Warga dan Arsip: Memori/Historiografi

 

Ketika Lau Ne hendak mengangkat wacana tentang arsip, hal yang pertama kali terlintas adalah kerja-kerja pengarsipan di sekitar yang erat kaitannya dengan memori dan pencatatan sejarah. Sepanjang pengalaman mengamati, hal itu urgen sekaligus sensitif. Sebab, pencatatan sejarah seringkali bias penguasa sehingga selalu ada kelompok yang tereksklusi.

Di sekitar kita, sebagian besar pembicaraan mengenai arsip masih didominasi oleh urusan dokumen-dokumen membosankan serta catatan yang berdebu. Seperti ada jurang yang lebar antara warga dengan arsip. Seolah-olah arsip tidak bisa menjadi milik siapa saja yang ingin memilikinya. Keterpisahan itu bisa jadi disebabkan oleh supremasi pengetahuan dan kolonisasi bangsa-bangsa Eropa. Dalam kurun waktu yang lama, sumber-sumber lokal diarsipkan sekaligus dipisahkan dari “pemiliknya”.

Padahal, bahkan di Eropa dan Amerika Utara, arsip tumbuh dari kebutuhan warga, tepatnya pada awal abad keduapuluh, ketika ada transformasi sikap dan persepsi di tengah masyarakat. Ketika itu, perhatian terarah pada fungsi individu dalam masyarakat serta perluasan ekonomi (terutama akibat pengaruh ide-ide liberal dan aspirasi para sosialis). Pemahaman masyarakat dan ekonomi itu menuntut koleksi arsip yang luas dan banyak, terutama yang bersifat perorangan.

Sebetulnya, di sebagian besar Eropa sejak awal abad ke-16, Gereja dan pemerintah telah mengumpulkan informasi tentang individu untuk berbagai macam tujuan—baptisan, katekismus, pengukuhan, pernikahan, penguburan, dinas militer, sensus, administrasi poorhouses atau penjara, dan sebagainya. Pada saat yang sama, pemerintah menjadi lebih formal dan ekstensif. Maka, ada kebutuhan untuk menaikkan pajak yang teratur dan lebih besar baik secara lokal maupun nasional pada individu dan perdagangan. Pada berbagai waktu perpajakan menuntut pencatatan akurat atas harta benda, pendapatan, harta warisan, impor, ekspor, dan produksi serta penjualan barang-barang tertentu (misalnya minuman beralkohol dan garam).

Pekerjaan seorang arsiparis sejak mencari tahu, mengumpulkan, mendokumentasikan, mengaktivasi, hingga menentukan sikap seharusnya bukan hal yang jauh dari warga. Hal-hal tersebut idealnya berlangsung secara organik, sebagai bagian dari dinamika perolehan pengetahuan individu atas ia dan lingkungannya.

Dilihat dari sejarahnya itu, arsip dekat dengan warga. Namun kini, di sekitar kita, keduanya tercerai. Salah satunya (yang bisa didiskusikan lebih lanjut) mungkin karena sistem lembaga pendidikan yang semakin ketat dan sulit dilakoni oleh setiap orang secara adil, sehingga arsiparis dan peneliti sebagai golongan terpelajar menjadi sebuah kerja mahal dengan metode-metode yang ruwet.

Kita juga dapat melakukan pemaknaan ulang atau perluasan makna arsip. Sebetulnya, betapa lentur bentuk arsip—jika dikaitkan dengan memori individu/kolektif suatu bangsa. Arsip juga bisa berupa lanskap: lokasi, jalan, monumen. Sayangnya, mereka jarang dilirik atau dianggap tidak cukup memanifestasikan pengetahuan akan masa lalu jika dibandingkan dengan teks.

Misalnya saja, catatan dan kisah yang terdapat pada “Monument of Seven Generals” di Warsawa, Polandia. Monumen itu dibangun dalam rangka dedikasi untuk tujuh orang perwira Polandia, yang selama pemberontakan tahun 1830 tidak mengubah sumpah yang mereka berikan kepada Rusia dan tsarnya. Para pemberontak membunuh mereka karenanya. Selama tujuh puluh tahun monumen itu berdiri tegak, kebencian merebak di antara para nasionalis Polandia. “Osiem lwów – czterech ptaków pilnuje siedmiu ajdaków” (“Delapan singa, empat burung menjaga tujuh bajingan”) – adalah ungkapan yang mereka tulis tentang monumen tersebut. Setiap kali melintas, mereka akan meludahi monumen. Pada akhirnya, monumen itu dihancurkan dan sedikit saja arsip tekstual (apalagi di internet) yang tersisa tentang monumen ini, meski beberapa catatan independen yang berpihak pada Tsar mencatatnya sebab ketujuh orang yang dikenang itu adalah “tujuh orang setia yang tidak punya tempat untuk meletakkan bunga”.

Tampaknya memang praktik kolonialisme pada kelompok dan bangsa tertentu membuat upaya pengarsipan menjadi kompleks. Bak mengajari bebek berenang, kolonialisme kerap memberi asupan pengetahuan budaya dan identitas pada para pemiliknya sendiri. Sebab itu, arsip sebetulnya dapat dijadikan salah satu strategi dekolonisasi.

Dalam konteks Nusantara dengan tradisi lisan yang kuat, kesadaran kita untuk mengarsipkan bisa dibilang lemah. Di banyak daerah, pencatatan sejarah diturunkan dari satu generasi ke generasi lain tanpa pertimbangan soal bagaimana menata dan mengabadikannya sebagai arsip atau mungkin membuat penanda lanskap. Makanya ketika Pater Piet Petu SVD mendirikan Museum Bikon Blewut di Maumere pada 1983, ia menjadi salah satu pionir pengarsipan budaya lokal. Sebagai seorang etnograf, ia menerjemahkan konteks dan makna artefak-artefak yang ditemukan ke dalam ruang pamer, bahkan membangun alur dramaturgi atas koleksi-koleksi museum itu berdasarkan tema tertentu.

Juga Arnold Ap yang pada era 70-an menguratori Museum Loka Budaya Uncen. Ia pergi ke pedalaman-pedalaman Papua untuk mengumpulkan berbagai seni patung dan tari. Ap juga mengarsipkan lagu-lagu dari berbagai suku di Papua lewat orang-orang tua di kampung yang ditemuinya. Ia mencatat, mengaransemen ulang, menyanyikan, dan menginterpretasikan lewat tarian yang bertumpu pada kebudayaan khas Papua.

Sebagai bangsa multikultural dengan komunalisme yang kuat, seperti Pater Piet Petu dan Arnold AP, kita sebetulnya punya banyak celah untuk menggubah suatu proses pendokumentasian dan aktivasi pengetahuan lokal baru. Penggubahan yang khas ini di antaranya juga bisa mengurai ketegangan atau dilema yang kelak muncul dari praktik pengarsipan lokal secara baru/modern.

Monumen di Polandia, museum di Maumere, dan lanskap sejenis lain adalah arsip yang merekam satu atau banyak peristiwa, lengkap dengan sentimen historisnya. Dalam kaitannya dengan memori kolektif, spirit bisa ditemukan pada lanskap. Manusia dapat membina keakraban dengan tanah/asal, berkemampuan membaca dan mengurai tanda-tanda. Manusia juga memanfaatkan stok pengetahuan tentang tempat-tempat di mana mereka berada untuk memberi makna, jaminan, dan signifikansi bagi kehidupan mereka pribadi. Maka lokalitas dan lanskap itu bertindak sebagai arsip lokal yang menimbulkan perasaan memiliki, keberakaran, dan keakraban, yang tidak hanya lahir dari pengetahuan, tetapi kepedulian yang memberikan keamanan ontologis. Makna arsip menjadi sangat luas, keberadaannya pun bisa jadi retoris.

Sebagai dampak dari meluasnya pemaknaan terhadap arsip itu, siapapun dapat mengembangkan legitimasinya sebagai seorang arsiparis atas hal-hal yang ada di sekitarnya. Dalam proses menangani arsip, tiap-tiap warga memiliki cara sendiri, sesuai dengan apa yang tumbuh dekat dengan mereka: tradisi, agama, unggah-ungguh, mitos, dan sebagainya.

Arsip dan arsiparis, mestinya, akan selalu dapat bergerak sesuai dengan tujuan untuk apa ia diciptakan. Arsiparis akan selalu mencari sumber yang melengkapi dan mengkontekstualisasikan arsip-arsip itu. Jadi, pihak yang memegang arsip tidak terbatas pada lembaga repositori besar yang justru kadang-kadang kelewat birokratis dan malah semakin jauh dari tugas pengarsipan.

Dengan kata lain, sepertinya boleh saja kita melepas penyekat antara arsip untuk kepentingan nasional dengan arsip untuk kepentingan lokal—seperti yang dibahas dalam International Congress on Archives di Paris pada 1950. Mungkin, sedikit banyak, seperti tujuan dan ambisi Annales group yang didirikan di École Pratique des Hautes Études, Paris, yang bertekad menjauhkan diri dari sejarah naratif peristiwa-peristiwa besar menuju analisis ketat, seringkali statistik, dan mendekati sejarah dengan memisahkan perspektif lokal dan nasional. Menghadapi arsip, maka, dilakukan secara interdisipliner.

Beberapa fokus Lau Ne dalam edisi ini, meski dalam ruang yang sempit, mencoba memberi gambaran mengenai hubungan individu/kelompok dalam menangani arsip. Mungkin akan terlihat ketat (dalam fokusnya masing-masing), tetapi gerakan-gerakan warga ini sekaligus terlihat plural.

Dalam rubrik Layar, Pujo Nugroho menulis “Belajar bersama Warga: Refleksi Praktik Pendokumentasian di Dua Kampung di Semarang” mengenai upaya praktik pendokumentasian dua kampung di Semarang. Praktik tersebut tidak hanya berkutat pada pengumpulan, pengarsipan, dan penerbitan dokumen belaka melainkan melibatkan pula penciptaan pengetahuan bersama, serta membangkitkan wacana soal urgensitas subjek.

Poin penciptaan pengetahuan bersama itu sepertinya sejalan dengan hal-hal yang saya, Kartika Solapung, bersama Kelas Liarsip obrolan dalam rubrik Nahkoda, “Merestorasi Film, Merestorasi Sejarah”. Menarik mendengar Efi Sri Handayani, seorang arsiparis film, dan Umi Lestari, seorang peneliti sejarah film, bercerita tentang proses mengerjakan preservasi arsip film karya Ratna Asmara. Pada rubrik yang sama, terdapat “Memori Kolektif yang Nisbi dan Warga yang Liat bersama Akiq AW” artikel yang mendokumentasikan percakapan Chabib Duta Hapsoro dengan Akiq AW. Mereka berbincang mengenai basis penciptaan karya-karya Akiq AW yang mengeksplorasi memori personal, yaitu ingatan-ingatan dalam foto keluarganya. Seorang seniman memiliki urgensi dalam membawa situasi, suasana, atau memacu ingatan-ingatan spesifik supaya menjadi relevan terhadap banyak orang.

Sementara itu, pada rubrik Jangkar, Grace Samboh dan Ratna Mufida dari Hypen—yang menulis “Dua Lukisan Potret Kustiyah oleh Sudarso: Apakah Mereka Berteman?”, sebuah tulisan lentur berupa percakapan tentang penelitian Hypen— yang dipantik rasa penasaran akan sekitar 35 lukisan Kustiyah, dari rentang 1950-an hingga 2000-an. Dalam rubrik Jala, Marianus Nuwa menulis “Menemukan Arsip, Menguak Cerita Masa Lalu Pulau Bunga” yang merefleksikan tentang bagaimana pengetahuan dalam arsip bisa terdistribusi di dalam masyarakat, terutama dalam proses pengerjaan pameran Re-Imagine Bikon Blewut tahun lalu di Maumere.

Semoga Lau Ne edisi ini dapat menjadi arsip bagi kerja-kerja tentang arsip di masa depan. Selamat membaca!

 

Bahan bacaan

A F Eka Putra Nggalu, 2021, Membayangkan Kembali Bikon Blewut dalam The Equator Vol. 9/No.3, Yayasan Biennale Yogyakarta.
Aviezer Tucker (ed.), 2009, A Companion to the Philosophy of History and Historiography, Blackwell Publishing Ltd.
Christopher Tilley (ed.), 1994, A Phenomenology of Landscape Places, Paths and Monuments (Explorations in Anthropology), Berg Publishers.
Fahri Salam, 2021, Arnold Ap dan Mambesak Menyanyikan Hati Nurani Tanah Papua dalam Tirto.id.
Michael Bentley (ed.), 1997, Companion to Historiography (Routledge Companion Encyclopedias), Routledge.Foto

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Qikan
Qikan
2 years ago

Makasih mbak Aura

Kalender Postingan

Kamis, November 21st