Cara masyarakat melihat tubuh dalam konteks institusi agama—Gereja Katolik misalnya—tidak semata-mata sebagai sesuatu yang moralis, antara tabu dan suci, tetapi lebih luas, dihadapkan pada tubuh dengan fakta-fakta sosial. Bagaimana tubuh bisa berhadapan dengan peristiwa sosial yang lain, tidak semata-mata dikotomi antara gender laki-laki dan perempuan? Atau, tubuh yang membentuk kedirian saya, sebagai peristiwa pertama berhadapan dengan keluasan sosiologis yang terbentang di hadapannya.
Tubuh mesti terbuka terhadap fakta-fakta sosial yang berhadapannya dengan dirinya, sehingga tidak gagap ketika bertemu dan bertukar di ruang-ruang terbuka maupun tertutup. Terbuka berarti punya pemahaman yang menyeluruh tentang dirinya, tubuhnya, dan peristiwa hidup yang membentang di hadapannya. Tubuh tidak bisa serta merta dimulai dengan pendisiplinan, dengan rasa takut dan ukuran moral yang ada di hadapannya, tetapi konsep itu perlu dihancurkan lebih dahulu, dibongkar, dileburkan, dicari terus menerus lapisan-lapisannya sehingga saat berhadapan dengan situasi di luar dirinya, ia sudah punya gagasan awal sebelumnya.
Jadi, perkara tubuh dan fakta sosial adalah perkara pertemuan gagasan, diskusi yang dihadap-hadapkan, bukan perkara pendisiplinan yang sudah dibuat lebih dahulu, yang berakibat pada orang terlebih dahulu mengambil sikap membentengi, mengambil jarak dan membuat penilaian moral tanpa lebih dahulu mengenal dan bertemu dengan peristiwa-peristiwa itu.
Lau Ne edisi Tubuh dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi kurang lebih menawarkan alternatif penghancuran, pembongkaran, dan peleburan itu. Diperlihatkan bagaimana pertunjukan “Tujuh Baris Terakhir Percakapan Kita” yang digagas oleh Komunitas KAHE Maumere, dalam naskahnya, bermain-main dengan gender. Tidak hanya pasangan heteroseksual ditampilkan di atas panggung, tetapi pun pasangan homoseksual, dan pertukaran gender: aktor perempuan memainkan peran laki-laki, dan sebaliknya. Dalam catatan prosesnya, Di Balik Layar Tujuh Baris Terakhir Percakapan Kita, Rinto menulis, “tubuh adalah bahasa, tubuh adalah ekspresi, tubuh adalah bunyi, tubuh adalah bentuk, tubuh adalah sensasi.”
Tubuh, adalah gerbang yang tepat untuk mengawali pembelajaran mengenai gender dan seksualitas, seperti yang disampaikan Khanis Suvianita dalam percakapan di rubrik Nahkoda, Apakah Tubuhku Benar-Benar Milikku? Dalam percakapan dengan Eka Nggalu itu, ia menyampaikan soal pemaknaan tubuh, di tengah kultur dan agama tertentu, serta penghormatan terhadap tubuh dalam kaitannya dengan psikologi.
Dimas Radjalewa menulis resensi novel Intan Paramaditha, “Malam Seribu Jahanam” dalam rubrik Jala. Resensi berjudul Lubang Hitam dalam Malam Seribu Jahanam itu berisi perluasan cakrawala pembacaan terhadap novel menjadi tak terbatas pada tubuh, ia membaca tiga hal dalam buku: masa lalu, fiksi, dan identitas. Tubuh dibaca dalam kaitan dengan keadaan mentalnya.
Dalam Teater Tak Terlihat dan Pemaknaan Ulang Rutinitas Tubuh di rubrik Jangkar, Syarif Maulana membahas tubuh dalam kaitannya dengan gagasan teater tak terlihat (invisible theatre) yang dicetuskan pemikir dan praktisi teater asal Brasil, Augusto Boal, yang dipandang sebagai semacam wacana filosofis tentang keaktoran dalam hidup keseharian manusia. Sebagaimana ditulisnya, teater tak terlihat dapat dikembalikan sebagai alat menumbuhkan kesadaran individual untuk ditransformasikan menjadi problem kolektif tanpa perlu selalu melakukan interupsi besar-besaran.
Dalam rubrik Cerita-Cerita Keberagaman dari Maumere, tayang refleksi Pater John Mansford Prior SVD, Alkitab dan Kelompok Keragaman Gender dan Seksual. Pertanyaan utamanya adalah, apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang kelompok keragaman gender dan seksualitas? Dalam konteks Flores, di mana peran Gereja cukup kuat untuk membangun perspektif yang inklusif soal gender, tulisan ini dapat mendorong umat untuk menerimanya.