Dua Lukisan Potret Kustiyah oleh Sudarso: Apakah Mereka Berteman?

 

G: Grace Samboh
R: Ratna Mufida1

[G]    Sehubungan dengan tema perkuliahan kali ini, On Friendship and the Political Imaginary, judul penelitian kami yang ingin bicarakan hari ini adalah Kustiyah et al.2 Dalam bahasa latin, “et al” itu berarti “dan kawan-kawan”. Ada juga penelusuran saya, Ratna, dan teman-teman di Hyphen— lainnya yang judulnya Danarto dkk.3 Hehe. Pertemanan adalah salah satu hal yang kami tempuh sembari terus-menerus rawat, sekaligus pertanyakan, uji coba, dlsb. Bekerja bersama teman. Berteman sambil bekerja. Ya, gitu-gitu, lah ya…

[R]    Penelitian ini dipantik oleh rasa penasaran kami ketika melihat sekitar 35 lukisan Kustiyah, dari rentang 1950-an hingga 2000-an, yang dipajang di lantai dua Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, Yogyakarta. Di dalam rumah di mana alm. pematung Edhi Sunarso tinggal, sebuah bangunan terpisah dalam area yang sama, dipajang beberapa lukisan potret alm. Kustiyah yang dibuat oleh sejumlah seniman ternama seperti Gregorius Sidharta Soegijo, Sutopo, Sunarto PR, Edhi Sunarso, Sudarso, dan Trubus.

Dalam catatan perjalanan seni rupa di Indonesia, mereka ini dikenal sebagai seniman era revolusi (sekitar kemerdekaan RI, 1945, hingga 1950-an). Nama-nama mereka juga dicatat antara lain sebagai generasi awal mahasiswa serta pengajar Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI); anggota kelompok Pelukis Rakyat; anggota Sanggarbambu; anggota Gabungan Pelukis Indonesia; atau anggota Kelompok Lima Bandung.

Saat kepemimpinan Presiden Sukarno dikudeta dan kubu Jenderal Soeharto pun mengambil-alih kekuasaan, nama-nama besar itu segera dikelompokkan ke dalam dua kubu. Yang terhubung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), serta-merta dianggap pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) atau paling tidak bertendensi kekiri-kirian. Sementara mereka yang terhubung dengan penandatangan Surat Kepercayaan Gelanggang4 atau Manifes Kebudayaan5 yang mengusung paham ‘humanisme universal’, serta-merta dikelompokkan sebagai yang kanan. Maka kita tidak perlu heran kalau penulisan sejarah seni di Indonesia sejauh ini cenderung dikotomis, seolah hanya ada dua kutub yang bertentangan atau berlawanan satu sama lain.

Trubus hilang (bukan hanya dari pencatatan sejarah, tetapi juga dari kehidupannya sebagai pengajar di ASRI, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai tetangga, dst).6 Gregorius Sidharta Soegijo dikucilkan dari pergaulannya di kampus ASRI karena ia ikut mendukung Manifesto Kebudayaan.7 Sisanya, untuk bisa melanjutkan kehidupan sebagai warga negara, pengajar di kampus-kampus seni, atau pegawai apapun, mesti mengurus Surat Bebas PKI.

Di antara nama-nama yang sering disebut-sebut dalam beragam catatan sejarah itu, di manakah Kustiyah? Adakah namanya dicatatkan? Mengapa para seniman bernama besar dari beragam kubu itu melukis potret Kustiyah? Kalau Kustiyah hanya menjadi model semata, mengapa lukisan-lukisan potretnya berakhir di rumahnya sendiri?

[G]    Kami hampir selalu harus menelusuri lagi fakta-fakta, memeriksa kembali informasi, dan mengonfirmasi kecurigaan melalui koran-koran lawas, brosur pameran tua, poster usang, dan sejenisnya, sebab kebanyakan hal yang menarik perhatian dan rasa penasaran kami justru kerap luput dalam catatan sejarah seni arus utama. Salah satu cara untuk terus punya pegangan, dari satu pertanyaan ke pertanyaan lainnya dan apapun yang bisa kami anggap sebagai jawaban sementara, kami selalu mencatat hal-hal, serta sumber rujukannya, dalam sebuah dokumen yang kami namai katalog data. Proses kerja macam ini membuat kami nyaris serta-merta selalu membangun arsip untuk setiap arah penelitian kami. Satu alur penelitian hampir pasti terhubung dengan yang lainnya dan begitu seterusnya.

Untuk Kustiyah, seperti yang Ratna baru saja bilang, hampir selama tiga tahun kami lalu-lalang di sekitar lukisannya yang dipajang di sebuah tempat yang bahkan dibuat untuknya: Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. Griya artinya rumah/tempat, Kustiyah adalah nama lahirnya, dan Edhi Sunarso adalah nama suaminya yang membuat tempat ini untuk menjadi rumah untuk karya-karyanya. Memang pada saat itu kami mondar-mandir di tempat ini karena rasa penasaran yang lain: Kenyataan bahwa sejarah negeri ini dibangun dengan landasan citra; dan sebagian besar citraan-citraan ini diwujudkan oleh Edhi Sunarso. Dalam rangka itulah kami membuat katalog data, memindai, melakukan digitalisasi, menggali dokumen dan foto-foto dalam kardus serta gudang, dan, pada akhirnya, mengarsipkan kerja pembuatan diorama Edhi Sunarso.8 Eh, tapi ini topik lain lagi, ya?! Hehe.

[R]    Oh, ada catatan menarik dari teman baik kami, Ditya Sarasiastuti. Ditya adalah salah satu cucu Kustiyah dan Edhi Sunarso. Dia bilang, “Lukisan potret eyang putri itu dibuat oleh teman-teman kedua eyang, mereka yang berteman dengan eyang putri dan juga eyang kakung.” Ya, demikianlah awalnya kami mengenal Kustiyah. Ia adalah nenek dari teman kami, Ditya, dan istri dari pematung Edhi Sunarso.

Dari penelitian seputar pembuatan diorama oleh Edhi Sunarso dan timnya juga kami jadi tahu keberadaan lukisan-lukisan Kustiyah yang kami sebutkan di awal tadi. Sejak pertama kali melihat lukisan-lukisan tersebut, kami terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya Kustiyah? Bagaimana caranya agar kami bisa mengenal Kustiyah lebih jauh jika namanya nyaris tidak pernah muncul dalam penulisan sejarah seni rupa di Indonesia?

Pilihan yang kami anggap paling masuk akal untuk mengawali penelitian ini adalah menelusuri praktik artistik Kustiyah dalam ruang hidupnya, termasuk dalam hubungannya dengan teman-teman seangkatannya. Mereka yang disebut-sebut sebagai seniman dari era revolusi itu.

Sudarso, Kustiyah (1979)9; Sudarso, Keibuan (tahun belum diketahui)10; Sutopo, Kustiyah (1961)11; Edhi Sunarso, Istriku (c. 1972)12; Trubus, Kustijah (1955)13; Gregorius Sidharta Soegijo, Kustijah (1955)14; Pelukis belum diketahui, Kustiyah (c. 1955-1962)15

 

[G]    Ya, gimana lagi dong, lihat saja berapa banyak potret Kustiyah yang dilukiskan teman-temannya? Belum lagi menimbang bahwa para pelukis potret Kustiyah ini datang dari kelompok atau kecenderungan praktik yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin kita membicarakan praktik artistik Kustiyah tanpa lingkungan hidupnya? Teman-temannya, tetangganya, praktik artistik lain di sekitarnya, dan seterusnya? Saya pikir demikian juga halnya dengan praktik penelitian dan kerja pengarsipan yang sekarang saya dan Ratna jalankan bersama Hyphen—. Pilihan yang kami ambil ini berakar pada kenyataan praktik teman-teman lain di sekitar juga.

Para perupa yang menjadi pengajar atau pembimbing Kustiyah berasal dari sebuah generasi yang percaya bahwa keindahan karya seni bersumber pada kematangan jiwa pengarangnya. Dan Suwaryono mengaitkan kematangan jiwa itu pada kebenaran pribadi sang seniman. Katanya, “Dalam seni tak ada pelarian. Semua ciptaan seni bermutu tinggi merupakan satu perwujudan proses kejiwaan yang bersendi-dasarkan kebenaran semata-mata. Psikologis, dasar jiwa dari suatu hasil seni ialah kebenaran; ia tak mungkin disandarkan pada dasar-dasar penipuan. Sekali lagi, seni adalah seniman itu sendiri.”

Ketika menyebutkan sejumlah nama perempuan perupa yang mewarisi gaya-gaya yang digandrungi pada “Era Revolusi”, sejarawan seni Helena Spanjaard menyebut Kustiyah selain Siti Ruliyati dan Ni Made Kadjeng. Dalam beberapa baris biografinya, Kustiyah memang merujuk pada sejumlah seniman yang mempengaruhi praktik artistiknya, yaitu Hendra Gunawan dan Affandi dalam hal keberlanjutan semangat serta mentalitas kepelukisan, dan Trubus dalam hal pemahaman dan penghayatan alam semesta.16

[R]     Kustiyah sendiri merupakan salah satu dari sedikit perempuan pelukis yang aktif pada masa itu. Sejak umur praktiknya masih terhitung cukup dini, karyanya telah dikoleksi oleh lembaga publik seperti Museum Nasional (sekarang karyanya disimpan oleh Galeri Nasional Indonesia). Ia ikut serta dalam pameran perempuan pelukis dan pematung pada 1956, di studio Seniman Indonesia Muda, Yogyakarta. Sejauh ini, pameran ini adalah pameran perempuan seniman tertua yang pernah kami temukan.

Sepanjang karirnya, Kustiyah terhitung rajin dan cukup sering ikut pameran kelompok, baik di Jakarta maupun Yogyakarta. Beberapa seniman yang pernah berpameran bersamanya (dalam duet atau trio) antara lain adalah Kartika, Siti Ruliyati, Widarusamsi, Oki Nilakencana, dan beberapa anggota pendiri IKAISYO (Ikatan Istri Senirupawan Yogyakarta). Menurunnya kesehatan tubuh Kustiyah di kemudian hari membuatnya jarang tampil di ruang publik, namun ia terus melukis sampai paruh awal 2000-an.

[G]    Tapi, kali ini kami tidak akan membicarakan karya Kustiyah. Kali ini kami akan mencoba membicarakan ruang hidup Kustiyah, teman-temannya, orang di sekitarnya yang melukiskan dia. Bukan dengan kata-kata, ya. Hehe. Yang memang melukis potret Bu Kus.

[R]    Penelusuran kami sudah semakin banyak cecabang pertanyaannya. Buat sekarang, kami akan coba berpikir seputar hubungan pertemanan melalui satu set lukisan potret garapan Sudarso, teman Kustiyah yang pernah mengajar di ASRI —kampus di mana Kustiyah juga pernah belajar. Di antara deretan lukisan potret Kustiyah di ruang tamu rumahnya itu —tidak ada satupun yang dibuat oleh kawan perempuannya—, lukisan Sudarso dari 1979 ini berukuran paling besar (80 x 140cm).

Seperti lukisan potret perempuan karya Sudarso yang lain, potret Kustiyah digambarkan sebagai perempuan Jawa. Ia mengenakan kebaya dan kain jarik dengan latar pemandangan desa yang damai dan tentram.17 Warna kulit Kustiyah digambarkan kuning langsat, lebih cerah daripada warna kulit aslinya yang sawo matang. Wajah Kustiyah tampil lebih lonjong jika dibandingkan dengan bentuk aslinya yang cenderung kotak. Potret Kustiyah di sini menjelma sosok perempuan Jawa yang kecantikannya diidealkan banyak kaum laki-laki: lemah lembut, tatapan mata yang sayu, duduk termangu seolah-olah sedang menunggu sesuatu yang akan datang dari jauh.

Sudarso memang dikenal sebagai pelukis yang banyak melukis potret perempuan. Beberapa di antara lukisan Sudarso menjadi koleksi Presiden Sukarno —yang berteman dengan banyak seniman dari angkatan itu. Sudarso adalah salah satu di antara seniman-seniman itu. Kedekatan Sudarso dengan Sukarno, salah satunya tidak lepas dari kenyataan bahwa Sukarno juga menggemari lukisan-lukisan perempuan cantik. Ketertarikan utama kami pada lukisan potret Kustiyah oleh Sudarso yang berasal dari 1979 ini adalah kenyataan bahwa lukisan ini ada dua!

Ketika kami mencari karya-karya Kustiyah dalam koleksi lembaga publik di Indonesia (seperti Galeri Nasional Indonesia, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki [PKJ TIM], dan Museum Seni Rupa dan Keramik [MSRK]), kami menemukan lukisan potret Kustiyah oleh Sudarso yang sama di MSRK. Segera saja kami periksa lagi lukisan yang berada di rumah Kustiyah. Apakah benar ini dua lukisan yang sama? Dan, benar. Ternyata, di pojok kiri, tengah agak bawah, lukisan ini tertera tulisan “copy”. Lukisan salinan ini juga ditandatangani oleh Sudarso sendiri.

Kustiyah bersama lukisan potret dirinya, Kustiyah (1979), dalam koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta. Arsip foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —

 

[G]    Sebagai catatan tambahan, selain ‘lukisan kembar’ potret Kustiyah garapan Sudarso yang ini, ada satu lagi lukisan potret Kustiyah garapan Sudarso. Tanggal pembuatan lukisan tidak bisa kami temukan di atas kanvasnya. Dari latar di mana Kustiyah duduk, terkaan kami lukisan ini berasal dari akhir 1960-an atau awal 1970-an. Kalau benar demikian, maka bayi yang tidur di atas dipan di samping Kustiyah adalah anak pertamanya, Rosa.

Pada masa itu, tidak jarang seorang pelukis berulang kali mengunjungi tempat yang sama untuk melukis objek yang sama. Selain pegunungan, salah satu alam yang digemari para pelukis seperti ini tidak lain adalah pantai. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengelola kegiatan kebudayaan, seorang Zaini masih meluangkan waktu untuk melancong ke pantai dan melukis perahu-perahu yang dikaguminya. Tidak hanya mereka yang di Indonesia, Sriyani Hudyonoto yang hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain juga kerap melukis pantai, salah satunya Tossa de Mar di Spanyol.

Kustiyah sendiri kerap pelesir untuk melukis di Parangtritis. Pada paruh akhir 1960-an, ketika anak-anaknya sudah tidak lagi menyusui, Kartika mengingat sebuah perjalanan bersama selama sebulan untuk melukis di Pulau Bali. Hasil lukisan mereka kemudian diperlihatkan pada ayah Kartika, Affandi, yang memang sering memberi saran pada mereka berdua.

[R]     Apa gerangan yang membuat seorang pelukis harus membuat salinan dari lukisannya sendiri? Apakah Sudarso juga membuat salinan untuk para model lukisan potretnya yang lain? Jika tidak, kenapa hanya Kustiyah yang mendapatkan salinan lukisan darinya? Lalu, bagaimana dengan nilai keunikan lukisan ini? Bukankah itu salah satu nilai keagungan lukisan? Apa artinya jika sang pelukisnyalah yang menggandakan lukisannya sendiri?

[G]    Seperti yang dikatakan Nashar, kan, “…kalau ada pelukis yang mengulang-ulang melukis objek yang sama ada kemungkinan ia melihat hakikat hidup di sana dan menggali terus. Menurut pikiranku, letak persoalannya, bukan pada pengulangan objek, tapi adakah penggaliannya. Hal ini juga berlaku pada pelukis yang melukis bermacam-macam objek.”18

Bagi kebanyakan dari para pelukis ini, proses berkarya di alam bebas bukan sekadar untuk menyalinnya ke atas kanvas, tetapi sekaligus proses untuk menyatukan diri dengan alam. Jika sang pelukis sudah tidak lagi merasa asing di alam yang dipijak dan terbentang di hadapannya itu, jika ia sudah berhasil menjadi bagian darinya, maka rupa alam itu pun menubuh dalam dirinya, menyatu pada jiwanya, dan tertoreh dalam ingatannya.

Sang pelukis kemudian akan bisa ‘memanggil’ alam itu kapan saja tanpa harus berada di sana lagi. Hal ini mewujud dalam lukisan-lukisan Kustiyah ketika kesehatannya tak lagi mengizinkannya untuk bepergian; ia tetap melukis pantai-pantai yang dirindukannya. Objek-objek yang sama, alam yang serupa, matahari yang sama teriknya, masyarakat yang kurang lebih sama miskinnya, senja yang mirip temaramnya. Apakah sekiranya para pelukis ini melihat garis horison yang sama?

[R]    Kembali ke pertanyaan tentang salinan lukisan potret Kustiyah tadi. Sejauh yang kami tahu melalui wawancara dengan peneliti kekaryaan, Sudarso tidak pernah membuat copy lukisan untuk modelnya yang lain.19 Kustiyah jadi pengecualian, atau diistimewakan, karena hubungan pertemanan di antara mereka—dan mungkin juga dengan Edhi Sunarso. Umumnya, Sudarso akan membayar model untuk lukisannya dengan tarif tertentu dan sikap profesionalitas. Nampaknya, pengaruh pertemanan mereka berdua tidak hanya berhenti pada soal perbedaan cara membayar model ini saja.

[G]    Oh, iya! Ada sebuah anekdot yang dikenal luas di antara para pelukis seangkatannya: fetish Sudarso terhadap kaki perempuan. Hampir selalu, penggambaran kaki perempuan dalam kekaryaan Sudarso ini amat sangat mendetil dan indah. Ia bahkan kerap dengan santai tidak menggarap detil pada bagian-bagian lain dari lukisannya. Dalam beberapa lukisan, ekspresi wajah sang model —notabene semuanya perempuan— cenderung kosong, seolah tanpa ekspresi bak manekin.

Anekdot ini kelihatannya tidak berlaku untuk Kustiyah. Seluruh sosok Kustiyah dilukiskan dengan perhatian terhadap detil yang berimbang, mulai dari raut muka, kebaya yang dikenakan, kain jarik yang membalut kakinya, tangan, hingga kaki tentunya. Tingkat kedetilan lukisan potret Kustiyah ini menyerupai kedetilan Sudarso dalam melukis potret dirinya sendiri serta potret anggota keluarga atau orang-orang terdekatnya. Untuk lukisan potret Kustiyah ini, Sudarso hanya merelakan bagian latar alam pedesaan untuk ia lepas dari kedetilan sapuan kuasnya.

[R]    Lukisan potret Kustiyah oleh Sudarso ini awalnya dikoleksi oleh Adam Malik (yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden, 1978-1983). Adam Malik kemudian menghibahkan sejumlah karya koleksinya untuk Balai Seni Rupa Jakarta, yang kemudian berubah bentuk kelembagaan menjadi MSRK. Bukan suatu kebetulan, bahwa Kustiyah juga mengenal Adam Malik.

Dari banyak foto yang tersimpan di rumahnya, selain beberapa foto Kustiyah menyambut Adam Malik dalam sejumlah pameran seni rupa yang dikelolanya, kami juga menemukan foto Kustiyah berpose di depan lukisan potret karya Sudarso ini. Foto itu diambil pada Juni 1979, ketika Kustiyah mengikuti pameran para pelukis wanita di Balai Seni Rupa Jakarta. Lembar foto ini dibubuhkan tanggal, 17 September 1979, dan ditandatangani oleh Adam Malik. Pada tanggal itu, Adam Malik datang ke Yogyakarta untuk membuka pameran besar seni rupa yang memamerkan sekitar 300 karya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta), di mana Kustiyah juga ikut berpameran.

Pada titik ini, sebenarnya pikiran saya sudah bercecabang lagi. Cerita-cerita di atas adalah sepenggal dari spektrum jalinan pertemanan Kustiyah dengan kawan-kawannya. Tetap saja nama Kustiyah dan sejumlah perempuan seniman lainnya hampir tidak pernah muncul dalam penulisan sejarah seni di Indonesia. Di sisi lain, dalam kasus lukisan potret Kustiyah karya Sudarso, barangkali pertanyaan tentang orisinalitas karya menjadi inferior di hadapan hubungan pertemanan yang sedemikian baik. Masih perlukah kita memikirkan nilai orisinalitas, jika di samping kita ada seorang teman yang tak ternilai harganya?

[G]   Kali ini cecabang pikiran saya sepertinya lain arahnya dengan Ratna. Hehe. Saya tertarik pada lukisan potret Kustiyah yang “kembar” ini justru karena sepertinya teman-teman atau orang-orang di sekitarnya pada masa itu mengetahui “kekembarannya” ini. Bahkan Wakil Presiden Adam Malik menandatangani foto Kustiyah yang lebih tua daripada dirinya dalam lukisan, berdiri di sebelah lukisan “asli” garapan Sudarso yang ada dalam koleksinya sendiri.

Dalam foto bertandatangan Adam Malik itu, Kustiyah berbusana senada (kebaya dan jarik) dengan dirinya yang ada dalam lukisan. Adam Malik repot-repot mencetak, menandatangani, dan mengirimkan foto itu kepada Kustiyah. Di rumah Kustiyah lah kami menemukan foto ini. Lalu, buat mereka, apa artinya kegandaan lukisan ini? Nilai dan hubungan macam apa yang silang sengkarut di antara manusia, model, teman, waktra (subject matter), lukisan, kolektor, pejabat, kuasa, dlsb?

 

[1] Percakapan ini dipetik dari bahan kuliah Summer Course: On Friendship and the Political Imaginary yang diselenggarakan oleh HDK-Valand – Academy of Art and Design, University of Gothenburg, Swedia, dibawah asuhan Mick Wilson. Lebih lanjut mengenai rangkaian perkuliahan ini bisa diakses di sini.
[2] Hyphen —, 2021. Kustiyah et al. Daring, bisa dibaca di sini.
[3] Hyphen —, 2020. Danarto dkk. Daring, bisa dibaca di sini.
[4] Asrul Sani, Rivai Apin, et al. “Surat Kepercayaan Gelanggang” dalam majalah Siasat, edisi 22 Oktober 1950. Surat ini dikenal sebagai adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan ’45. Salinan surat ini bisa dibaca di sini.
[5] Konsep kebudayaan “humanisme universal” ini lahir sebagai antitesis dari konsep “seni untuk rakyat” yang diusung oleh LEKRA dan PKI. Sejumlah nama penandatangan Manifes Kebudayaan antara lain adalah H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar, dan Boen S. Oemarjati. Isi manifes ini bisa dibaca di sini.
[6] Hersri Setiawan, 2013. Trubus Sudarsono. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik dan Sekolah mBrosot.
[7] Jim Supangkat, Sanento Yuliman, 1982. G. Sidharta: Di tengah seni rupa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[8] Lihat: Hyphen —, 2014. Sketches, stitches, and negotiations: Unravelling Indonesia’s national history through its visual representations. Daring, bisa diakses di sini.
[9] Karya dalam koleksi Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. ©️ Sudarso, foto karya oleh Antonius Fajar Riyanto, foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —

[10] Karya dalam koleksi Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. ©️ Sudarso, foto karya oleh Antonius Fajar Riyanto, foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —
[11] Karya dalam koleksi Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. ©️ Sutopo, foto karya oleh Antonius Fajar Riyanto, foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —
[12] Karya dalam koleksi Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. ©️ Edhi Sunarso, foto karya oleh Antonius Fajar Riyanto, foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —
[13] Karya dalam koleksi Kel. John Mamesah. ©️ Trubus, foto milik Kel. John Mamesah.
[14] Karya dalam koleksi Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. ©️ Gregorius Sidharta Soegijo, foto karya oleh Antonius Fajar Riyanto, foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —
[15] Karya dalam koleksi Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso. ©️ pelukis belum diketahui, foto karya oleh Antonius Fajar Riyanto, foto milik Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso & Hyphen —
[16] Katalog Pameran 10 Perempuan Pelukis, di Taman Budaya Yogyakarta, diselenggarakan oleh Badan Pusat Wanita Tamansiswa dalam rangka 80 Tahun Wanita Tamansiswa, Juli 2002.
[17] Lihat: Nasjah Djamin, Sides Sudyarto, 2005. The world of Sudarso. Jakarta: Hexart Publishing & Afterhours Books.
[18] Nashar, 1968. “Surat-Surat Malam” dalam majalah Budaya Jaya No.101, Oktober 1976, hal. 587.
[19] Wawancara dengan peneliti Arham Rahman, oleh Grace Samboh & Ratna Mufida, Senin, 11 Juli 2022, 19.00-21.00 WIB.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] 2022 [TEXT] Grace Samboh & Ratna Mufida. “Dua Lukisan Potret Kustiyah oleh Sudarso: Apakah Mereka Berteman?” (Two portraits of Kustiyah painted by Sudarso: Were they friends?), for LauNe: Citizen and Archive edition, August 31, 2022. Accessible here http://laune.id/lukisan-potret-kustiyah/ […]

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th