Menyiapkan “Rumah untuk Keluarga Besar”

Saya sering terkagum-kagum melihat kemegahan bandara. Pada setiap teknologi yang teraplikasi di sudut-sudutnya, parade instalasi di langit-langit, dan sisi-sisi lebar yang menampung jutaan pengunjung setiap harinya. Tapi bukankah memang demikian sebaiknya sebuah lapangan udara dibangun? Mengikuti standar operasional yang ditetapkan oleh komunitas internasional untuk mengakomodasi lalu-lintas udara yang selalu berpacu dengan waktu.

Pada kesempatan lainnya, saya tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan dan spontan mengucap “Woaah” panjang, tatkala disambut oleh sebuah siluet besar puri kuno di salah satu pucuk perbukitan Aravalli. Terbentang gigantik hingga hitungan kilometer, Benteng Amber dekat Jaipur India membutuhkan waktu penjelajahan lebih dari 3 jam. Belum dihitung waktu untuk hiking singkat menuju lapangan utama, yang dipisahkan tak hanya oleh Danau Maota, tetapi juga oleh setapak kecil menanjak berliku. Rute para gajah mengantar keluarga aristokrat untuk masuk ke dalamnya.

Meski kagum, tapi apa pula yang perlu diherankan? Bukankah benteng dan pusat kerajaan memang dibuat untuk mengintimidasi pihak lawan? Diskusi bisa bergulir mengenai bagaimana para elit kerajaan menggunakan uangnya untuk membangun ilusi kemakmuran yang belum tentu dinikmati rakyatnya. Tetapi tidakkah memang telah ada semacam pemahaman umum bahwa benteng, puri atau istana biasanya berukuran digdaya dan memiliki skala kemegahan tertentu?

Barulah pada kesempatan lainnya, saya dipertemukan dengan jenis kemegahan yang berbeda. Bukan hanya mengagumi, melainkan muncul juga rasa iri. Itulah momentum ketika saya melihat sendiri penampakan jalanan umum di Vietnam bagian tengah.

Orientasi Jalan

Menghabiskan 9 hari di Vietnam Tengah seorang diri adalah sebuah kenekatan. Tetapi menyewa kendaraan sebagai moda berpergian dalam kota adalah bentuk kenekatan yang lain.

Sistem lalu-lintas di Vietnam mengharuskan warganya menggunakan jalur sebelah kanan untuk berkendara. Memang, ini adalah faktor pertama yang membuat saya kelimpungan setengah mati ketika berkendara di Vietnam. Padahal saya cuma mengendarai sepeda! Konyol betul. Maklum, membiasakan insting untuk tak selalu bergeser ke sebelah kiri rupanya bukan perkara sepele. Untungnya, warga lokal sepertinya paham betul tabiat sembrono turis-turis kagok semacam ini.

Faktor kedua, jalanan di Vietnam itu lebarnya agak kurang umum bagi orang Indonesia, bahkan rasa-rasanya bagi orang Jakarta sekali pun. Saya sempat memerhatikan ada satu jalan lintas-kota/provinsi di jalan raya Da Nang yang tiap jalurnya terdiri dari 6 lajur! Berarti ruas jalan tersebut memiliki total 12 lajur. Sontak saya langsung merasa ciut setiap berkendara di jalan-jalan Vietnam. Saya merasa seperti curut di tengah jalan layang. Padahal, jalanan tersebut bukan jalan tol. Sebaliknya, jalanan ini bebas dilewati oleh kendaraan apapun termasuk motor, sepeda, dan gerobak kaki lima.

Walau begitu, saya sempat merasa keberadaan jalan sebesar itu di kota Da Nang bukanlah hal yang menakjubkan. Wajar saja, Da Nang (penulisan resmi: Đà Nẵng) merupakan kota terbesar di regional Vietnam Tengah dengan sentra perlabuhan tersibuk setelah Pelabuhan Saigon di regional Vietnam selatan dan Hải Phòng di regional utara.

Data World Population Review menunjukkan Da Nang adalah kota dengan populasi 988.561 jiwa. Terbesar ketiga setelah Saigon/Ho Chi Minh City sebesar 8,9 juta dan Hanoi sebesar 8 juta jiwa. Maka wajar saja jika pemerintah setempat tengah menyiapkan jalanan di Da Nang untuk mengantisipasi ledakan populasi di kemudian hari.

Nah menariknya, ternyata fenomena jalan-jalan berukuran besar ini bukan hanya saya temui di kota besar, melainkan juga kota penyangganya. Selain Da Nang, saya juga berkunjung ke Hue dan Hoi An. Hue (penulisan resmi: Huế) merupakan ibu kota provinsi Thừa Thiên Huế yang menjadi masyhur karena sempat menjadi Ibu Kota Vietnam bagian selatan saat dipimpin oleh Dinasti Nguyen di tahun 1802-1945.

Jalan di sebuah tepi sawah Hoi An. Lapang, rapi, fungsional (Foto pribadi Widha K)

Sekali waktu saya terheran-heran saat bus yang saya tumpangi melewati sebuah terowongan luar biasa panjang yang rupa-rupanya membelah sebuah perut perbukitan. Hải Vân Tunnel adalah terowongan terpanjang di Vietnam dan Asia Tenggara dengan total panjang mencapai 6,28 Km yang menghubungkan Hue dan Da Nang. Saya sempat membuat video ketika bus melaju dalam terowongan. Lengan saya pun menjadi pegal karena rekamannya sudah melampaui 5 menit. Sepanjang itu!

Sedangkan Hoi An (penulisan resmi: Hội An) adalah kota pelabuhan kecil kuno yang pernah menjadi tulang punggung perdagangan zaman dahulu kala. Hoi An pernah menjadi rumah singgah bagi para saudagar asing, termasuk dari Nusantara.

Baik Hue maupun Hoi An memang memperoleh predikat sebagai Warisan Dunia yang diakui UNESCO, tetapi tak lagi menjadi magnet sosio-ekonomi masa kini, apalagi menarik warga untuk tinggal di situ. Walau begitu, kapasitas jalan di Hue dan Hoi An –sekali lagi— tidak main-main. Meski jalanan di area permukiman dan kota tua Hoi An bisa dikatakan relatif kecil (hanya muat untuk 2 mobil saja. Ada juga gang senggol menuju rumah-rumah tua yang kemudian dikomersialisasikan menjadi kafe). Mirip sekali Kota Lama Semarang.

Akan tetapi, kita akan selalu bisa melihat komitmen negara berbintang tersebut untuk menyediakan kemudahan akses bagi warganya. Hal ini ditunjukkan melalui minornya potensi labirin pada gang kecil, kualitas aspal yang baik, kontur jalan yang rata, minim lubang, finishing rapi, serta ketinggian tambalan aspal yang seragam.

Tipikal jalanan di kota kuno Hoi An (Foto pribadi Widha K)

Fasilitas untuk “Keluarga Besar”

Mengelilingi pinggiran Sungai Tu Bon adalah aktivitas favorit saya setiap sore di Hoi An. Jika cuaca sedang murung, tak perlu muluk-muluk berkeliling. Memandangi lalu-lalang orang di situ pun cukuplah.

Di setiap sore, jalur pedestrian di bantaran Sungai Tu Bon dipadati gerobak dan pikulan pedagang. Setiap penjaja makanan berat punya meja dan kursi ceper untuk menyantap hidangan. Di balik semua gemerlap lampu dan lampion di atas perahu, saya membayang-bayang bagaimana pedagang era dulu melintas Laut Cina Selatan, berbelok ke muara, lalu menambatkan sauh di pinggir-pinggir Sungai Tu Bon yang menjadi halaman belakang para saudagar Hoi An.

Pada tepian Sungai Han di Da Nang, aktivitas saya sedikit berbeda. Sepanjang sungai dibingkai oleh taman dan jalur pejalan kaki yang luar biasa lebar. Setidaknya 6 meter pada setiap sisinya. Bagi penikmat ruang publik seperti saya, tepian sungai lebar yang bisa dinikmati cukup dengan duduk-duduk di bangku taman adalah surga.

Jalur pedestrian di tepi Sungai Han, Da Nang (Foto pribadi Widha K)

Tepian yang lebar tadi membuat pandangan saya luas. Dengan rakusnya saya memandangi lansekap yang terbentuk dari gedung-gedung bertingkat yang disaput kabut tipis-tipis dan siluet gunung di kejauhan. Pada sore hari, bapak-bapak dengan kemeja terbuka berkumpul. Membeli lotre dan bermain kartu di sebuah sudut terbuka. Sesekali bertengkar atau entah berseru-seru. Pokoknya ramai betul seperti orang marah-marah.

Bila saatnya malam datang dan udara terlalu dingin, saya masuk ke sebuah kafe, duduk di lantai dua bersama kawan yang baru saja saya kenal di perjalanan. Mereka menyesap Cà Phê Sữa Đá sembari melihat kapal berlampu. Melintas perlahan di atas Sungai Han.

Ada begitu banyak sungai dan anak sungai membelah kota-kota di Vietnam. Mungkin karena itulah Da Nang memiliki setidaknya 4 jembatan besar sepanjang Sungai Han untuk mengakomodasi mobilitas warga dari “daratan” menuju “daratan dekat laut”.

Salah satu jembatan yang kesohor bernama Dragon Bridge. Istimewanya, meski megah, jembatan ini —dan jembatan lainnya— tak luput memberi ruang aman bagi pejalan kaki untuk menyebranginya. Lagi-lagi saya iri. Kalau dikatakan punya laut dan sungai, Indonesia kurang banyak apa. Pejalan kaki, apa lagi. Bukankah setiap kita pada dasarnya adalah pejalan kaki? Tapi mengapa kok ingin menyeberang sungai saja rasanya sulit sekali?

Dragon Bridge dari kejauhan. Meski megah, tetap memberi ruang untuk pejalan kaki (Foto pribadi Widha K)

Bangunan Gigantis

Di tengah-tengah “kemewahan yang sesungguhnya lumrah”, ternyata Vietnam juga punya bangunan mangkrak. Tak hanya sekali dua, suka-suka saya melihat entah stadion entah bangunan olahraga terbengkalai. Dan ukurannya, hampir selalu berukuran masif!

“Ya pantes aja mangkrak. Semua yang dibangun ukurannya gede banget. Memangnya mereka butuh segitu banyaknya bangunan besar? Masyarakatnya aja gak terlalu banyak,” demikian saya membatin. Mengabaikan otokritik pada proyek-proyek mangkrak di Indonesia.

Salah satu bangunan terabaikan di Da Nang (Foto pribadi Widha K)

Dalam hati saya merenung-renungi obsesi pemerintah sosialis dan komunis dalam membuat fasilitas berukuran gigantis. Buat apa sih? Padahal populasi Vietnam saat ini baru sepertiga dari total populasi Indonesia. Sayang dong, bikin bangunan gede-gede kalau nantinya kosong melompong. Ini kan bukan RRC atau Rusia.

Tapi tak dapat dipungkiri bahwa tata kota dan arsitektur negara sosialis dan komunis sesungguhnya sangat masuk akal. Selain sebagai simbol kekuatan dan menumbuhkan kebanggaan sebagai sebuah bangsa besar, bangunan monumental berukuran besar bisa jadi adalah wujud antisipasi pertumbuhan populasi yang besar di kemudian hari. Selain untuk mengakomodasi budaya massal masyarakat komunal dan seremoni-seremoni berskala besar di ruang publik.

Bangunan-bangunan monumental ini bahkan berhasil membuat saya sebagai seorang turis, merasa gentar. Bahkan iri. Karenanya, anak-anak kecil bisa memiliki ruang bermain yang lapang di taman-taman dan gelanggang olahraga. Di sana mereka bisa memiliki ruang bersosialisasi dengan teman sebayanya. Semuanya bisa dicapai dekat saja dari permukiman rumah.

Berkat taman-taman yang besar, masyarakat yang memiliki hunian di lahan terbatas pun bisa menjadikan taman umum sebagai halaman belakangnya. Mereka bisa memiliki momen-momen rekreasi dan menghirup udara segar tanpa perlu membayar retribusi tempat wisata.

Masyarakat yang tidak memiliki kendaraan bermotor bisa berpergian nyaman dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Berkat jalur pedestrian serta kualitas jalan yang baik dan lebar. Negara tidak hanya menciptakan ruang untuk kendaraan, tetapi pertama-tama untuk manusianya.

****

Selama di Vietnam, saya menemukan satu minuman kesukaan. Bukan bir lokal. Vietnam memang punya banyak merek bir enak (rasanya mirip bir di Indonesia!). Mereka juga memiliki tradisi membuat craft beer yang belum sempat saya coba. Tetapi yang saya maksud kali ini adalah egg coffee atau dalam bahasa aslinya disebut cà phê trứng.

Setelah melulu minum teh lotus (yang rasanya juga sangat memikat hati), ternyata rindu juga say aini dengan kopi. Padahal saya bukan “bocah kopi”. Google Maps mengantar saya ke warung Nối Coffee. Rumah di gang kecil yang disulap menjadi sebuah warkop indie bergaya vintage. Serba coklat, serba kayu. Interiornya dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah kita sedang bersantai dalam sebuah toko barang antik —kalau tidak mau disebut biara tua Fransiskan yang isinya para bruder kerja bengkel.

Egg coffee merupakan sebuah respons terhadap keterbatasan pasokan susu yang terjadi selama Perang Indochina Pertama. Kelembutan “whipped cream” dari busa telur yang berat, terasa legit. Manis ringan. Rasanya seperti menyesap adonan kue, diikuti pahitnya kopi robusta. Duh sedapnya.

Di kafe itu, isinya mudi-muda. Pemandangan yang sungguh sama belaka seperti yang terjadi di kafe-kafe Ibu Kota dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Orang-orang membuka laptop dan tab. Datang sendirian maupun ngobrol berkelompok. Saling bertanya password WiFi, walau tak saya temukan ada colokan untuk mengisi daya gawai. Meski begitu, toh saya tetap menyempatkan diri untuk bekerja. Demikian pula pengunjung lainnya.

Salah satu warung kopi di Da Nang, suasananya tak beda jauh dengan di Indonesia (Foto pribadi Widha K)

Kita semua kurang lebih sama. Bangsa besar yang masyarakatnya dipersatukan oleh kegemaran cangkruk di warung, menyesap olahan kopi dengan harga terjangkau, jalan kaki menikmati suasana, memerlukan tempat rekreasi gratis, memiliki kebutuhan berjumpa dengan komunitas, sembari mencoba mencari penghidupan yang lebih baik.

Bedanya, kami di Indonesia masih harus ikhlas berjalan kaki di antara galian kabel serat optik yang masih menganga, taman-taman overcrowded, fasilitas di komplek privat yang hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu saja, risiko catcalling di ruang publik dekat rumah, dan mencoba tidak heran dengan perbedaan tinggi-rendah aspal tambalan yang intensitasnya sudah di taraf agak susah dimaafkan. Warnanya belang-belang, pula! Meski iri, saya tidak mengapa.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Menyiapkan Rumah untuk Keluarga Besar, sebuah catatan perjalanan Widha Karina, kita diajak melihat bagaimana kota-kota berkembang dengan […]

trackback

[…] rasanya membaca tulisan Widha Karina, Menyiapkan Rumah untuk Keluarga Besar di edisi Ruang dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi bulan Maret 2023. Salah satu bagian dari […]

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th