Bahasa adalah salah satu gejala yang membuat manusia istimewa. Dalam hidup, dalam percakapan, manusia senantiasa melakukan penafsiran tentang dunia dalam (batin) dan luar diri. Kita tak bisa melepaskan diri dari kecenderungan memberi makna itu. Dunia material berubah menjadi dunia manusia karena diberi makna manusiawi oleh manusia. Maka tindakan yang memberi makna sama saja dengan upaya memahami.
Dalam struktur dasar pemahaman manusia, beberapa filsuf memberikan sumbangan terhadap studi ini, salah satunya Ricardo Antoncich. Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia selalu terarah pada kenyataan di luar diri. Dalam mengetahui atau memahami kenyataan itu, pengetahuan kita selalu menampilkan diri dalam sebuah cakrawala pemahaman. Dunia merupakan hasil pemahaman manusia. Perbedaan sudut pemahaman menghasilkan cakrawala yang berbeda, yang kemudian menciptakan dunia yang berbeda.
Sebab dunia merupakan produk sosial, maka kita bisa melihatnya dalam produk-produk kebudayaan: ideologi, pandangan hidup, sistem tingkah laku, dan berbagai benda kebudayaan lain. Tak heran jika pada akhirnya pemahaman akan dunia mempengaruhi sisi psikologis dan sosiologis kita. Dalam pandangan Antoncich, proses-proses kesadaran manusia akan dunia diekspresikan dalam bahasa. Bahasa membuat manusia mengambil jarak terhadap realitas dan menjadikannya objek. Baginya, intersubjektivitas menjadi ciri konstitutif dalam bahasa. Bahasa adalah pemberian nama bagi realitas yang berlangsung dalam interaksi sosial yang menghasilkan konsensus dan konvensi; bersifat intersubjektif dan dialogis.
Pemahaman akan suatu objek dilakukan melalui bahasa. Ciri dialogis pemahaman memperlihatkan kebahasaan dan kesejarahan. Kebahasaan tampak pada upaya memanusiakan kenyataan, sementara kesejarahan tampak dalam kenyataan yang ditangkap melalui bahasa kemudian dipahami dalam cakrawala tradisi. Kita memahami sesuatu menurut penafsiran yang pernah diberikan nenek moyang kita, serta yang ada di sekitar kita sekarang. Perantara pemahaman kita adalah lingkungan sosial, kultural, sejarah kita sendiri. Maka konsekuensinya, seharusnya tidak ada pemahaman yang netral dan ahistoris.
Setiap pemahaman manusia dipengaruhi oleh konteks sejarah di mana kita hidup. Konteks sosial dan politik juga memainkan peran penting dalam pemahaman manusia. Faktor-faktor seperti kekuasaan, struktur sosial, dan ideologi dapat memengaruhi perspektif dan interpretasi kita. Mirisnya, pada kenyataannya kini, hal itu pulalah yang menciptakan konflik dalam kehidupan sosial kita sehari-hari. Bagaimana kita memahami, bagaimana kita membahasakan, dalam kaitannya dengan kuasa dan tidak adanya konsensus telah menciptakan pertentangan antara satu individu dengan yang lain; antara satu kelompok dengan yang lain.
Pada rubrik Jangkar, melalui tulisan Ufiya Amirah berjudul Gerakan Perempuan Bali dari Masa ke Masa, kita bisa melihat perkembangan dan konflik ideologis yang terjadi dalam gerakan-gerakan perempuan Bali sejak zaman kolonial hingga saat ini. Opresi yang terjadi terhadap perempuan sepanjang zaman membuat para perempuan Bali menciptakan kelompok-kelompok gerakan yang mengadvokasi isu-isu sosial. Gerakan perempuan Bali dari masa ke masa adalah juga bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pemahaman mengenai masalah-masalah domestik dan sosial yang dialami perempuan-perempuan Bali, serta peran perempuan Bali yang tidak bisa disepelekan terutama dalam kerja-kerja pemberdayaan perempuan Bali.
Rubrik Nahkoda, Mozart dalam Mimpi Karl Barth, merupakan wawancara imajiner Innocentius Karwayu, O.Carm dengan Thomas Louis Merton. Di dalamnya terdapat perbincangan tentang karya-karya yang memiliki arti dan pesan religius mendalam bagi penikmatnya. Percakapan imajiner ini praktis membawa kita pada pemahaman mengenai hermeneutika yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Dalam musik dan karya sastra, ditemukan bentuk penafsiran baik simbolik maupun harfiah. “Mazmur, puisi, dan kidung-kidung indah menyentuh, membawa jiwa lebih dekat dengan Tuhan, alam ciptaan dan manusia Jubilate omnis terra (Bersukacitalah, hai seluruh bumi)” Hermeneutika memiliki implikasi sosial politik yang luas, bangunan teologis berkembang menurut prinsip-prinsip hermeneutisnya masing-masing; menurut cakrawalanya masing-masing.
Rubrik layar menerbitkan dua catatan dari buku digital Merimpang dan Menjalar dari Balik Layar, disusun dan disunting oleh Rama Thaharani dan Rebecca Kezia. Buku ini memuat refleksi partisipan forum temu produser seni pertunjukan fokus Indonesia (berlangsung di Yogyakarta) dan fokus Asia Tenggara (berlangsung di Jakarta) pada 2023 silam. Forum ini bertujuan merefleksikan kembali peran dan fungsi produser seni pertunjukan dalam ragam konteks di Indonesia sembari membangun jejaring dengan produser-produser seni pertunjukan di Asia Tenggara. Kata ‘produser’ digali kembali pemaknaannya berdasarkan kekayaan praktik dan kenyataan produksi kemudian diperkuat lewat refleksi bersama. Luna Kharisma dan Maria Pankratia berbagi refleksi mereka tentang forum yang berlangsung di Yogyakarta dan Jakarta.
Juli Sastrawan menulis Danarto, Kesurupan Komputer, dan Upaya Melihat Yang Lampau dan Yang Nanti di rubrik Jala, sebuah pembacaan atas buku Masakan Sepanjang Zaman: Bunga Rampai Seni Rupa Baru 1975-1989. Juli membahas Danarto, penulis sekaligus perupa yang kerap dianggap nyentrik, nyeleneh, dan senang menawarkan eksperimentasi dalam gaya penceritaannya yang kaya unsur mitologi, budaya Jawa, dan spiritualitas. Tulisan ini adalah upaya Juli melihat dan/atau melengkapi pembacaan Nuraini Juliastuti, mengenai satu cerpen Danarto, Ngung Cak. Cerpen itu adalah sebuah perjalanan eksplorasi yang mengajak pembaca untuk mengeksplorasi dunia imajinatif dan konseptual yang luas. Melalui daya eksperimentasi, cerpen ini menantang batasan-batasan konvensional dalam narasi dan gaya penulisan, memperluas pandangan kita tentang apa yang mungkin dalam karya sastra.
Dalam rubrik Cerita-cerita Keberagaman dari Maumere, Rio Nuwa menulis Langit Merah, Begitu Saja, Lalu Kau Lenyap. Isinya mengenai sejarah pergerakan Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas) dalam bidang seni, khusus berkaitan dengan karnaval di Maumere. Di hampir setiap event kesenian karnaval yang melibatkan Perwakas, kehadiran waria telah memberi satu hiburan dari deretan pertunjukan-pertunjukan yang menarik kepada publik, para penonton, dan warga yang berbaris-baris di sepanjang jalan. Kehadiran Perwakas, melalui pentas seni dan beragam pertunjukan seni membelah sekat yang tegas antara warga dan kelompok masyarakat di Maumere yang multikultural. Bagi para waria, kesenian bukanlah medan baru untuk tampil menunjukan kebolehan mereka di hadapan para penonton. Perwakas punya sejarah pergerakan yang panjang, bagaimana seni bisa jadi alat untuk menyampaikan ide, gagasan, atau keberpihakan mereka pada isu-isu sosial, politik dan budaya yang ada di masyarakat. Medan pergerakan melalui seni ini bukan tanpa capaian. Hari ini, waria diterima hampir oleh semua kalangan di Maumere.
Tulisan-tulisan bernas dalam edisi kali ini kurang lebih bertendensi memberi wacana alternatif atas historiografi dengan cara mengunjungi kembali, mempertanyakan, dan membongkar ragam pemaknaan dan penafsiran. Selamat membaca.
Referensi:
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Modernitas dan Positivisme. Yogyakarta: Kanisius