya, terlepas dari karya ini?

Ananta: Saya ingin fokus lulus dulu. Lulus kuliah biar kalau bikin karya lebih plong rasanya, tidak terpikir dosen. Saya ingin segera lulus. Amin.

Eka: Oke, terima kasih Ananta untuk obrolannya.

Ananta: Saya yang berterima kasih, kak, sudah memberikan saya kesempatan untuk bicara tentang ini, ingat-ingat lagi.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th