Thomas Nail, seorang profesor filsafat di The University of Denver menyatakan sebuah analogi menarik tentang manusia di zaman ini: kita seperti biji dandelion yang terkatung-katung di tengah angin yang bergolak. Pernyataannya itu didasari oleh pengamatan atas zaman pergerakan ini, ketika orang dan benda bergerak lebih jauh, lebih sering, dan lebih cepat daripada sebelumnya. Kini, setiap domain utama aktivitas alam semesta dan masyarakat hingga seni dan sains, semakin ditentukan oleh pola gerak yang mendahului dan melampaui manusia.
Atas fenomena itu, menurut Nail, dalam membaca dan merefleksikan realitas, kita membutuhkan teori humaniora baru yang tidak lagi dimulai dan diakhiri dengan manusia, struktur, dan sistemnya. Faktanya, ada sebuah proses dan pola materi-kinetik yang lebih primer dan konstitutif yang melampaui manusia dan struktur sosialnya. Manusia terjebak dalam sebuah pola gerak meta-stabil yang jauh lebih besar dari logika mereka sendiri. Pola gerak ini harus dipelajari secara sistematis pada berbagai disiplin ilmu, atau paling tidak, diberi perhatian lebih besar. Termasuk di dalamnya wacana migrasi.
Tak bisa dipungkiri bahwa kaitan antara seni, budaya, dan migrasi terabaikan dalam bidang studi migrasi internasional yang berkembang di Eropa. Pengabaian ini mencerminkan pendekatan dominan terhadap migrasi sejak akhir Perang Dunia II ketika migrasi dianggap sebagai fenomena yang bersifat konjungtur. Migran dianggap terutama semata-mata sebagai pekerja dan kekuatan produksi dalam ekonomi global yang legitimasi kehadirannya didasarkan pada status mereka sebagai pekerja dan seberapa besar kontribusi langsung mereka terhadap ekonomi. Pertemuan dengan yang liyan jadi identik dengan penjajahan, penderitaan, penghancuran. Hal itu kemudian meninggalkan luka.
Padahal nyatanya, sejarah pra kolonialisme/imperialisme Eropa menunjukkan bahwa pertemuan antar-tradisi karena migrasi juga bisa berlangsung tanpa adanya konflik dan penghancuran. Setiap pertemuan selalu punya peluang mengambil tetapi pun meninggalkan sesuatu. Pembauran unsur-unsur budaya dapat berimbas pada jangkauan kreativitas dan inspirasi pada hal-hal baru, misalnya eksplorasi artistik. Seni itu sendiri dapat menjadi bahasa penghubung, bahkan mendefinisikan kembali identitas yang telah hilang atau ditinggalkan ketika sebuah masyarakat berpindah dan menemukan tempat menetap yang baru.
Melalui migrasi, pengetahuan, nilai, dan kebiasaan bergerak, berpindah, menetap sebagian/seluruhnya, membuatnya lebih dari sekadar relokasi, tetapi juga bermakna reformasi. Konsekuensinya ada pada bidang politik, ekonomi, sains, serta estetika. Ide tentang pergerakan dan pertemuan membantu masyarakat memberi bentuk-bentuk bagi gagasan abstrak mereka, untuk kemudian menampilkan bentuk-bentuk itu dalam rangka mempresentasikan peradaban serta hasil kebudayaannya.
Di saat yang sama, migrasi juga bisa terjadi dalam presentasi/representasi tersebut. Praktik dan produk seni-budaya dapat bergerak, berpindah, berubah dari satu medium ke medium lain. Maka tulisan-tulisan di edisi kali ini juga sebetulnya tak dapat kita lepaskan dari edisi sebelumnya mengenai ritus, bahwa tradisi dan ritus tertentu di dalam masyarakat merupakan produk dari peleburan unsur-unsur beberapa kebudayaan yang berbeda.
Terdapat banyak pertanyaan yang dapat digarap sebagai upaya mendekati wacana migrasi dalam kaitannya dengan seni-budaya, di antaranya: apa saja kemungkinan ekspresi dan artikulasinya? Mungkinkah migrasi dimaknai sebagai perpindahan medium? Jika mungkin, apakah perpindahan itu mempengaruhi kerja seni-budaya yang dilakukan oleh sebuah masyarakat atau kelompok? Bagaimana dampaknya, apakah menyebabkan adaptasi, kolaborasi, atau malah resistensi?
Rapat redaksi Lau Ne mencapai mufakat untuk menerbitkan kembali esai Dami N. Toda di rubrik Jangkar, Menyelamatkan Identitas Kebudayaan-Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Timur. Esai tersebut muncul dalam konteks Polemik Kebudayaan yang diawali oleh esai Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) tahun 1935, dengan kalimat ikoniknya, “dan sekarang tiba waktunya mengarahkan pandangan kita ke Barat.”
Dari polemik penting yang memperdebatkan arah masyarakat dan kebudayaan Indonesia itu, kita dapat menemukan pergerakan dan silangan laiknya sebuah migrasi, antara modernitas ala Barat dengan kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia, dari yang dipisahkan STA sebagai zaman Indonesia dengan zaman pra-Indonesia.
Dalam kerangka Polemik Kebudayaan, Dami N. Toda menulis dalam konteks NTT, di mana identitas kebudayaan telah pudar dan membahayakan kebudayaan nasional yang ada pada slogan-slogan. Ia juga membahas “kegesitan peradaban Kristen” dengan upaya penggalian upacara-upacara penuh sastra/filsafat hidup, lagu-lagu rakyat, untuk disadur ke dalam peribadatan. Di saat bersamaan, terdapat pemberangusan beberapa kebudayaan asli NTT oleh kolonialisme dan/atau Kristianitas Eropa. Upaya pemberangusan itu memberi tantangan tersendiri pada pertemuan unsur-unsur kebudayaan.
Esai Dami N. Toda juga bisa jadi upaya retrospeksi. Sebab, beliau berani membahas Gereja dari kacamata kolonialisme. Ia sekaligus memberi awasan terhadap cita-cita modern-national state sebagai anak kandung revolusi, yang bertendensi menguniversalkan bahkan menunggalkan ragam artikulasi kebudayaan.
Persoalan bahasa diangkat dalam perbincangan Hermien Y. Kleden dengan Eka Nggalu dalam Padang Rumput, Sabana Kertas, dan Belantara Digital di rubrik Nahkoda. Ide Hermien adalah mengenai bahasa sebagai sebuah produk persilangan yang terus bermigrasi. Bahasa menghantar masyarakat dari zaman ke zaman, dari tradisi lisan ke tulisan, dari manual ke digital, hingga akhirnya kita menemukan bahwa Bahasa Indonesia dapat menjadi jembatan yang efektif bagi komunikasi bangsa. Dengan dibantu oleh teknologi sebagai alat, bahasa terus bergerak/bertumbuh, sementara manusia tetap berpegang pada tugas besarnya: mempertahankan konteks dari pelbagai konten yang bertebaran.
Ide tentang percampuran antara lanskap geografis, ekologi, sekaligus kultur sebuah masyarakat dapat kita temukan dalam Incognito Timbre pada rubrik Jala. Kita dapat mengikuti catatan residensi Lintang Radittya, Sang Pelancong Bunyi, ketika menelusuri kultur sub-bas di Maumere yang terinternalisasi di dalam diri masyarakat. Dalam tulisannya, ia mengidentifikasi mulai dari tradisi dan organologi gong, tradisi konsumsi moke yang berpengaruh terhadap daya dengar manusia, hingga industri sound system.
Penelusuran yang dilakukan Lintang itu baik bagi masyarakat, terutama pada lapisan generasi 1990-an, yang berada dalam kebimbangan: jauh dari adat dan tradisi, tetapi pun jauh untuk menggapai modernitas. Bagi generasi ini, pencarian identitas adalah berarti pula mencari posisi dan proyeksi dengan cara mempelajari sejarah, menyandingkannya dengan hal-hal yang sedang terjadi hari ini. Seperti pula yang dapat disimak dalam tulisan Marianus Nuwa dalam Menelusuri Jejak Austronesia di Pain Haka, Flores Timur di rubrik Layar.
Marianus menuliskan pengalamannya meriset wacana para penutur Austronesia di Pain Haka, kemudian menerjemahkannya ke dalam karya seni instalasi peta migrasi bersama Yuma Taru, seorang seniman Taiwan. Proyeknya adalah membayangkan kembali sejarah kedatangan, pertemuan, pertukaran masyarakat agar tercipta ingatan kolektif penutur Austronesia, serta upaya mendekatkan hubungan relasional dan emosional antara orang-orang Taiwan dan Flores.
Berbagai gagasan dan pengalaman kontributor Lau Ne edisi Warga dan Migrasi selain mencoba membangun kesadaran tentang gerak dan perubahan, pun merupakan sebuah upaya memosisikan diri dan membangun visi, di tengah ketidakpastian. Sebab migrasi adalah konsekuensi antropologis masa lalu, sekaligus tantangan berkebudayaan di masa depan.
Ketika segalanya bergerak dan bersilangan, kita mesti terus meringankan diri dan merendahkan hati. Sebab kita adalah biji dandelion yang terkatung-katung itu.
Referensi
Alisjahbana, Sutan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” dalam Polemik Kebudayaan, Balai Pustaka (1948).
Martiniello, M. Researching arts, culture, migration and change: a multi (trans)disciplinary challenge for international migration studies, CMS 10, 7 (2022).
Nail, Thomas (Edited by Rosi Braidotti and Simone Bignall), “Borders in Motion” dalam Posthuman Ecologies: Complexity and Process after Deleuze (2018).
Video Ngomong-Ngomong Soal Polemik Kebudayaan: Barat Kena Timur Kena | Siniar Salihara, 6 Juni 2022