Di satu puisi dalam buku Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, Aan Mansyur menulis, “Makassar adalah Jawaban tapi apa pertanyaannya?.” Saya tidak tahu sejak kapan Aan membuat puisi ini, yang saya tahu beberapa tahun terakhir, saya juga memiliki pertanyaan mengenai keberadaan saya di kota ini. Pertanyaan yang jawabannya masih terus saya eksplorasi dan berkembang sampai sekarang, yaitu apa yang membuat kita tinggal di Makassar?
Imajinasi Mengenai Makassar dan Realitasnya
Dalam imajinasi masa kecil saya, Makassar adalah gerai perbelanjaan barang-barang kebutuhan rumah tangga tempat nenek-nenek saya membeli aneka plastik. Makassar adalah rumah sepupu dengan kamar besar berpendingin udara. Makassar adalah buah apel dan pir yang dibawa Mama sebagai oleh-oleh untuk kami di kampung. Makassar adalah gerai ayam krispi dan burger cepat saji. Makassar adalah taksi biru yang dibayar dengan argo. Makassar adalah segala yang berhubungan dengan belanja.
Saat menginjak remaja, imajinasi Makassar berkembang menjadi tempat kuliah. Sepupu-sepupu saya bergantian pergi ke kota ini untuk berkuliah dan ketika mereka pulang, mereka membawa novel-novel yang konon dibeli di satu toko buku besar di Makassar. Mama, Bapak, Paman, Bibi, semua keluarga mengatakan bahwa kami harus bersekolah dengan baik supaya bisa kuliah di kampus-kampus mentereng di Makassar.
Pada tahun 2016, saya kemudian mendapat giliran untuk datang ke Makassar demi melanjutkan pendidikan. Ketika itu, Makassar, dalam usia-usia naif dan polos saya, adalah sebuah kota yang sangat besar dengan jalan-jalan lebar dan penuh kendaraan, gedung-gedung tinggi, dan gerai-gerai makanan cepat saji.
Ketika pertama kali tiba di Makassar, saya menumpang di indekos sepupu yang berlokasi di Kelurahan Pampang, sebuah kampung kota yang berada di sentral Kota Makassar. Ketika kawan-kawan sekampus dan sekampung menanyakan tempat tinggal saya, dan saya menjawabnya di Pampang, mereka selalu kaget dan mengatakan bahwa saya tinggal di “Kampung Texas”.
Konon, sejak dulu kampung ini dikenal sebagai kampung dengan tingkat kriminalitas yang sangat tinggi. Jika mengetik namanya di laman pencarian, kita bisa dengan mudah menemukan bahwa kampung ini selalu diberitakan yang buruk-buruknya saja oleh media. Tetapi, saya tidak punya pilihan lain, saya tetap tinggal di kampung ini.
Pampang adalah tempat yang memberi saya kesempatan untuk tidak merasa terlalu hidup seperti di kota. Dalam hal ini, kota dengan rumah-rumah kembar yang berjejer dan tersusun rapi dengan sebutan komplek atau perumahan. Di Pampang, saya merasa suasananya tidak terlalu jauh berbeda dengan di kampung saya yang jaraknya 12 jam perjalanan dengan bus dari Kota Makassar. Hal yang menyenangkan dari kehidupan di Pampang adalah saya masih bisa melihat penjual gorengan dan warung bakso yang tidak jauh dari rumah. Saya bisa membeli sayur dengan mudah lewat pedagang sayur keliling yang tersedia. Saya juga bisa dengan mudah menemukan penjual siomay dan cemilan-cemilan murah meriah yang cocok untuk kantong mahasiswa.
Pada tiga tahun pertama saya di Makassar dan tinggal di Pampang, saya bepergian ke mana-mana dengan mengandalkan si kotak biru bernama pete-pete (angkot). Jika hendak ke mana-mana, tolak ukur jauh dekat tidak ditentukan oleh satuan kilometer, melainkan ada tidaknya jalur pete-pete ke suatu tempat yang ingin saya datangi. Jadwal pulang dan pergi saya ke mana pun begitu, jam lima subuh pete-pete sudah berkeliaran dan beroperasi terakhir sekitar pukul sepuluh malam.
Pete-pete bisa dengan mudah kita dapatkan dengan menunggu di pinggir jalan. Seingat saya, hampir lima sampai sepuluh menit sekali pete-pete jalur ke mana pun melintas di jalan raya. Kita tidak perlu menunggu terlalu lama. Era kejayaan pete-pete ini terus berlangsung sebelum berbagai aplikasi ojek online bermunculan dan pandemi Covid-19 melumpuhkannya, hingga begitu mengubah banyak hal.
![Suasana di dalam pete-pete di Kota Makassar](https://laune.id/wp-content/uploads/2025/01/05-1-300x200.jpg)
Pete-pete dengan tarif jauh dekat lima ribu pun saat ini berubah menjadi delapan ribu setelah penumpang makin sepi dan bahan bakar terus naik setiap tahun. Setelah pandemi, pete-pete semakin jarang terlihat, dan kalau saya hitung-hitung lagi di tahun ini, durasi menunggu pete-pete di jalan utama yang dulunya dilalui banyak pete-pete menjadi lebih lama. Saya perlu menghabiskan waktu lima belas hingga dua puluh menit. Terkadang pete-pete bahkan tak kunjung tiba.
Pete-pete adalah bagian besar dari kehidupan di tahun-tahun awal saya di Makassar dan ia juga menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak orang. Selama hari-hari menunggu dan berada di dalam pete-pete, saya bertemu dengan banyak sekali ragam manusia, serta menjalin apa yang saya maknai sebagai perkawanan, keterhubungan emosional yang singkat.
Saya ingat betul, hari itu masih pukul enam pagi. Saya keluar menunggu angkot untuk tiba lebih cepat di kampus. Pukul enam pagi adalah jadwal para ibu-ibu di Pampang yang bekerja sebagai cleaning service di kampus dan pekerja pabrik di kawasan industri untuk berangkat. Biasanya saya tidak naik pete-pete ini lebih dulu karena pasti penuh. Jadilah saya hanya duduk di sebuah bangku, saling sapa dengan pedagang kaki lima dan supir bentor (becak motor) yang sehari-hari berpapasan dengan saya. Saya duduk sambil makan buroncong, kue berbahan dasar kelapa, tepung terigu, dan gula yang masih hangat-hangatnya. Tidak lama, datang seorang Ibu paruh baya yang duduk di samping saya. Kami saling lempar senyum, dan saya lanjut menyantap buroncong.
Tidak lama, Ibu ini mengajak saya mengobrolkan banyak hal. Dia bertanya seputar tempat tinggal, menanyakan saya kuliah di mana, dan entah mengapa dia tiba-tiba bercerita kepada saya mengenai hidupnya. Ia mengatakan bahwa dia sebenarnya datang dan duduk di sini untuk kabur sejenak dari rumahnya. Ia bercerita bahwa ia tidak suka dengan suaminya yang tidak bisa bekerja dan selalu memaksanya untuk melakukan banyak pekerjaan. Suaminya itu tidak apresiatif dan kadang berlaku kasar padanya. Lalu dia seketika menangis. Saya kaget. Saya kaget karena saya tidak siap dengan percakapan ini, dan saya tidak tahu harus merespon semua ucapannya dengan kalimat apa.
Apakah saya harus menghiburnya? Apakah saya harus ikut mencerca suaminya yang tidak saya kenal? Atau saya harus memintanya untuk bersabar saja? Saya kaget dan yang saya lakukan hanya refleks menawarinya beberapa potong buroncong di tangan saya yang telah dingin. Setelah menceritakan semua keluh kesahnya, Ibu ini memberikan wejangan kepada saya agar kelak saya lebih pandai memilih pasangan hidup. Jangan mau diperlakukan kasar dan dibodoh-bodohi, katanya. Setelah itu, kami berpamitan. Dia jalan kaki pulang menuju rumahnya dan saya naik pete-pete menuju kampus dengan hati separuh gamang sembari berusaha memahami percakapan macam apa yang baru saja saya alami.
Pertemuan dengan obrolan rumit yang tiba-tiba ini lalu terjadi lagi pada suatu siang dengan seorang Ibu paruh baya yang lain. Ibu ini adalah pedagang pisang goreng keliling yang setiap hari melintas di depan lorong kosan saya. Dengan waktu dan suara yang konstan setiap jam satu siang, dia melintas membawa keranjang berisi pisang goreng hangat yang dihargai dua ribu rupiah per potong. Ketika saya ingin makan cemilan, saya akan membeli sepotong dua potong pisang goreng darinya. Kalau dia melintas dan saya tidak ingin makan pisang, kami hanya melempar senyum ke satu sama lain. Hingga saking seringnya bertemu dan menyapa, dia mengundang saya hadir ke pernikahannya yang kesekian. Dia mengatakan dia akan menikah dengan seseorang dan menunjukkan saya jarak ke rumahnya. Saya pun beberapa kali membagi pisang dan sayuran yang dikirim Mama saya dari kampung untuknya. Dan mungkin, kami sama-sama mendefinisikan keakraban ini sebagai perkawanan? Entahlah.
Pertemuan dan sebut saja perkawanan lintas usia dan ambigu ini memberikan saya kesadaran betapa menarik hidup di Makassar. Betapa menarik untuk bisa berkenalan dan bertemu dengan cerita-cerita dan orang-orang yang datang tiba-tiba atau karena pertemuan itu membuat saya bisa mengenalnya sebagai kawan. Di saat yang sama saya menyadari satu perbedaan signifikan arti perkawanan dan pertetanggaan di kota.
Hidup di kota ini mengajarkan betapa keakraban dan keasingan pada orang-orang tidak diukur dari intensitas pertemuan dan keberadaan kita pada ruang yang sama dengan orang lain. Betapa lucu dan asing bagi saya saat pindah ke kosan ini, berbagi toilet dan dapur dengan orang-orang yang saya tidak kenal dan tidak ingin kenal dengan saya. Betapa canggung untuk menggoreng ikan di satu tungku kompor, sementara di tungku satunya seseorang sedang memasak sayur dan kami tidak makan bersama. Betapa canggung ketika saya mandi dan mendengar pertengkaran rumah tangga keluarga di sebelah, saya terpaksa mendengar persoalan hidupnya, tapi tidak mengenali konteks hidupnya.
Makassar mengajak saya untuk belajar lagi arti perkawanan dan pertetanggaan. Saat di kampung, mereka yang saya sebut teman adalah anak-anak sebaya yang berasal dari sekolah yang sama, yang rumahnya dekat dengan rumah saya, yang adalah sepupu-sepupu dari anak teman Ibu dan Bapak. Mereka yang saya sebut tetangga adalah mereka yang jarak rumahnya berdekatan dengan saya kiri, kanan, depan, dan belakang. Selebihnya, kami kenal karena mereka masihlah sanak saudara.
Pada tahun-tahun awal saya di Makassar, sehari-hari saya menghabiskan waktu dengan sepupu dan keluarga. Lalu di kampus mulai berkenalan dengan kawan-kawan sejurusan, intensitas pertemuan dan keberadaan di satu ruang yang sama menjadi satu penanda barangkali seseorang itu bisa kita sebut sebagai teman. Barulah pada tahun kedua, ketiga, dan seterusnya di kehidupan kampus saya berkenalan dengan orang-orang baru yang kemudian saya sebut sebagai ‘teman’ karena kami memiliki kegemaran yang sama terhadap buku-buku. Kami memiliki ketertarikan yang sama dalam membagi pikiran-pikiran dari buku yang kami baca. Saya kemudian memiliki teman-teman baru yang hadir karena kami memiliki kegemaran yang sama mengunjungi toko buku dan perpustakaan.
Pada tahun ketiga saya di Makassar, saya lalu berkenalan dengan konsep komunitas. Saya berkenalan dengan Kampung Buku dan Tanahindie, dua komunitas yang berada di ruang fisik yang sama untuk belajar dan bekerja bersama. Saya berkenalan dengan Tanahindie melalui Workshop “Anak Muda dan Kota” yang kemudian mengajak saya untuk mengenali Makassar dengan cara yang berbeda. Selama lokakarya menulis dan meneliti setiap pekannya, saya berkenalan lagi dengan sisi lain Pampang, dengan berbagai lontang, bar tradisional untuk minum ballo (tuak) dari pohon nipah di Makassar.
Lontang adalah ruang komunal yang dihidupi oleh orang-orang yang berasal dari kelas ekonomi bawah di Makassar. Mereka berkumpul layaknya anak-anak muda yang nongkrong di kedai kopi yang setiap hari semakin menjamur di relung-relung kota ini. Saya lalu menulis satu cerita mengenai keluarga penyadap tuak (palontang), di Pampang yang setiap hari bekerja menyadap ballo untuk dijual dan dinikmati bersama dengan kawan-kawannya di dalam lontang. Saya melihat lagi sisi lain Makassar yang dihidupi oleh orang-orang yang sebenarnya adalah masyarakat asli tapi terpinggirkan oleh himpitan para pendatang dari berbagai daerah yang memiliki kapabilitas dan pengetahuan ‘profesional’ dalam kerja-kerja formal. Keadaan yang merebut banyak sekali ruang hidup dan kesempatan dari warga asli yang hidup di kampung-kampung kota seperti Pampang.
Dari lontang saya mengetahui juga cerita-cerita dari warga asli kota ini yang menjual tanah-tanahnya kepada pendatang untuk membiayai pesta pernikahan, untuk membeli motor, membiayai sekolah anak atau membiayai kehidupan sehari-hari yang semakin hari semakin mahal. Rupanya Makassar dalam imajinasi masa kecil yang saya kenali sebagai gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan, adalah Makassar yang meminggirkan banyak sekali orang yang kampungnya dipaksa menjadi bagian dari Makassar.
Makassar berubah menjadi sebait potongan puisi Aan Mansyur, “Makassar bukan keinginan, Makassar bukan kebutuhan, Makassar adalah yang terpaksa diterima”. Makassar adalah ambisi besar sedikit orang-orang kaya yang meminggirkan banyak sekali orang-orang biasa. Semakin hari, jalanan-jalanan lebar di Makassar terus macet oleh kendaraan terutama roda empat. Pete-pete semakin sulit untuk ditemui. Orang-orang terus menghadapi kota ini setiap hari sendiri-sendiri. Kota ini barangkali dibangun oleh persekongkolan perusahaan pembangunan jalan raya, pebisnis kendaraan roda empat, dan pemilik kedai kopi.
Belajar di kampus selama bertahun-tahun yang menjadi alasan utama saya datang ke Makassar memberikan saya kesempatan untuk belajar berteman dan membangun perkawanan-perkawanan baru. Kemudian ketika berkenalan dengan konsep belajar bersama di komunitas, saya belajar lagi membangun perkawanan-perkawanan dengan orang-orang yang tidak selalu intens dalam jumlah pertemuan tetapi selalu merasa dekat karena merasa saling mengerti satu sama lain.
Saya ikut mengamini lagi definisi pertetanggaan di kota yang ditulis Anwar ‘Jimpe’ Rachman, bahwa “pertentanggaan di kota itu bukan dilihat dari kedekatan fisik rumah, melainkan dari kedekatan gagasan”. Makassar mengajari saya untuk belajar berteman. Barangkali dulu semasa di kampung dan di sekolah, pertemanan itu sesuatu yang rasanya terberi. Banyak pertemanan yang sebenarnya tidak perlu kita lanjutkan karena tidak lagi sejalan dengan isi hati dan pikiran kita, tetapi kita memilih tetap berada di sana. Makassar mengajari saya arti batas-batas dalam hubungan pertemanan melalui pertemuan dengan banyak sekali ragam manusia.
Dalam kerja-kerja menulis, meneliti, dan, belajar mengenai Makassar melalui komunitas dan keseharian, saya menyadari bagaimana kota ini memberikan saya kesempatan untuk belajar memahami arti pertemanan dan hidup berkomunitas. Sebagai gadis belia berumur 17 tahun yang pindah ke kota ini dengan seribu perasaan malu-malu, canggung, kaget, bingung, tapi penuh keceriaan dan keingintahuan, Makassar memeluk saya lewat tangan-tangan hangat yang saya temui sepanjang pengelanaan di kampus, komunitas, dan kehidupan di Pampang.
Bayangkan saja, bagaimana Makassar yang saya kenali belasan tahun silam betul-betul berbeda dengan Makassar yang saya kenali hari ini. Barangkali kembali lagi, bahwa Makassar memiliki definisi dan imajinasi yang berbeda-beda bagi setiap orang yang menjadikannya “jawaban”.
Makassar dan Komunitas-Komunitas
Makassar adalah kota dengan harga properti yang mahal, dengan indekos yang jarang memiliki jendela dan sirkulasi udara baik. Kota yang tidak lagi benar-benar memiliki pantai, kota laut dengan harga sari laut yang mahal, kota yang di musim kemarau kekurangan air, dan musim hujan kebanjiran. Kota yang tidak memiliki transportasi publik yang baik, dipenuhi pusat-pusat perbelanjaan, dipadati kedai kopi dan kekurangan ruang terbuka hijau. Kota ini disesaki dengan pengendara yang terburu-buru di jalanan, dan kota yang tidak memberi ruang untuk kita sekadar jalan kaki tanpa disinggahi orang-orang yang ingin memberi kita tumpangan karena menganggap kita patut dikasihani. Hal-hal macam ini masih menjadi bagian dari hidup saya sekarang. Kadang, kalau memikirkan lagi semua kekurangan-kekurangan kota ini, saya terus mempertanyakan kehadiran saya di sini.
Pada sisi lain, setelah delapan tahun merantau, saya sudah tidak lagi merasa bahwa kampung tempat keluarga saya lahir dan keluarga inti saya tinggal adalah seutuhnya rumah. Percakapan tentang rumah juga perlu menjadi tulisan tersendiri yang akan kita bahas di kesempatan lain. Di satu sisi saya tidak juga seutuhnya merasa Makassar adalah rumah saya. Saya masih terus berpikir suatu saat saya akan merasakan tinggal di tempat lain, suatu saat saya tidak lagi berada di kota ini. Tetapi saat ini, barangkali jawaban sementara dari tetap bertahannya saya di kota ini karena di sini saya merasa memiliki teman-teman yang saya pilih hadir di hidup saya. Mereka pun memilih saya hadir di hidupnya melalui irisan-irisan alasan yang beragam. Kawan-kawan yang dengannya saya bersinggungan melalui kedekatan intelektual dan emosional dengan kadar berbeda-beda.
Selain perkawanan individu, satu hal yang juga turut andil dalam mengikat saya pada kota ini adalah komunitas seni budayanya yang sejak tahun pertama saya di Makassar sampai hari ini, memberikan saya cara alternatif untuk mengalami dan memahami kota ini. Pada tahun 2016 ketika tiba di kota ini, Perpustakaan Katakerja didirikan dan terkenal sekali di telinga saya sebagai mahasiswa baru. Lokasinya ketika itu di Kompleks Wesabbe Tamalanrea tepat di depan pintu dua kampus Universitas Hasanuddin Tamalanrea.
![](https://laune.id/wp-content/uploads/2025/01/Makassar-8-1-300x200.jpg)
Selain Kata Kerja yang menyediakan banyak buku-buku sastra dan kegiatan-kegiatan diskusi serta acara yang menyenangkan, di kompleks yang sama ada juga Kedai Buku Jenny, yang didirikan lebih dulu pada 2011. Saya sering datang ke Kedai Buku Jenny (KBJ) menyaksikan berbagai pertunjukan musik, dan gigs musisi-musisi indie di Makassar dan sekitarnya. KBJ menjadi ruang yang sangat menyenangkan untuk berkenalan dengan ragam pegiat musik dan seniman. Selain itu, Harnita Rahman direktur KBJ yang sampai saat ini menjadi teman baik saya, menggagas Teater Ketjil, kelompok bermain berkedok teater yang ditujukan bagi anak-anak di Wesabbe dan sekitarnya untuk belajar senang bersenang-senang bersama.
Terakhir, di Wesabbe ada Dialektika Cafe and Bookshop yang ketika itu menjadi ruang untuk mendiskusikan tokoh-tokoh filsuf dan ruang untuk belajar banyak pemikiran-pemikiran yang tidak saya dapatkan di kampus. Kelompok ini berkembang begitu pesat dan menyenangkan pada 2016-2020 ketika saya masih aktif di kampus. Menyenangkan sekali rasanya memiliki ruang-ruang ini untuk belajar. Pada masa ini, berbagai komunitas literasi begitu berkembang di Makassar termasuk tiga komunitas tersebut. Tentu banyak lagi lainnya yang mungkin ketika itu belum masuk ke radar saya.
Pada tahun 2016-2020, menarik pula untuk melihat bahwa mayoritas orang-orang muda yang bergabung di sana adalah mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus di Makassar. Komunitas di luar kampus menjadi pelarian saya yang merasa bahwa ketika itu himpunan dan organisasi internal kurang relevan dengan kebutuhan saya. Pernyataan ini barangkali terlalu provokatif tapi begitulah adanya. Dalam pertumbuhan organisasi atau katakanlah ruang aktualisasi diri untuk orang muda yang juga adalah mahasiswa, organisasi-organisasi di dalam kampus adalah ruang itu pada dekade ‘90-an sampai 2000-an.
Saya terus teringat dengan diskusi bersama Jimpe, pendiri Tanahindie. Menurut pernyataannya, Tanahindie yang didirikan pada 1999 adalah organisasi komunitas yang lahir dan tumbuh dimulai dari dalam kampus lalu dibawa keluar karena setelah reformasi, organisasi dan komunitas mulai mendapatkan angin segar untuk tumbuh. Masa orde baru yang anti-kritik membuat ruang aman satu-satunya untuk orang muda adalah organisasi intra kampus. Menurut Jimpe, banyak organisasi dan komunitas yang coraknya lebih egaliter, cair, dan terbuka didirikan untuk menjadi ruang belajar. Corak organisasi di lingkungan kampus yang masih sangat kaku dan hierarkis mulai ditinggalkan. Menarik melihat keterhubungan ketika organisasi dan komunitas di Makassar terus berkembang di luar kampus dan banyak di antaranya dimulai oleh komunitas literasi.
Kemudian hadir pula Siku Ruang Terpadu yang berfokus pada seni urban, anak muda, dan seni media serta teknologi yang semakin berkembang dan menemukan massanya sendiri. Komunitas dan kolektif pun mulai berkembang terus menerus di Makassar terutama setelah pandemi Covid-19. Mahasiswa berkuliah online saat itu dan banyak di antara mereka yang tidak lagi berhimpunan di kampus. Kampus tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya ruang belajar. Komunitas-komunitas seni budaya dan literasi setelah pandemi semakin berkembang, dihuni oleh banyak orang muda generasi Z yang tidak lagi hidup dalam bayang-bayang senioritas ala orde baru serta corak hierarkis khas himpunan dalam kampus.
Contoh paling baru misalnya Antologi Manusia, ruang yang saya tidak tahu bagaimana mendefinisikannya, mungkin juga tidak perlu didefinisikan. Tetapi yang saya tahu inisiatif Ibe S. Palogai dan kawan-kawan ini menjadi ruang yang memberikan kesempatan kepada siapapun untuk mempresentasikan berbagai karya dalam beragam bentuk dan digelar rutin setiap bulan. Saya senang sekali melihat bagaimana Antologi Manusia berkembang mulai dari penyaji karya di setiap sesinya yang beragam, juga penikmatnya yang semakin beraneka. Barangkali perlu digarisbawahi bahwa Gen Z yang sering dicap oleh generasi-generasi sebelumnya sebagai kelompok yang paling rapuh secara mental, justru adalah kelompok penikmat dan penggagas berbagai komunitas baru di Makassar. Mereka menjadikan komunitas seni budaya ibarat pintu-pintu yang terbuka dan siapapun bisa masuk ke dalamnya tanpa malu-malu atau sungkan.
Gen Z membawa serta watak generasinya yang sudah jauh dari abang-abangan skena yang mengkotak-kotakkan komunitas literasi hanya untuk anak literasi, komunitas film hanya untuk anak film, dan komunitas seni hanya untuk anak seni semata. Gen Z dan sebut saja publik seni budaya di Makassar saat ini berkembang dengan sangat baik, semakin terbuka bagi beragam penyaji dan penikmat. Perlu juga disadari bahwa ini adalah sedikit dampak baik dari implementasi dana abadi kebudayaan yang memungkinkan komunitas-komunitas bisa berkembang dan membuat program-program keren.
Kehadiran komunitas-komunitas di Makassar yang sangat beragam secara gagasan dan praktik ini adalah ruang-ruang yang turut merawat saya. Meskipun kota ini dari segi infrastruktur fisik dan indeks pembangunan manusianya masih rendah, komunitas seni budaya adalah harapan saya di kota ini. Harapan yang membuka banyak kemungkinan-kemungkinan baru di masa mendatang untuk kota ini dan manusianya.
Komunitas-komunitas yang tumbuh di Makassar memberi alternatif dalam menciptakan ruang-ruang publik yang tidak diwadahi oleh pemerintah kota. Komunitas adalah ruang yang mengajak penduduk di kota ini belajar untuk hidup dan saling merawat gagasan serta emosi satu sama lain, meskipun di dalam internal komunitas tentu ada juga dramanya. Setidaknya, komunitas yang berisi orang-orang yang bisa kita ajak membicarakan bagaimana seharusnya kota ini bekerja, juga dibutuhkan. Sampai saat ini saya masih terus berpetualang ke berbagai kota dan tempat untuk bertemu dengan beragam manusia dan komunitas yang barangkali kelak membawa saya bertolak ke kota lain lagi. Tetapi, saat ini saya masih terus terikat oleh takdir Makassar, Kota Makan Enak ini.
Terakhir, mari terus bertanya, jika Makassar masih terus menjadi jawaban, apa yang membuat kita ingin tinggal di Makassar?
***
Editor: Ratih Fernandez
[…] rubrik Layar, melalui tulisan Apa yang Membuat Kita Tinggal di Makassar?, Wilda Yanti Salam menuliskan bagaimana ia mengalami Kota Makassar yang di samping megah, riuh […]