Incognito Timbre, Catatan Residensi di Maumere

 

Judul “Incognito Timbre” diambil dari esai karya Robert Fink, seorang profesor musikologi dari UCLA, Amerika, yang berjudul “Below 100Hz Toward a Musicology of Bass” (2018). Sebenarnya saya lebih ingin mewujudkan karya ini sebagai sebuah instalasi suara ketimbang sekadar paparan ide yang bersifat abstrak. Hanya saja, durasi waktu membuat proses kerja artistiknya sedikit menjadi mustahil dan terlalu prematur untuk diwujudkan. Namun layaknya sebuah gagasan, tetap perlu dipaparkan untuk dapat ditelaah dan dibaca ulang, tentang bagaimana frekuensi tidak hanya memiliki kerja matematika dan fisika, tetapi lebih jauh dalam kerangka diplomasi.

“Takjub” adalah kata pertama yang saya sematkan saat melihat Maumere. Layaknya seorang turis yang datang pertama kali ke sebuah tempat, dengan modal andalan berupa melihat panduan dari media sosial saja. Namun, melihat Maumere adalah berarti mendengar Maumere dan vice versa! Maumere adalah episentrum unik tempat suara/bunyi menjadi sebuah napas panjang yang melingkupi seluruh aspek hidupnya.

Di Maumere, bunyi adalah cara dialog, suara adalah cara berdiplomasi, dan musik adalah cara bersosial. Bunyi dalam apapun sinomin dan bentuknya telah menjadi sesuatu yang vernakular, menubuh dalam warga asli atau yang hidup dengan cara lokal.

Ketika rencana mengunjungi Maumere telah pasti, lalu turut menjadi warga sesaat Maumere pada Desember 2022 hingga Januari 2023, saya sengaja meninggalkan cara kerja artistik dan telusur data yang biasa saya lakukan. Saya bahkan bekerja hampir tanpa perangkat yang biasa saya gunakan. Tanpa banyak framming khas, lebih dalam mendengar dengan telinga, kerap mengingat dengan pikiran, dan mengimajinasikan secara spekulatif, menjadi cara yang saya pilih untuk menggambarkan Maumere. “Pelancong Bunyi” adalah frase yang mungkin lebih tepat menggambarkan apa yang saya lakukan di Maumere.

Pengalaman utama yang sangat membekas dalam ingatan saya tentang kota ini adalah kultur sub-bas (frekuensi rendah) yang begitu masif pada sistem tata suara yang berlaku di Maumere. Berbagai pertanyaan perlu saya urai satu persatu.

Lintang Radittya mempresentasikan hasil riset selama residensi di Komunitas KAHE, Maumere. Foto: Sidi/Dok. Komunitas KAHE

Bagaimana fenomena yang sebegitu distorsifnya untuk telinga saya, tetapi justru menjadi budaya yang begitu kuat di masyarakat setempat? Melihat akar budaya dalam menikmati frekuensi rendah ini, adalah pilihan yang saya lakukan sebagai hulu dari lawatan bunyi ini. Spekulasi awal saya dimulai pada organologi tradisional Maumere, yaitu gong waning.

Gong dan waning adalah dua instrumen dasar yang menjadi ritus bunyi utama secara adat. Gong menjadi sebuah bukti migrasi bunyi. Meskipun tidak ditemukan catatan yang komprehensif, lewat cerita tutur diyakini bahwa pedagang Cina (dugaan lain adalah pedagang Indo-Cina), menjadi messiah bunyi gong ke tanah Maumere. Dari perjumpaan dengan orang-orang yang menjadi penghidup gong waning, muncul berbagai pendapat mengenai DNA bunyi gong di Maumere. Keberadaan bukti budaya megalitik, menjadi cukup menarik untuk disimak. Tradisi gong batu dapat dijadikan asumsi mendasar mengapa gong mudah diterima. Gong tanah yang kemudian bertransformasi menjadi bas tanah, hingga acapella (vokal) yang me-mimetik juga memiliki poin untuk dapat melihat bagaimana budaya gong saling mempengaruhi.

Pada teknik pengolahan organologinya juga terdapat nilai yang dapat dipandang memiliki sudut yang psikopolitis. Terdapat dua metode aplikasi instrumen yang digunakan. Pertama, gong diletakkan pada wadah yang serupa dengan gong dalam talempong (Padang) atau bonang (Jawa). Dengan teknik seperti ini sustain (panjang resonance) pada gong lebih panjang. Teknik ini banyak digunakan pada wilayah Maumere bagian barat, sebagian tengah, dan sanggar-sanggar tradisi.

Metode kedua adalah gong dipegang langsung oleh pemusiknya terutama di Maumere di bagian timur. Menariknya, dalam metode ini, gestur (tangan, jemari, lengan) pemusik memiliki peran dalam mengatur sustain dari gong. Secara mendasar terdengar suara gong dengan sustain yang lebih pendek-pendek. Apakah perbedaan cara aplikasi instrumen ini menggambarkan tektur psikopolitik masyarakat Maumere di dua kutub tersebut? Bisa jadi kontur suara berupa sustain/resonance adalah bahasa politik dan gambaran psikologis masyarakat Maumere.

Satu catatan tambahan saya dapatkan dari penelitian Hanggar Budi Prasetya (pengajar gamelan di ISI Yogyakarta), meskipun secara material bunyi tidak relevan, tetapi penelitiannya yang dilakukan pada beberapa instrumen berbasis gong, frekuensi fundamental yang diperoleh rata-rata di bawah 1000Hz. Asumsi saya, frekuensi pada gong pada instrument tradisional Maumere juga tidak jauh nilainya (non-linear).

Sedangkan pada waning (kendang/membranophone) penerapan frekuensi yang lebih rendah lebih terasa aplikasinya (dengan telinga). Pada beberapa rekaman di YouTube dan sumber digital lainnya, sulit menemukan asumsi nilai frekuensi rendahnya. Yang dapat ditemukan pada kasus rekaman yang ada, hanya puncak kontur bunyinya saja, atau bisa jadi overtone-nya saja.

Dalam beberapa obrolan acak yang dilakukan, didapat temuan data tentang suara yang dihasilkan pada waning, yang terasa menghentak dan memukul di dada, sekitar pundak, dan area tenggorokan. Bukan kebetulan, terdapat data mengenai register frekuensi yang memiliki pengaruh pada tubuh. Frekuensi di area 50Hz hingga 100Hz memiliki karakter tersebut.

Secara teknis, pukulannya pun menarik jika diperhatikan. Asumsi kedua hadir pada pukulan yang sustain (berlanjut). Pukulan yang sustain merupakan cara untuk menghadirkan frekuensi sub, rumble (gemuruh) dan bottom (dasar) agar tetap bertahan dalam orkestrasi gong waning. Apakah interferensi atau pertemuan dua fase frekuensi antar instrumen juga tetap mempertahankan frekuensi di bawah 100Hz? Jawabannya dapat ditemukan jika dilakukan penelitian yang lebih lanjut.

Parade sound system di Maumere. Foto: Kartika Solapung/Dok. Komunitas KAHE

Tradisi mengkonsumsi moke juga menjadi salah satu hal yang menarik untuk juga dilihat sebagai data. Dalam sebuah penelitian di Inggis pada tahun 2007 [1], dilakukan pengujian respon auditory (respon dengar) terhadap 30 relawan sehat, sebelum dan setelah mengkonsumsi alkohol. Tes ini dilakukan dengan 6 ukuran frekuensi (pure tone) di dalam ekosistem akustik baik. Tes dilakukan dalam pengujian berjangka 30 menit, 60 menit, 90 menit dan seterusnya untuk melihat respon masing-masing relawan terhadap respon dengar.

Dari hasil tersebut terdapat penurunan siginifikan respon dengar setelah mengkonsumsi alkohol dalam durasi tertentu, terutama frekuensi di bawah 1000Hz (pada percobaan tersebut 1000Hz, 500Hz, dan 250Hz). Hal itu dikenal dengan istilah cocktail party effect atau cocktail party deafness yang terjadi saat kemampuan otak mengalami penurunan untuk merespon rangsangan saat di bawah pengaruh alkohol. Pada kondisi normal, otak mampu menerima multi rangsangan secara bersamaan dan memfokuskan secara matriks. Pada fenomena cocktail party effect respon ini mengalami kegagalan.

Masyarakat di Maumere memiliki istilah lokal “telinga tebal”, yang menggambarkan reaksi sensorik (auditif) terhadap menurunnya daya dengar setelah mengkonsumsi moke.  Dalam wawancara dengan pelaku usaha sound system ditemukan fenomena untuk meningkatkan volume sub-bas ke level yang masif pada waktu-waktu tertentu di dalam pesta, terutama dini hari menuju pagi. Apakah ini merupakan fenomena distorsif auditif yang perlahan diregistrasi menjadi budaya?

Menariknya, jika mengamati pola pasar yang banyak diterapkan pada industri sound system di Maumere, sub adalah nilai ekonomi paling tinggi yang menjadi magnet perdagangan. Boleh dikatakan dalam level yang gigantik, meminjam istilah dari Goodman sebagai techno-appocaliptik, para vendor tengah melalukan perang suara dalam perdagangannya. Pola gigantik dan hiperbolik ini juga termanisfestasi dalam local-metric yang digunakan oleh masyarakat dan dilegalkan oleh industri sound system. Decible (dB) bukan lagi menjadi metrik yang popular. Kaki celana berkibar, dapur bergetar, hentakan di dada, hingga tenggorokan yang tercekat menjadi parameter yang lebih komunikatif. Matematika yang paling spekulatif mungkin hanya dimiliki oleh orang-orang di Nusantara. 

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Robert Fink tentang kultur bas pada beberapa format musik (reggae, dub, dance hall, hip-hop jungle, drum and bass, dub step, techno dan lainnya), Fink menyebutnya sebagai dunia timbral yang telah dibangun oleh sub (woofer) ibarat sebuah kepulauan virtual dengan musik berdebar. Semiotika yang tentu terasa sangat politis tentang bagaimana budaya resistensi musik yang didasarkan pada kemampuan untuk mendominasi ruang kolektif dengan suara frekuensi rendah dalam jumlah besar [2].

Hal itu merupakan sebuah relasi yang istimewa dan bukan kebetulan bahwa beberapa form musik seperti reggae, hip-hop, indo-tekno (meminjam Yennu Ariendra) diterima dengan begitu mudah di Maumere, di mana format-format musik tersebut berada dalam lingkar kultur bas. Meminjam istilah “kepulauan virtual” dari Fink, apakah kultur bas di Maumere merupakan sebuah bentuk lampau dari resistensi dan politik identitas?

Mengenali topografi bunyi di Maumere, terutama dari kultur sub yang masif merupakan hal menarik. Relasi informasi-informasi di dalam penelitian ini dapat ditilik sebagai genealogi cara dengar masyarakat di Maumere, sebuah nilai frekuensi yang dapat disebut sebagai warna suara yang samar atau timbre incognito.

[1] The acute effects of alcohol on auditory thresholds

[2] Fink, Robert. Below 100 Hz: Toward a Musicology of Bass Culture

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 16th