Padang Rumput, Sabana Kertas, dan Belantara Digital

Hermien Y. Kleden adalah mantan Chief Editor Tempo English Weekly, Jakarta yang telah menempuh karir jurnalistik selama 27 tahun. Pernah bertugas sebagai Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, Redaktur Pelaksana Koran Tempo, serta Dewan Eksekutif Tempo Media Group. Desember 2021-November 2022, Hermien Y. Kleden menjadi Media Advisor & bagi engagement group V(alues) 20 for G20 Presidency of Indonesia. Sejak November 2022, beliau menjadi Konsultan Media untuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta. Dalam podcast Lau Ne edisi Warga dan Migrasi, Hermien dan Eka Nggalu berbincang soal migrasi media dari tradisi lisan, tulisan, hingga digital dan bagaimana karakter dari media yang digunakan dari masing-masing tradisi membentuk cara berpikir dan mengekspresikan pikiran-pikiran tersebut, serta kesenjangan yang ditimbulkan dan migrasi dari satu media ke media lain.

 

Eka: Selamat sore, Kak Hermien. Terima kasih sudah berkenan untuk diwawancarai oleh saya sebagai perwakilan dari redaksi Lau Ne.

Hari ini kita akan mengobrol mengenai bahasa dan migrasi, bagaimana bahasa, tradisi lisan, tradisi cetak, dan kemudian tradisi digital itu berubah dari waktu ke waktu. Saya ingin melihat hal ini dari perspektif yang lebih personal berdasarkan pengalaman Kak Hermien sebagai seorang jurnalis. Namun, sebelum kita masuk ke bagaimana migrasi terjadi dari budaya lisan, lalu cetak, dan kemudian digital, saya ingin mengetahui bagaimana konteks budaya, konteks keluarga dan konteks masyarakat di mana Kak Hermien tumbuh membentuk cara berpikir dan mengekspresikan diri Kak Hermien.

Hermien:  Bapak saya seorang guru SD yang mengajar dari desa ke desa. Saya lahir di sebuah desa pedalaman, Hewa, di kecamatan Wulanggitang, kurang lebih lima belas kilometer dari Hokeng. Tidak ada listrik di sana saat itu. Keadaannya kurang lebih mirip dengan setting dalam kisah Little House on the Prairie. Saya lahir dan bersekolah di Hewa sampai kelas lima sekolah dasar sebelum pindah ke Waibalun, tempat asal orang tua saya.

Saya tumbuh dalam suatu tradisi di mana hampir tidak ada buku bacaan untuk anak-anak. Satu-satunya buku bacaan adalah Bible, Kitab Suci. Sejak kecil, saya menemukan bahwa banyak sekali cerita-cerita Kitab Suci, khususnya dari Perjanjian Lama, yang mirip dengan kisah-kisah sastra yang sangat entertaining. Tentu saja saat itu, saya belum mengenal istilah sastra. Karena itu, kehausan pada kisah-kisah yang entertaining mulai tumbuh dari situ.

Bapak saya seorang guru dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Ibu saya adalah seorang story teller yang hebat. Di masa-masa sekolah dasar, saya dibentuk oleh tradisi lisan. Hampir semua dongeng-dongeng diceritakan secara lisan pada malam hari. Kalau ada pastor yang datang ke kampung, biasanya kami mendapat kesempatan untuk mendengarkan cerita-cerita Kitab Suci dari pastor-pastor itu. Bertahun-tahun kemudian ketika saya sudah menjadi seorang wartawan, baru saya paham bagaimana teknik membangun klimaks atau konflik dalam sebuah cerita sehingga pembaca terus dibuat menunggu. Di masa itu, karena belum ada listrik kami selalu mendapatkan pelajaran agama di padang rumput. Pastor duduk di atas batu yang agak tinggi, lalu kami anak-anak duduk di hamparan rumput. Memori ini sangat kuat membekas dalam diri saya.

Ayah saya juga adalah seorang pencerita yang baik. Beliau sangat suka membaca meskipun akses bacaan pada saat itu sangat terbatas. Jadi, kisah-kisah dari Balai Pustaka yang sudah dibaca seperti Siti Nurbaya dituturkan kembali pada kami dengan narasi beliau yang membuat kami selalu penasaran dan menunggu apa babak selanjutnya dari kisah ini. Pastor yang sebulan sekali mengajar agama dan menuturkan cerita-cerita Kitab Suci pada kami di padang rumput juga kelak menjadi acuan bagi saya dalam membangun narasi yang membuat pendengar atau pembaca selalu menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bagi saya, pengalaman-pengalaman ini adalah luxury ketika sekarang kita ada pada abad di mana hampir segala sesuatu telah didigitalisasi. Saya sangat beruntung karena masa kanak-kanak saya dibangun atau dipahat oleh juga tradisi lisan karena bagaimanapun kita menggunakan berbagai tools digital yang ada saat ini, tetap tidak dapat menggantikan narasi dalam komunikasi langsung antarmanusia. Nothing can replace the direct communication between human.

Sebagai orang Flores, saya juga merasa kita beruntung karena bahasa Indonesia kita bagus. Bahasa Indonesia kita memiliki prinsip yang mirip dengan apa yang selalu ditekankan dalam media-media seperti The Economist, yaitu the shorter the better. Karena itu, saya merasa berutang pada bahasa Indonesia Flores (Waibalun) yang sangat jelas dan langsung. Dalam komunikasi sehari-hari, verba dan nomina merupakan golongan kata yang paling banyak digunakan, tidak bertele-tele dengan misalnya menggunakan adjektif. Sebuah kisah, story, itu dibangun dari verba dan nomina. Ini adalah bagaimana memori masa kecil membentuk cara saya menarasikan sesuatu secara alamiah, bukan sesuatu yang diajarkan untuk saya lakukan, tetapi lebih sebagai sesuatu yang saya terima lalu kemudian saya mengekspresikannya secara alamiah.

Ada satu hal lagi terkait narasi yang saya pelajari dari Flores, yaitu saat mama-mama beradu ratapan untuk orang yang telah meninggal. Ratapan-ratapan itu adalah obituari yang dilagukan dengan sangat indah. Di situ kita akan menemukan 5W1H yang sangat jelas. Ini adalah paradoks. Kita masih bisa menemukan keindahan dalam kedukaan. Karena itu, saya bersyukur sekali menjadi anak Flores. Saya belajar struktur bahasa yang bagus dari percakapan sehari-hari dan mengedepankan fakta ketika menarasikan sesuatu yang terjadi secara alamiah dalam percakapan sehari-hari.

Eka: Berarti, di zaman kakak masih kecil, pengaruh bahasa Lamaholot masih sangat kuat?

Hermien: Tentu saja. Kami berbicara dalam bahasa Lamaholot sebagai bahasa ibu kami. Namun, sehari-hari di sekolah, Gereja, atau untuk situasi-situasi formal lainnya kami menggunakan bahasa Indonesia. Kami berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan kalimat-kalimat yang berotot, yaitu struktur kalimat yang jelas dan tidak banyak lemaknya. Karena itu, saya dan saudara-saudari saya sangat terbantu. Ada semacam kekayaan bahasa yang diperkenalkan ke dalam keseharian kami sejak kecil. Saat itu, di Hewa kami juga berbahasa Krowin. Jadi bahasa daerah di Hewa itu semi bahasa Sikka.

Eka: Dalam refleksi Kakak, apakah ada kontestasi antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia pada masa Kakak? Karena pada generasi kami, justru kami kehilangan akses yang signifikan ke bahasa daerah.

Hermien: Jika melihat yang sekarang, kita sangat terbantu dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi jembatan yang menghubungkan semua anak negeri ini. Ini tidak terjadi di banyak tempat lain karena tidak adanya satu bahasa yang sama yang bisa dipahami oleh semua orang. Sementara kita, dari Sabang sampai Merauke bisa saling memahami dengan satu bahasa yang sama. Jadi, kalaupun terjadi pemiskinan dalam bahasa-bahasa daerah, kita tidak akan kehilangan cara berkomunikasi karena komunikasi kita masih menggunakan bahasa Indonesia.

Masalahnya adalah apakah pengaruh dari bahasa-bahasa Ibu kita itu akan tetap mempengaruhi bahasa Indoesia kita? Makanya, ada banyak sekali varian bahasa Indonesia yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Kita tidak perlu bersedih karena penyerapan bahasa daerah ke bahasa Indonesia sebenarnya adalah kekayaan kita. Kita tidak perlu cemas bahwa ada percampuran antara bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Yang menjadi isu adalah bagaimana pengayaan itu harus dikembangkan supaya benar-benar menjadi bagian dari bahasa Indonesia.

Eka: Apakah menurut kakak bahasa Indonesia di Flores yang sangat terstruktur dengan baik secara gramatikal dipengaruhi juga oleh pendidikan dari para misionaris Katolik di Flores?

Hermien: Saya setuju. Para misionaris Katolik yang datang ke Flores waktu itu bukan saja datang sebagai misionaris. Mereka juga adalah ahli bahasa, psikolog, teolog, ekseget, filsuf, ahli pertanian, dan topologi yang hebat. Kekayaan diksi bahasa Indonesia misalnya, bisa kita temukan dalam terjemahan Kitab Suci bahasa Indonesia terbitan Nusa Indah yang diterjemahkan Pater Boumans. Salah satu aspek penting dari misi gereja Katolik di Flores adalah pendidikan yang kemudian melahirkan guru-guru atau para pendidik dengan kemampuan bahasa yang hebat. Kemampuan berbahasa dan merumuskan pikiran saya sendiri mendapatkan pengaruh besar dari ayah saya yang adalah seorang guru hasil didikan para misionaris Katolik di Flores.

Eka: Apakah konteks dibesarkan dalam budaya Lamaholot berpengaruh ketika Kak Hermien belajar bahasa asing atau bertemu dengan bahasa-bahasa asing?

Hermien: Dalam keluarga kami, saya anak yang paling tidak cerdas jika dibandingkan dengan saudara-saudara saya. Mereka selalu juara umum, juara kelas tanpa harus berusaha keras. Sementara itu, saya harus belajar keras supaya bisa mendapat juara kelas. Setiap kali terima rapor, bapak akan selalu tanya “Nona, juara berapa?”, bukan “Nona naik kelas apa tidak?” Menjadi juara itu semacam tuntutan yang tidak dinyatakan secara langsung dalam keluarga kami. Untuk mendapatkan posisi yang agak terhormat dalam keluarga, saya belajar banyak bahasa karena saudara-saudara saya tidak bisa bicara misalnya dalam bahasa Perancis, Italia, atau Mandarin. Sebagai jurnalis, belajar banyak bahasa itu juga sangat membantu karena narasumber akan lebih terbuka ketika kita berbicara dengan bahasa mereka. Latar belakang keluarga memang sangat mempengaruhi saya ketika belajar bahasa asing.

Saya akhirnya menemukan bahwa saya menyukai belajar bahasa karena bahasa itu sangat entertaining. Berkaitan dengan bagaimana bahasa dan budaya Lamaholot kemudian mempengaruhi saya ketika belajar bahasa lain, saya kira pada akhirnya kita akan menemukan pola-pola dalam bahasa. Misalnya, ketika kita belajar bahasa Latin, pasti gampang mempelajari bahasa-bahasa Eropa seperti Jerman, Italia, Perancis karena konjugasinya kurang lebih sama. Orang Inggris sangat frustrasi ketika belajar bahasa Indonesia karena tidak ada tenses dalam bahasa Indonesia. Ketika saya belajar bahasa dengan banyak tenses, hal ini menyenangkan buat saya karena saya bisa bicara atau mengungkapkan pikiran dalam bahasa Indonesia yang tanpa tenses dan juga dengan bahasa-bahasa dengan berbagai tenses. Saya bahkan bisa membantu teman-teman wartawan asing yang bertanya soal bahasa Indonesia karena kalau diterjemahkan langsung malah akan menimbulkan kebingungan. Belajar bahasa-bahasa asing selain membantu saya sebagai seorang jurnalis, juga memperkaya saya.

Eka:  Dalam konteks Flores, rentang antara tradisi cetak dan lisan itu pendek sekali. Jadi, kalau mau dihitung budaya tulisan di Flores masih muda sekali usianya. Lalu, tiba-tiba muncul banjir media digital. Bagaimana pandangan Kak Hermien soal sejauh mana pengaruh perubahan dari tradisi lisan ke cetak, lalu cetak ke digital dalam masyarakat?

Hermien: Saya akan mencoba melihat ini dari segi value-nya. Generasi kalian, generasi milenial, generasi yang lahir dengan langsung melihat gadget adalah generasi yang sangat kuat dalam speed karena speed is the King. Kalian luar biasa kuat dalam teks, tetapi lemah sekali dalam konteks. Sementara konten harus dibangun dari teks dan konteks. Ketika saya mengajar anak-anak muda, mereka sangat cepat soal informasi, tetapi mereka sulit sekali untuk merumuskan konteks. Jadi, yang hilang dari dunia dengan kecepatan yang begitu hebat adalah konteks. Sementara untuk menjadi penulis, wartawan, guru, pemimpin, kepala desa, kemampuan merumuskan pikiran dalam bentuk narasi yang punya nyawa (konteks) itu sangat penting.

Barangkali Eka dan teman-teman melalui kerja-kerja jurnalistik, informasi, media, kerja-kerja community bisa mulai mengkampanyekan bagaimana merumuskan konteks dari berjuta-juta konten yang kita produksi karena kalau tidak ada latihan untuk merumuskan konteks kita tidak dapat merumuskan angle dari story. Angle dari satu story itu satu kalimat saja dan sebaik-baiknya merupakan kalimat tanya. Namun, banyak yang tidak bisa merumuskan konteks dengan baik.

Jika tidak dilatih untuk merumuskan angle dari sebuah story, akan sulit sekali untuk membedakan mana sesuatu yang penting untuk ditulis atau dibahas, misalnya dalam kaitan dengan kerja-kerja jurnalistik. Pertanyaan seperti “mengapa kita perlu menulis berita tentang suatu peristiwa?” tidak akan bisa dijawab kalau orang tidak dapat menentukan konteks dan merumuskan angle dari sebuah story karena di situ ada relevansi, magnitude, proximity untuk mendekatkan kita dengan orang yang akan mendapatkan informasi.

Eka: Saat ini ada ketakutan yang kadang relevan dan kadang irelevan terkait penggunaan media digital seperti bermain game karena pada konteks sekarang penggunaan gadget itu paling dekat dengan anak-anak. Namun, ada banyak orangtua yang melarang atau membatasi penggunaan media-media ini tanpa penjelasan yang memadai atau rasional. Bagaimana Kakak melihat hal ini? Ada anggapan bahwa karakter media yang digunakan untuk belajar berpengaruh pada cara berpikir dan membangun pikiran.

Hermien:  Saya sangat percaya pada basis pendidikan dari rumah. Jika basisnya kuat, sekalipun ada banjir informasi dan banjir opsi yang luar biasa, kita akan punya cara untuk memitigasi pilihan-pilihan anak terhadap media-media yang dianggap tidak edukatif, misalnya dengan menggunakan 5W1H: “Mengapa kamu perlu menonton ini?”, “Mengapa saya harus membaca buku?”. Kita tidak bisa menyangkal keberadaan media digital. Di mana-mana, semua hal sudah didigitalisasi. Handphone misalnya, sekarang telah menjadi salah satu dari prioritas dalam hidup kita bahkan pada level yang paling dasar. Orang tidak tahan sejam atau dua jam saja tanpa HP ini.

Kita tidak bisa menyangkal hal ini, tetapi kita mesti punya strategi untuk memanfaatkan hal-hal digital ini. Misalnya, kamu mengajak ponakanmu untuk membaca, tetapi dia menolak. Tapi, ketika kamu ajak dia membaca dengan menggunakan HP atau gadget yang biasa dia gunakan, kemungkinan besar dia akan mau membaca karena kamu bringing the information lewat tools yang dikenal baik olehnya. Jadi, kita tidak perlu panik dengan kehadiran media digital karena tidak ada yang bisa menandingi otak manusia di dunia ini.

Artificial Intelligence misalnya, dia hanya menjawab berdasarkan apa yang sudah pernah ditulis atau ada dalam datanya. Ketika diminta mendeskripsikan karakter Eka, AI tidak akan bisa karena dia functional. Tetapi, ketika diminta menyebutkan apa saja konten-konten Lau Ne yang ditulis Eka, dengan sangat cepat dia akan menemukannya. AI ini hebat, betul. Namun, ketika itu berkaitan dengan pemikiran, gagasan, kreasi, semua itu ada di dalam otak manusia, bukan di dalam mesin. Maka, marilah kita gunakan semua yang berbentuk digital ini sebagai alat bukan tujuan. Media-media digital ini kita gunakan sebagai jembatan yang dikendalikan oleh kita untuk tujuan-tujuan konstruktif.

Eka: Sejauh mana kakak melihat urgensitas literasi digital khususnya yang berasal dari program-program pemerintah yang sangat gencar dilakukan di daerah-daerah 3T. Misalnya, ada program bagi-bagi laptop oleh pemerintah, tetapi bukan memberdayakan manusianya lewat pelatihan untuk melatih manusianya memanfaatkan alat-alat tersebut supaya bermanfaat bagi hidup mereka.

Hermien: Saya setuju dengan Eka. Laptop, smartphone, atau apapun itu yang dibagi-bagikan itu semua merupakan tools. Tools dalam hal apa? Tools untuk membangun pengetahuan, untuk mengelindankan alat-alat itu dengan komunitas. Jadi, alat-alat teknologi ini harus tiba bersama dengan pelatihan yang membuat manusianya mampu menggunakan alat-alat ini dengan efektif sehingga barang-barang itu akan punya nilai bagi aktivitas dagang masyarakat, misalnya. Peran manusia itulah yang harus mengelaborasi alat-alat atau hal-hal digital itu.

Kita mesti meletakkan semua alat ini sebagai tools bukan goals. Alat-alat ini digunakan untuk mewujudkan tujuan kita. Digitalisasi penting tetapi dia bukan tujuan. Dia bukan jurnalisme, tetapi alat yang membantu kita mewujudkan good journalism. Dia bisa membantu riset kita dengan sangat cepat, tetapi hasil risetnya tidak bisa langsung dipakai, harus dirumuskan dulu dan itu membutuhkan kerja otak manusia, bukan mesin. Good journalism, good story itu sumbernya dari pikiran manusia bukan dari yang digital itu, tetapi yang digital itu bisa digunakan untuk mengkonstruksi a good story.

Eka: Terima kasih banyak, Kakak, untuk kesediaannya berbagi di Lau Ne.

Hermien: Salam untuk teman-teman, sukses, kerja baik-baik, dan kalau ada yang bisa dibantu atau ditanyakan silakan hubungi saya.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th