Ada beda besar antara Nusa Tenggara Timur sebagai wilayah administrasi eksekutif (pemerintahan), dan Nusa Tenggara Timur sebagai wilayah kebudayaan daerah. Sebagai unit wilayah administratif pemerintahan, Nusa Tenggara Timur adalah satu (Daerah Tingkat I yang otonom), paling tidak untuk waktu sekarang. Sebagai unit wilayah kebudayaan daerah, Nusa Tenggara Timur tidak satu. Banyak unit kebudayaan kecil-kecil yang bukan sekedar dialek kebudayaan daerah, sehingga perlu dijaga, dikembangkan identitas daerahismenya agar tetap merupakan ciri harga diri tersendiri yang tidak boleh hilang atau mati. Kenyataan inilah pantas menjadi landas gerak politik pragmatis kebudayaan daerah (yang dilaksanakan) pemerintah setempat.
Tidak usah berpura-pura seolah-olah ada satu kebudayaan Nusa Tenggara Timur, karena kemudahan alasan adminisiratif yang satu. Tidak usah berpura-pura bahwa kebudayaan daerah Alor seolah-olah adalah kebudayaan Nusa Tenggara Timur, bahwa seorang Manggarai dengan latar belakang kebudayaan Manggarai seolah-olah bukan Manggarai hanya karena alasan “takut” disebut daerahisme. Berpura-pura Amarasi adalah bukan Amarasi, Ngada adalah bukan Ngada, dan seterusnya. Karena kepura-puraan semacam itu akan menjerumuskan sebuah Pemerintah Daerah Tingkat I, atau Tingkat II mentolerir tanggung jawabnya yang sadar menjunjung/menjaga/mengembangkan kebudayaan-kebudayaan daerah itu masing-masing secara sektoral sebagai harga diri (cultural dignity) sendiri-sendiri.
Sebagai manusia kebudayaan, setiap warga bangsa harus menghargai nilai-nilai kebudayaan dalam berjenis ciri sebagai kekayaan khazanah kebudayaan nasional, tanpa chauvinisme. Tidak ada istilah bahwa kebudayaan daerah yang satu lebih bermutu dari pada yang lain, sebab harkat sebuah hidup kebudayaan sangat erat dengan filsafat hidup manusia daerah bersangkutan, dan ciri dinamisnya selain ada, karena ia adalah kebudayaan dari manusia yang kreatif atau berkembang.
takut hilang tanpa bekas
Generasi kebudayaan dunia mungkin mengutuk seorang Cortez, waktu menemukan dari bawah runtuh batu penjajahan Spanyol belulang-belulang sebuah kebudayaan besar suku Aztek. Generasi kebudayaan Indian di Amerika Utara mengutuk kolonialisme Inggris, bila mendapati kini sebuah kebudayaan Indian dalam perasingan, dalam sebuah daerah reservasi. Mimpi buruk itu menimbulkan kesan bahwa kolonialisme di mana-mana melakukan dosa yang sama, memberantas martabat sebuah kebudayaan, harkat sebuah harga diri. Kebangkitan nasionalisme di mana-mana dinilai panggilan mulia, yang selalu dimulai dengan kebangkitan kebudayaan, kebangkitan harga diri sebagai bangsa, sebagai obyek sependeritaan dalam sejarah.
Di Indonesia, apa yang terjadi dengan gerakan Budi Utomo dan “Jong-jong” adalah serupa. Yakni nasionalisme yang bangkit dari sadar diri akan kulitnya yang coklat, sadar diri akan harga kebudayaan Jawa (bagi Budi Utomo dan Jong Java), kebudayaan Sumatra (bagi Jong Sumatra), dan seterusnya. Sumpah Pemuda (1928) merupakan peristiwa kebudayaan nasional yang besar, karena di sana kesadaran harga diri kebudayaan daerah itu diberkas menjadi Indonesia Raya, kebudayaan bangsa yang bangkit setelah sekian ratus tahun ditindas. Kemerdekaan ditafsirkan sebagai hak kebudayaan. Dan pada dewasa ini, generasi kemerdekaan itu boleh bangga memiliki kebudayaan besar — kebudayaan nasional indonesia! Namun apakah artinya slogan itu secara kebudayaan? Apakah cukup pertanyaan “kita satu bangsa dari sebuah kebudayaan besar?”
Setahun silam, dalam ruang yang sama ini penulis (“NTT PERLU MEMILIKI POLITIK KEBUDAYAAN DAERAH”, DIAN, Th. I f 20, 1974) pernah mengingatkan bahwa kebudayaan daerah adalah dasar harga diri dari istilah kebudayaan nasional itu. Politik kebudayaan daerah sewajarnya menuju pembentukan manusia kebudayaan, politik kebudayaan tidak sama dengan “dagang pariwisata”, sebab yang belakangan hanya menyangkut segi promosi fisik. Tidak sedikit cara-cara promosi pariwisata yang salah akan merusak kebudayaan daerah menjadi barang tontonan turis atau urusan beli harga semata-mata. Pengalaman Bali, Hawai hendaknya dipelajari sebagai dasar kebijaksanaan bagi yang lain-lain. Sebab merananya sebuah kebudayaan daerah berarti sebuah ancaman keruntuhan kebudayaan nasional.
Pudarnya identitas kebudayaan-kebudayaan daerah membahayakan pertumbuhan kebudayaan nasional seluruhnya yang justru dibanggakan secara slogan, seakan-akan ada ngengat, anai-anai menggerogot akar-akar kebudayaan nasional, sehingga gosonglah ia, busuk dari dalam lalu pelan-pelan menjadi kayu lapuk yang bakal rubuh ke tanah. Apa yang dibuat oleh pewaris-pewaris langsung kebudayaan Jawa, Sunda, Madura dan sedikit Bali, dewasa ini dapatlah dipuji sebagai perbuatan terhormat dan termulia. Baik pemerintah daerahnya, maupun warga swastanya tahu menghormati kebudayaan daerahnya, mengembangkan sastra Jawa, mendirikan akademi-akademi tari, mendalami filsafat daerahnya. Sedang daerah-daerah kebudayaan yang lain, apa ulahnya? Mereka ibarat bangsa Bohemian. Mondar-mandir, mereka “sibuk” dengan pembangunan yang lupa bahwa inti pembangunan justru membentuk masyarakat kebudayaan yang memiliki jiwa, dan bukan cuma topeng-topeng.
Saya bertanya, masih adakah kesusastraan Tetung, kesusastraan Amarasi, kesusastraan Ngada, kesusastraan Sumba Timur, kesusastraan Rote, dan lain sebagainya? Masih adakah upacara-upacara adat, tarian asli adat dipertunjukkan pada-pesta adat, masih ada “caci” di Manggarai? Konon menurut ceritera burung, pada tiap pesta kawin sampai di dusun-dusun di Manggarai sekarang ‘orang merayakan dengan “dans”, dan bukan lagi dengan “caci”. Di manakah harga diri kebudayaan-kebudayaan daerah kita sekarang? Kita tidak habis pikir apa gerangan “Repelita” kantor-kantor kebudayaan Tingkat I, tingkat II di daerah, apakah pemerintah setempat tidak merasakan kepincangan itu. Berapa jauhkah SD, SLP, SLA “mengenal” dan menghidupi kebudayaan daerahnya? Apakah ada pelajaran kesusastraan daerah dan bahasa daerah, ataukah mereka lebih kenal ceritera Gatotkoco lebih dari pada mitologi daerah-daerahnya? Bukan maksud saya menghasut daerah-daerah untuk bernasionalisme sempit. Bukan. Satu semangat daerahisme baru sudah waktunya kita sadari sebagai kebangkitan nasionalisme baru mengisi kemerdekaan yang telah dibeli dengan alasan harga diri kebudayaan yang luhur.
Sebelum terlambat
Dr. H.B. Jassin dalam pidato inaugurasinya di Universitas Indonesia (14/6/1975) baru-baru ini, antara lain menyatakan bahwa menyia-nyiakan karya-karya kebudayaan kita sama dengan menyia-nyiakan sejarah dan kehidupan kita sendiri. Hingga kini sudah empat puluh tahun Jassin aktif dengan dokumentasi-dokumentasi untuk tujuan tersebut, dan ternyata usahanya merupakan sumber pengenalan dan penelitian yang tidak ternilai untuk sekarang dan nanti.
Ada terlihat kegesitan “peradaban kristen” di Nusa Tenggara Timur menggali upacara-upacara yang penuh sastra/filsafat hidup, lagu-lagu rakyat, disadur untuk konsumsi ibadah. Tidak jarang juga selera kristen menilai, membabat yang dianggap “berhala”, atau menyepelekan begitu saja. Ditinjau dari tugas evangelis mereka mungkin dihalalkan, tetapi secara harga total kebudayaan daerah, seleksi/pemolaan secara selera peradaban altar semacam itu bisa menimbulkan ketidakseimbangan pertumbuhan yang wajar. Sejarah kebudayaan Eropa — yang telah dibaptiskan identitasnya ke dalam sejarah kristen mungkin bisa diambil sebagai pembanding. Saya bukan bermaksud mencela seluruhnya, sebab siapapun menyadari juga bahwa kebudayaan adalah manusia yang berproses sejarah. Hanya saja, bagi Nusa Tenggara Timur — dalam lapis waktu di mana sejarah kini masih dekat sekali dengan peradaban-peradaban asli, maka suatu perimbangan mungkin masih bisa diatur. Dan dalam hal ini, pemerintah setempat bisa atau malah bertanggungjawab untuk mengatur perimbangan itu. Dengan menggairahkan kembali nilai-nilai kebudayaan daerah—mengayomi dan mengembangkan serta menyimpan. Sangat gembira telinga mendengar, kalau pemerintah mengadakan pusat-pusat kebudayaan daerah (baca misalnya “Membangun Pusat Kebudayaan NTT di Kupang”, DIAN, I/20, 1974), mengadakan festival-festival kebudayaan daerah pada saat-saat tertentu, membuat pusat dokumentasi/museum daerah atau menggairahkan penelitian kebudayaan setempat, mewajibkan pelajaran sekolah ditambah dengan bahasa/kesusastraan daerah, serta kegiatan kebudayaan daerah. Dengan kata lain, mulai sekarang kita menyadari kembali pentingnya menghidupi identitas sendiri dengan persiapan yang langsung kepada generasi mudanya. Karena kebudayaan bukan sekedar berdagang Tiilangga atau memakai songkok Manggarai. Sejarah harus kita susun kembali dengan kebanggaan harga diri tanpa menunggu keputusan sejarah.
Jakarta, 18/6/1975
Esai ini pernah diterbitkan di majalah dua mingguan, Dian No. 19 Tahun II, Juli 1975
[…] redaksi Lau Ne mencapai mufakat untuk menerbitkan kembali esai Dami N. Toda di rubrik Jangkar, Menyelamatkan Identitas Kebudayaan-Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Timur. Esai tersebut muncul dalam konteks Polemik Kebudayaan yang diawali oleh esai Menuju Masyarakat dan […]