Ruang Publik, Kontak Kita

“The more private we become, the more isolated we are from one another, and the less capable we are of engaging with the world.” – Richard Sennet dalam The Fall of Public Man

Kota-kota  seharusnya  membuka akses, mempertemukan orang-orang dengan orang-orang baru, dan memperkaya pengalaman. Namun, kota-kota modern bekerja dengan cara yang sebaliknya: ketimpangan perkotaan membatasi kesempatan; segregasi spasial mengisolasi orang-orang ke dalam kelompok kelas, ras, dan etnis yang homogen; ruang publik kota-kota masa kini bukanlah tempat untuk inovasi politik.

Richard Sennett, seorang sosiolog yang banyak menulis tentang kehidupan kota dan dampaknya terhadap hubungan sosial antar individu mengkritik model kota modern yang menyempitkan interaksi antar manusia. Dalam bukunya The Fall of Public Man (1977), Richard Sennett membahas bagaimana ruang publik yang telah berubah turut berdampak pada interaksi sosial dan kehidupan sosial secara keseluruhan.

Sennett membedakan antara kehidupan publik dan pribadi. Ia berpendapat bahwa dalam masyarakat modern, ada kecenderungan untuk memisahkan kedua dimensi ini secara tajam. Kehidupan pribadi seringkali lebih diprioritaskan, sementara kehidupan publik, yang melibatkan interaksi sosial di ruang terbuka atau ruang bersama (seperti di jalanan, taman, atau tempat umum), semakin terpinggirkan.

Di kota-kota besar, orang cenderung tidak saling mengenal satu sama lain, dan interaksi di ruang publik seringkali terbatas pada hubungan yang dangkal. Ruang publik di kota-kota modern telah kehilangan fungsinya sebagai tempat untuk interaksi sosial yang otentik dan terbuka.  Ruang publik telah berubah menjadi tempat di mana orang cenderung terisolasi satu sama lain, menghindari interaksi yang lebih mendalam, dan hanya berfungsi sebagai ruang transaksional atau sebagai tempat yang didominasi oleh kontrol sosial. 

Akibatnya, individu sering merasakan alienasi karena kurangnya koneksi sosial yang bermakna dengan orang lain di ruang publik, yang berujung pada ketidakmampuan untuk merasakan solidaritas atau rasa memiliki terhadap komunitas. Kehidupan sosial justru lebih banyak terjadi dalam lingkungan tertutup (seperti rumah pribadi) atau dalam kelompok kecil, alih-alih di ruang terbuka yang melibatkan banyak orang dengan berbagai latar belakang.

Sennett mengkaji bagaimana peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yang lebih berfokus pada individu dan rasionalitas yang terorganisir berpengaruh pada bentuk ruang publik. Pembangunan kota yang terorganisir dan dipisahkan berdasarkan fungsi (perumahan, komersial, dan industri) inilah yang berkontribusi pada hilangnya ruang sosial yang mendorong interaksi antarwarga kota.

Sennett menekankan bahwa ruang publik harus dirancang untuk memungkinkan interaksi sosial yang lebih bermakna. Ruang publik idealnya menjadi tempat bagi warga untuk berbagi ide, pengalaman, dan keberagaman tanpa hambatan dan berpartisipasi dalam kehidupan kota secara aktif. Ruang publik yang sehat memungkinkan orang dari berbagai latar belakang untuk berinteraksi tanpa harus terlalu fokus pada “kesamaan” atau “keterpaksaan” untuk memahami sepenuhnya satu sama lain sehingga mampu mendorong toleransi terhadap ketidaksempurnaan dan ketidaknyamanan yang mungkin muncul dari interaksi dengan orang yang berbeda pandangan atau latar belakang dan membiasakan warga untuk berinteraksi dengan perbedaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menciptakan rasa solidaritas meskipun ada keragaman.

Dari tulisan-tulisan edisi Lau Ne kali ini, ragam perspektif kota sebagai ruang interaksi dapat kita jumpai.

Dalam rubrik Layar, melalui tulisan Apa yang Membuat Kita Tinggal di Makassar?, Wilda Yanti Salam menuliskan bagaimana ia mengalami Kota Makassar yang di samping megah, riuh dengan persoalan antar manusia, juga hadir bentuk interaksi yang ia sebut sebagai perkawanan turut mengubah cara pandangnya melihat Makassar.

“Makassar mengajari saya untuk belajar berteman. Barangkali dulu semasa di kampung dan di sekolah, pertemanan itu sesuatu yang rasanya terberi. Banyak pertemanan yang sebenarnya tidak perlu kita lanjutkan karena tidak lagi sejalan dengan isi hati dan pikiran kita, tetapi kita memilih tetap berada di sana. Makassar mengajari saya arti batas-batas dalam hubungan pertemanan melalui pertemuan dengan banyak sekali ragam manusia.”

Pada Jala, tulisan berjudul Menengok Pusara si Raja Mogok, Ragil Cahya Maulana mencatat pertunjukkan Merapal Piwulang Sampai Pulang, Yogyakarta. Pertunjukkan ini mengangkat riwayat Soerjopranoto, seorang tokoh nasional yang acap kali terlupakan bahkan dalam buku sejarah. Soerjopranoto pernah menggerakkan kaum buruh untuk melakukan aksi pemogokan massal di seluruh Jawa. Buruh-buruh pabrik di beberapa kota mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah, dan berhasil. Aksi-aksi kolosal ini membuat pers Belanda menjuluki Soerjopranoto sebagai de Stakings Koning, si Raja Mogok. Merapal Piwulang Sampai Pulang dipentaskan di Makam Rachmat Jati. Pengalaman sejarah yang meruang dan menubuh ini juga penting sebagai alternatif menawarkan interaksi di ruang publik yang mendalam dan otentik.

Pada Jangkar, Ika Yuliana memulai tulisan Tentang Kota dan Ruang Pertemanan Perempuan Yang Tak Terlihat dari refleksi pengalaman personalnya di berbagai kota sebagai perempuan multietnis. Ia menemukan hampir tak ada ruang yang dapat diakses oleh perempuan secara penuh. Ia mengurai kerentanan-kerentanan yang dialami nyaris oleh semua perempuan terlebih dengan kelas dan status sosial menengah ke bawah. 

“Pengalaman saya sebagai perempuan yang tinggal di berbagai kota di Indonesia telah memberikan perspektif tentang kompleksitas kota dan bagaimana ruang-ruang ini memengaruhi kehidupan perempuan. Kota bukan hanya sekedar lokasi fisik, tetapi juga ruang di mana dinamika sosial dan budaya saling bertemu dan membentuk cara kita berinteraksi. Desain kota yang inklusif, yang memperhatikan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya, akan mampu menciptakan lingkungan perkotaan yang adil dan setara bagi semua penghuninya.” – Ika Yuliana

Ofa Mudzar dalam tulisan Perempuan dalam Kurungan Khayalan dan Realita pada rubrik Jala mengurai kegelisahan perempuan yang dipentaskan melalui teater Sekilas dalam Kurungan. Pertunjukan tersebut mengangkat tradisi pingitan di Jawa dan posuo di Buton sebagai isu pengurungan terhadap perempuan selama masa peralihan menjadi dewasa, dari individual body ke social body, sebagaimana tertulis dalam catatan sinopsis. Akan tetapi, dialog dan properti yang ditampilkan mengisyaratkan kurungan sepanjang masa bagi manusia bergender perempuan, baik kurungan tak kasatmata seperti stereotipe dan kurungan berupa ruang fisik.

Di rubrik Nahkoda,tulisan berjudul Ingatan Kain Mama, Widi Asari perancang busana asal Bandung, melakukan residensi di Maumere. Ketertarikannya dengan kain membawanya berjumpa dengan para Mama-Mama penenun yang sebagai seniman yang sekaligus mengarsipkan sejarah kota melalui motif tenun ikat. Ia menghubungkan kerja domestik anak laki-laki dengan ingatan akan didikan Mama, kemudian menciptakan motif baru dari ingatan anak laki-laki. Menurut Widi, peran Mama dalam mendidik anak-anak laki-laki untuk mengerjakan kerja-kerja domestik menjadi penting untuk pendidikan karakter personal dan mungkin juga karakter kota. 

Di tengah pembangunan kota yang masif dan kian tegas menarik garis antar kelas dan identitas, kita dapat membentuk ruang-ruang alternatif lain untuk membuka interaksi yang kemudian berkembang menjadi percakapan, hubungan jangka panjang, hingga rasa memiliki komunitas di mana kita berada. 

Selamat membaca!

Referensi: 

  1. Sennett, Richard. 1977. The Fall of Public Man. Penguins Book. London
  2. https://www.gsd.harvard.edu/event/richard-sennett/

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Februari 5th