Pemilihan ‘ruang’ sebagai salah satu aspek penting dalam tema Ekspresi Politik/Politik Ekspresi merupakan upaya untuk membaca konteks ideologi, sosial, budaya, politik, serta geografis suatu fenomena. Ruang dimaknai sebagai kontinum tiga dimensi yang mengandung posisi dan arah; konsep daerah dan kawasan menjadi penting karena ia memblok sebidang kecil hidup manusia, baik secara fisik maupun non-fisik.
Di hadapan ruang-ruang yang ada di dalam kehidupan, kita bisa melakukan dua hal. Pertama, membaca maksud dan memori kesejarahan yang diam-diam terkandung di dalamnya, atau kedua menciptakan sendiri makna dan memori itu.
Tak hanya memori kesejarahan, dari ruang dapat terlihat pula tegangan kultural dan kepentingan berbagai pihak. Baik ruang fisik maupun ruang pertemuan menjadi bahan kontestasi soal ide-ide hingga tender proyek berbagai pihak. Mencermati ruang, peristiwa di dalamnya, dan di mana ruang itu berada akan memperlihatkan pada kita berbagai lapisan kepentingan yang menyusun kehidupan suatu masyarakat.
Pada tiga edisi ke depan, para kontributor Lau Ne edisi Ruang dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi akan menggali makna dan memori atas ruang-ruang yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari; atau menceritakan pengalaman memberi dan menciptakan makna pada ruang-ruang fisik atau ruang-ruang temu tertentu.
Dari Vietnam Tengah hingga pulau-pulau di selatan Indonesia, mari kita berkelana melihat dan merefleksikan ruang-ruang yang di dalamnya menumpuk beragam kepentingan, menelusuri memori, peristiwa yang sedang terjadi, siapa saja yang terlibat, serta irisan seperti apa yang terjadi di dalamnya.
Dalam Menyiapkan Rumah untuk Keluarga Besar, sebuah catatan perjalanan Widha Karina, kita diajak melihat bagaimana kota-kota berkembang dengan tetap menyimpan residu sejarah dalam bangunan-bangunannya, secara fisik seperti Hue atau Hoi An, dua kota warisan dunia UNESCO; secara non-fisik sesederhana cangkrukan kawula muda di kedai-kedai kopi.
Banyak bangunan serta fasilitas grande di Vietnam walaupun penduduknya tak banyak. Ruang-ruang itu digunakan sebagai ekspresi politik yang diproyeksikan menjadi simbol kejayaan suatu bangsa, meski dampak politisnya bisa diperdebatkan lebih lanjut. Kita bisa melihatnya juga di Indonesia, misalnya pada jejak Proyek Mercusuar Soekarno tahun 1960-an: Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Monumen Selamat Datang, Monas, Gedung DPR/MPR.
Dari waktu ke waktu, keberadaan ruang-ruang fisik mengabur maknanya. Ide-ide atau nilai-nilai yang semula disematkan pada sebuah bangunan, terus berubah pemaknaan dan efektivitasnya. Residu sejarah boleh tinggal dalam ruang masa kini, tetapi bagaimana perannya dalam mengantisipasi masa yang akan datang? Bagaimana pula ia mempengaruhi ingatan, kesadaran, dan tindakan masyarakat?
Kekaburan itulah yang ditunjukkan oleh Taman Monumen Tsunami di Maumere. Dalam esainya, Di Taman Monumen Tsunami, Masa Lalu Terabaikan pada rubrik Jala, Yoseph T. Pareira mengkritik proses pembangunan monumen yang dimaksudkan untuk menjadi pengingat akan bencana gempa bumi dan tsunami 1992. Sejak masa pembangunannya, ruang itu tidak berhasil menjadi ruang temu atau ruang dialog antara pihak pembangun, masyarakat, dengan sejarahnya. Kini, fisik taman dan monumen yang minim perawatan seolah-olah mengabarkan kenangan tentang dahsyatnya dampak gempa dan tsunami pada perkotaan kala itu. Sungguh sebuah ironi.
Makna ruang sangat subjektif karena ia terus memuai. Ruang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya terus berubah setiap hari. Seringkali, di dalamnya terjadi irisan dan benturan kepentingan antar-subjek. Maka, harus ada siasat yang dipikirkan, seperti bisa dibaca di rubrik Nahkoda yang ditulis Maria Pankratia, Terima Kasih, Kaka Lily Yulianti Farid!, sebuah obituari buat Lily Yulianti Farid yang berperan menggagas berlangsungnya ruang-ruang temu untuk menumbuhkan semangat literasi di tengah minimnya perhatian masyarakat dan pemerintah di wilayah timur Indonesia.
Begitu pun dengan obrolan Jalan Tikus Menuju Ruang-Ruang Perjumpaan di rubrik Nahkoda. Terdapat beberapa siasat yang diperbincangkan oleh Maria Pankratia, Aden, dan Mario Nuwa. Terutama soal bagaimana meretas hambatan-hambatan yang ada di konteks Flores. Komunitas dan kolektif di berbagai tempat menciptakan ruang-ruang temu bagi subjek yang beririsan untuk berkumpul dan berkembang bersama. Alih-alih menciptakan ruang-ruang yang sama sekali asing, Flores Writers Festival memindahkan ruang obrolan pada tongkrongan yang pesertanya terbatas ke ruang festival yang bisa melibatkan lebih banyak orang dengan berbagai perspektif.
Senada dengan apa yang terjadi Flores, Ridho dalam Repertoar dari Lembana menunjukkan proses kreatif dan analisis atas rutinitas warga kampung Perigi yang diterjemahkan menjadi semacam repertoar. Warga yang tidak terbiasa atau bahkan tidak tahu konteks seni kontemporer merayakannya sebagai sebuah hajatan. Repertoar itu juga menjadi eksperimen untuk mengidentifikasi berbagai variabel dan interaksi antar-variabel yang telah disadari maupun tidak, yang ditemukan dalam proses.
Pada Bakti Sosial dan Kisah-kisah tentang ODHA, Rinto Djaga bercerita tentang ruang temu (learning encounter) dalam kunjungan komunitas yang dilakukan selama sebulan, yaitu kunjungan ke Kampung Wuring, biara frater Serikat Sabda Allah (SVD) Unit St. Yoseph Freinademetz, Rumah Bunda Vera Cruz (Ketua Perwakas) yang sering menjadi titik kumpul teman-teman Perwakas, dan kantor redaksi Ekora NTT. Untuk edisi kali ini, Rinto secara khusus membahas kunjungan ke Kampung Wuring dan biara frater Serikat Sabda Allah (SVD) Unit St. Yoseph Freinademetz yang saling mempertemukan para peserta ruang temu dengan isu seputar menjadi kader posyandu dan aktivis orang dengan HIV/AIDS, ODHA.
Beragam kisah dan refleksi atas kisah-kisah pada edisi kali ini menjadi penanda bahwa manusia tidak pernah benar-benar berada pada satu ruang tunggal, melainkan senantiasa berada dalam ruang-ruang multidimensional. Proses-proses dialektis di dalamnya terus berlangsung dari waktu ke waktu.
Selamat membaca!