Ada serangkaian bebunyian berdurasi sekitar 8 menit yang memenuhi sebuah ruangan. Bebunyian itu diulang terus tanpa jeda, mengiringi langkah kaki para pengunjung. Ruangan itu merupakan bagian dari Museum Bikon Blewut, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Nada bebunyiannya mirip tipikal musik yang datang dari kotak suara dengan penari balet yang banyak dijual di toko-toko. Alurnya patah-patah dan menimbulkan kesan kehati-hatian ketika mendengarnya.
“Bunyi Tanah: Flores Earthquake Data Sonification” (selanjutnya disebut dengan “Bunyi Tanah”), begitulah bebunyian itu diberi tajuk. “Bunyi Tanah” diputar selama museum beroperasi selama gelaran pameran seni dan arsip Re-Imagine Bikon Blewut (R-IBB) yang dibuka untuk umum tanggal 18 September hingga 31 Oktober 2021. Sepanjang sejarah berdirinya, mungkin inilah kali pertama Museum Bikon Blewut memutar bebunyian di ruang pamernya.
“Bunyi Tanah” sebagai sebuah karya digagas oleh Rahmadiyah Tria Gayathri (Ama), seorang seniman lintas media. Ama bekerja sebagai praktisi literasi bencana yang berbasis di Kota Palu, sekaligus salah satu pendiri Forum Sudut Pandang. Dalam proyek “Bunyi Tanah”, ia berkolaborasi dengan Hilman Arioaji (Rio) yang bekerja sebagai data scientist sekaligus salah satu pendiri kolektif audio visual bernama Berbahaya Network.
Ama pertama kali berkenalan dengan Museum Bikon Blewut di Kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero pada bulan Juni 2021. Dalam waktu sekejap saja, Ama mengagumi beragam harta karun pengetahuan yang terdapat di Museum Bikon Blewut.
“Saya menimbang-nimbang kontribusi yang paling masuk akal yang bisa saya bagikan sebagai representasi karya sekaligus apresiasi atas tanah Flores yang menyimpan ribuan pengetahuan. Saya cukup tahu bagaimana kawan-kawan KAHE berproses merancang pameran ini dengan militansi dan penghargaan tertinggi atas leluhur mereka,” ujar Ama.
Pameran R-IBB, ruang dan waktu unjuk “Bunyi Tanah” untuk pertama kalinya, adalah sebuah gelaran pameran seni rupa dan arsip yang diselenggarakan oleh Komunitas KAHE, bekerja sama dengan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Museum Bikon Blewut, serta SEMA STFK Ledalero. Ide pokoknya adalah membawa visi refleksi dan diseminasi pengetahuan tentang Museum Bikon Blewut dan segala produksi pengetahuan yang berlangsung di dalamnya. Di samping itu, R-IBB juga ingin membuka cakrawala pembacaan dan pemaknaan atas sejarah kolonialisme dan modernisme di Flores.
Kehadiran “Bunyi Tanah”, diyakini oleh kedua senimannya, sebagai upaya untuk mendekati Flores dari salah satu sisinya, yaitu bencana gempa. Menurut Ama, kebudayaan orang-orang Flores yang sangat lekat dengan praktik seni bunyi menjadi permulaan yang menarik untuk membuka tawaran pembacaan data pergerakan tanah di Pulau Flores.
Selama ini, bunyi dan musik bagi manusia digunakan sebagai alat komunikasi kebudayaan dengan beragam fungsi perayaan kehidupan—baik suka maupun duka. Posisi musik dan bunyi yang lahir dan dirawat dalam kebudayaan orang-orang Flores menjadi semakin krusial karena kontribusi Gereja Katolik dan beberapa lembaga pendidikan seminari.
Hal itulah yang membuat Ama dan Rio memilih bebunyian sebagai sebuah pendekatan untuk membangkitkan ingatan mengenai bencana gempa, sekaligus merawat kewaspadaan mengenainya. Maka, “Bunyi Tanah” dimaksudkan sebagai sebuah medium komunikasi yang diharapkan dapat merambat ke dalam ingatan yang mulai kabur terhadap catatan gempa dan selama ini sering diabaikan.
Pada dasarnya, “Bunyi Tanah” berasal dari sonifikasi data gempa kepulauan Flores dalam rentang tahun 1961-2020. Ia adalah sebuah proyek interpretasi yang berupaya untuk menerjemahkan data seismik pergerakan tanah Flores yang tercatat dalam algoritma seni bunyi.
Data tersebut diidentifikasi dan diunduh dari arsip Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) yang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak memanfaatkan teknologi Javascript. Audio yang diciptakan diolah dari parameter nilai tahun, bulan, magnitudo, dan kedalaman gempa bumi yang direpresentasikan dalam instrumen glockenspiel dan marimba.
Dalam menggarap “Bunyi Tanah”, kedua seniman pertama-tama menentukan instrumen yang akan dipakai dan tempo untuk penanda. Glockenspiel, misalnya, digunakan untuk parameter magnitudo. Ada 3 tempo berbeda yang digunakan. Magnitudo 1 sampai 4 menggunakan tempo 1x, magnitudo 4,1 sampai 6 menggunakan tempo 2x, dan magnitudo 6,1 ke atas menggunakan tempo 3x.
Selama proses kreatif berlangsung, Ama dan Rio tidak mengalami kesulitan yang berarti. Kedekatan mereka dengan wacana kegempaan dan data sains membuat mereka dapat dengan mudah menemukan arsip-arsip tentang Flores.
Lagipula, Ama dan Rio menggunakan framework dan software opensource yang sudah siap pakai. Hanya saja, berhubung project software yang digunakan sudah tidak dikelola dengan baik oleh kreatornya, Rio mengakui ada sedikit kesulitan dalam proses instalasi software. Banyak dependencies atau plugins yang harus diinstal secara manual.
“Bunyi Tanah” kurang lebih mengingatkan saya pada beberapa proyek seni yang menggunakan suara alam sebagai karya. Di antaranya proyek seni milik Rani Jambak, perempuan kelahiran 1992 di kota Medan, Sumatra Utara yang merekam bunyi-bunyian khas (air terjun, musik tradisional, mesin jahit, atraksi silat, hingga klakson angkutan kota) di tempat leluhurnya di Sumatra Barat.
Dalam sebuah liputan BBC, Rani menyebutkan bahwa mengumpulkan bunyi-bunyian khas di suatu tempat ditujukan agar dapat membantu memahami masa lalu sekaligus mendamaikannya dengan kebutuhan masa kini.
Karya lainnya adalah “Seimbang/Balance”, hasil kolaborasi Hilang Child x Prabumi x Ninda Felina yang mempersembahkan musik melalui rekaman lapangan di Wales Barat, Kalimantan Barat, dan Jakarta. Bebunyian yang terangkum dalam “Seimbang/Balance” hendak menelaah relasi antara manusia dan budaya dengan alam dan jejak yang ditinggalkan manusia.
Secara bentuk, “Bunyi Tanah” mungkin tidak mirip sama sekali dengan dua proyek seni yang saya sebutkan. Meski sama-sama merupakan suara dari alam, tetapi alih-alih merekam bunyi yang sudah terdengar, “Bunyi Tanah” menyuarakan bunyi alam yang tersembunyi.
Meski begitu, ada spirit penting yang menyatukan karya-karya semacam itu. Spirit pertama adalah komunikasi dengan alam yang selama ini menopang hidup manusia. Komunikasi, baik dengan kesadaran akan bencana, sejarah nenek moyang, maupun jejak manusia di muka bumi, merupakan cara penting untuk membangun kesadaran bahwa manusia dan alam mestinya selaras dan saling memahami.
Ama dan Rio malah secara intensional telah menunjukkan bahwa data kegempaan yang mereka gunakan dalam “Bunyi Tanah” serta seluruh data kegempaan yang disebarkan oleh lembaga dan institusi berwenang di Indonesia selama ini telah menciptakan jarak dalam upaya komunikasi sains kepada publik. Kegagalan itu memicu lemahnya ingatan terhadap memori gempa dan ancaman bencana yang berulang.
Perlu dicatat bahwa Flores, sebagai lokus spesifik proyek ini, menjadi salah satu kawasan yang cukup progresif dalam rentetan kejadian gempa dari skala sedang hingga yang paling besar tercatat pada Desember 1992.
Ama dan Rio berkarya dengan penuh kesadaran bahwa selama ini, data sains tentang catatan seismik pergerakan bumi seringkali dianggap hanya jadi milik segelintir kelompok, khususnya para peneliti.
“Padahal, data itu tumbuh dan hidup. Pergerakan tanah yang terus terjadi akibat generator gempa yang berada di Flores membuat data itu dianggap tidak bernyawa. Kami mencoba melihat kemungkinan baru atas pembacaan data kegempaan menjadi lebih ramah untuk diajak berkomunikasi.” Ujar Ama.
Bagi saya yang tidak hadir di R-IBB dan hanya mendengar “Bunyi Tanah” melalui telepon genggam, intensi itu sangat membekas. Data tentang gempa tidak pernah berada dalam ranah keseharian saya, tetapi melalui “Bunyi Tanah”, ia hadir.
Bagi para pengunjung yang hadir di R-IBB, “Bunyi Tanah” satu paket dengan ruang pamer yang layak. Dari jauh saya dapat melihat bahwa kurator menakar porsi masing-masing karya dengan proporsional. Di dalam ruang pamer, “Bunyi Tanah” tidak digunakan sebagai pengiring seperti di kafe-kafe, melainkan mendapat sebidang lahan dan sorotan yang sama besar dengan karya instalasi di sekitarnya.
Spirit kedua sifatnya konservatorial. Karya-karya sejenis “Bunyi Tanah” hampir-hampir merupakan upaya konservasi yang berusaha melindungi alam dan sejarah yang terancam punah. Caranya dengan mengambil suara dari habitatnya, kemudian memindahkannya ke tempat yang lebih abadi dan terlindung, yaitu karya seni.
Tak mudah melakukan upaya konservasi karena untuk membangunnya, pertama-tama dibutuhkan gejala-gejala asing atau problem. Dalam konteks “Bunyi Tanah”, problem itu adalah ingatan kolektif tentang gempa yang memudar dan hampir punah, serta kesadaran akan mitigasi bencana yang rendah. “Bunyi Tanah” karya Ama dan Rio untuk selamanya akan menjadi semacam sangkar besar atau wilayah konservasi yang mengamankan problem-problem itu di suatu wilayah aman.
Hal yang sudah dilakukan Ama dan Rio tidak mudah, tentu. Sebab, untuk menyadari adanya gejala dan problem dibutuhkan kritisisme dan dukungan sosial yang banyak. Namun, semesta termasuk bumi terus bergerak. Maka, dibutuhkan kontinuitas untuk mendekatkan pergerakan tersebut dengan alam sadar manusia.
Satu karya sudah selesai. Ruang pamernya juga telah ditutup. Ama dan Rio mulai melanjutkan upaya mereka dengan mengerjakan microsite “Bunyi Tanah” yang akan semakin mematenkan karya itu sebagai sebuah jejak signifikan bagi seni penciptaan sekaligus upaya mitigasi bencana di Indonesia.