Membayangkan Kembali Bikon Blewut

 

 

Misi Gereja Katolik memainkan peranan yang amat penting bagi penyebarluasan ide-ide dan pengetahuan modern di tanah Flores, yang dalam bahasa pribumi dikenal dengan sebutan Nusa Nipa. Misi Gereja Katolik tidak hanya berfokus pada evangelisasi atau penyebaran kabar gembira (Injil) tetapi juga pembangunan manusia yang terejawantahkan dalam beberapa kategori aktivitas antara lain pendidikan, kesehatan, pendirian balai-balai latihan kerja seperti bengkel kayu, bengkel besi, bengkel pertukangan, penjahit-penjahit dan seni, mulai dari sastra, musik, seni rupa serta teater modern.

Kehadiran museum Bikon Blewut dan kerja-kerja kuratorial dari P. Verhoeven hingga P. Piet Petu adalah salah satu kontribusi gereja katolik Flores dalam membangun pemahaman akan sejarah dan identitas lokal di tengah derasnya arus modernisasi yang ironisnya turut dimulai oleh gereja, tetapi memiliki efek samping yang krusial: mencabut eksistensi budaya lokal sampai ke akar-akarnya. Yang kian menjadi sulit saat ini adalah eksistensi Museum Bikon Blewut sendiri diambang kepunahan karena faktor pengelolaan (manajerial) yang tidak profesional dan ketiadaan kurator yang kompeten untuk melakukan kerja-kerja pengarsipan serta pengelolaan wacana hingga program publik  yang relevan dengan masyarakat hari ini.

 

Benih-benih Modernisme dalam Sejarah Gereja Katolik

Pada awalnya, misi Gereja Katolik di Flores adalah penyemaian benih yang jatuh di lahan yang subur tanpa diketahui sendiri oleh si tukang kebun.

Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sebuah keuskupan dibangun di sana pada tahun 1561 dengan seorang uskup bernama Friar Jorge de S. Luzia, OP. Jauh sebelum itu, pastor-pastor kapelan yang menemani ekspedisi dagang telah masuk ke Solor, Larantuka dan Sikka sejak akhir abad ke-15 dan membaptis beberapa komunitas lokal menjadi katolik. Hal ini pertama-tama diketahui lewat catatan Tom Pires, seorang pedagang Portugis yang banyak menulis tentang lalu lintas perdagangan cendana dari Timor ke daerah Jawa, Maluku, Sulawesi hingga Malaka. Dalam catatannya itu, Tom Pires menceritakan lanskap Solor dan cara kapal-kapal dagang berlayar ke Timor melalui daerah ini untuk berburu cendana.

The island of Solor is very large. It has a heathen king. It has many ports and many foodstuff’s in great plenty. It has countless tamarinds; it has a great deal of sulphur, and it is better known for this product than for any other. Th ey take a large quantity of foodstuff s from these islands to Malacca. . . . Between the islands of Bima and Solor there is a wide channel along which they go to the sandalwood islands. All the islands from Java are called Timor, for timor means ‘east’ in the language of the country, as if they were saying the islands of the east.

Dari catatan Tom Pires juga diketahui bahwa kosmopolitanisme di Flores sudah berlangsung sebelum kolonialisme Eropa. Hubungan dagang antara penduduk lokal dari Timor dan Flores Timur dengan kerajaan Majapahit telah berlangsung lebih dahulu, bahkan sebelum pedagang-pedagang Arab, India, dan Cina menjadi begitu tergila-gila dengan cendana dan rempah-rempah yang dihasilkan di sepanjang jalur perdagangan yang melalui perairan Flores.

Berkaitan dengan misi Katolik sendiri, pastor kapelan yang turut dalam ekspedisi dagang Portugis di wilayah kepulauan Nusa Tenggara juga hadir dalam cerita-cerita tentang Fr. A. Taveira, OP.

Dikisahkan, selama kapal-kapal dagang menepi di pantai, memuat kargo, dan mengisi bahan bakar serta ransum, pastor Taveira membaptis penduduk-penduduk lokal yang ia temui. Tidak banyak dokumentasi mengenai aktivitas pastor Taveira. Namun, seorang awam bernama João Soares mencatat ada kurang lebih dua ratus orang yang dibaptis di daerah Lewonamang, sekitar Flores Timur. Komunitas lokal ini berkembang secara organik, mengembangkan iman yang mereka terima dari luar dengan kekayaan tradisi yang mereka hidupi hingga berlangsungnya misi Dominikan yang digerakkan oleh keuskupan Malaka setelah 1561.

Komunitas-komunitas katolik yang organik juga muncul di pantai selatan Sikka, pesisir Ende dan beberapa tempat lain yang sebenarnya telah lebih dulu ditempati pedagang-pedagang Islam dari Bugis hingga Arab. Gereja tanpa imam, apalagi sakramen ini terus berkembang lewat ‘katekis-katekis’ lokal yang entah bagaimana menerima kristianitas sebagai identitas yang menubuh dan hidup.

Di Sikka, Agustinju da Gama, katekis asing, berhasil masuk ke dalam tatanan pemerintahan lokal mo’ang puluh, dan membaptis salah satu dari mereka menjadi raja. Diceritakan, ia datang ke Sikka bersama dengan Don Alesu, anak dari seorang pemimpin suku di Sikka bernama Mo’ang Baga Ngang.

Di usia mudanya, Don Alesu dikabarkan meninggalkan kampung Sikka dan merantau ke Malaka untuk mencari Tana Tota Moret sebuah dunia kekal yang tak mengenal kematian dan penderitaan. Di sana ia bertemu dengan Raja Worilla yang memperkenalkannya dengan pendidikan dan agama Katolik. Ia dibaptis dan diberi regalia kerajaan berupa tongkat kerajaan, patung kudus, gading dan geraham gajah sebagai untuk dibawa pulang ke daerah asalnya. Agustinju da Gama pualang bersamanya.

Menurut E.D. Lewis, Worilla atau Warilla yang diceritakan dalam tradisi lisan di Sikka adalah sebuah karakter misitk dari pada historis. Meski demikian, nama Worilla atau Warilla bisa jadi merujuk pada pimpinan ekspedisi Portugis di era 1511-1641 yang berlayar di kepulauan Nusa Tenggara. Worilla juga secara linguistik dekat dengan Varela, sebuah nama Portugis yang diucap secara berbeda dengan sara Sikka, cara ucap orang-orang Sikka. Selain fakta bahwa ada keturunan-keturunan Don Alesu, Agustinju da Gama dan Raja Worilla, E.D. Lewis menulis karakter-karakter dan cerita dalam kisah perjalanan Don Alesu ke Malaka lebih dimaknai secara spiritual.

Menurut manuskrip-manuskrip yang ditulis Boer dan Kondi, penulis sejarah Sikka, kehadiran Don Alesu mengakhiri masa proto-raja dan membuka babak baru sejarah kerajaan Sikka. Sistem pemerintahan kolektif kolegial perlahan bertransformasi menjadi monarki dengan bias aristokrasi dalam perjalanannya. Sementara, Agustinju da Gama memantapkan aksinya sebagai penyebar kabar baik di wilayah Sikka dan sekitarnya, termasuk wilayah Kangae yang kelak menjadi rival politik kerajaan Sikka. Dalam sebuah majalah berbahasa Belanda, Die Katholieke Missien dikisahkan:

“kepala dari Kangai tinggal hanya tiga mil jauhnya. Augustinju tidak henti-hentinya mengunjunginya sekaligus menawarkannya hadiah yang melimpah, memberinya tiga puluh gigi gajah, memberinya chapeo, menawarkannya tongkat, dan menyapanya dengan gelar raja. Semua ini sangat mengejutkan penghuni gunung itu, dan gelar yang dianugerahkan itu sangat menyanjung cinta dirinya sendiri sehingga, selain dirinya sendiri dengan sukacita, dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada tamunya yang murah hati. Augustinju, itulah keinginan dan permohonannya yang sungguh-sungguh, agar tidak lagi meninggalkan Flores, tetapi memerintah sebagai raja di dekatnya….  Kapala Kangai, sekarang raja, tampaknya telah merencanakan untuk menundukkan semua kapala gunung di sebagian besar pulau itu kepada otoritasnya, dan menyerahkannya kepada Augustinju untuk melakukan hal yang sama dengan kepala dan kampung di sepanjang pantai.”

Di Larantuka, hal yang hampir sama terjadi dengan konteks yang sedikit berbeda. Kerajaan Larantuka, kerajaan katolik tertua di nusantara terbentuk. Inkulturasi tradisi lokal dan devosi kristiani menjadi praktik penting yang menjaga keberlangsungan iman umat selama lebih dari satu abad.

Kerajaan yang ditandai dengan adanya regalia berupa patung kudus dan gading gajah berdiri dengan legitimasi utama dari pihak Portugis, gereja, dan kerabat keluarga. Posisi agama dalam pemerintahan adat dan kemudian bertransformasi menjadi relasi politik ini menciptakan pintu yang terbuka bagi misi gereja selanjutnya. Agama raja adalah agama rakyat.

Diterbitkannya surat apostolik Maximum Illud tahun 1919 oleh Paus Benediktus XV membuka babak baru bagi misi gereja Katolik di dunia. Paus Fransiskus menyebut, dengan surat apostolik ini “Benediktus XV ingin memberi dorongan semangat baru terhadap tanggung jawab misioner untuk mewartakan Injil.

Tahun 1919, pada akhir konflik dunia yang mengerikan, yang digambarkannya sendiri sebagai ‘pembantaian tak berguna’, Paus menyampaikan perlunya memaknai kembali misi secara Injili ke dalam dunia, agar dimurnikan dari segala pengaruh kotor kolonialisme dan dijauhkan dari tujuan-tujuan nasionalistik dan ekspansionis yang menyebabkan begitu banyak kehancuran.” (Surat Paus Fransiskus pada Peringatan 100 Tahun Maximum Illud). Surat apostolik ini memberi pemahaman dan pemaknaan yang lebih terbuka bagi para misionaris untuk melihat dan menimbang konteks tanah/daerah misi sebagai satu entitas budaya yang otonom dan memiliki kebenarannya sendiri.

Misi gereja yang diemban oleh SVD pada awal abad-20 amat dipengaruhi oleh semangat Maximum Illud dan juga bias-bias proyek politik etis dari Kerajaan Belanda. Beberapa hal yang amat ditekankan adalah pendirian sekolah-sekolah, balai latihan kerja, dan unit-unit pelayanan kesehatan. Balai latihan memberi workshop bagi para tukang kayu dan tukang bangunan, unit pelayanan kesehatan dibuka terutama seiring ekspansi misi ke daerah-daerah.

Sekolah-sekolah rakyat dibangun untuk mendidik pribumi-pribumi, menjadi guru agama (katekis) yang disebar di berbagai wilayah misi di seluruh Flores. Para guru agama ini mendidik sesama kaum pribumi dengan bahasa dan analogi lokal. Membuat artikulasi iman Katolik lebih relevan dengan konteks setempat. Pola misi yang organik semakin masif berkembang, membentuk pola baru yang dulunya vertikal (agama raja adalah agama rakyat), menjadi lebih horisontal dan dekat.

Menurut catatan P. Frans Cornelissen dalam Misi di Nusa Tenggara Timur, sekolah paling pertama di Flores dibangun di Solor pada tahun 1596 oleh Dominikan. Sekolah ini setingkat SD dengan jumlah siswa 40 orang dan dianggap sebagai sekolah agama dalam lingkungan benteng. Sekolah ini musnah pada 1613 ketika benteng Lohayong direbut oleh VOC dan sebagian besar penghuni Solor melarikan diri ke Larantuka.

Setelah jeda cukup lama, sebuah sekolah dibangun pada 1860, di Postoh, oleh pastor Johanes Petrus Nicolaus Sanders. Sekolah ini menggunakan bahasa Melayu, bahasa yang lazim dipakai warga Larantuka. Sekolah ini dianggap ‘sekolah liar’ karena beroperasi tanpa izin.

Tanggal 3 Desember 1862, sekolah tersebut mendapatkan izin resmi dari pemerintah Belanda, dengan murid berjumlah 25 orang, 24 laki-laki dan 1 perempuan (putri raja Larantuka). Sekolah ini mengalami pertumbuhan yang baik, bahkan lulusannya dikirim melanjutkan studi untuk menjadi mantri cacar (wabah cacar terjadi di Larantuka pada 1869-1873). Siswa-siswa diasramakan, diberi keterampilan pertukangan dan musik (olah vokal dan alat musik tiup). Sekolah ini lantas disebut sekolah resmi pertama di Flores. (Bdk. Valentino Luis, Konstelasi Sejarah Literasi dan Ekosistem Sastra di Flores)

Setelah sekolah bagi anak-anak pria di Postoh Larantuka berjalan dengan lancar dan terus mengalami penambahan murid, digagaslah sebuah sekolah bagi para putri. Bulan Mei 1879, sekolah putri pertama dibuka oleh para biarawati Fransiskan yang didatangkan dari Semarang. Sekolah ini berlokasi di Balela. Jumlah murid pertama 20 anak perempuan. Pelajarannya sama dengan sekolah anak laki-laki: membaca, menulis, berhitung, ditambah dengan keterampilan rumah tangga dan menenun kain. Jumlah pelajar putri juga mengalami peningkatan dari awalnya 20, lalu tahun 1902 tercatat menghimpun 214 siswi. (Ibid.)

Di antara kantong-kantong pendidikan yang dikembangkan oleh misi Gereja, seminari, atau sekolah pendidikan calon imam, menjadi salah satu pusat pendidikan yang terkenal dengan tradisi gymnasium dan menekankan science serta humaniora sebagai pendidikan dasar. Putra-putra pribumi terbaik disekolahkan di seminari, dan kelak menjadi imam-imam yang menggerakkan gereja-gereja lokal.

Inkulturasi yang berlangsung secara organik dan kehadiran kantong-kantong pendidikan modern dengan seminari sebagai salah satu yang amat progresif beroperasi juga memercikan visi dan mewujudkan praktik serta relasi medan kebudayaan modern yang digerakkan oleh gereja. Seminari menengah pertama di Flores dibangun di Mataloko pada 1929, setelah sebelumnya sempat diujicobakan di Sikka beberapa tahun sebelumnya tetapi selalu gagal akibat wabah malaria yang ganas dan amat mematikan.

Misi Gereja di Flores yang digerakkan oleh pendirian paroki-paroki berjalan beriringan dengan pengembangan sekolah-sekolah di sepanjang Flores. Maumere menjadi tempat yang amat progresif setelah Larantuka (1874). Menyusul secara signifikan terjadi di Ndona, Ende (1925), lalu menjalar ke Mataloko, Ngada (1929), kemudian Ruteng, Manggarai, sebagai sentra-sentra persekolahan Flores.

Selain melalui sekolah, Percetakan Arnoldus yang kemudian berkembang beriringan dengan Penerbit Nusa Indah menjadi pusat-pusat kebudayaan penting yang digerakkan oleh misi Katolik di Flores. Patut dicatat bahwa pada tahun 1873, sebelum sekolah resmi dibuka di Maumere, telah diterbitkan dua buku dalam Bahasa Sikka oleh Pater Omtzigt. Kedua buku tersebut (buku agama dan buku bacaan sekolah) menjadi buku pertama dalam bahasa daerah yang diterbitkan di Flores. Lebih tua dari itu, di awal 1800-an diterbitkan beberapa dokumen katekismus gereja katolik berbahasa Melayu Larantuka.

Percetakan Arnoldus dirintis oleh Pater Petrus Noyen, SVD pada tahun 1926 dengan mendatangkan mesin cetak dari Jerman. Buku pertama yang dicetak berjudul Sende Aus (Utuslah), sebuah buku doa berbahasa Melayu. Empat puluh empat tahun setelahnya, Pater Alex Beding, SVD mendirikan penerbit Nusa Indah yang menerbitkan buku-buku sastra dan bahasa, humaniora, filsafat juga sejarah sejak tahun 1970.

Sebagai catatan, mesin offset didatangkan ke Ende tahun 1974, sementara Indonesia baru bisa mengimpor mesin cetak offset tahun 1976. Pada era selanjutnya, SVD juga melahirkan media (pers) yakni mingguan Dian dan Flores Pos yang menjadi sekrup penting dalam perkembangan demokrasi di Flores.

Kesenian-kesenian modern hadir lewat produksi-produksi film dokumenter dan fiksi etnografis nir-suara yang berlangsung sejak 1930 juga pementasan-pementasan teater modern di gedung Imakulata.

Film-film dokumenter perjalanan dibuat oleh para misionaris untuk merekam aktivitas misi Flores kala itu. Dengan kesadaran yang kian tinggi untuk mengeksplorasi media audio visual, diproduksi beberapa fiksi-etnografis antara lain Ria Rago (1930) Amorira (1932/3) dan Ana Woda (1933). Film-film yang diproduksi oleh P. Simon Buis, SVD ini menjadi alat propaganda misi Flores di Eropa sekaligus sebagai alat pewartaan di sepanjang Flores pada masa itu.

Sejalan dengan itu, gedung Imakulata menjadi sentra pementasan pertunjukan-pertunjukan modern, mulai dari paduan suara, vokal grup, tarian hingga teater. Soekarno yang dibuang di Ende pada medio 1934-1938 aktif menggerakkan kelompok teater rakyat bernama tonil Kelimoetoe. Konon, ia menulis 13 lakon/tonil, yakni Dokter Setan, Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945. Menurut cerita, mayoritas tema tonil diangkat dari cerita rakyat, didukung oleh tarian adat. Selain itu tonil juga dimainkan untuk membangkitkan semangat membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah.

 

Museum Bikon Blewut

Museum Bikon Blewut lahir dari kerja-kerja geologi, antropologi, dan etnologi yang dikembangkan dalam beberapa periode ekspedisi. Periode pertama dimotori oleh para misionaris asing yang turut memberi warna pada perkembangan teori-teori kebudayaan, mulai dari Dr. Th. Verhoeven, SVD; Paul Arndt, SVD; W. Koppers, SVD; M. Guisinde, SVD; W. van Bekum, SVD; dan P. Mommersteeg, SVD. Beberapa dari antara mereka adalah murid-murid awal Wilhem Schmidt (1868-1954), seorang pencetus teori difusi kebudayaan dengan salah satu publikasi terkenal berjudul Der Usprung Der Gottesdee.

Pada periode berikutnya mulai terlibat beberapa misionaris lokal, di antaranya Darius Nggawa, SVD; Piet Petu, SVD; Frans Nurak, SVD; dan Rokus Due Awe. Pada perkembangannya, Piet Petu, SVD kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam pendirian Museum Bikon Blewut.

Pendekatan etnografi dan antropologi adalah salah satu paradigma baru yang menerjemahkan spirit Maximum Illud. Lebih jauh, pendekatan ini juga didasari oleh kesadaran untuk memproduksi pengetahuan pada tataran lokal dan menciptakan agen-agen misi lokal yang lebih relevan dengan isu dan konteks budaya setempat. Pengetahuan lokal ini lantas di silang tukarkan dengan pengetahuan yang berkembang di berbagai wilayah misi lainnya, tidak hanya untuk pengembangan misi tetapi juga ilmu pengetahuan.

Tradisi intelektual misalnya terepresentasi dalam jurnal antropologi legendaris ANTHROPOS yang dipelopori oleh Wilhem Schmidt, SVD tahun 1906. Pada awal hingga tengah tahun 1900-an, studi-studi etnografi dan antropologi di Flores turut mewarnai wacana global. Beberapa edisi jurnal Anthropos bahkan dicetak di Ende oleh Percetakan Arnoldus untuk menjembatani masalah transportasi dan komunikasi misi yang sulit pada tahun-tahun itu.

Penggalian awal Dr. Th. Verhoeven, SVD pada tahun 1950-1965 di Todabelu, Mataloko-Flores tidak dimaksudkan pertama-tama untuk suatu proyek museum jangka panjang. Ekspedisi-ekspedisinya berlangsung secara fragmentaris dan menyasar beragam temuan yang mungkin untuk keperluan studi. Meski bekerja sama dengan berbagai museum internasional terutama di Belanda, Dr. Th. Verhoeven, SVD sendiri tidak memiliki niat untuk membangun museum. Temuan-temuan terutama yang ia peroleh diserahkannya untuk penelitian yang lebih komprehensif untuk berbagai museum. Sementara penggalian-penggalian lainnya dipajang di Seminari Todabelu-Mataloko.

Setelah Verhoeven kembali ke Belanda pada tahun 1967, hasil – hasil temuan dan penggaliannya itu cuma dikenal lewat tulisan- tulisannya  di  Jurnal ANTHROPOS dalam bahasa Jerman dan lewat laporan-laporan penelitiannya di Dinas Purbakala Jakarta.

Pada tahun 1975, datanglah seorang misionaris asal Nederland yang masih muda dan energetik, Drs. Guus Cremmers SVD, yang mendapat tugas sebagai Dosen Kesenian dan Filsafat Sastra di STFK Ledalero.  Atas inisiatifnya dan dengan persetujuan Pimpinan Regio SVD Ende saat itu, hasil-hasil  penemuan Verhoeven itu dipindahkan ke Seminari Tinggi Ledalero, kabupaten Sikka.

Guus Cremmers, SVD merawat hasil-hasil penemuan dan penggalian itu sampai dengan kedatangan Pater Drs. Piet Petu, SVD pada tahun 1982, yang sengaja dipindahkan dari Ende untuk menjadi dosen Sejarah Kebudayaan di STFK Ledalero. Penataan koleksi-koleksinya secara ilmiah, profesional dan sistematis baru dilakukan di bawah arahan dan kerja kekuratoran Piet Petu, SVD sejak tahun 1983, di Ledalero, Maumere-Flores.

 

Kerja Kuratorial Piet Petu, SVD

Piet Petu, SVD sendiri adalah seorang pastor pribumi pertama dari paroki Nita, yang melingkupi wilayah Ledalero dan Ritapiret, tempat dua seminari tinggi terbesar di Asia Tenggara saat ini berdiri. Di hari tahbisannya tahun 1951, ia juga turut membaptis kedua orang tuanya menjadi katolik. Momen ini adalah salah satu kisah yang secara kuat merepresentasikan pola misi katolik berlangsung di wilayah-wilayah di Flores. Para misionaris akan membaptis putra-putri pilihan yang berasal dari kalangan tuan tanah dan kepala suku. Setelah itu, anak-anak tersebut dibaptis. Dengan harapan, kelak mereka sendiri yang akan mengajarkan iman katolik kepada orang tua mereka dan generasi berikutnya. Menurut John Prior, SVD, misi hanya butuh paling banyak tiga generasi untuk menyebarkan ajaran katolik di seluruh Flores.

Kembali mengenai Piet Petu, dalam banyak cerita dan catatan tentangnya, ia dikenal amat memegang teguh identitas budaya tempat ia lahir dan dibesarkan. Alex Beding, SVD (1924-2022) dalam sebuah wawancara menyebut Piet Petu sebagai seorang seminaris pada masanya yang berani menunjukkan resistensi terhadap kewajiban berbahasa Belanda, Jerman, dan Melayu dalam aktivitas sehari-hari yang diterapkan oleh pastor-pastor barat.

Kecintaannya pada antropologi dan etnografi mulai tumbuh ketika ia turut dalam ekspedisi pertama penggalian yang diinisiasi Dr. Th. Verhoeven tahun 1950. Dalam beberapa keterangan, ia bahkan terlibat dalam rangkaian penjelajahan kecil di sekitar Mataloko ketika masih seminaris (1934-1942), jauh sebelum proyek penggalian resmi Verhoeven berlangsung. Pasca ekspedisi pertama bersama Verhoeven, Piet Petu melanjutkan studi sejarah, di Jakarta tahun 1952-1954 hingga mendapat gelar B1.

Pada rentang 1961-1962 ketika melanjutkan studi spiritualitas di Nemi, Roma, Piet Petu, SVD ‘mencuri’ waktu untuk berkeliling ke beberapa museum di Eropa untuk belajar secara khusus praktik pengelolaan museum. Dalam rentang tahun itu pula ia mulai menyusun rancangan buku Nusa Nipa atas permintaan Kongregasi, Studi Bahasa Jerman di Munchen, Jerman (1962–1963). Ketika hendak pulang kembali ke Indonesia, ia diminta oleh pemimpin tertinggi SVD untuk membuka museum di tanah Flores. Meski demikian, amanat itu tidak segera ia laksanakan.

Perjalanan panjang kekuratoran Piet Petu, SVD sebenarnya diawali kerja panjang di bidang etnografi. Ia melakukan riset yang detail dan amat mendalam tentang budaya-budaya di Flores hingga menghasilkan ragam karya tulis dan pelan-pelan mengakumulasi koleksi-koleksi museum Bikon Blewut yang kelak ia bangun. Riset-riset pentingnya yang tercatat antara lain mengenai tata berladang tradisional suku Lio, kosmologi suku Krowe, perihal Nusa Nipa, riset komprehensif mengenai tenun ikat Flores, perkawinan inkulturatif masyarakat Sikka dan aneka risalah lain, termasuk menerjemahkan Injil Matius, Markus, Lukas ke dalam bahawa Krowe.

Ketika tahun 1983 mendirikan secara resmi Museum Bikon Blewut, ia membayangkan museum ini hadir sebagai penopang jejak tradisi yang sudah mulai miring (bikon) dan lapuk (blewut). Begini ia bertutur,

“museum ini harus mengambil inisiatif menemukan dan mengoleksi kekayaan budaya Flores yang tersembunyi agar supaya dapat dilestarikan dan menjadi sumber pembelajaran bagi generasi muda saat ini.”

Dengan pendekatan etnografi yang kuat, ia menerjemahkan konteks dan makna dari artefak-artefak yang ditemukan ke dalam tata ruang pamer dan membangun alur dramaturgi berdasarkan tema yang terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu. Benda-benda tertentu ia urutkan dalam relasinya dengan benda-benda lain untuk menunjukan makna relasional dan konteks pemaknaan benda-benda tersebut dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip umum dalam suatu budaya. Misalnya, ketika hendak menghadirkan makna sakral dan inkulturatif perkawinan adat, ia akan memosisikan gading gajah Flores dengan moko dari kebudayaan dongson. Sebaliknya, ketika hendak merepresentasikan posisi pemerintahan tradisional yang bersifat kolektif kolegial, gading-gading yang sama akan ditempatkan bersisi-sisian dengan watu mahe atau altar pemujaan suku bangsa Krowe.

Kerja kuratorial Piet Petu, SVD secara tegas ingin membangun museum Bikon Blewut sebagai contact zone. Ia ingin meretas pola-pola representasi yang kerap ditemui di museum-museum luar negeri yang dalam banyak kasus jatuh pada saintisme di satu kutub dan eksotisme di kutub yang lain.

Sementara bagi Piet Petu, SVD museum haruslah sinkronis sekaligus diakronis, universal sekaligus spesifik. Museum wajib merepresentasikan konteks-konteks khas dari artefak-artefak yang tidak datang dari vakum budaya tertentu, sekaligus membangun wacana global dan pemaknaan yang tertuju pada nilai-nilai universal. Museum harus merawat nilai-nilai tradisional, lokal, dan kontekstual dari suatu entitas budaya sekaligus terus-menerus menjadikan unsur-unsur budaya tersebut relevan bagi masyarakat dan terutama lingkungan dekatnya.

Setelah Piet Petu, SVD wafat pada 24 November 2001, visi Bikon Blewut seakan kian pudar dan buram. Keterlibatan publik dalam hal apresiasi dan resepsi terhadap pengetahuan yang diproduksi olehnya amat minim. Hampir tidak ada program publik yang diselenggarakan secara sengaja oleh museum dan melibatkan masyarakat, termasuk di dalamnya hal-hal elementer seperti tur sekolah (study tour), pameran koleksi, atau diskusi publik yang dulu secara berkala dibuat oleh Piet Petu, SVD.

Pengunjung organik yang secara serius berniat datang dan mempelajari koleksi museum Bikon Blewut pun dapat dihitung dengan jari. Belum lagi, pengelolaan museum yang secara display, dramaturgi, kurasi dan perawatan koleksi boleh dibilang jauh dari kata profesional kerap menjadi perhatian banyak pengunjung. Melihat catatan-catatan itu, tanpa perlu menimbang artefak di dalamnya, museum Bikon Blewut adalah artefak dalam dirinya sendiri, yang kaku, mati, serta tak lagi kontekstual dan relevan.

 

Re-Imagine, Sebuah Pendekatan

Membayangkan kembali Bikon Blewut sekurang-kurangnya membawa tiga tatapan, 1) mengusahakan diseminasi pengetahuan soal Bikon Blewut dan seluruh konteks (gereja, budaya, tradisi) yang mungkin hadir di museum tersebut, termasuk seluruh dialektikanya dengan isu-isu yang relevan di masa kini, 2) re-branding Bikon Blewut sebagai situs wisata budaya, termasuk di dalamnya penataan manajemen pameran, strategi publikasi, dan dokumentasi, 3) dalam kerangka estetika yang kontekstual dengan seni rupa, ide ini jadi semacam ‘dekonstruksi’ konsep galeri yang mapan tetapi sekaligus semu dan stagnan, salah satunya dengan cara menggalang intervensi dari seniman rupa di sekitar Maumere untuk merespons ruangan, narasi sejarah, dan koleksi-koleksi dalam museum ini.

Bikon Blewut mengoleksi artefak-artefak yang merepresentasikan kehidupan dan kebudayaan Flores dalam dialektika sejarah. Pengetahuan yang tercermin dan beririsan dengan koleksi-koleksi museum Bikon Blewut perlu terus menerus diberikan konteks agar berdaya sebagai sumber informasi yang hidup.

Kedua, Bikon Blewut sendiri adalah sebuah artefak. Sejarah kehadirannya beririsan langsung dengan sejarah misi dan modernisasi yang dimotori oleh Gereja, bias-biasnya, tegangan-tegangan di sekitar kolonialisme dan evangelisasi, pemberadaban dan alienasi budaya, pemberdayaan dan kapitalisasi pengetahuan yang berlangsung di sekitar itu.

Bikon Blewut yang dibayangkan adalah sesuatu yang melampaui bentuk fisik bangunan museum yang ada saat ini, artefak-artefak dari masa lampau, atau dokumen-dokumen arsip yang berserakan. Bikon Blewut yang dibayangkan adalah sebuah semangat dekolonisasi dalam bentuk studi arkeologi dan genealogi, yakni menggali kembali narasi-narasi sejarah lokal dalam perspektif lintas disiplin, lintas budaya, dan lintas agama yang beriringan dengan upaya mengkonstruksi pembacaan yang kontekstual dan relevan dengan efek-efek misi dan kolonialisme pada dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam konteks lokal dan global yang masih berlangsung hingga saat ini.

Tulisan ini pernah diterbitkan di Newsletter Yayasan Biennale Jogja, The Equator, Vol. 9/No.3 Juli-September 2021. Diterbitkan ulang dengan beberapa penyesuaian.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Putra Nggalu dalam tulisan berjudul Membayangkan Kembali Bikon Blewut, membawa kita melihat kembali ke belakang, ke konteks historis yang turut membentuk wajah […]

trackback

[…] pengetahuan yang berlangsung di dalamnya. Di samping itu, R-IBB juga ingin membuka cakrawala pembacaan dan pemaknaan atas sejarah kolonialisme dan modernisme di […]

trackback

[…] Ende adalah ibukota afdeling Flores. Ende menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Flores sekaligus ujung tombak misi Katolik yang digawangi oleh Serikat Sabda Allah (SVD). Ada beberapa konsekuensi dari posisi strategis […]

Kalender Postingan

Selasa, April 16th