Kolonialitas: Sisi yang Lebih Gelap dari Modernitas

 

Terjemahan atas esai Walter D. Mignolo- Coloniality: The Darker Side of Modernity

 

I

Bertahun-tahun lalu (sekitar tahun 1991), saya begitu tertarik pada judul buku terbaru Stephen Toulmin: Cosmopolis, The Hidden Agenda Modernity (1990) ketika melihatnya di ‘kios koran’ dari sebuah toko buku. Saya pergi ke kedai kopi di seberang jalan dari Borders di Ann Arbor dan melahap buku itu sambil minum kopi: ‘apa agenda tersembunyi modernitas?’ merupakan pertanyaan yang menarik. Tak lama setelah itu saya berada di Bogotá dan menemukan sebuah buku yang baru saja diterbitkan: Los conquistados: 1492 y la población indígena de Amerika (1992). Bab terakhir dari buku itu menarik perhatian saya. Buku itu ditulis oleh Anibal Quijano yang pernah saya dengar namanya, tetapi tidak begitu familiar tulisan-tulisannya. Artikel pada bab terakhir buku itu berjudul ‘Coloniality and Modernity/Rationality’.1 Saya membeli buku itu dan menemukan lagi sebuah kedai kopi di dekatnya. Saya melahap artikel bab terakhir di buku itu dan ia menjadi semacam pencerahan bagi saya.

Pada saat itu, saya sedang menyelesaikan naskah The Darker Side of the Renaissance (1995), tetapi tidak memasukkan referensi dari artikel yang sedang saya baca ini. Ada banyak yang harus saya pikirkan dan naskahnya sudah dikerangkakan. Karena saya harus segera menyerahkan naskah itu kepada penerbit, saya berkonsentrasi pada ‘kolonialitas’, yang menjadi konsep sentral dalam Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledge and Border Thinking (2000). Setelah penerbitan buku itu, saya menulis artikel teoretis yang panjang, ‘The Geopolitics of Knowledge and Colonial Differences’, yang diterbitkan di South Atlantic Quarterly (2002). Bagi Toulmin, agenda tersembunyi modernitas adalah sungai humanistik yang mengalir di balik rasio instrumental. Bagi saya, agenda tersembunyi (dan sisi yang lebih gelap) dari modernitas adalah kolonialitas. Berikut ini adalah rekap dari pekerjaan yang saya lakukan sejak saat itu bekerja sama dengan para anggota kolektif modernity/coloniality.2

Tesis dasarnya adalah sebagai berikut: ‘modernitas’ adalah narasi Eropa yang menyembunyikan sisi lebih gelapnya, ‘kolonialitas’. Kolonialitas, dengan kata lain, merupakan elemen hakiki pembentuk modernitas—tidak ada modernitas tanpa kolonialitas.3 Oleh karena itu, ekspresi umum ‘modernitas global’ saat ini menyiratkan ‘kolonialitas global’ dalam artinya yang paling sesuai oleh karena matriks kekuasaan kolonial (kolonialitas, singkatnya) sedang diperdebatkan oleh banyak penyanggah: apabila tidak mungkin bisa ada modernitas tanpa kolonialitas, tidak mungkin juga ada modernitas global tanpa kolonilitas global. Itulah logika dunia kapitalis polisentris sekarang ini. Akibatnya, pemikiran dan tindakan de-kolonial muncul, dari abad ke-16 dan seterusnya, sebagai tanggapan terhadap kecenderungan opresif dan imperial dari kekaisaran Eropa modern yang cita-citanya diproyeksikan ke dan diberlakukan di dunia non-Eropa.

 

II

Saya akan mulai dengan dua skenario — yang satu dari abad keenam belas dan yang lainnya dari akhir abad kedua puluh dan dekade pertama abad kedua puluh satu.

2.1 Mari kita bayangkan dunia sekitar tahun 1500. Secara singkat dapat dinyatakan, dunia itu adalah sebuah polisentris dan dunia non-kapitalis. Ada beberapa peradaban yang hidup berdampingan, beberapa di antaranya memiliki sejarah panjang, yang lain terbentuk sekitar waktu itu. Di Cina, Dinasti Ming memerintah dari 1368-1644. China adalah pusat perdagangan dan peradaban sejarah panjang. Sekitar 200 SM, kehuángdian Cina (sering salah disebut ‘Kekaisaran Cina’, sebagaimana halnya kesultanan dipimpin seorang sultan, ketsaran, dipimpin seorang tsar, kehuangdian dipimpin oleh huagdi) hidup berdampingan dengan kekaisaran Romawi. Pada tahun 1500, bekas kekaisaran Romawi menjadi kekaisaran suci Romawi yang terdiri atas suku bangsa-suku bangsa Jermanik, yang masih hidup berdampingan dengan kehuángdian Cina yang dipimpin oleh Dinasti Ming. Muncul dari Pecahnya Khilafah Islam (Dibentuk pada abad keenam dan dipimpin oleh Bani Umayyah pada abad ketujuh dan kedelapan abad, dan oleh Abbasiyah dari abad kedelapan hingga ketiga belas) di abad keempat belas, tiga kesultanan muncul. Kesultanan Utsmaniyah di Anatolia dengan pusatnya di Konstantinopel; kesultanan Safawi dengan pusatnya di Baku, Azerbaijan dan kesultanan Mughal terbentuk dari reruntuhan kesultanan Delhi yang berdiri sejak 1206-1526. Kesultanan Mughal (Sultan pertamanya adalah Babur, keturunan Jenghis Kan dan Timur) berlanjut dari 1526-1707. Pada 1520, orang-orang Moskow telah mengusir Kawanan Emas (Golden Horde) dan menyatakan Moskow sebagai ‘Roma Ketiga’. Sejarah ketsaran Rusia dimulai. Di Afrika, Kerajaan Oyo (di sekitar wilayah yang sekarang ini Nigeria) yang dibentuk oleh bangsa Yoruba, adalah Kerajaan terbesar di Afrika Barat yang ditemui oleh penjelajah Eropa. Kerajaan Benin, yang terbesar kedua di Afrika, berlangsung dari tahun 1440 hingga 1897. Terakhir, suku Inca di Tawantinsuyu dan suku Aztec di Anáhuac adalah dua peradaban mutakhir pada masa kedatangan Spanyol. Apakah yang terjadi kemudian di abad keenam belas itu akan mengubah tatanan dunia dan mengubahnya menjadi yang kita hidupi seperti hari ini? Kedatangan ‘modernitas’ bisa menjadi jawaban yang sederhana dan umum, tapi kapan, bagaimana, mengapa, di mana?

2.2 Pada awal abad kedua puluh satu, dunia saling terhubung satu sama lain melalui sebuah corak ekonomi tunggal (kapitalisme)4 dan dibedakan oleh keragaman teori dan praktik politik. Teori dependensi harus ditinjau dalam terang perubahan-perubahan ini. Tetapi saya akan membatasi diri pada perbedaan dua orientasi secara keseluruhan. Pada satu sisi, globalisasi ekonomi kapitalis dan diversifikasi global politik sedang berlangsung. Di sisi lain, kita menyaksikan multiplikasi dan diversifikasi globalisasi anti-neo-liberal (misalnya, anti-kapitalisme global).

Pada orientasi pertama, ada Cina, India, Rusia, Iran, Venezuela dan negara-negara berkembang di Amerika Selatan yang telah memperjelas bahwa mereka tidak lagi bersedia untuk menindaklanjuti perintah satu arah yang datang dari Dana Moneter Internasional, Bank Dunia atau Gedung Putih. Di bawah Iran ada sejarah Persia dan kesultanan Safawi; di bawah Irak ada sejarah kesultanan Ottoman. Enam puluh tahun terakhir masuknya pengaruh barat di Cina (Marxisme dan kapitalisme) tidak menggantikan sejarah Cina dengan sejarah Eropa dan Amerika Serikat sejak tahun 1500; dan sama halnya dengan India. Sebaliknya, hal tersebut memperkuat tujuan Cina untuk kedaulatannya. Di Afrika, pecahan kekaisaran negara-negara Barat antara akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh (yang memicu Perang Dunia Pertama) tidak menggantikan masa lalu Afrika dengan masa lalu Eropa Barat. Dan begitu pula di Amerika Selatan, 500 tahun pemerintahan kolonial oleh perwira-perwira semenanjung dan, sejak awal 1900, oleh para elit Creole dan Mestizo, tidak menghapus energi, kekuatan dan kenangan masa lalu orang-orang Indian (lih., saat ini isu-isu di Bolivia, Ekuador, Kolombia, Meksiko Selatan dan Guatemala); hal ini juga tidak menghapus sejarah dan kenangan komunitas keturunan Afrika di Brasil, Kolombia, Ekuador, Venezuela dan kepulauan Karibia. Di arah sebaliknya adalah kemunculan negara Israel pada tahun 1948 yang menuju ke akhir dekade pertama abad kedua puluh satu.

Pada orientasi kedua, kita sedang mengamati banyak organisasi transnasional tidak resmi yang tidak hanya memanifestasikan diri mereka ‘melawan’ kapitalisme, globalisasi dan mempertanyakan modernitas, tetapi juga membuka tidak hanya cakrawala global tetapi juga pandangan non-kapitalis dan memutuskan hubungan dari gagasan bahwa hanya ada modernitas tunggal dan utama yang dikelilingi oleh modernitas periferal atau alternatif. Orientasi kedua ini, bukan menolak modernitas tetapi menjelaskan bahwa modernitas berjalan beriringan dan bergandengan tangan dengan kolonialitas dan, oleh karena itu, modernitas harus dipertimbangkan baik dari aspek kemuliaannya dan juga kejahatannya. Mari kita merujuk pada domain global ‘kosmopolitanisme de-kolonial’.5 Tidak diragukan lagi bahwa para seniman dan museum sedang bermain dan memiliki peran penting untuk bermain dalam pembentukan subjektivitas global trans-modern dan subjektivitas global de-kolonial.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Marno nigha
Marno nigha
2 years ago

Wala terjemahan enak, bisa dicerap dengan mudah…good job Dimas

Kalender Postingan

Minggu, September 8th