Modernisme/Dekolonial

 

 

Dalam sebuah artikel di Surat Kabar Mingguan Dian tahun 1975 berjudul “Menyelamatkan Identitas Kebudayaan-Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Timur,” Dami N. Toda menekankan pentingnya landasan gerakan politik pragmatis kebudayaan daerah sebagai poin penting bagi pemajuan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pernyataan Dami N. Toda tersebut dilandasi oleh kenyataan bahwa NTT adalah sebuah provinsi yang khas karena karena keberagaman budaya yang tersebar di provinsi kepulauan itu. Oleh karena keberagaman itulah, pemajuan kebudayaan merupakan prasyarat penting bagi pemajuan manusia-manusia yang hidup di dalamnya, sebab kebudayaan berkaitan dengan jati diri, identitas sebuah kelompok masyarakat.

Menurutnya, NTT memiliki banyak unit kebudayaan kecil-kecil sehingga perlu dijaga/dikembangkan identitas daerahismenya agar tetap merupakan ciri harga diri tersendiri yang tidak boleh hilang atau mati. Dengan mengambil latar belakang dan konteks sejarah dunia, yakni perlawanan terhadap kolonialisme serta tumbuhnya semangat nasionalisme yang dimulai dengan kebangkitan kebudayaan, – kebangkitan harga diri sebagai bangsa akibat kesamaan penderitaan karena dijajah, Dami N. Toda menekankan pentingnya kebudayaan daerah sebagai dasar harga diri dari istilah kebudayaan nasional.

Baginya, politik kebudayaan daerah sewajarnya diperlukan untuk menuju pembentukan manusia kebudayaan. Ia membedakan politik kebudayaan dengan “dagangan pariwisata”, sebab dagangan pariwisata hanya menyangkut segi promosi fisik, yang jika salah cara-cara pengerjaannya akan merusak nilai-nilai kebudayaan daerah, seperti hanya sekedar menjadi tontonan turis atau jual beli harga semata-mata.

Tahun 2021, Komunitas KAHE Maumere bekerja sama dengan Museum Bikon Blewut Ledalero dan SEMA Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero menyelenggarakan Re-Imagine Bikon Blewut (RIBB) sebuah pameran seni rupa kontemporer. Pameran ini adalah bagian dari Docking Program Biennale Jogja XVI Equator #6.

Re-Imagine Bikon Blewut (RIBB) digagas untuk melakukan dekonstruksi/dekolonisasi terhadap museum Bikon Blewut, sebuah monumen/artefak yang menyimpan benda-benda masa lalu kebudayaan-kebudayaan di Flores, serentak merekam dan membiaskan jejalin sejarah gereja yang adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah kolonialisme di Flores.

RIBB merupakan salah satu aktivitas kebudayaan: membaca kembali, menganalisis, dan mengeritik konteks kebudayaan di Pulau Flores. Dengan membaca kembali konteks Museum Bikon Blewut, pameran ini membuka kembali wacana pengetahuan tentang Flores, seperti konteks historis yang melatarbelakanginya, pengaruh kolonialisme yang masuk melalui agama katolik, modernisme yang digerakkan oleh gereja, serta beragam pembacaan yang memungkinkan berlangsungnya produksi pengetahuan yang lebih kontekstual dengan situasi saat ini.

Eka Putra Nggalu dalam tulisan berjudul Membayangkan Kembali Bikon Blewut, membawa kita melihat kembali ke belakang, ke konteks historis yang turut membentuk wajah masyarakat Flores saat ini. Keberadaan Museum Bikon Blewut sebagai salah satu produk kebudayaan pun tidak lepas dari kelindan panjang modenisasi, kolonisasi, dan evangelisasi yang berlangsung di Flores.

Menurutnya, berkaitan dengan konteks historis itu, misi gereja katolik memainkan peran yang sangat penting bagi penyebarluasan ide-ide dan pengetahuan modern di tanah Flores. Misi gereja katolik tidak hanya berfokus pada evangelisasi atau penyebaran kabar gembira (Injil), tetapi juga pembangunan peradaban dalam paradigma modern. Kehadiran museum Bikon Blewut dan kerja-kerja kuratorial dari P. Verhoeven hingga P. Piet Petu adalah salah satu kontribusi gereja katolik Flores dalam membangun pemahaman akan sejarah dan identitas lokal di tengah derasnya arus modernisasi yang ironisnya turut dimulai oleh gereja, tetapi memiliki efek samping yang krusial: mencabut eksistensi budaya lokal sampai ke akar-akarnya.

Membayangkan Kembali Bikon Blewut mengajak kita melihat secara praktis hal yang digelisahkan Dami N. Toda. Yang disebuat Dami N. Toda sebagai gerakan politik pragmatis kebudayaan sesungguhnya adalah upaya menjahit kembali keragaman perspektif, identitas, dan jati diri lokal yang telah diretas oleh nasionalisme sebagai anak kandung modernisme. Dami N. Toda mendorong dialektika yang kritis antara kekhasan artikulasi budaya lokal dalam suatu situasi pertumbuhan peradaban modern yang masif berlangsung dalam beragam aktivitas seperti pendidikan, kesehatan, pendirian balai-balai latihan kerja seperti bengkel kayu, bengkel besi, bengkel pertukangan, penjahit-penjahit dan seni, mulai dari sastra, musik, seni rupa serta teater modern.

Lebih jauh, kritik tentang ambang kepunahan museum Bikon Blewut karena faktor pengelolaan (managerial) yang tidak profesional dan ketiadaan kurator yang kompeten mesti menjadi evaluasi kritis bersama, tidak saja dalam konteks museum, tetapi lebih jauh, dalam kaitannya dengan gerakan kebudayaan di Flores yang akhir-akhir ini terjebak dalam turisme semata-mata.

Aura Asmaradana dalam Bunyi Tanah, Data Gempa Flores dan Ingatan yang Pudar membawa kita lebih dekat ke salah satu konten pameran yang dipamerkan dalam RIBB. Aura berbagi cerapannya atas Bunyi Tanah, karya Rahmadiyah Tria Gayathri, seorang seniman lintas media sekaligus pendiri Forum Sudut Pandang yang bermukim di Palu. Karya yang dipamerkan itu merupakan karya kolaborasinya dengan Hilman Arioaji yang bekerja sebagai data scientist, pendiri kolektif audio visual Berbahaya Network.

Bunyi Tanah merupakan salah satu upaya untuk mendekati Flores dari bencana gempa. Menurut Rahmadiyah, kebudayaan orang-orang Flores yang sangat lekat dengan praktik seni bunyi menjadi permulaan yang menarik untuk membuka tawaran pembacaan data pergerakan tanah di pulau bunga ini. Yang menarik dari karya yang dipamerkan dalam RIBB ini adalah, seperti yang ditulis Aura, “sepanjang sejarah berdirinya, mungkin inilah kali pertama museum Bikon Blewut memutar bebunyian di ruang pamernya.”

Intervensi Bunyi Tanah, serta sudut pandang Aura dalam melihat karya ini merupakan semangat baru untuk membaca posisi museum Bikon Blewut yang selama ini terkesan kaku dan stagnan. Meletakkan bunyi di ruang pamer RIBB yang dekat dengan konteks kultural masyarakat Flores adalah representasi suara dari “luar” kepemilikan museum yang ingin agar pengetahuan yang bersumber dari identitas masyarakat harus terus menerus dihadirkan, dibaca, dan disegarkan, sebagai upaya mengembalikan peran museum untuk menghidupkan jati diri masyarakat di tengah-tengah konteks hidupnya saat ini.

Sementara itu, karya Walter D. Mignolo, Kolonialitas: Sisi yang Lebih Gelap dari Modernitas yang diterjemahkan oleh Dimas Rajalewa membicarakan ‘modernitas’ sebagai narasi Eropa yang menyembunyikan sisi lebih gelapnya, ‘kolonialitas’. Kolonialitas, dengan kata lain, merupakan elemen hakiki pembentuk modernitas—tidak ada modernitas tanpa kolonialitas.

Oleh karena itu, ekspresi umum ‘modernitas global’ saat ini menyiratkan ‘kolonialitas global’ dalam artinya yang paling sesuai oleh karena matriks kekuasaan kolonial (kolonialitas, singkatnya) sedang diperdebatkan oleh banyak penyanggah: apabila tidak mungkin bisa ada modernitas tanpa kolonialitas, tidak mungkin juga ada modernitas global tanpa kolonialitas global.

Bagi Walter Mignolo, masa depan global perlu dibayangkan dan dibangun melalui pilihan-pilihan de-kolonial; yaitu, bekerja secara global dan kolektif untuk mende-kolonisasi matriks kekuasaan kolonial; untuk menghentikan istana pasir yang dibangun oleh modernitas dan turunan-turunannya. Baginya, museum-museum memang bisa memainkan peran penting dalam membangun masa depan de-kolonial.

Seolah memberi tanggapan atas perspektif estetika dekolonial, wawancara bersama kolektif Udeido perlahan mempertegas pilihan memposisikan seni sebagai alat baca dan alat ungkap realitas sosial, termasuk di dalamnya pemusnahan kebudayaan oleh politik ekonomi neoliberal. Transkrip wawancara yang diberi judul Papua dalam Koreri Projection membuka selubung yang terpresentasikan dalam karya Udeido di Biennale Jogja XVI yang lalu.

Di balik penis berbentuk peluru, kepala manusia berbalut pala, lumpur dan tanah liat di lantai ruang pamer, hingga instalasi segitiga bernyala yang melekat di tembok ruang pamer, ada cerita tentang perempuan-perempuan yang dibunuh dan diperkosa oleh militer, kebun-kebun pala yang dirampas dengan mahar kepala-kepala para laki-laki kampung, tanah-tanah dan situs spiritual yang dikomodifikasi jadi pabrik-pabrik, hingga gunung emas yang ditukar dengan empat kaleng kornet. Obrolan sejam bersama Dicky Takndare, salah satu eksponen penting kolektif Udeido seolah tak pernah selesai. Seperti halnya kolonialisme berkedok pembangunan yang secara sistematis menjarah rakyat Papua hingga hari ini.

Tulisan-tulisan yang terangkum dalam edisi ini merupakan respons terhadap pameran RIBB dan lebih jauh membuka pembacaan yang relevan dan kontekstual atas perspektif dan isu estetika dekolonial. Sekali lagi mengutip Dami N. Toda “…menggairahkan kembali nilai-nilai kebudayaan daerah, mengayomi, mengembangkan serta menyimpan,” sehingga sejarah kebudayaan Eropa yang telah dibaptis identitasnya ke dalam sejarah kristen bisa diambil sebagai pembanding, tidak serta merta karena “…selera kristen menilai, membabat yang dianggap “berhala,” atau menyepelekan begitu saja.” Pater Piet Petu, SVD kurator pertama museum Bikon Blewut dalam sebuah wawancara mengatakan, “karena kita sejajarkan kultur dan kristianitas. Kalau kultur sudah berpadu dengan kristianitas, maka itulah zaman kita ini.”

Atau seperti kata Dicky Takndare, yang perlu didekolonisasi itu Papua (baca: kita yang masih dijajah elit politik dan oligarki).

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th