Residensi: Retrospeksi dan Rekonstruksi

 

Apa yang akan anda lakukan ketika ketika berada di tempat di mana ada melihat seekor kelinci yang bisa berbicara, sebuah kolam muncul dari air mata anda sendiri, dan seekor ulat yang memberitahukan anda sebuah nasihat penting?

Itulah beberapa pertanyaan yang mungkin juga mengganggu Alice ketika dia secara tiba-tiba masuk ke dalam sebuah dunia yang oleh Lewis Carol dinamai “Wonderland”. Semua hal yang ditemui Alice di sana adalah hal-hal yang asing dan tidak mudah untuk meyakinkan dirinya apakah sebenarnya hal-hal yang dia lihat di Wonderland. Alice terdampar di sebuah dunia yang bahkan tidak bisa dia beri nama. Pengalaman Alice ini kurang lebih mirip dengan pengalaman residensi.

Namun, tempat residensi Alice, dunia tak bernama itu tidak sepenuhnya baru. Alice pernah melihat kelinci sebelumnya. Kelinci adalah hewan yang melompat-lompat dan tidak bisa berbicara dengan bahasa manusia. Alice juga pernah menangis tapi air matanya tidak pernah berubah menjadi sebuah kolam. Pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki Alice secara tidak sadar membantunya memahami keberadaannya dan hal-hal yang dijumpainya di Wonderland. Kelinci yang selama ini dikenalnya sebagai hewan yang tidak bisa berbicara dengan bahasa manusia, ternyata tidak berlaku di Wonderland.

Maumere bisa menjadi sebuah Wonderland bagi Hananingsih Widhiasri (Hana) dan Dwi Januartanto (Januar) yang datang dari Jawa untuk melakukan residensi. Maumere tidak benar-benar asing, tetapi juga tidak sepenuhnya akrab bagi mereka. Yang membuat mereka berbeda dari Alice adalah Hana dan Januar datang ke Maumere untuk mengikuti sebuah program residensi seniman. Mereka bukan Alice yang tanpa rencana tiba-tiba masuk ke Wonderland.

Di Maumere, Hana dan Januar menemui banyak hal sebagaimana yang bisa kita baca dalam tulisan Eka Putra Nggalu Bagaimana Mengenang Maumere?. Hana dan Januar menjawab pertanyaan itu melalui karya-karya mereka dalam sebuah pameran di Studio Komunitas KAHE. Pengalaman hidup, berjumpa dengan orang-orang, melihat bangunan-bangunan dan mendengarkan cerita-cerita di Maumere direspon dengan cara yang berbeda oleh Hana dan Januar dengan menggunakan metode penciptaan bersama (collective creation) yang sedang dipelajari dan dipraktikkan oleh Komunitas KAHE sebagai tuan rumah (host) program residensi tersebut.

Dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, Riksa yang bekerja sama dengan Goethe Institut membuat program residensi “Marantau”.  “Marantau” sejak awal dirancang dengan untuk memberikan kebebasan kepada para peserta residensi menentukan sendiri ‘mereka mau buat apa’. Riksa juga memberikan catatan bahwa selama ini program residensi pada umumnya mendatangkan seorang seniman, biasanya dari luar negeri lalu para peserta residensi berinteraksi dengan si seniman tamu dan kemudian membuat sebuah karya seni seperti pameran atau pertunjukkan. Model inilah yang ingin dikritik oleh “Marantau” lewat pendekatan yang lebih fleksisbel.

Tika, sebagai salah satu peserta program residensi “Marantau”, juga mengakui bahwa pendekatan model residensi yang digunakan ini membuatnya semakin leluasa melakukan apa yang sebetulnya sudah dia rencanakan sejak tahun 2019. Ketika berada di Jogja, rencana itu ternyata didukung dengan kemudahan bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait karya yang dikerjakan Tika. Sekalipun tidak diminta untuk mengahsilkan sebuah karya, Tika merasa ingin membuat sebuah karya dari suara-suara yang dia dengar selama berada di Jogja dan juga suara dari dalam dirinya.

Pengalaman-pengalaman selama mengikuti residensi yang dipresentasikan Hana, Januar, dan Tika memang tidak dapat dijadikan representasi Maumere atau Jogja. Meskipun demikian, pengalaman-pengalaman itu dapat digunakan sebagai sebuah cermin atau juga portal ke Wonderland lain.

Defri Ngo dalam Cuitan Kecil untuk Januar dan Hana memberikan respon terhadap lukisasan Hana dan Januar yang membawa kita kepada dunia teologi Katolik tentang dan bagaimana dunia itu ‘memberikan’ nama bagi lukisan Hana dan Januar. Tanggapan yang kurang lebih sama juga diberikan kepada Tika, “Apakah harus ke Jogja untuk bisa menghasilkan sebuah karya?”

Dalam Lau Ne edisi “Residensi”, kita dapat menemukan bagaimana pengalaman berada di luar tempat asal dan tempat tinggal sehari-hari para seniman membentuk cara pandang, cara kerja, dan cara merespon berbagai temuan mereka. Hana, Januar, dan Tika, sebagaimana Alice datang ke tempat baru dengan membawa pengalaman dan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya.

Ketika bertemu dengan sesuatu yang baru, mereka kembali kepada apa yang mereka miliki itu sebagai referensi (retrospeksi), kemudian menyesuaikan apa yang mereka miliki dengan apa yang ada di hadapan mereka (rekonstruksi). Hasilnya bisa jadi tidak baru sama sekali, tetapi juga tidak benar-benar sama dengan apa yang mereka pernah kerjakan sebelumnya.

Dalam edisi “Residensi”, Lau Ne ingin mengajak para pembaca melihat dan merefleksikan program-program residensi seniman. Saat ini ada begitu banyak program residensi yang ditawarkan untuk para seniman. Tidak jarang, karya-karya seorang seniman semakin dikenal luas setelah mengikuti program residensi.

Program residensi dari lembaga atau organisasi tertentu bisa saja dianggap lebih prestisius daripada program residensi lainnya. Residensi kemudian bisa menjadi semacam lencana untuk melegitimasi ‘ketokohan’ seorang seniman.

Sejauh mana residensi bisa membantu para seniman untuk bertumbuh dan berkembang? Apakah residensi seniman masih perlu dilakukan? Apakah residensi justru menyediakan peluang bagi model imperialisme baru di dunia kesenian kita?

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st