Jakarta Producer Meeting, Mengurai Sarang Laba-Laba di Kepala

Ada ratusan acara yang diselenggarakan di Manggarai setiap tahunnya; dari kelahiran dan pembaptisan anak, pertunanganan, pernikahan, hingga kematian. Di setiap acara ini, ada orang-orang di belakang layar seperti; keluarga, para sahabat, tetangga, teman-teman dan kenalan, yang bekerja selama berminggu-minggu demi mewujudkan segala sesuatu yang telah direncanakan oleh sang pemilik acara. Orang-orang di belakang layar ini dikenal dengan Tim Panitia. Beberapa minggu sebelumnya, tuan acara akan mendatangi satu per satu keluarga dan para tetangga, menyampaikan ajakan berkumpul (Rekadu: undangan yang disampaikan secara lisan). Semenjak ada teknologi seperti telepon, SMS, dan aplikasi berkirim pesan, untuk keluarga yang berjauhan dan kawan-kawan lainnya, ajakan ini mulai dilakukan dengan cara berkirim pesan via smartphone.

Susunan panitia, biasanya dimulai dengan pelindung, penasehat, penanggung jawab umum, hingga ketua panitia dan seksi-seksi (divisi yang bertanggung jawab untuk tiap-tiap bagian kerja). Orang-orang yang biasanya ditunjuk menjadi ketua panitia adalah orang-orang yang kurang lebih memiliki profesi dan pengalaman sering berurusan dengan orang banyak, atau cukup aktif di gereja/masjid (dua kepercayaan yang cukup dominan di Flores). Meminta kesediaan seseorang untuk menjadi ketua panitia untuk acara di Manggarai pun dilakukan dengan satu tradisi yang disebut kepok; bertamu ke rumah yang bersangkutan dengan membawa sebotol sopi (minuman beralkohol yang selalu digunakan dalam ritual dan acara-acara di Manggarai)/bir sembari menyampaikan niatan kita.

Ketika mulai mengenal kerja-kerja komunitas yang rutin membikin acara, dari diskusi kecil-kecilan, festival, hingga pertunjukan seni, secara tidak sadar kawan-kawan di Flores akan mengadaptasi cara kerja kepanitiaan yang telah mereka alami sebagai bagian dari lingkungan tradisi, baik sebagai masyarakat adat maupun umat di paroki tertentu (Gereja Katolik). Tidak salah jika pertanyaan tentang istilah-istilah untuk profesi sebagai Manager Program atau belakangan yang juga mulai ramai, Produser, bermunculan di forum-forum lokakarya yang membicarakan teknis atau cara kerja keproduseran. “Apa bedanya semua itu dengan kepanitiaan, karena kami sudah pernah melakukan itu?”

Tahun lalu, dalam perjalanan residensi saya ke Lakoat Kujawas sebagai bagian dari program fellowship Beyond Project and Spaces bagi Manager Seni/Manager Program bersama Goethe Institut Indonesien, pertanyaan yang sama muncul dari Mama Meti. Seorang warga Mollo yang juga aktif merancang kegiatan bersama kawan-kawan di Komunitas warga itu. Pertanyaan tersebut kemudian juga menjadi pertanyaan bagi diri saya sendiri. Apakah tepat mengatakan kerja-kerja yang kami lakukan ini sama dengan kerja-kerja kepanitiaan yang biasa kami alami dalam giat keluarga, kampung, atau gereja? Jalan menemukan jawaban dari pertanyaan ini ternyata butuh proses yang “agak” panjang.

Jakarta Producer Meeting

Tahun ini, di suatu pagi di awal bulan Agustus, ketika suhu Ruteng hampir mencapai 14° Celcius, saya terbangun menemukan undangan dari Djakarta International Theatre Platform di antara pesan lain di kotak masuk surat elektronik saya. Undangan untuk mengikuti Jakarta Producer Meeting yang begitu tiba-tiba dan justru memantik pertanyaan lain: mengapa saya diundang?

Singkat cerita, saya akhirnya berangkat ke Jakarta dengan menyelipkan pertanyaan-pertanyaan tersebut di dalam laci memori saya, dan tentu saja berharap menemukan jawabannya. Proses menemukan jawaban ini, saya ibaratkan seperti kerikil putih yang disebar Hansel dan Gretel agar bisa kembali ke rumah dengan selamat. Saya memungutnya satu per satu dalam proses bertemu, berbagi, dan mengumpulkan jawaban-jawaban tersebut selama sepekan bersama kawan-kawan produser Se-asia Tenggara.

Selama ini, saya berpikir bahwa keterlibatan dalam berkomunitas dan berjejaring adalah bagian dari menyalurkan minat dan bakat saya sebagai seorang individu yang juga adalah bagian dari suatu lingkungan sosial. Proses panjang yang kemudian menempatkan saya pada posisi manajer program di satu yayasan yang berfokus pada literasi dan sastra. Tentu saya memiliki bayangan ideal tersendiri dalam kepala, yang saya pelihara sejak lama. Tetapi kemudian, saya juga mesti beradaptasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di mana saya berada. Hingga saya sadari bahwa dengan memelihara hal-hal ideal tersebut rupanya membantu saya untuk tetap konsisten bergumul, memikirkan strategi, dan berlari maraton (pelan tapi pasti).

Sejak diminta mengelola Klub Buku Petra di Ruteng pada tahun 2019, saya datang dengan segala kekosongan—di kemudian hari, saya memahami bahwa memang seharusnya demikian laku seorang manajer program. Mengawalinya semua dari nol. Mengurus legalitas lembaga, membuat daftar koleksi buku sebanyak kurang lebih 3000 judul, kemudian membangun sistem peminjaman yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta kebutuhan masyarakat di Kota Ruteng. Lalu, mengelola bincang buku bulanan serta platform media dalam jaringan yang para redakturnya tidak berada di kota yang sama. Hingga akhirnya mengerjakan Flores Writers Festival—yang juga timnya tidak menetap di satu kota. Belum lagi konsep festivalnya yang dibuat berkeliling ke kota-kota di Flores. Suatu ideal yang agak sulit dipahami mengingat bentang pulau dan infrastruktur masing-masing kota yang belum sepenuhnya memadai tetapi diyakini akan sanggup dijalankan (minimal tiga tahun pertama, hahaha). Semua tentu saja tidak terlepas dari tantangan dan macam-macam kendala. Saya kemudian mulai paham bahwa posisi saya, cukup penting. Sangat penting malah karena menjadi pusat dari keberlangsungan suatu institusi/komunitas/lembaga.

Bekerja di komunitas dengan isu tertentu apalagi di daerah yang diklaim oleh Pemerintah sebagai daerah 3T: Terdepan, Terluar, dan Tertinggal, sulit rasanya jika tidak ada muatan wacana yang politis. Sedikit banyak, kita mengerjakan hal-hal yang dalam tanda kutip berupaya meningkatkan hajat hidup diri kita sendiri maupun orang-orang yang berada di lingkungan sekitar kita. Terkadang kita merasa kita baik-baik saja dengan kondisi yang ada, tetapi tidak demikian dengan peradaban yang setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik terus melaju cepat sehingga kita mau tidak mau diberikan label tertinggal. Dalam upaya mengejar ketertinggalan tersebut, kita terus melakukan pelbagai macam uji coba yang sebelumnya tidak pernah kita temukan di ruang-ruang kelas atau ruang-ruang formal. Kita bertransformasi menjadi macam-macam pribadi yang diharapkan bisa menjawab semua kesulitan-kesulitan yang ada.

Memahami isu-isu lingkungan yang tengah berkembang di daerah dan menemukan cara untuk memunculkannya ke permukaan adalah keterampilan lain yang juga menjadi pekerjaan sepanjang usia. Jembatan yang kemudian bisa dibangun adalah eksplorasi yang terus menerus serta kerja-kerja kreatif dalam komunitas, juga jaringan ekosistem yang tanpa sadar memiliki kegelisahan yang sama. Di Flores saat ini, ada semacam gerakan kolaborasi lintas komunitas dan lintas disiplin yang sesungguhnya membantu kami untuk lebih memahami permasalahan di kota/kampung kami masing-masing dan kemudian menyusun daftar apa-apa yang bisa kami lakukan. Kami menginisiasi ruang-ruang bertemu dan berdiskusi, membikin kegiatan dan saling berkolaborasi, mengapresiasi satu sama lain melalui pujian, kritikan, dan masukan.

Hal lain yang juga belakangan terus kami hidupkan adalah kesadaran untuk menjadi lebih peka dengan “sesuatu” yang kami upayakan. Terus-menerus memeriksa gagasan apa yang sedang kita kembangkan, dengan metode apa kita hendak mengerjakannya, dan dengan siapa kita bekerja. Jangan sampai kita merugikan diri sendiri dan orang banyak yang terlibat, kemudian menjadi trauma dan menyesal ketika semua telah terlambat. Kegelisahan ini terurai perlahan-lahan dimulai dari hari pertama dengan Ade Dharmawan, lalu berlanjut ke sesi bersama Keni Soeratmaadja. Kemudian keesokan harinya disambung dengan “gangguan-gangguan tipis” dari Ugoran Prasad, Happy Salma, serta Nicholas Saputra yang dipandu oleh Muhammad Abe.

Di sela-sela kegiatan, di suatu obrolan setelah makan siang yang asik di Salihara, satu percakapan menarik tentang “gangguan-gangguan tipis” ini, saya bahas lebih jauh dengan salah satu peserta, Sekar Handayani dari Katalis Kolektif, Solo. Kami tidak tahu pengalaman apa yang kemudian membawa kami kepada suatu kesiagaan yang sama. Bahwa, sebagai pekerja independen yang juga menjalankan komunitas, kita harus menghidupkan sensor kewaspadaan kita 24/7. Kemampuan memfilter sesuatu yang datang memang memerlukan jam terbang yang sangat tinggi, juga pengalaman dicobai terus-menerus. Kita kadang tidak tahu dan tidak paham terhadap situasi saking tulus dan menjunjung tinggi kebaikan, kita aminkan saja semua yang datang. Yang penting aktif, bisa pamer di keluarga, rekan, teman, dan media sosial bahwa kita sibuk, hingga kita lupa bahwa kita barangkali dimanfaatkan tanpa kita sadari.

Perjumpaan di Jakarta Producer Meeting setidaknya membantu saya mengurai sarang laba-laba yang selama ini saling silang di kepala (kadang-kadang merambat sampai ke hati). Perlahan-lahan kesulitan saya dalam memahami situasi dan kondisi selama ini, diterjemahkan oleh para narasumber, fasilitator, dan kawan-kawan produser yang sudah memiliki pengalaman jauh lebih canggih. Dari tempat saya duduk, tidak hentinya saya menggumamkan oh dan ah, mengangguk-anggukan kepala dan mendapati diri saya tersenyum ketika menyadari keterkaitan setiap materi dan topik diskusi dengan pengalaman saya sebagai orang yang diberi label “bikin-bikin kegiatan atau acara.”

Yah, begitulah saya dikenal dalam lingkup keluarga dan pertemanan saya, khususnya di Flores, Nusa Tenggara Timur; Maria Pankratia, orang yang suka bikin-bikin kegiatan dan acara. Hingga hari ini, orang tua saya masih mengajukan pertanyaan yang sama “sebenarnya kau itu kerja apa?” Pertanyaan yang jika saya refleksikan, sungguh mencederai semua upaya dan kerja yang tengah saya dan teman-teman lakukan di jaringan komunitas kami di Flores.

Jakarta Producer Meeting membuat saya yakin bahwa saya tidak sendirian, di luar sana ada banyak orang yang juga mengalami pergumulan yang sama dan masing-masing dengan caranya sendiri; bertahan, bersiasat, dan terus bergerak sembari memberi dampak bagi lingkungan dan masyarakatnya. Berpijak pada filosofi Lumbung, selama enam hari yang berkesan, kami saling berBAGI, meRAWAT, dan mengumpulkan yang kami butuhkan sebagai hasil PANEN untuk dibawa pulang ke kolektif kami masing-masing dan melanjutkan apa-apa yang telah kami mulai.

Saya mengumpulkan banyak sekali kerikil putih di Jakarta Producer Meeting dan mulai merelakan remah-remah roti yang selama ini dimakan habis oleh kekecewaan dan kemarahan akan kurangnya apresiasi dari apa-apa yang telah saya kerjakan. Benar seperti yang dikatakan Happy Salma, “jangan merasa diri kita penting, penting buat kita, belum tentu penting buat orang lain. Oleh karena itu, lakukan terus sampai orang lain merasa itu penting.”

Terima kasih Jakarta Producer Meeting, sampai berjumpa lagi. Salam.

Catatan ini diterbitkan ulang dari buku digital Merimpang dan Menjalar dari Balik Layar, disusun dan disunting oleh Rama Thaharani dan Rebecca Kezia. Buku ini memuat refleksi partisipan forum temu produser seni pertunjukan fokus Indonesia (berlangsung di Yogyakarta) dan fokus Asia Tenggara (berlangsung di Jakarta) pada 2023 silam. Maria Pankratia adalah salah satu peserta observer di forum Jakarta.

Dokumentasi oleh Tri Doso Novrianto. Program Jakarta Producers Meeting diinisiasi oleh Yayasan Kelola dan Dewan Kesenian Jakarta didukung oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] praktik dan kenyataan produksi kemudian diperkuat lewat refleksi bersama. Luna Kharisma dan Maria Pankratia berbagi refleksi mereka tentang forum yang berlangsung di Yogyakarta dan […]

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th