Tentang Kota dan Ruang Pertemanan Perempuan Yang Tak Terlihat

Pengalaman merantau dari Sumatera Utara ke Jakarta, juga ke beberapa daerah di Jawa, membuka perspektif saya soal kota, yang ternyata tak bisa lepas dari urusan spasial dan identitas. Tulisan ini berkembang dari artikel yang saya tulis 2021 lalu tentang kegagalan pembangunan kota-kabupaten dan reaksi penduduk terhadap modernitas, “Kita Tidak Akan Pernah Sekalipun Menjadi Modern!”[1], juga dari karya instalasi partisipatif saya berjudul Apakah kita punya mimpi yang sama tentang kota kita (2019)[2]. Pembahasan dalam tulisan ini juga berangkat dari obrolan keseharian bersama teman-teman perempuan soal betapa kota tidak dibangun untuk kami. Tulisan ini ingin menelisik keterkaitan ruang kota dengan hubungan pertemanan, identitas perempuan pekerja, sembari mencoba menelusuri perkembangan rintisan kota yang ramah perempuan dan minoritas.

Gambar dari sampul buku foto Street, Rain, and Style (2014) oleh Erik Prasetya

Berawal dari Jam Malam

Jangan pulang malam-malam!

Kalimat itulah yang mungkin paling sering disampaikan para orangtua pada anak perempuannya. Sebagai anak perempuan paling kecil di keluarga, saya pun sering mendengar kalimat itu—sedari kecil, sampai berusia kepala tiga. Saya lahir di Banda Aceh namun dibesarkan di Kota Medan, tempat jam malam diberlakukan dan disepakati meski tanpa aturan tertulis. Mau tak mau, pengalaman itu memengaruhi cara pandang dalam melihat kota tempat saya dibesarkan. Kalimat para orangtua tadi lebih terdengar sebagai ultimatum dibanding perhatian penuh kasih sayang. Dulu, saat saya masih sekolah, keluarga kami tak punya kendaraan pribadi sehingga saya dan kakak harus bergantung pada angkot yang minim keamanan. Lokasi sekolah saya juga berbeda distrik, rumah berada di area pasar yang minim penerangan. Sialnya lagi, Medan masuk dalam peringkat lima besar kota dengan kasus kriminal tertinggi terhadap perempuan dan anak.[3] Kecopetan di pasar, dikuntit ketika turun dari angkot, hingga pengalaman nyaris diculik oleh tukang becak sepulang sekolah adalah segelintir pengalaman saya di kota ini.

Selain pengalaman-pengalaman langsung dengan kriminalitas dan kekerasan, pengalaman dengan ruang publik pun membuat saya menyadari ada banyak hal yang tak dapat dipenuhi kota ini, khususnya untuk kelas menengah dan masyarakat miskin. Kota Medan punya banyak gedung dan pusat perbelanjaan. Tapi, hanya ada dua ‘taman kota’ atau ruang terbuka di kota sebesar ini: Lapangan Merdeka dan Lapangan Banteng. Terletak tepat di pusat kota atau titik nol Medan, Lapangan Merdeka diperuntukkan menjadi semacam alun-alun kota, ruang terbuka tempat acara resmi pemerintah kota diadakan, namun beralih fungsi menjadi pusat wisata kuliner dengan kursi-kursi. Sementara itu, Lapangan Banteng dikenal sebagai lapangan olahraga, tanahnya milik militer. Lapangan ini terasa sangat maskulin dan diperuntukkan bagi sponsor-sponsor besar seperti jenama rokok untuk mengadakan konser musik yang juga sangar—orangtua saya bisa mati berdiri kalau tahu anak perempuannya pernah nonton konser di sana sewaktu SMA! Konser di Lapangan Banteng hampir pasti memakan korban. Ada penonton yang tewas terinjak-injak diikuti kerusuhan massal saat konser Slank dan Dewa 19.

Lapangan Merdeka Medan yang direvitalisasi sejak Juni 2022 dan belum kunjung selesai

Baik Lapangan Merdeka maupun Lapangan Banteng jauh dari pengertian ruang terbuka seperti alun-alun hijau di kota-kota di Jawa. Keduanya bahkan bisa dikatakan ‘ruang non-publik’ karena hanya bisa dinikmati segmen masyarakat tertentu: mereka yang punya uang untuk membeli makanan, yang sehat tanpa disabilitas, serta yang bukan berjenis kelamin perempuan dan gender minoritas lainnya. Tetapi, saya dan kawan-kawan SMA—yang kebanyakan perempuan—tetap sering datang ke sana, meskipun kami kerap mendapat gangguan dan tatapan menyorot. Kami biasanya datang sepulang sekolah, sekadar untuk duduk-duduk dan bercengkrama sampai langit mulai meremang, sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Saat lapangan tersebut diokupasi oleh acara-acara pemkot, kami pindah nongkrong di pelataran Istana Maimoon, sebuah situs sejarah Kesultanan Deli yang sebenarnya adalah milik pribadi namun punya taman sedemikian luas. Lokasi ini tentu sangat jarang kami kunjungi karena letaknya tak searah dengan rumah teman-teman. Terbatasnya ruang publik yang memfasilitasi gerak pertemanan dan kegiatan luar sekolah ini memengaruhi cara remaja Medan menavigasi pola pergaulan di masa itu. Sebagian besar remaja akhirnya memilih pergi ke warnet dan menjadi pencandu internet level akut.

Ketika SMA hingga awal kuliah, saya banyak menonton film dan series Amerika yang cukup intens memberikan framing soal ruang kota dan pertemanan. Sayangnya, framing itu sangat jarang bisa menjadi representasi kebanyakan remaja di sekitar, yang hidup dalam keluarga menengah ke bawah, yang berbagi kamar tidur dengan kakak atau adiknya. Privasi tak pernah terbayangkan bagi kelas ini. Misal saja di High School Musical (2006), tokoh utamanya punya kamar luas dan privat, yang bisa menampung sekelompok teman perempuan untuk berkumpul dan sleepover. Lalu pertemanan perempuan dewasa seperti di film Sex and the City (2008) di mana semua tokohnya tinggal berdekatan di pusat kota New York dengan jarak apartemen yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, yang bisa menggambarkan “female friendship as a way of life” oleh penulis Erin Wunker dalam Notes from a Feminist Killjoy[4], tulisan yang memberikan pandangan bahwasanya pertemanan perempuan adalah hal yang transformasional. Dari film Indonesia, Ada Apa dengan Cinta (2002)—dengan Genk Cinta yang tinggal di pusat kota Jakarta itu—berpengaruh besar pada keinginan saya untuk meraih ruang kebebasan yang tak pernah saya miliki sebagai perempuan yang beranjak dewasa di kota ini. Film itu juga memberi pengaruh kuat untuk mengalami kota yang begitu saya idamkan, Jakarta.

Ketika mulai merefleksikan ruang kota berdasarkan pengalaman diri sendiri sebagai perempuan, saya berangkat dari bacaan yang juga sangat personal yang ditulis oleh geografer feminis Leslie Kern berjudul Feminist City: Claiming Space in a Man-Made World (2023)[5]. Pada awal bab, Kern mengantarkan pendapat bahwa ruang perkotaan pada dasarnya mempunyai gender. Kota, yang seringkali dirancang dan dialami melalui sudut pandang laki-laki, dapat meminggirkan dan mengecualikan kita sebagai perempuan. Lebih jauh lagi, Kern mengeksplorasi lingkungan perkotaan dari perspektif feminis, dengan menyoroti bagaimana kota seringkali dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan pengalaman perempuan, terutama kelompok terpinggirkan seperti ibu, perempuan queer, perempuan kulit berwarna, dan perempuan berpenghasilan rendah. Kern mengkritik bagaimana ruang kota seringkali dirancang berdasarkan asumsi tentang peran gender dan struktur keluarga tradisional, yang dapat menciptakan hambatan terhadap keselamatan, aksesibilitas, dan rasa kepemilikan.

Kern punya sebuah contoh menarik. Sebagai perempuan hamil sekaligus pejalan kaki di New York, ia menyoroti kurangnya perencanaan urban yang tepat. Kern mengenang bagaimana kegiatan sehari-hari—seperti menaiki tangga, duduk di bangku sempit, atau mencari toilet bersih dan mudah dijangkau—menjadi tantangan bahkan berbahaya. Transportasi umum juga seringkali tak nyaman atau kurang mendukung, dengan sedikit perhatian pada orang yang membawa kereta bayi, tubuh hamil, atau siapa pun yang membutuhkan ruang dan dukungan tambahan. Kern berpendapat bahwa masalah ini mencerminkan desain kota yang gagal mempertimbangkan keragaman tubuh manusia dan kebutuhannya.

Pengalaman berjalan sendirian di malam hari menghadirkan tantangan lain. Kern menggambarkan rasa takut dan kewaspadaan yang sering dirasakan para perempuan di jalanan, yang kemudian membatasi kebebasan kita sebagai perempuan di ruang kota, menghambat tempat dan waktu kita dalam bepergian. Pada bagian City of one dalam bukunya, Kern mengutip refleksi Virginia Woolf[6] tentang pengalaman berjalan-jalan di London, yang menggambarkan bagaimana kebebasan perempuan untuk menjelajahi ruang-ruang kota telah lama dibatasi oleh norma dan ketakutan yang bersifat gender. Woolf menggambarkan kota sebagai tempat yang memberinya rasa kebebasan, menjadi ruang untuk berpikir, mengamati, dan berpartisipasi dalam ranah publik—suatu pengalaman yang memikat sekaligus rapuh. Namun, Woolf juga mencatat bagaimana aksesnya ke kota dibatasi secara halus. Sebagai perempuan, ia tak bisa memasuki ruang tertentu atau berlama-lama di suatu tempat tanpa menarik perhatian. Ia juga selalu harus waspada akan keselamatannya, terutama setelah gelap.

Kern menggunakan wawasan Woolf untuk menekankan betapa, bahkan hingga saat ini, pergerakan perempuan di kota seringkali terhambat. Berjalan dengan bebas dan manasuka—sebuah hak istimewa yang dihargai Woolf—tidak selalu aman atau mudah diakses bagi kita para perempuan karena risiko pelecehan dan kekerasan. Kern berpendapat bahwa batasan-batasan yang diamati Woolf hampir seabad silam masih ada hingga sekarang, dan ini memengaruhi cara kita menavigasi dan mengalami ruang kota. Dengan mengulas kembali pengalaman Woolf, Kern menyoroti kebutuhan yang terus berlanjut untuk membuat kota menjadi tempat di mana kita dapat merasakan kebebasan, keselamatan, dan rasa memiliki yang sama seperti yang sering dianggap remeh oleh banyak pria.

Di kota tempat saya menjalani masa kanak hingga remaja, konservatisme budaya yang berakar pada warisan multietnis kian memperumit pengalaman menjadi perempuan. Peran gender tradisional sangat mengakar, dan ada hasrat yang kuat bagi perempuan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat ini. Hal ini menciptakan nuansa pembatasan. Sebagai perempuan, kita harus terus-menerus menegosiasikan posisi dalam kerangka budaya yang seringkali membatasi otonomi dan agensi diri kita. Adalah sebuah privilese bagi seorang perempuan muda untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan sosial, memilih jurusan kuliah, memilih bekerja, memilih untuk merantau tanpa tuntutan untuk segera kembali ke kota ini.

Ketika saya merantau ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah pada 2011, saya tak lagi berhadapan dengan jam malam. Kota ini hidup 24 jam nonstop! Banyaknya pilihan transportasi publik dan taman di Jakarta membuat saya cukup berpuas hati. Namun, di metropolitan yang ruang publiknya didominasi laki-laki ini, perempuan harus menjelajahi lanskap kota yang penuh tantangan. Saya mendapati banyak hal yang sangat baru namun juga yang berulang dalam pengalaman akan ruang. Ruang publik seperti jalan, taman, dan transportasi umum bisa terasa tidak ramah, bahkan memusuhi perempuan. Di masa awal kuliah, tantangan yang saya hadapi adalah seputar keamanan berjalan kaki dari kampus ke rumah kost. Menjelang semester akhir, seperti saat magang, tantangannya pun berkembang pada kegigihan untuk tidak mengalami pelecehan atau tindak kriminal saat berdesakan di metromini menuju Blok M. Terminal Kopaja pada tahun-tahun itu adalah tempat paling ‘horor’ bagi saya. Semua orang tumpah ruah di sana dengan segala kecurigaan, memaksa saya untuk berpakaian seperti laki-laki dan selalu menaruh ransel di depan dada. Namun setidaknya, di kota ini bayangan untuk mempunyai ruang pertemanan sedikit melegakan karena area kampus yang cukup soliter dengan ruang terbuka dan bisa dinikmati selama 4 tahun, sebelum menghadapi realita dunia kerja yang menyita waktu dan, lagi-lagi, menyita ruang perempuan.

Jakarta sebenarnya mulai mempertimbangkan ruang aman bagi perempuan, dengan menyediakan gerbong khusus wanita untuk pengguna commuter line—kebijakan ini juga diterapkan pada moda transportasi lainnya seperti Transjakarta. Namun jumlahnya tak seberapa, hanya 2 dari 12 gerbong kereta dan sebenarnya minim perhatian, serta mengundang konflik perebutan ruang saking terbatasnya. Gerbong perempuan ini dikenal ‘ganas’ saat begitu sesak pada jam sibuk. Semua penumpang ingin duduk dan seringkali berujung adu sikut atau adu mulut. Situasi ini sering membuat saya mengurungkan diri untuk naik kereta pada jam sibuk, memilih naik moda lain karena saya tak punya kendaraan pribadi. Di moda transportasi lain, situasinya tak jauh beda. Saya bahkan pernah menemui ekshibisionis di dalam bus Transjakarta menuju Harmoni, dan dihipnotis sewaktu naik angkutan umum di Tanah Abang. Cerita-cerita semacam itu kerap terjadi dan bersirkulasi di lingkungan pertemanan perempuan, yang kebanyakan adalah pendatang baru di Jakarta, yang kemudian dengan hopeless-nya mengikuti tips untuk menyiapkan amunisi absurd seperti semprotan air cabai, pisau lipat, dan lain-lain—itu semua sebenarnya tak mengurangi rasa cemas saat berada di ruang dan transportasi publik.

Tempat dan waktu yang terbatas punya andil pada menyempitnya imajinasi kita soal masa depan. Emosi kita pun mau tak mau terus terendap dan tak pernah diekspresikan. Saat ruang publik sangat terbatas, ruang privat pun kita tak punya, lalu apa sebenarnya yang ditawarkan kota pada kita? Apakah kota memang bukan untuk kita, bukan untuk perempuan, bukan untuk semua pihak? Fenomena ini membuat saya tertarik menelusuri perkembangan sirkulasi dialog dari para penata urban yang kabarnya telah menaruh perhatian pada desain kota yang ramah perempuan.

“Jakarta, Estetika Banal” (2011), oleh Erik Prasetya

Sejarah dan Perkembangan Desain Kota untuk Semua

Sejarah dan perkembangan desain kota yang mengutamakan keselamatan, aksesibilitas, dan kebutuhan perempuan telah berkembang pesat sejak tahun 2000-an. Inisiatif Safer Cities for Women and Girls[7] oleh organisasi seperti Femmes et Villes dan publikasi Cities Alive: Designing cities that work for women[8] oleh Arup adalah bagian dari usaha untuk menantang ruang-ruang perkotaan agar mengatasi isu-isu terkait gender dalam hal keselamatan dan inklusivitas.

Pada 2000-an awal, muncul dialog global tentang keselamatan perempuan di ruang perkotaan. Inisiatif yang sering dipimpin oleh organisasi akar rumput dan kelompok hak perempuan mulai menyuarakan tantangan khusus yang dihadapi perempuan di kota, seperti pelecehan, aksesibilitas, dan kurangnya opsi transportasi publik yang aman. Kemudian pada 2010-an, gerakan ini semakin berkembang, dengan organisasi besar seperti PBB yang mendorong kebijakan perkotaan sensitif gender sebagai bagian dari Sustainable Development Goals. Publikasi seperti Cities Alive dari Arup berkontribusi besar menyoroti bagaimana ruang perkotaan, jika dirancang dengan baik, dapat mendukung kebutuhan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. Kota-kota mulai mengeksplorasi pendekatan inklusif gender, seperti pencahayaan yang lebih baik, opsi transportasi umum terpisah berdasarkan gender, dan fasilitas publik yang mudah diakses.

Laporan Arup tadi mengungkap pengalaman unik dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam lingkungan perkotaan, terutama bagaimana perencanaan kota dan infrastruktur bisa memberdayakan atau justru membatasi kita. Perempuan di kota sering menghadapi berbagai masalah, seperti kekhawatiran akan keselamatan, akses terbatas pada sumber daya, dan hambatan dalam berpartisipasi penuh di ruang publik serta kegiatan ekonomi. Beberapa poin penting pengalaman perempuan di kota dalam laporan Arup adalah:

  1. Banyak perempuan merasa kurang aman di ruang publik, terutama pada malam hari. Musababnya mulai dari penerangan yang minim, area terpencil, hingga kurangnya pengawasan efektif. Sebagai contoh, dalam penelitian Arup, terungkap 97% perempuan muda di Inggris pernah mengalami pelecehan di tempat umum, dan banyak perempuan di seluruh dunia menghindari area tertentu demi keamanan. Transportasi publik, yang menjadi sarana penting bagi mobilitas kita, seringkali diwarnai oleh pelecehan. Rute dan jadwalnya juga terbatas serta lebih mengutamakan kebutuhan komuter ketimbang menyokong peran perempuan sebagai pengasuh atau pelaku perjalanan gabungan.
  2. Perempuan masih jarang terwakili dalam pemerintahan kota dan peran pengambilan keputusan. Ini menyebabkan kebutuhan kita sering diabaikan dalam perencanaan kota. Meskipun kita berkontribusi besar terhadap kehidupan kota, para perempuan seringkali tidak punya hak kepemilikan properti serta dihadapkan pada peraturan yang membatasi keamanan ekonomi dan kemandirian kita. Di kota-kota Afrika, misalnya, hanya sekitar 1% perempuan yang memiliki tanah, yang memengaruhi kemandirian finansial dan kemampuan mereka untuk berperan aktif dalam masyarakat.
  3. Perempuan menghadapi tekanan mental dan fisik lebih tinggi akibat desain dan aksesibilitas lingkungan perkotaan. Ruang hijau, fasilitas sanitasi, dan layanan kesehatan yang bersih seringkali kurang atau tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan khusus kesehatan kita sebagai perempuan. Sebuah studi di Barcelona menemukan bahwa peningkatan ruang hijau dapat mencegah lebih dari 100 kematian dini per tahun. Artinya, peningkatan ruang hijau itu pun signifikan manfaatnya terhadap kesehatan mental dan fisik perempuan, terhadap keselamatan kita.
  4. Ruang-ruang perkotaan seringkali tidak mempertimbangkan peran perempuan sebagai pelaku ekonomi sekaligus pengasuh utama. Kita lebih sering menghadapi akses terbatas pada kegiatan pengembangan diri, dengan sedikit opsi untuk taman yang aman, ruang budaya, dan pusat komunitas yang terjangkau. Keterbatasan ini mengurangi peluang kita untuk tumbuh secara pribadi, bersantai, dan berpartisipasi secara bermakna dalam komunitas.

Secara keseluruhan, laporan itu menyoroti betapa perempuan seringkali merasakan kota secara terbatas dan berpotensi berbahaya dibandingkan laki-laki. Akibatnya, perempuan terpaksa menyesuaikan diri dengan ruang kota yang tidak dirancang berdasarkan kebutuhan kita dalam beragam aspek. Laporan Arup itu menegaskan bahwa pendekatan perencanaan kota yang responsif terhadap gender akan membuat kota lebih aman, mudah diakses, dan inklusif, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang.

 

Menegosiasikan Identitas di Kota di Rural-Urban

Ruang kota bukan sekadar lokasi fisik; ruang kota adalah arena tempat identitas terus-menerus dibentuk dan direformasi. Identitas saya pun dibentuk oleh pengalaman saya di lingkungan perkotaan yang beragam ini. Di Jakarta, sifat kosmopolitan kota memungkinkan tingkat anonimitas dan kebebasan tertentu untuk mengekspresikan identitas seseorang. Namun, kebebasan ini bukannya tanpa batas. Jakarta adalah kota yang sangat terstratifikasi, tempat kelas, etnis, dan gender bersinggungan untuk menciptakan dinamika kekuasaan yang kompleks. Sebagai perempuan peranakan multietnis (Melayu, Jawa, Cina, dan Batak yang lahir di Banda Aceh), saya merasa diuntungkan sekaligus terpinggirkan oleh identitas yang saling bersilangan ini.

Di dalam ruang-ruang kota, kekerasan sangat umum hadir dan bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Kekerasan yang terjadi di kota sangat beragam jenisnya, mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan simbolis. Dalam banyak kasus, kekerasan simbolis dapat dihubungkan dengan kekerasan fisik yang terjadi. Misalnya, para pendatang baru di sebuah kota umumnya diklasifikasikan sebagai kelompok yang bukan bagian dari masyarakat kota tersebut. Klasifikasi ini lalu dimunculkan melalui sebutan ‘imigran’, ‘para pendatang’, atau ‘mereka’ yang dibedakan dari ‘penduduk’, ‘warga asli’, ‘putra daerah’, atau ‘kita’. Pembedaan ini merupakan wujud dari apa yang pernah dikatakan Jean-Paul Sartre bahwa pertempuran konfliktual antrara ‘Aku’ dan ‘Orang lain’ merupakan premis dasar kehidupan sosial. Pemisahan kelompok ‘pendatang’ dan ‘warga’ ini membentuk realitas seakan-akan kota hanya dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu.

Bekerja sebagai pembuat film dokumenter membawa saya berpindah ke sebuah kota-kabupaten bernama Majalengka. Pada 2017, saya bersama rekan filmmaker meriset dan mendokumentasikan pekerja pabrik genteng (jebor) di Jatiwangi, Majalengka. Sejak masa riset, saya sadar posisi sebagai ‘orang luar’, meskipun saya bolak-balik datang ke sana dan tinggal bersama warga lokal—saya melakukan pendekatan observasional. Orang-orang yang saya temui dengan jelas memberi jarak dengan menggunakan bahasa full Sunda, tanpa bahasa Indonesia, mereka tahu saya tidak mengerti bahasa Sunda. Selain bahasa, hal lain yang terasa asing adalah gestur dari orang-orang sekitar yang seluruhnya adalah laki-laki. Subjek yang saya ambil adalah pekerja jebor di Pabrik Rumahan, hanya ada sedikit peran perempuan di sana. Mereka biasanya hanya merapikan dan menjemur genteng. Selebihnya, peran laki-laki jelas dominan mengolah material utama tanah liat. Di sela-sela bekerja, para pekerja jebor itu seringkali bersenda-gurau dalam bahasa Sunda. Belakangan, pemuda lokal yang kami hire sebagai penerjemah selama syuting memberi tahu saya bahwa candaan mereka bernada seksual, seputar alat kelamin, dan ditujukan pada pekerja perempuan. Dan semua itu ternyata adalah keseharian yang lumrah, yang membuat saya cukup terkaget-kaget namun segera menganggapnya sebagai angin lalu.

Riset lanjutan membuat saya tinggal lebih lama, sampai-sampai saya mengerti dan bisa bercakap dalam bahasa Sunda. Namun, bukan berarti saya sudah tidak disebut ‘orang baru’ atau ‘pendatang’ oleh warga. Justru, yang saya alami sejak tahun pertama menjadi warga kota-kabupaten ini adalah pengawasan demi pengawasan yang tak pernah saya minta. Saya tak pernah tahu bahwa ada aturan mengenakan kerudung bagi perempuan yang tinggal di Jawa Barat seperti layaknya di Daerah Istimewa Aceh. Dalam lingkungan dan pertemanan saya selama di sana, hanya dua orang termasuk saya yang tidak menutup kepala dengan tiung. Karena itu, saya dan seorang teman seringkali mendapat ‘perhatian’ lebih sampai akhirnya teman satu itu memutuskan menggunakan jilbab daripada disebut bukan ‘perempuan baik-baik’. Begitu juga soal status dan umur; melajang dan tinggal sendiri sebagai perempuan di usia menjelang tiga puluh layaknya sebuah kesalahan besar bagi komunitas warga. Tak jarang saya mendapat kekerasan simbolis, himbauan-himbauan untuk segera menikah dan menutup aurat, sampai itikad perjodohan yang awalnya seperti gurauan namun makin lama makin membuat perasaan tidak nyaman. Para perempuan di lingkar pertemanan yang juga sudah lewat usia dua lima pun seperti dikejar-kejar sesuatu yang disebut norma masyarakat, mereka akhirnya terpaksa mengikuti dengan setengah hati; lalu berujung petaka, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan kemudian bercerai. Jawa Barat memang memegang peringkat tertinggi untuk jumlah perceraian di Indonesia.[9]

Tinggal selama lima tahun di kota-kabupaten Majalengka menambah lapisan lain pada negosiasi identitas saya. Karakter Majalengka yang pedesaan-perkotaan membuat saya perlu terus-menerus menavigasi antara ‘yang lama’ dan ‘yang baru’, yang tradisional dan yang modern. Dalam esai saya di Struggles for Sovereignty di awal tadi, saya mengeksplorasi bagaimana ketegangan antara modernitas dan tradisi ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di Majalengka, saya sering terjebak di antara harapan seorang perempuan modern yang berjuang untuk merdeka dan peran tradisional yang dipaksakan oleh masyarakat yang sebagian besarnya masih mengamini patriarki. Ketegangan ini memaksa saya untuk terus-menerus menegosiasikan identitas saya, menyeimbangkan keinginan untuk maju dengan kebutuhan untuk tetap terhubung dengan akar budaya.

Keterbatasan akses perempuan di ruang publik tidak hanya terjadi di kota besar; di kota-kabupaten seperti Majalengka, di mana komunitas-komunitas yang lebih kecil cenderung saling mengenal, ruang sosial bagi perempuan menjadi lebih personal dan terhubung erat dengan keluarga serta tetangga. Artinya, atas nama norma sosial, seluruh ihwal perempuan bisa menjadi urusan semua orang. Hal ini membuat perempuan selalu punya keterbatasan mengakses peran di luar ranah domestik, untuk mempunyai ekspresi diri yang beragam. Padahal, ruang kota punya potensi sebagai alat perubahan sosial. Studi Arup menunjukkan bahwa ketika perempuan punya akses lebih besar ke ruang publik yang aman, dampaknya terasa tidak hanya pada keamanan pribadi melainkan juga pada kesejahteraan komunitas. Ruang kota yang inklusif mendorong perempuan untuk lebih aktif dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik kota.

 

Perspektif dari Kota Lain: Mencontoh Kota Ramah Perempuan

Kota ramah perempuan adalah utopia saat laki-laki cis hetero jadi pemimpinnya. Perempuan, terutama perempuan muda, seringkali menerima represi secara fisik dan simbolis. Sebagai perempuan, kita senantiasa hyper-visible atau ultra-terlihat untuk ‘diusik’—meminjam istilah Leslie Kern. Namun, kita justru diabaikan saat arsitektur sebuah kota dirancang. Ketika ada advokasi pemda untuk membangun ‘space for youth’, ‘ruang kreatif’ atau semacamnya, jenis ruang yang dimunculkan hampir pasti: skate park dan lapangan basket. Dengan kata lain, user yang dibayangkan selalu remaja laki-laki, dan remaja perempuan akan sulit mendapat akses, penerimaan, dan keamanan. Sebuah firma arsitektur asal Swedia, White Arkitekter melakukan pendekatan pada remaja perempuan untuk mendesain ruang publik, mereka mendapat hasil yang sangat sederhana dari para partisipan:

            “Places for sitting together face to face, protected from weather and wind, to see without necessary being seen, a sense of intimacy without being constrictive; and most of all, to be able to leave an imprint on their city.”[10]

Beberapa kota di dunia sebenarnya mulai menerapkan desain kota yang lebih ramah perempuan. Pemkot di Wina, ibukota Austria, menerapkan anggaran berbasis gender yang memastikan semua proyek pembangunan kota mempertimbangkan dampak pada perempuan. Di sana, perencanaan kota yang responsif gender terlihat dalam penempatan penerangan di area publik, pembangunan taman yang dirancang agar ramah anak dan perempuan, serta transportasi umum yang aman. Inisiatif ini berhasil meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial di ruang publik dan mempromosikan lingkungan yang lebih setara.

Sementara itu, pemkot Barcelona di Spanyol melakukan audit gender terhadap desain jalan dan taman kota. Mereka memastikan ruang-ruang itu dapat diakses oleh perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Salah satu kebijakan yang mereka terapkan adalah membuat lebih banyak area pejalan kaki dan mengurangi ruang kendaraan. Itu terbukti meningkatkan rasa aman bagi perempuan saat berjalan kaki. Selain itu, pemkot Barcelona juga menyelenggarakan program pendidikan yang memberi warganya pemahaman tentang pentingnya ruang kota yang inklusif, sehingga masyarakat turut mendukung terciptanya kota yang ramah bagi semua gender.

Di kawasan Amerika Latin, kota seperti Bogotá di Kolombia juga jadi pionir dalam perencanaan yang mempertimbangkan perspektif gender. Pemkot Bogotá meluncurkan program Transporte Seguro para las Mujeres yang bertujuan meningkatkan keamanan perempuan di transportasi umum. Melalui inisiatif ini, Bogotá memperkenalkan layanan bus khusus perempuan pada jam-jam sibuk, serta melakukan kampanye kesadaran di stasiun-stasiun untuk mencegah pelecehan seksual.

Perencanaan berbasis gender juga dilakukan oleh dishub New York, New York City Department of Transportation (NYC DOT). Mereka meluncurkan proyek yang bertujuan mendesain ulang lingkungan perkotaan dengan mempertimbangkan data gender. Melalui pengumpulan data spesifik mengenai mobilitas, pola perjalanan, dan pengalaman keselamatan perempuan, NYC DOT bekerja sama dengan komunitas untuk merancang trotoar yang lebih lebar, jalur sepeda yang lebih aman, dan penerangan yang lebih baik di lokasi-lokasi strategis.

 

Perubahan yang Didorong oleh Komunitas Lokal

Selain pemerintah, komunitas-komunitas lokal juga memainkan peran penting dalam menciptakan ruang kota yang lebih aman dan inklusif. Misalnya, di Mexico City, kolektif perempuan seperti Las Hijas de Violencia dan Mujeres en Espacios Públicos sering melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan di ruang publik. Mereka juga berkolaborasi dengan pihak berwenang untuk meningkatkan keamanan di ruang-ruang ini.

Komunitas lokal juga dapat mengubah cara ruang kota dirasakan dan digunakan oleh perempuan. Di Tokyo, muncul kelompok perempuan yang secara aktif mendesain ruang komunitas berbasis kebutuhan gender. Misalnya, kelompok ini mengusulkan untuk mendirikan ‘women-only spaces’ di taman-taman umum, sehingga perempuan dapat merasa lebih aman ketika ingin bersosialisasi atau sekadar menghabiskan waktu di luar ruangan.

Di Hanoi, Vietnam, remaja perempuan membentuk kolektif untuk membuat ‘zine to educate bus drivers and passengers about girls safety from harassment on public transit’. Di Kampala, ibukota Uganda, kolektif anak muda memperjuangkan higienisitas dalam kota dan aksi untuk infrastruktur yang ramah pejalan kaki, mereka hendak memastikan remaja perempuan bisa melanjutkan pergi ke sekolah atau bekerja.[11]  Di beberapa kota di Indonesia, komunitas perempuan juga mulai muncul sebagai penggerak perubahan. Misalnya, di Bandung, komunitas perempuan sering mengadakan kegiatan sosial di ruang terbuka seperti taman kota atau area car free day. Mereka menciptakan ruang sosial yang aman dan menyenangkan bagi perempuan untuk berkumpul dan berpartisipasi aktif di ruang publik. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya memberi perempuan akses terhadap ruang publik, tetapi juga memperkuat solidaritas antarperempuan di kota.

 

Geliat Komunitas  Merawat

Sebagai perantau yang kerap berpindah kota, saya sering menghadapi kesulitan merawat kelompok pertemanan, terutama teman masa kecil dan masa sekolah hingga SMA. Teman masa kecil saya di Banda Aceh hilang tersapu tsunami, teman masa sekolah di Medan hampir seluruhnya merantau ke kota lain—mungkin karena kotanya tak memenuhi apa yang dicari. Tersisalah beberapa orang yang masih menjaga kontak dan bertemu setiap pulang kampung. Namun, seiring bertambahnya usia, mereka berkeluarga dan mengambil kredit rumah di daerah yang jauh dari kota—harganya masih terjangkau bagi pekerja yang rata-rata memiliki single income. Begitu pula dengan dua sahabat masa kuliah saya yang semakin jarang berkumpul karena kesibukan bekerja, terpisah jarak dan kemacetan Jakarta (satu tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, satunya lagi di Cengkareng, dan saya sendiri di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang bisa makan waktu lebih dari 2 jam untuk menghampiri satu sama lain).

Di masa akhir kuliah, saya mulai menemukan pertemanan lainnya, yaitu dari komunitas atau kolektif seni. Bergabung menjadi relawan dan anggota di sejumlah kelompok seni di Jakarta ternyata juga menghubungkan saya dengan muda-mudi dari luar Jakarta, mereka yang bergeliat di daerah. Munculnya ruangrupa[12], kolektif yang didirikan kelompok seniman pada tahun 2000, memantik pula ruang-ruang alternatif untuk seni kontemporer di berbagai kota di luar kota besar, dalam hal ini sebutlah Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Inisiatif biasanya dimulai dari kelompok-kelompok pertemanan sekolah seni, sastra, atau desain, atau muda-mudi yang ‘mengulik’ bentuk-bentuk seni dengan cara otodidak dan menciptakan upaya hub atau tempat berkumpul untuk menghasilkan karya dan eksperimen. Upaya hub dalam mewadahi geliat kreatif muncul karena infrastruktur wilayahnya yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Infrastruktur ini bisa berupa departemen seni dan budaya pemerintah, pusat dan lembaga kesenian, institusi dan lembaga pendidikan, ekonomi dan industri kreatif, bahkan tata kota.[13] Meskipun inisiatif itu menyebar dan menjamur, dapat disepakati bahwa pelaku seni kolektif masih didominasi sifat maskulin, dengan terbatasnya anggota perempuan yang memegang peran di depan sebagai pengambil keputusan.

Meski begitu, ada juga inisiatif-inisiatif di kota lain yang membawa angin segar bagi pencari ruang aman seperti saya. Tahun 2016 adalah awal perjumpaan saya dengan organisasi seni yang diinisiasi perempuan, yang membuat program fasilitasi kekaryaan bagi remaja perempuan. Kampung Halaman[14] di Yogya, dengan sebuah pameran karya berjudul Dapur, mengundang para pengkarya perempuan untuk merespons ruang dapur lewat berbagai medium seni. Saya adalah salah satu pengkarya yang merespons. Di Kampung Halaman-lah saya berjumpa para pengkarya perempuan lainnya, membentuk sisterhood di usia dua puluhan yang bertahan sampai hari ini. Ruang pertemanan inilah yang memperkenalkan saya pada istilah ‘merawat’ dan ‘bertumbuh bersama’. Dua hal itu membuat kami beresonansi dengan sebuah konten TikTok yang pernah diunggah oleh nining_jasmine:

            Everyone is talking about their childhood friends, but no one talks about friendships from your 20s..”

 The Care Manifesto (2020) yang ditulis keroyokan oleh The Care Collective membuat saya mendalami bagaimana kapitalisme neoliberal telah merusak hubungan sosial dengan menekankan individualisme dan kompetisi. Bacaan ini seakan memvalidasi kebutuhan masa kini pada ruang pertemanan yang ‘merawat’. Di salah satu bab berjudul “Caring Communities”, para penulis The Care Manifesto berargumen bahwa sistem kapitalisme neoliberal menciptakan ketimpangan sosial yang mendalam, di mana banyak orang dibiarkan merasa terisolasi, tidak didukung, dan kehilangan akses ke jaringan perawatan yang memadai. Semua itu memperlemah rasa kebersamaan di dalam masyarakat. Pada konteks ini, komunitas yang peduli menjadi solusi untuk mengatasi krisis, dengan membangun kembali solidaritas sosial melalui nilai-nilai seperti saling mendukung, empati, dan kerja sama kolektif.

The Care Manifesto juga mengajukan langkah-langkah konkret untuk menciptakan komunitas yang peduli, termasuk perencanaan kota yang berfokus pada inklusivitas, kebijakan publik yang mendukung kesejahteraan kolektif, dan penyediaan ruang-ruang publik yang memungkinkan interaksi sosial yang bermakna. Para penulis menekankan pentingnya merangkul keberagaman dalam membangun komunitas, dengan memastikan bahwa semua orang—terlepas dari latar belakang sosial, gender, atau etnis—memiliki akses yang sama untuk merasa aman dan diterima. Dengan demikian, caring communities tidak hanya menjadi gagasan, melainkan juga panduan untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi dan peduli terhadap kebutuhan bersama.

 

Membayangkan Kota dengan Ruang Pertemanan Perempuan

Dalam membayangkan kota yang lebih inklusif, pendekatan yang responsif gender harus menjadi landasan utama dalam desain dan perencanaan. Pendekatan ini bukan hanya soal memberikan akses yang setara, tetapi juga memenuhi kebutuhan perempuan terhadap keamanan, kenyamanan, dan kebebasan dalam bergerak. Kota yang dirancang dengan mempertimbangkan pengalaman dan perspektif perempuan akan mampu menciptakan lingkungan yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.

Seperti yang dijelaskan dalam The Care Manifesto , membangun kota yang adil membutuhkan pendekatan yang lebih peduli terhadap kebutuhan semua anggotanya, terutama pihak yang sering terpinggirkan, seperti perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Kota yang berlandaskan nilai-nilai kepedulian akan memperhatikan aspek-aspek keamanan, aksesibilitas, dan kesejahteraan untuk semua penghuninya.

Dengan memperkenalkan lebih banyak ruang publik yang inklusif dan aman, serta memastikan akses yang setara terhadap transportasi, kota dapat menjadi tempat di mana perempuan bisa merasa aman dan bebas berpartisipasi. Sebagai contoh, membuat lebih banyak jalur pejalan kaki yang aman, taman kota yang dirancang untuk kebutuhan anak dan perempuan, serta penerapan kebijakan transportasi yang mengutamakan keselamatan dapat membuat perempuan lebih nyaman dan leluasa dalam menggunakan ruang publik.

Di masa depan, penting bagi para perencana kota dan pembuat kebijakan untuk melibatkan perempuan dalam setiap tahap perencanaan kota, mulai dari desain hingga implementasi. Pendekatan partisipatif ini akan memungkinkan perempuan menyuarakan kebutuhan dan aspirasi kita, serta memberikan masukan berharga yang dapat membantu menciptakan kota yang benar-benar inklusif.

Pengalaman saya sebagai perempuan yang tinggal di berbagai kota di Indonesia telah memberikan perspektif tentang kompleksitas kota dan bagaimana ruang-ruang ini memengaruhi kehidupan perempuan. Kota bukan hanya sekedar lokasi fisik, tetapi juga ruang di mana dinamika sosial dan budaya saling bertemu dan membentuk cara kita berinteraksi. Desain kota yang inklusif, yang memperhatikan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya, akan mampu menciptakan lingkungan perkotaan yang adil dan setara bagi semua penghuninya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, peran pemerintah dan komunitas lokal sangat penting dalam membentuk kebijakan dan inisiatif yang memastikan setiap warga kota merasa aman dan dihargai. Dengan mencontoh kebijakan dari kota-kota seperti Wina, Barcelona, dan Bogotá, kita dapat membayangkan kota-kota di Indonesia menjadi lebih ramah bagi perempuan dan lebih inklusif.

Desain kota yang baik bukanlah tentang memperindah bangunan atau memfasilitasi mobilitas saja, tetapi tentang menciptakan ruang yang dapat mengakomodasi setiap warga untuk hidup dengan aman, nyaman, dan sejahtera, bukan melanjutkan potongan lagu dari Silampukau, Balada Harian:

Kota tumbuh kian asing kian tak peduli…

 

Catatan:

[1]Artikel ini tayang di strugglesforsovereignty.net/id/menjadi-modern/, tentang modernisasi di Indonesia yang dipengaruhi oleh kolonialisme, kapitalisme dari perspektif warga dengan studi kasus Bandara Kertajati Majalengka.

[2]Karya ini dipamerkan dalam Terracotta Biennale 2019 di Jatiwangi art Factory, yang mengundang partisipan pelajar dan perempuan muda Majalengka untuk menuliskan kota masa depan yang diimpikan.

[3]Data statistik Sistem Informasi Gender dan Anak: http://siga.sumutprov.go.id/media/data-kekerasan/kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak

[4]Notes from a Feminist Killjoy (2016) oleh Erin Wunker adalah eksplorasi mendalam dan personal tentang feminisme yang menggabungkan memoar dan kritik untuk menantang norma sosial terkait gender, ras, dan kekuasaan yang mengacu pada konsep “feminist killjoy” oleh Sara Ahmed.

[5]Buku ini mengeksplorasi bagaimana kota-kota modern dirancang untuk memenuhi kebutuhan laki-laki, seringkali mengabaikan perempuan, terutama dalam hal keamanan, aksesibilitas, dan kehidupan sehari-hari

[6] Dalam esai “Street Haunting: A London Adventure”, Virginia Woolf mengeksplorasi pengalaman berjalan-jalan di jalanan London dengan gaya observasi yang tajam dan reflektif, menggambarkan bagaimana kota menjadi ruang untuk merenung, bermimpi, dan memahami keberadaan manusia.

[7] Tahun 2011, sebuah organisasi Perancis, Femmes et Villes, menyelenggarakan konferensi di Cairo bersama UN Women dengan judul “Safer Cities for Women and Girls”, http://femmesetvilles.org/conference/conference-on-safer-cities-for-woman-and-girl/

[8] Laporan Arup bekerja Sama dengan UNDP mendokumentasikan pengalaman Perempuan di 20 Negara. https://www.arup.com/insights/cities-alive-designing-cities-that-work-for-women/

[9] Data BPS tahun 2023, angka perceraian di Jawa Barat tahun 2023 sebesar 463.654, menurun dari tahun sebelumnya 516.33 dan menjadi yang tertinggi di Indonesia, diikuti oleh Jawa Timur.

[10] Dikutip dari Rachel Kaufman, “Architect Ask: Where Are the Spaces for Teen Girls?” Nextcity, July 3, 2018

[11] Plan Internasional, Unsafe in the City: The Everyday Experience of Girls and Young Women (Surrey: Plan International 2018)

[12] ruangrupa adalah kolektif seni kontemporer asal Jakarta yang berfokus pada praktik seni berbasis komunitas dan kolaborasi lintas disiplin, menjadi kurator artistik Documenta 15, dengan pendekatan lumbung yang menekankan prinsip berbagi sumber daya dan solidaritas kolektif.

[13] Pengertian hub dikutip dari Direktori, Peta Kolektif Indonesia 2010-2020 oleh Whiteboard Journal dan British Council.

[14] Kampung Halaman adalah organisasi seni berbasis di Sleman, Yogyakarta yang menggunakan media dan pendidikan partisipatif untuk memberdayakan kaum muda dengan pendekatan yang inklusif, organisasi ini mendorong anak muda untuk berbicara tentang isu-isu sosial dan lingkungan melalui proyek kreatif seperti film dokumenter dan fotografi. Saat ini lebih dikenal dengan nama We Love Youth (WLY).

Editor: Ragil Cahya Maulana

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Jangkar, Ika Yuliana memulai tulisan Tentang Kota dan Ruang Pertemanan Perempuan Yang Tak Terlihat dari refleksi pengalaman personalnya di berbagai kota sebagai perempuan multietnis. Ia menemukan […]

Kalender Postingan

Jumat, Januari 24th