Bagaimana Mengenang Maumere?

 

Di sini, waktu melambat Sakuntala
Jika tak bisa dibilang mati
Sementara kangenku memburu-buru
Sedang apakah kau di sana?
Apakah hujan sudah berhenti?
Apakah kali Malini telah tenang kembali?
Apakah cinta kita baik-baik saja? 

(Sakuntala, Gunawan Maryanto) 

 

Bagaimana Mengenang Maumere? adalah salah satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Hananingsih Widhiasri dalam proses diskusi penciptaan karya, saat sedang mempersiapkan pameran bersama Dwi  Januartanto dan Komunitas KAHE.

Pertanyaan itu terasa cukup mewakili eksplorasi para seniman yang terlibat selama proses residensi Lumbung Kelana, di Maumere. Di Maumere, Hana yang berasal dari Kolektif  Hysteria-Semarang dan Januar yang berasal dari Serbuk Kayu-Surabaya bersama Komunitas KAHE menelusuri situs-situs sejarah juga budaya yang membentangkan ragam isu dan tema, mulai dari sistem pemerintahan lokal, misi gereja Katolik, kolonialisme, kesenian, filsafat, ikonoklasme, komunitas kreatif, pariwisata,  suku Bajo, arsitektur, hantu, Tuhan, makan, hingga nasi.

Bagaimana Mengenang Maumere? adalah pemampatan dari pengalaman pertemuan para seniman dengan Maumere yang dilihat dan dialami sekarang, serta  cerita, citra, dan artefak-artefak tentang Maumere yang terwariskan dari masa lampau. Pameran ini adalah  salah satu bagian/cara para seniman bercerita tentang Maumere dan segala isinya yang mereka alami dalam  kerangka waktu sinkronis (saat ini, saat mereka melakukan residensi) dan diakronis (yang terus dihadirkan  secara kontekstual oleh cerita, ingatan, dan sejarah).

Residensi Lumbung Kelana sendiri adalah program yang diinisiasi oleh Lumbung Indonesia – sebuah platform bersama untuk kolektif seni yang menghidupi dan dihidupi oleh tradisi dan praktik yang berhubungan dengan lumbung.

Program residensi ini diikuti dan dijalankan oleh 11 dari 12 kolektif seni yang saat  ini tergabung dalam Lumbung Indonesia, di antaranya yaitu Serbuk Kayu (Surabaya), Hysteria (Semarang),  Pasirputih (Lombok Utara), Komunitas Gubuak Kopi (Solok), Rumah Budaya Sikukeluang (Pekanbaru),  Sinau Art (Cirebon), TROTOARt (Jakarta), Komunitas KAHE (Maumere), Forum Sudut Pandang (Palu),  SIKU RUANG Terpadu (Makassar), dan Gelanggang Olah Rasa (Bandung).

Selama 14 hari (17-30 Januari  2022) para kolektif saling bertukar peran sebagai tuan rumah dan pengelana, lantas saling belajar dan  berbagi pengetahuan serta pengalaman mengenai kait kelindan antara kolektif seni dan konteks masyarakatnya. Pertukaran dan usaha saling berbagi ini diniatkan sebagai langkah sederhana untuk mengidentifikasi strategi keberlanjutan (sosial-ekonomi-budaya) tiap-tiap kolektif seni dalam konteks masyarakatnya  masing-masing juga ekosistem yang lebih luas.

Selama kurang lebih seminggu, Hana, Januar, bersama dengan Megs dan Gee dari Komunitas KAHE  mengunjungi Kampung Sikka, STFK Ledalero, Seminari Tinggi Ritapiret, Museum Bikon Blewut,  Hubin-Watuliwung, Baba Akong, hingga bertandang ke Kampung Wuring untuk melihat geliat hidup para  nelayan suku Bajo dan Bugis di sana. Perjalanan ini sengaja dirancang untuk ditempuh dengan sepeda motor,  sehingga memungkinkan para seniman singgah atau berhenti sejenak di tempat-tempat yang ingin mereka  lihat dan alami secara lebih bebas.

Temuan-temuan di setiap perjalanan diobrolkan bersama-sama di studio Komunitas KAHE, di sela-sela makan malam, moke, atau ngopi pagi. Secara lebih serius, obrolan mengenai  presentasi cerita sepanjang perjalanan residensi ini dibuat dalam mini workshop dengan metodologi penciptaan bersama (collective creation).

Pendekatan penciptaan bersama sedang dipelajari oleh KAHE selama  kurang lebih lima tahun terakhir. Mini workshop ini menjadi kesempatan yang baik bagi KAHE untuk berbagai perspektif dan metodologi dalam menghidupi praktik kesenian. Setelah bergulat dengan tukar pendapat  dan pengetahuan yang cukup alot, para seniman sepakat untuk membuat pameran.

Sepanjang perjalanannya, ia kerap melihat ikonografi-ikonografi Katolik di berbagai tempat. Baginya,  ikonografi Katolik lebih mudah dijumpai dari pada jejak-jejak visual tradisi masyarakat Krowe yang mendiami wilayah Maumere dan Kabupaten Sikka umumnya. Dari yang paling monumental serupa gereja tua  Sikka dan patung Maria Bunda Segala Bangsa hingga salib-salib dan arca keluarga kudus yang terpancang  di dekat pohon beringin, atau bahkan pintu rumah dan beberapa sudut sekitar studio Komunitas KAHE.

Di Hubin, ia memotret rumah yang masih menampakkan jejak arsitektur kebudayaan Krowe dahulu, watu  mahe, dan penduduk-penduduk terutama perempuan yang masih mengenakan sarung dan makan sirih  pinang.

Di Wuring, ia melihat arsitektur kampung, cara berpakaian, dan nuansa yang sama sekali berbeda. Orang-orang Bajo di sana seolah tak mengalami yang dialami masyarakat dan peradaban di luar kampung  mereka. Mungkin karena mereka distereotipekan sebagai pendatang dan goan. Ia juga melihat tegangan identitas di sana ketika dalam catatannya ia berkisah tentang penerimaan terhadap waria dan sikap kritis Haji  Adam terhadap mazhab-mazhab Islam terkini yang kerap bersyiar di kampung nelayan tersebut.

Dalam sketsa-sketsanya, Hana tentu tidak serta merta menampilkan semua kegelisahannya. Sketsa-sketsanya  menampilkan gambar-gambar dari realitas sehari-hari, sebuah rumah di Watuliwung, situasi lobi/beranda  Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, atau lanskap perahu di antara rumah-rumah apung di Kampung  Wuring. Pada gambar-gambar itu, ia hadirkan sosok-sosok dari masa lampau, seperti Moan Teka pada rumah di Hubin Watuliwung, Yohanes Paulus II pada serambi Ritapiret, atau Haji Adam pada perahu di Kampung Wuring.

Dalam karyanya, Hana merekam citra visual tempat ia berkunjung saat ini, sembari mencoba  menghadirkan imajinasi tentang masa lampau pada citra visual tersebut. Sketsa-sketsa ini dibuat berdasarkan  amatan dan ingatannya atas tempat yang ia kunjungi dan imaji visual yang ia temukan berdasarkan cerita  tentang tempat tersebut.

Dalam sketsanya, Hana mempersoal waktu yang linier sebagai titik-titik lini masa  dan waktu yang sirkular sebagai citra mental (memori dan pengalaman eksistensial).

Hana menaruh perhatian yang amat serius pada aspek sejarah, ingatan warga, dan ikon. Eksplorasinya atas  sejarah ia masuki lewat ikon-ikon dan bagaimana warga berkisah tentangnya. Ikon-ikon visual-material selalu didialogkan dengan cerita-cerita tentang tokoh dari masa lampau yang terkait erat dan hadir secara  signifikan dalam sejarah. Cerita perihal ikon dan tokoh itu kerap ia eksplorasi secara mandiri melalui referensi di internet, juga dalam obrolannya bersama warga kampung, cerita para seniman di KAHE, atau sharing  bersama Januar, rekan seperjalanannya.

Kesan kuat yang muncul dari karya-karya Hana adalah dialog yang  intens antara sejarah, manusia, dan wujud kebudayaan. Karya-karyanya merepresentasikan perspektif yang  kuat bahwa sejarah penting untuk dijadikan basis pengetahuan suatu komunitas masyarakat tertentu agar  bisa terus kritis pada hari ini. Karyanya yang luas dan tegas ini dibingkai dalam satu judul yang puitis dan  melankolis: Memory of Maumere.

Tidak hanya Hana, Januar pun punya kegelisahan perkara waktu dan eksistensi. Dua tema ini sungguh terwakilkan dalam karyanya.

Januar membuat semacam instalasi lukisan wajah menggunakan cat minyak pada medium tripleks, berbentuk segi empat. Lukisan wajah itu ia pasang pada dua sisi tiang, membentuk semacam kaki, yang kemudian  ditancapkan pada tanah. Bersama lukisan yang menyerupai papan baliho pilkada/caleg di kampung-kampung itu, ia sertakan batu-batu yang ada di sekitar studio Komunitas KAHE.

Ada tujuh lukisan yang ditancapkan di tanah, bersama tujuh batu, dengan pencahayaan redup dari lampu pijar berwarna kuning yang  diletakkan di atas batu. Jajaran lukisan ini tersebar di halaman studio Komunitas KAHE Maumere.

Pemilihan lukisan dan batu sebagai medium dan bentuk karya Januar bertumpu pada eskplorasinya menge nai kata-kata kunci berikut: watu-pitu, nitu, tuhan-hantu. Secara bentuk, inspirasi membuat lukisan wajah  diperoleh dari pengalamannya berkunjung ke museum Bikon Blewut.

Di museum sejarah dan artefak-artefak Flores itu, ia menjumpai lukisan wajah Pater Piet Petu, SVD, peneliti sekaligus kurator pertama museum  Bikon Blewut. Cerita-cerita tentang Pater Piet Petu ia dengar dari obrolannya dengan seniman-seniman di  Komunitas KAHE, terutama ketika KAHE menggarap karya dan profil Piet Petu di perhelatan Bienale Jogja.

Sosok Piet Petu amat progresif dalam menegosiasikan tradisi (adat, ritus, nilai-nilai) dan modernitas  (kolonialisme, pendidikan katolik, teknologi) tidak hanya lewat museum, tetapi juga melalui kuliahnya di  ruang-ruang kelas STFK Ledalero, karya-karya pastoral serta laku hidupnya sehari-hari. Lukisan Piet Petu  bukan saja menghadirkan citra personal sang pastor belaka, melainkan kenangan akan spiritnya. Piet Petu  sudah mati dan kehadirannya sudah tertandai. Ia hanya bisa hidup, jika spiritnya dihidupkan oleh orang  pada zaman ini. Januar menemukan spirit itu, pada diri orang-orang yang ia temui dan kemudian ia lukis  wajah mereka, sebagai sebuah penanda, sebagai sebuah potret zaman.

Lukisan-lukisan wajah yang dibuat Januar menampilkan orang-orang yang ia temui di Komunitas KAHE,  entah eksponen awal berdirinya komunitas ini, maupun orang-orang yang saat ini ada dan bekerja bersamanya dalam pameran. Ia punya keyakinan bahwa KAHE patut ditandai sebagai sebuah gerakan progresif  pada zamannya. Entahkah esok atau lusa komunitas ini bubar dan tinggal kenangan, itu tidak jadi soal. Yang  pasti, hari ini, saat ketika ia melukis persona-persona yang ia temui itu, mereka telah dan sedang berkarya.

Januar membatasi membuat tujuh buah lukisan dengan tujuh buah batu penjuru menyertainya, sebagai  komodifikasi atas konsep pemerintahan lokal pada masyarakat adat suku Krowe yang kerap dikenal dengan  istilah Dua Moan Watu Pitu: tujuh tua-tua adat dengan tujuh batu penjuru.

Tujuh buah batu merepresentasi kan batu-batu yang digunakan oleh tua-tua adat sebagai alas duduk, ketika hendak melakukan musyawarah  melingkari watu mahe (altar pemujaan), tempat segala perihal kehidupan masyarakat dibicarakan, tempat segala perkara diputuskan, tempat yang imanen dan duniawi, bertemu dengan yang transenden dan ilahi. Bentuk dan material batu yang ia pilih bereferensi pada perjalanannya ke situs Watu Mahe Lepo Pitu di Hubin.

Karya Januar mempertimbangkan dengan serius nilai kolektif kolegial yang berakar pada masyarakat suku  Krowe dan menjadi nilai serta pengetahuan yang terus layak untuk dikontekstualisasi. Sejalan dengan yang  dilakukan Hana, karya ini seolah ingin bilang bahwa konsep kolektif yang saat ini dihidupi dan dihidupkan oleh Komunitas KAHE juga mungkin kolektif-kolektif lain di Lumbung Indonesia sebaiknya bertumpu pada  epistemologi lokal, yang dekat dengan konteks masyarakat setempat.

Jika Dua Moan Watu Pitu yang saling mendistribusikan tugas satu sama lain, mulai dari soal pengudusan (imam) hingga redistribusi tanah sebagai  penunjang kehidupan (penjaga tanah), dengan semangat dan prinsip musyawarah mufakat yang dijunjung  tinggi, kolektif dalam ranah seni pun perlu sekali menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan,  dan solidaritas.

Yang juga menarik, secara bentuk karya ini juga mengelola sisi-sisi ilahiah/spiritual dari konsep watu mahe,  Dua Moan Watu Pitu dan baliho yang lekat dengan imaji politik serta kekuasaan. Jika watu mahe merepresentasikan sisi ilahi, pertemuan Ina Nian Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta sebagai Tuhan, politik kuasa  hari ini kerap menjelma demagog, Hantu yang terus membayangi terwujudnya keadilan sosial.

Pada saat  yang sama, bentuk karya ini pun persis menghadirkan pemerkaraannya pada waktu dan eksistensi, menceritakan kembali apa yang digelisahkan Hana: bahwa pada suatu masa di berbagai belahan wilayah nian  tana, kolonialisme pernah membumihanguskan sejumlah watu mahe, yang serta merta turut menghapus  seluruh tatanan nilai, norma, dan kehidupan sosial masyarakat yang menghidupinya sebagai tradisi. Atau, bisa jadi secara amat praktis, karya ini mau bilang bahwa spirit kolektif kolegial selalu akan beririsan dengan  pusaran kekuasaan hari ini (neoliberalisme, kapitalisme global). Bahwa, ideal-ideal dalam kolektif akan selalu  bergulat dengan kenyataan tentang dompet yang kosong, perut yang lapar, pulsa sekarat, dan skin care yang  tak kunjung update. Atau secara lebih ekstrem, kolektif yang paling sosialis pun punya peluang menjadi institusi yang paling kapitalis, ketika kekuasaan menghambat redistribusi modal, potensi, dan peran lantas menciptakan satu penguasa tunggal. Sebuah kolektif bisa menjadi lumbung beras, dan yang lain lumbung emas.

Karya-karya Januar dan Hana menjadi kian terhubung karena keduanya sama-sama memanfaatkan amatan  dan ingatan untuk membicarakan saat ini. Amatan berasal dari pengalaman langsung mereka dengan tempat  mereka berada dan ingatan berasal dari catatan, rekaman lanskap visual, audio, yang mereka buat dengan  bantuan teknologi mekanis.

Dalam perjalanan mereka mengitari Maumere, tubuh dan indera mereka  mengalami langsung suasana, bau, suhu, rasa, dari tempat yang dikunjungi. Keduanya pun menggunakan  kamera untuk mengabadikan momen, atau menjadikan kamera sebagai medium perpanjangan ingatan  (memory extension). Namun, tidak seperti halnya turis yang merekam lanskap dan menjadikannya objek  yang eksotis, membuat mereka menjadi kolonial bagi tanah yang mereka pijaki dan potret, Hana dan Januar  melanjutkan proses cerapan atas pengalaman-pengalaman mereka dengan melukis. Ada refleksi lebih jauh,  melampaui perkara mekanis yang mereka lakukan, yang secara sadar mereka pilih untuk dilakukan.

Jika foto memotong waktu, menjadikan peristiwa kepingan-kepingan mozaik, dan selalu berasal dari masa  lampau (Ridho’i, 2022: 105), maka sketsa-sketsa, mural, dan lukisan juga instalasi yang diciptakan oleh Hana  dan Januar menyediakan bagi pengalaman mereka durasi, visi yang terus bergerak, dan wacana yang aktual  dan terus bisa digulirkan secara kontekstual hari demi hari.

Harapannya, seluruh pengalaman yang diperoleh  di Maumere ini terus menerus bermanifestasi dalam bentuk apa pun, dalam proses pengkaryaan yang terus  menerus bisa dimulai lantas menemukan jalannya masing-masing. Itulah mengapa catatan yang menyertai  pameran ini tidak semata menempatkan ‘karya’ sebagai subjek, tetapi juga ‘diri’, ‘Hana’ dan ‘Januar’. Sebab  benar, yang semata hanyalah hanalogi.  

Bagaimana Mengenang Maumere? diniatkan sebagai sebuah pertanyaan sekaligus puisi. Sebab dengan tanya  dan puisi, ia bisa terus bebas bergerak dalam lintasan ruang dan waktu, menghampiri siapa saja dan tak bakal  berhenti menggelitik untuk dipahami. Bagaimana Anda sekalian mengenang Maumere?

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th