Kelas Liarsip merupakan kelompok belajar virtual yang memfokuskan studinya pada arsip film, restorasi, dan sejarah perempuan dalam sinema Indonesia. Kelas Liarsip berdiri sejak Maret 2021 dan dijalankan oleh 6 perempuan dan non biner dengan latar belakang yang beragam. Aura Asmaradana dan Kartika Solapung berbincang dengan 2 di antaranya yaitu Efi Sri Handayani dan Umi Lestari mengenai pengalaman, pencapaian, hingga kritik Kelas Liarsip terhadap pengarsipan sinema di Indonesia.
Aura: Selamat malam teman-teman dari Kelas Liarsip, bertemu dengan kita dari Laune.id. Perkenalkan, kami adalah sebuah media online yang belakangan sedang fokus pada tema-tema seputar kewargaan. Jadi kami berusaha mencari atau menggali tema-tema di seputar kewargaan yang dekat dengan warga, tema-tema yang dekat dengan warga. Melihat ada masalah apa, terutama di seputar kebudayaan, kesenian dan kebudayaan.
Kenapa kami mengangkat tema tentang arsip? Belakangan, mulai banyak teman-teman yang bergerak di kolektif/komunitas, mandiri atau perseorangan yang meneliti arsip-arsip, terus berusaha mengaktivasi arsip-arsip lama. Itu menarik buat kami, terutama karena nanti salah satu pertanyaan yang bisa kita diskusikan juga: sebenarnya warga dan arsip itu gimana sih hubungannya? Apakah setiap individu dalam masyarakat itu bisa dengan bebas memperlakukan arsip sesuai dengan kebutuhannya? Dan realitas seperti apa di Indonesia sekarang yang dihadapi oleh para arsiparis?
Itu kenapa kami mengundang Kelas Liarsip malam ini untuk ngobrol bareng. Jadi mungkin teman-teman dari Kelas Liarsip bisa memberi pengantar dulu, sejak kapan teman-teman memulai dan kenapa Kelas Liarsip itu dimulai? Silakan.
Umi: Perkenalkan kami dari kelas Liarsip, di sini diwakili sama saya, Umi Lestari selaku salah satu peneliti di kelas liarsip, ada juga Efi Sri Handayani yang memiliki latar belakang sebagai arsiparis film, preservator, dan juga teknisi yang membersihkan seluloid film. Kemudian selain kami berdua ada Mbak Lisabona Rahman, dia seorang arsiparis yang fokus di film, lalu ada Juwita Pratiwi peneliti dan pengkaji film, kemudian ada Imelda Mandala fotografer yang sekarang berada di Jerman, kemudian ada salah satu anggota kami manajer festival film dan juga arsiparis yakni Siti Anisa.
Jadi kami berenam mulanya dipertemukan oleh passion kami di film. Efi, Juju, Mbak Lisa, mereka memiliki ketertarikan untuk melihat kembali dan merawat arsip film terutama karya film perempuan. Di sisi lain, waktu Efi, Lisa, dan Juju sudah memulai kelas diskusi online di Kelas Liarsip, saya diajak untuk bergabung karena Efi dan Juju menemukan salah satu scrapbook yang ada di Sinematek Indonesia dan ada nama saya kebetulan di situ. Pada akhirnya mereka tahu bahwa saya sedang menggarap salah satu sutradara perempuan di Indonesia pada tahun 50-an yakni Suratna atau Ratna Asmara.
Setelah itu Kelas Liarsip ada yang masuk, ada yang keluar. Terus secara konsisten kami berjalan berenam melakukan diskusi daring sepanjang tahun 2021, pas delta lagi tinggi-tingginya. Kami banyak mendiskusikan seputar kondisi pengarsipan di Kawasan Selatan itu seperti apa terutama pengarsipan film. Kemudian di sisi lain, kita juga belajar penulisan sejarah film yang menekankan pada agensi sejarah perempuan dalam film di Indonesia. Dari latar belakang yang berbeda inilah Kelas liarsip berdiri.
Aura: Kalau namanya, kenapa Kelas Liarsip?
Efi: Kalau nama sebetulnya dari kata arsip. Kita memang geraknya di arsip film khususnya. Waktu pertemuan awal-awal sama Mbak Lisa, dia sebut kita geraknya agak-agak liar gitu, sporadik. Kita ambil cara perempuan-perempuan tahun 50-an, mereka juga bebas bergerak belajar bareng secara sporadik gitu. Ya udah, kita jadinya kelas liar, kalau disambungin sama arsip kayaknya lucu juga, jadinya Kelas Liarsip. Gitu sih kalau dari nama.
Tika: Berarti Kak Umi, Kak Efi, dan kawan-kawan basic-nya memang di arsip sehingga membentuk kelas ini. Kenapa atau apa yang membuat kakak-kakak membuat kelas arsip ini terutama di film. Kenapa menganggap ini penting?
Efi: Sebetulnya awalnya aku dan Juju itu punya semacam keresahan. Kita dekat dengan arsip tapi kalau aku pribadi kan memang pekerjaanku saat itu adalah arsiparis yang lebih banyak praktik, secara teori, aku masih merasa kurang. Akhirnya aku ada ide ke Juju, bagaimana kalau kita bikin kelas tapi juga prinsip-prinsip kerja dan lain sebagainya. Akhirnya kita sepakat untuk hubungi Mbak Lisa untuk bilang ide tersebut. Terus dari situ, dari yang cuma bertiga akhirnya ketemu sama Mbak Umi, Imel, dan Anis. Akhirnya kami berenam punya kelas ini. Awalnya dari situ.
Aura: Ini awalnya mulai tahun berapa?
Efi: Mulainya tahun 2021 bulan Maret. Tanggal 14 Maret kita ketemu scrapbook Mbak Umi di Sinematek.
Tika: Kelas ini hanya untuk arsiparis atau hanya Kakak berenam, atau terbuka juga untuk orang lain atau arsiparis lain yang mau bergabung dalam projek-projek ini?
Efi: Sebenarnya awalnya kita mengundang beberapa teman yang kira-kira tertarik buat join. Kemudian ya mungkin ada kesibukan lain, akhirnya ya udah deh saat ini kita fokus bikin kelas kecil dulu, yang penting dari kita berenam itu solid. Setelahnya kalau ada perkembangan atau apa kita bisa buka kelas kayak gitu.
Aura: Berarti, penelitian Ratna Asmara itu sudah dimulai sebelum ada kelas Liarsip?
Umi: Iya, jadi penelitian Ratna Asmara sebenarnya sudah aku lakukan sejak awal pandemi tahun 2020. Bulan Maret aku mengajukan penelitian ke kampusku, Universitas Multimedia Nusantara, dapat support dari kampus dan aku melaksanakan tahap riset Ratna Asmara. Cuma sepanjang tahun 2020 ada beberapa kendala atau hambatan. Misalnya, ekspektasiku, karena aku tahu beberapa film di tahun 1950-an itu digitisasi film yang bisa diakses peneliti, ternyata filmnya Ratna Asmara nggak ada. Jadi sebagai peneliti yang terbiasa untuk menuliskan sesuatu udah ada teks filmnya itu bikin aku desperado gitu. Terus di Desember 2020 aku datang ke Sinematek Indonesia dan ternyata film Ratna Asmara, kalau kata Pak Firdaus dengan istilah teknis yang aku nggak paham sudah kena sindrom asam lengket. Jujur sebagai orang awam aku nggak tahu. Cuma pas tanya bisa diputar nggak? Bisa, tapi nggak bisa lama paling kamu hanya bisa lihat 1 menit aja, 1-3 menit maksimal.
Ada satu film, 16mm, slide-nya lebih kecil ada di Sinematek, cuma ketika mau diputar di mesin yang 16mm dia nggak bisa rolling sama sekali gitu. Dari ketemuan itu akhirnya aku bingung. Biografinya Ratna yang ditulis di media massa yang aku punya dari arsip-arsip koran itu nggak begitu banyak, terus film-filmnya nggak ada. Penelitian Ratna Asmara ini mandek sampai akhirnya aku ketemu sama Juju, Efi, Lisa, Imel, Anis. Kami belajar salah satu metode penulisan sejarah perempuan dalam sinema.
Kami baca “Doing Women’s Film History”. Dalam bunga rampai itu, ada beberapa tulisan. Ada satu tulisan yang lagi ngomongin sosok pionir perempuan dalam industri film tertentu. Dia hanya tahu namanya, nggak pernah ketemu media massa yang mengulas dia, nggak tahu keluarganya di mana, tapi dia berusaha buat cari tahu karena dia ketemunya di kepingan-kepingan arsip. Terus dicari-cari dan nggak ketemu. Proses itu dia tulis dengan cukup padat, maksudnya proses dia ketemu maupun nggak, dia tuliskan. Atau tulisan karya perempuan tapi karyanya sudah hancur atau sudah nggak ada, jadi hanya pakai tulisan koran saja sebagai sumber sekunder dan masih possible untuk merangkai sosok perempuan ini. Di Kelas Liarsip pas kami gabung, akhirnya kami cari tahu harus gimana memperkaya sudut pandangku dan jalan tempuhku untuk menelisik Ratna lebih jauh. Ya akhirnya bisa dilakukan.
Efi: Awalnya itu malah sebelumnya kita mulainya dari Sofia WD. Terus kemudian lanjut ke Ratna Asmara. Dilihat dari periodiknya duluan Ratna, terus barulah kita ketemu di Sinematek dengan Mbak Umi. Jadi kita melanjutkan kerja Mbak Umi.
Umi: Eh, nggak melanjutkan, gimana dong kita kerja bareng untuk mengadakan arsip Ratna Asmara. Iya nggak sih? Jadi yang menarik dari kelas Liarsip kan gitu ya. Kita tahu arsipnya minim, atau arsipnya susah diakses, kita menangis ya iya. Cuma pada akhirnya kita jalan bareng untuk mengisi kekosongan arsip perempuan ini. Kalau dari Efi, Juju, dan Mbak Lisa memperbaiki di bidang teknis, bikin film “Dr Samsi” bisa kita lihat bareng-bareng, dan digitasi itu jadi bukti. Aku jadi rajin lagi untuk beli-beli majalah lama di Instagram atau di toko online tertentu untuk cari Ratna.
Efi: Kamu sempat putus asa kan sama Ratna Asmara? Terus ketemu kita jadi semangat lagi.
Umi: Ya iyalah, kalau nggak ketemu kalian aku nggak secerah ini, penelitianku nggak rampung. Rampung sih tapi kebanyakan bingungnya sama tulisan aku.
Aura: Penelitian yang “selesai”, yang ada buktinya kalau kata Kak Umi bilang, itu baru Ratna Asmara aja kan? Nah, ini pembagian kerjanya gimana sih? Ada metode apa yang kalian pakai selama bekerja?
Efi: Kalau pembagian kerja, karena aku lebih punya pengalaman di reparasi film, alih media, dan lain-lain jadi untuk tim inspeksi dan reparasi film “Dr Samsi” itu aku dan Mbak Lisa. Nah, yang lainnya itu kayak riset soal Ratna Asmara. Setelah film “Dr Samsi” kita digitisasi, Juju mulai membaca film “Dr Samsi”. Gitu kalau pembagian kerjanya.
Mungkin bisa aku sharing dikit kali ya. Jadi kalau metode digitisasinya awal mulanya itu kita bikin inspeksi. Inspeksi film “Dr Samsi”, kayak stok filmnya itu dari tahun berapa, jenis kerusakannya apa saja, karena kalau film itu ada dua jenis kerusakan. Ada kerusakan fisik, ada kerusakan kimia. Nah, dari situ kita udah tahu langkah-langkah apa yang mesti kita lakukan di bagian reparasi.
Di situ juga, aku sama Mbak Lisa yang mengerjakan untuk copy positifnya. Itu yang pertama kita kerjain. Dari setelah inspeksi dan reparasi selesai, film siap di-scan, dialih media, baru setelah itu kita dapat digitalnya film “Dr Samsi”. Dari situ pertama kalinya kita bisa lihat film “Dr Samsi” karya Ratna Asmara. Walaupun karena soalnya itu filmnya rusak banget, kayak sound-nya banyak yang hilang, frame-nya juga banyak yang patah-patah. Jadi sebetulnya nonton “Dr Samsi” pertama kali itu campur aduk, antara senang dan aduh telinga dan mata jadi rusak karena lihat visualnya yang busuk banget gitu.
Umi: Mungkin aku juga nambahin beberapa peran dari anggota kami yang lain. Misalnya, aku masih ingat banget pertengahan tahun 2021 waktu almarhumah Anis masih ada, pas aku presentasi ke Kelas Liarsip bahwa ini aku ketemukan ini (film, red.) di Sinematek Indonesia, terus kondisinya seperti ini. Jadi akhirnya kami diskusi bareng apa yang kami lakukan atau apa, dan di situ peran Anis cukup besar ya karena dia dekat dengan Sinematek Indonesia, dekat dengan Pak Firdaus, dan si Anis tuh selalu memastikan bahkan mengkonfirmasi ulang bahwa, oh di Sinematek Indonesia ada film ini, reel-nya berapa banyak, terus kata Pak Firdaus kondisinya begini. Jadi dia menerjemahkan. Kalau aku kan nggak tahu ya perihal teknis itu apa. Jadi sama Anis itu dikejar secara detail.
Kalau di linimasa kerja Kelas Liarsip itu satu per satu mulai turun lagi nih ngecekin “Dr Samsi”, misalnya, bisa dibawa keluar apa nggak. Pada akhirnya di bulan Maret kita baru kerja bareng seperti yang dikatakan Efi tadi, lihat lagi, observasi lagi, terus diperbaiki, dan lain-lain. Ketika aku lagi fokus ngeliatin mereka kerja, sambil colong-colongan, oh “Dr Samsi” tuh kayak gini ya; oh Efi tuh ngerjainnya kayak gini. Nah, Imel itu support dari Berlin. Dia yang dengerin curhat kami, yang memastikan kami, “lu nggak apa-apa kan? Lu nggak stres kan? Kalau stres, yuk kita ngobrol bareng”, karena ternyata peneliti atau arsiparis kan butuh orang lain juga untuk dengerin juga gitu. Imel selalu nanyain, “kalian butuh buku apa? Mungkin aku bisa cari nih di toko buku ini atau itu”. Jadi dia support mental kami begitu banyak. Kami jadi nggak begitu stres menghadapi “Dr Samsi”.
Tika: Menarik sekali ya dari cerita Kak Umi dan Kak Efi, berarti dalam proses perjalanan meneliti dan mengarsipkan ini pasti banyak mengalami kesulitan-kesulitan. Kira-kira apa hal yang paling sulit atau yang mungkin dirasa sampai sekarang pun masih merasa sulit dalam proses pengerjaannya baik dalam proses meneliti atau mengarsipkannya?
Efi: Aku akan bicara teknisnya aja ya. Jadi kalau kesulitan itu pasti sulit banget karena aku dihadapkan pada materi film yang rusak, benar-benar rusak dari fisik dan kimianya itu benar-benar sudah hancur sekali. Jadi memang prosesnya itu kita banyak ngakalin, gimana filmnya supaya kita bisa scan di mesin. Belum lagi kalau kita reparasi film itu kalau misalnya ada frame yang robek atau putus kita akan tempel atau sambung filmnya, tapi karena kondisi film “Dr Samsi” sudah kena vinegar syndrome dan muncul kristal di permukaan plastiknya, jadi sulit nempel. Jadi harus berkali-kali diulang. Belum lagi kayak rusak di perforasi, ada yang bolong jadi kita harus tambal.
Jadi prosesku waktu itu agak ribet sih karena waktu itu Mbak Lisa nggak bisa ikut reparasi. Tiap hari kalau aku nemu kasus yang kayaknya butuh konsultasi, aku nggak berani ambil keputusan sendiri, jadi aku langsung video call dia dan lihatin kasusnya. Dari situ kita kayak diskusi penanganannya, lebih baik kayak gini. Pada prinsipnya, ketika kita mau memperbaiki film, jangan sampai filmnya semakin rusak. Jadi itu aja yang kupegang. Sangat berhati-hati banget karena itu kalau disentuh sedikit saja itu bisa sobek. Seram!
Tika: Selain teknik, soal biaya reparasinya itu gimana? Baru membayangkan tekniknya, apa lagi kebutuhan untuk mereparasinya itu.
Efi: Dan kita miskin, apakah arsip hanya untuk orang kaya?
Umi: Kami selama perjalanan ini cukup bersyukur. Waktu mengerjakan “Dr Samsi” itu ada yang membantu digitisasinya. Sewaktu kami istilahnya pitching proposal dan pendanaan dan lain-lain, kami mendapat bantuan dari Kemendikbud Ristek untuk penelitian dan digitisasi dialihkan ke salah satu bagiannya Kemendikbud Ristek sekarang.
Kalau dari sisi peneliti mungkin saya juga perlu mention nih ketika misalnya film “Dr Samsi” itu sudah dialihwahanakan, apakah aku yang terbiasa pakai semiotika, diinterpretasikan, terus ada makna, simbolisasi dengan cepat, apakah aku tega melakukan interpretasi semacam itu ke film yang ketika dialihmediakan ternyata luka-lukanya juga keluar?
Kayak suara yang kecil atau image yang garis-garis atau bolong-bolong. Itu kan kita sebagai peneliti mau ngapain? Di sini aku belajar banget sama Juju. Di sini dia membaca film. Misalnya, filmnya itu rusak kira-kira image yang sudah dialihmedia itu kayak gimana. Jadi beneran deh proses sama kerja Liarsip ini ngajarin banyak hal buatku sebagai peneliti untuk berhati-hati sama medium, berhati-hati sama keinginan untuk melakukan interpretasi atas data, jadi lebih menghormati medium itu sendiri.
Aura: Iya kalau kita-kita kan penikmat film tahu jadi aja. Kemarin kan Dr Samsi sudah sempat diputar ya?
Efi: Di Eye Film Museum Amsterdam
Aura: Oh ya, kalau istilah di film yang memulihkan dari yang rusak kemudian bisa ditonton itu apa istilahnya?
Efi: Istilahnya preservasi. Restorasi bisa juga sih, tapi kalau restorasi itu… Bentar, takut salah. Kalau untuk perawatan, ada juga memperbaiki kerusakan segala macam, itu kita sebutnya preservasi. Tapi kalau restorasi mengembalikan bentuk atau look film itu seperti sediakala. Tapi itu ada perdebatan juga sih restorasi yang seperti apa.
Aura: Kalian selama mengerjakan hal-hal, baik yang belum selesai atau yang sudah selesai, berhubungan dengan banyak institusi atau lembaga yang ngurusin film di Indonesia. Di media atau di permukaan, orang-orang nggak tahu gitu ada yang namanya Sinematek, ada yang namanya apa lagi, yang sebenarnya kerja dan perannya penting buat sampai film bisa ditonton atau paling tidak menyimpan film supaya bisa diakses.
Nah, gimana pengalaman kalian berhubungan dengan lembaga-lembaga/institusi-institusi itu. Ke kerja kalian, apakah memudahkan atau ada birokrasi yang sulit?
Umi: Mungkin aku ya dari perspektif peneliti. Jadi setahuku arsip film di lembaga arsip film di Indonesia itu kan yang “gede” ada beberapa, kayak Sinematek Indonesia pada tahun 70-an dia pionir arsip film di Indonesia dan se-Asia Tenggara. Terus sekarang kita punya Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dia punya koleksi audio visual yang cukup lumayan, apalagi misalnya film-film yang pernah digarap semasa orde lama atau yang dibiayai sama pemerintah, itu tersimpan di sana.
Nah misalnya untuk cuma mengakses itu, ya kita harus jelas, kamu mau apa? Mau lihat film apa? Fungsinya buat apa? Terus kalau misalnya mau meminjam, nanti mau berapa hari? Karena film itu mostly harus dikembalikan dan nggak boleh dikomersilkan. Selain dua institusi yang gede yang simpan film-film itu, mungkin kita juga perlu mention. Sebenarnya bukan pengarsip, tapi dia simpan arsip film yang lumayan banyak. Perusahaan-perusahaan layar tancap yang dulu aktif selama orde baru, kan mereka selalu memutarkan film ke mana-mana dan filmnya misalnya komersil pasti copy-nya banyak dan mereka simpan copy-an sendiri.
Kalau kita melihat praktik pengarsipan kontemporer, sekarang kita perlu pertanyakan lagi posisi YouTube itu kayak gimana? Kalau kita klik keyword “film jadul Indonesia”, akan langsung keluar banyak banget, entah dari Orde Baru, Orde Lama di database atau laman YouTube. Bahkan “Harimau Tjampa” karyanya Djajakusuma juga ada di YouTube!
Nah, kita perlu tahu juga si pembuat VCD maupun DVD yang dulu sebelum menjamurnya OTT gitu kan mereka secara tidak langsung juga ngasih tahu, menyimpan, seumpamanya nggak laku disimpan di mana? Jadi kita melihat di Indonesia ada yang jalannya sangat liar seperti yang ada di kanal-kanal digital ini atau butuh birokrasi atau cara masuk yang lebih formal untuk bisa mengakses film-film.
Tika: Di Kelas Liarsip juga menyimpan arsip film ya? Gimana Kelas Liarsip menangani arsip secara mandiri? Apakah ada bedanya dengan di institusi?
Efi: Kelas Liarsip tidak menyimpan. Contohnya, “Dr Samsi” yang udah kita kerjain itu koleksinya Sinematek sebetulnya, dari situ kita pinjam filmnya di Sinematek, terus kita kerjakan, kita alih media dan setelah itu kita kembalikan lagi ke Sinematek. Jadi di Liarsip tidak menyimpan tapi kita menggunakan materi-materi arsip itu untuk bahan penelitian.
Mungkin kalau yang disimpan ini… Mbak Umi hobi banget beli majalah-majalah gosip tahun 60-an. Dia mencari Ratna Asmara di situ.
Umi: Majalah populer. Ada majalah, namanya “Duta Suasana”. Termnya aja menarik, ya? Itu ternyata redakturnya perempuan. Aku juga baru tahu setelah dikasih tahu Juju. Terus ada juga majalah “Wanita” yang lebih konservatif. Terus majalah “Varia” yang populer tapi dieditori sama mantan suaminya Ratna, Andjar Asmara. Kalau di awal sebelum Efi sama Mbak Lisa dan teman-teman yang lain melakukan alih media filmnya Ratna, aku tuh ngumpulin, punya pikiran: kalau filmnya nggak ada, kita bisa ngebaca kok Ratna itu, tapi diposisikan di wacana tahun 50-an. Makanya media-media populer yang ngomongin tentang perempuan, aku beli dan kumpulkan untuk jadi arsip di rumah.
Kadang-kadang kita bisa menemukan arsip-arsip ini di beberapa lembaga kayak perpusnas, cuma majalah-majalah populer seperti ini kadang-kadang nggak pernah dianggap sama kanonisasi sama nasionalis, dan sebagainya. Itu dianggap sebagai kelas kedua dan dianggap nggak penting. Gara-gara ngumpulin itu aku jadi makin tertarik untuk hal-hal yang terkait tentang perempuan. Siapa tahu bisa membantu di Kelas Liarsip.
Tika: Selain majalah, ada foto dan gambar disimpan juga?
Umi: Aku kemarin sedih gara-gara waktu aku search keyword Ratna Asmara di salah satu medsos, ternyata tahun 2021 ada yang jual image adegan film Nusa Penida, yang mana itu nggak ada di Sinematek. Aku belum nemu deh di Sinematek. Terus dia asli, gitu lho! Terus ada capnya, New JIF (New Java Industrial Film, red.) rumah produksinya film itu. Ternyata udah dijual sama orang lain, dan gara-gara nggak dapat itu, jadinya kami nggak dapat the real photo, foto adegan.
Biasanya foto adegan di zaman dulu itu dipake untuk dipublikasikan ke media yang populer, untuk penulisan film, sebagai bahan publikasi, dan sebagainya. Jadi aku luput untuk mengumpulkan image itu, tapi rata-rata, garis besar sih untuk Ratna, kami masih bergantung sama majalah. Ternyata unik juga. Jadi, ada satu majalah namanya “Aneka”. Di tahun ’52, waktu “Musim Bunga di Selabintana” itu mau dibuat sama Ratna, di tiap edisi itu muncul foto adegan “Musim Bunga di Selabintana”. Tapi foto itu cuma ada caption aja, nggak ada cerita lebih lanjut, filmnya kayak gimana. Akhirnya kami belajar, zaman dulu, soft selling dari filmnya itu kayak gini ya… Jadi banyak belajar dari majalah-majalah itu.
Aura: Sorry, sebelum berkembang lebih jauh, aku masih penasaran dengan keberadaan film-film ini yang ketika ditemukan, misalnya permukaannya udah mengkristal, dan sebagainya. Lembaga kan biasanya dananya tetap, gitu. Tiap tahun ada duitnyalah, gitu. Kok bisa sampai kayak gitu? Lagipula, pakar itu banyak.
Kenapa aku nanyain ini, karena waktu meneliti tentang Saadah Alim, jalan yang ingin kulalui adalah mencari peer group-nya Saadah Alim, perempuan-perempuan dari Minangkabau yang kemudian merantau ke Jakarta. Kayaknya kan mereka main bareng. Ada yang main teater/tonil, ada yang bikin film, ada yang kerja di media, segala macam. Waktu itu sempat nanya, ini tuh Ratna Asmara ada nggak filmnya? Dan nggak ada! Nggak ada yang tahu ini bisa diakses di mana. Meskipun kita nggak secara langsung meneliti tentang Ratna Asmara atau tentang film, tapi kita bisa melihat, misalnya kayak tadi: baca majalah populer untuk melihat situasi tahun sekian. Itu kan bisa jadi sumber sekunder ketika kita sedang meneliti sesuatu. Apalagi ini film, gitu.
Gimana teman-teman melihat soal perawatannya?
Efi: Itu dia, Kak, kita juga penasaran kenapa lembaga-lembaga itu tidak merawat materi-materi arsipnya dengan sangat baik.
Aura: Jadi berakhir di heran doang ya?
Efi: Mereka ya jelas punya dana tetap, gitu kan. Source-nya ada. Tempatnya ada. Alatnya juga ada. Kenapa malah terbengkalai kayak gini? Ini kan jadi sayang. Kenapa udah diberikan ada dana dan segala macam tapi nggak dipergunakan dengan baik. Justru malah kita yang liar-liar ini bisa melakukan perawatan dan bahkan orang sekarang bisa mengakses filmnya karena kita udah alih media. Aku jadi kesel. Aneh juga sih.
Maksudnya, apakah materi arsip ini sebegitu tidak pentingkah sampai ditelantarkan seperti itu? Padahal ini bisa dibilang arsip yang cukup penting. Kayak yang Kak Aura bilang, ini bisa jadi bahan penelitian. Kita bisa tahu orang-orang zaman dulu seperti apa, latar tempatnya seperti apa, pakaiannya seperti apa. Banyak sekali yang bisa diambil dari materi-materi arsip, terutama film.
Aku curiga, jangan-jangan, memang arsip ini nggak terlalu dipedulikan. Sebetulnya, dengan kita melakukan alih media ini dan penelitian Ratna Asmara ini dengan digitisasi film “Dr Samsi” kayak mau ngelabrak, gitu. “Eh, kita bisa loh ngerjain, masa kalian nggak sih? Lihat nih, sekarang udah bisa nonton filmnya.”
Aura: Kak Umi, komentar kek…
Umi: Memang benar, apa yang dikatakan sama Efi. Pertengahan tahun 2021, aku udah dengar selentingan bahwa “Dr Samsi” susah, filmnya Ratna Asmara susah, nggak bisa diiniin (diakses, red.) Tapi akan dicoba deh tahun depan. Sampai ada penundaan-penundaan selama satu atau dua tahun. Ketika misalnya dari Kelas Liarsip bareng-bareng “maksa”: coba dong dikeluarin, coba dong kita alih mediakan.
Waktu mau alih media pun, waktu Efi sama Mbak Lisa membersihkan seluloidnya satu-satu, itu aja mereka memiliki kendala. Kalau seluloidnya dibersihin semua, nanti akan ada A-B-C-D-E. Ya udah, kita coba langsung masukin ke mesin… scanner ya, Fi, istilahnya? Ternyata itu bisa! Meskipun waktu image “Dr Samsi” keluar di scene, aku yang ngelihatnya tuh kayak (menarik nafas panjang, red.), karena ternyata…
Ratna Asmara itu kan punya “guru” selain Andjar Asmara ada The Teng Chun, jadi support system-nya dia. Salah satu filmnya The Teng Chun itu ada yang judulnya “Tie Pat Kai Kawin” tahun 1935, itu udah dialih mediakan juga. Nah, aku ngelihat film “Tie Pat Kai Kawin” yang digital itu parah banget, warnanya gelap. Terus ketika lihat film Ratna Asmara, jadi berasa, lho, kok ini sama The Teng Chun hampir mirip? Padahal produksinya itu terpaut sekitar 20 tahun. Tie Pat Kai ’35, “Dr Samsi” ’52. What happen? Aku nggak ngerti kenapa bisa kayak gini. Mbak Lisa itu sempat nulis beberapa alasan kenapa arsip ini menjadi lapuk, salah satunya ada pengabaian sekian lama. Kalau “Dr Samsi” pengabaiannya sekitar 70 tahun.
Kenapa diabaikan? Ternyata ada wacana lain yang berkembang di luar. Misalnya, film Indonesia kan selalu dilihat dari kacamata nasionalistik, militeristik, sehingga kanonisasinya berjalan cuma let’s say, menghormati film-film yang ada representasi pejuang-pejuang kemerdekaan. Filmnya Ratna ternyata tidak kayak gitu. Dia justru merepresentasikan posisi perempuan yang harus ninggalin anaknya dan kalau kita lihat pakai kacamata nasionalisme klasik, nggak cocok. Tapi ternyata, misalnya Imel, melihat film ini ya sebagai dokumen itu cukup kaya karena “Dr Samsi” seperti menghadirkan realitas kesenjangan kelas, dari yang miskin versus yang kaya. Terus dari cara tuturnya, keluarga Dr Samsi dan Sukaesih atau yang diperankan oleh Ratna itu bahasanya formal, sedangkan Leo yang antagonis bahasanya pasaran. Jadi dari permainan bahasa, kita jadi nyatetin. Si ini merekam jenis bahasa tutur di tahun segitu. Sayangnya di masa lalu kan nggak ada ya, yang bisa ngelihat hal-hal yang detil kayak gini. Itu ternyata imbasnya cukup gede di Ratna.
Aura: Oke. Setelah seluruh proses ini, senang dan sedih, suka dan duka, apa selanjutnya yang akan dicapai oleh Kelas Liarsip? Biasanya, arsip yang sudah dijadikan basis dalam penciptaan karya baru. Apakah menuju ke sana?
Umi: Kita mention aja kali ya, promosi buku. Jadi, Kelas Liarsip dari awal hingga akhir tahun ini sedang mempersiapkan penerbitan buku. Fokusnya ke sosok Ratna Asmara dan bagaimana kami membaca “Dr Samsi” dengan latar belakang kami yang beda-beda. Ada Mbak Lisa dari arsiparis yang pernah mendigitasikan maupun melakukan restorasi film-film Usmar Ismail, dia melihat di Ratna kasusnya kayak gimana. Ada Efi yang nulis diary arsiparis, pengalaman dia berhadapan dengan positive reel maupun negative reel “Dr Samsi”. Ada saya sendiri yang menulis, alhamdulillah bisa lebih padat tulisannya tentang biografi Ratna Asmara sebagai performer maupun sebagai sutradara dan list filmnya ada apa aja. Ada Juju yang melakukan refleksi atas “kalau lu mau baca teks film, bacanya gimana”, terutama ketika kamu baca film yang rusak. Terus ada Imel dari perspektif penonton yang cukup awam, melihat “Dr Samsi” pertama kali di layar gede kayak gimana. Ada Siti Anisah yang menuliskan biografi dan juga filmografi “Dr Samsi”.
Selain buku, kami juga menyiapkan seri tentang Ratna Asmara dan proses digitisasi “Dr Samsi” dan harapannya bisa tayang. Entah akhir tahun ini atau tahun depan, 2023. Doakan saja, itu jangka pendek kami. Jadi 2023 bisa akses film serinya atau video pendeknya, juga buku dari Kelas Liarsip.
Aura: Rencananya ke mana? Apakah akan ada pemutaran tour dari satu kota ke kota lain, atau mau bebasin aja di website, atau gimana?
Umi: Yang mana ya? Video, buku?
Aura: Filmnya! Itu yang kita mau tonton.
Umi: Oh… Ya, mumpung kami masih ada di sini, kami mau untuk kalau ada yang ngundang ya, let’s go. Kita upayakan bareng-bareng supaya “Dr Samsi” bisa dilihat juga sama teman-teman di komunitas yang lain, karena bisa aja, kasus seperti Ratna gitu misalnya itu terjadi pada, ya kita nggak tahu ya, pembuat film amatir di Flores, gitu. Mungkin ada, tapi arsipnya nggak pernah keluar karena itu arsip keluarga. Atau pembuat film amatir yang lainnya di masa orde lama maupun orde baru karena setahuku, sebelum bioskop mulai mapan, beberapa kawasan di Indonesia itu punya tradisi menonton. Siapa tahu kita bisa bertukar ilmu.
Tika: Di Flores sendiri itu kan ada satu film juga yang dibuat tahun 1930.
Umi: “Amorira”ya?
Tika: “Ria Rago”. Kalau Amorira kami belum pernah lihat arsipnya. Yang sempat kami tonton baru-baru “Ria Rago”, film bisu itu. Bisa juga tuh kalau ada waktu ke sini ngobrolin film-film yang juga ada di sini.
Umi: Jadi gini, kan selama ini diskusi tentang kanonisasi di Indonesia selalu dimulai dengan film “Loetoeng Kasaroeng” yang dibuat di Jawa dan diproduksi sama Bupati Bandung. Sayangnya, film itu kan nggak ada sama sekali. Bisa aja nih, misalnya teman-teman dari Komunitas KAHE memperbanyak penulisan kembali tentang penulisan film ini kayak gimana, bikin mengapa film ini penting buat masyarakat di NTT maupun Indonesia secara lebih besar karena bisa aja “Amorira” jadi salah satu heritage kebudayaan kita. Bisa lebih “valid” ketimbang “Loetoeng Kasaroeng” karena materinya masih ada. Goal-nya mungkin bisa bawa film itu, balik lagi ke masyarakat di NTT, atau diputarkan kembali ke masyarakat yang istilahnya pernah jadi tempat syuting di situ, itu kan lucu banget ya…. Kayak memanggil kembali memori filmis yang ada di situ.
Tika: Menyambung dari soal arsip dan warga tadi, arsip ini juga bagian dari sejarah, suatu fakta sejarah yang jadi bagian dari warga masyarakat. Menurut Kak Umi dan Kak Efi, bagaimana atau cara apa saja yang bisa digunakan untuk mendekatkan warga dengan arsip, atau dengan kata lain menjadikan arsip tidak asing dengan warga?
Seperti pengalaman, kita baru tahu aja ketika kita mencari misalnya di Komunitas KAHE, cari arsip, bikin pameran yang kemudian tidak diketahui sama apalagi generasi kelahiran 90-an, sudah susah.
Efi: Mungkin pemutaran ala layar tancap, gitu. Kalau layar tancap kan lebih dekat dan kalangannya lebih luas. Cara mereka untuk mengakses arsip salah satunya dari film layar tancap. Mungkin bisa dilakukan sih, tapi kalau sekarang belum ada rencana ke situ. Mungkin ada diskusi atau FGD gitu.
Umi: Aku sharing pengalamanku kerja di IVAA, terus megang hibah karya. Di program itu ada semacam undangan untuk publik supaya bisa memberikan nafas baru lagi ke arsip. Jadi ada beberapa lembaga, dikumpulin, terus mereka punya arsip digital dan setelah arsip digitalnya udah jadi, warga itu diundang untuk bikin “karya baru” dari arsip ini. Makanya di hibah karya ada beberapa item. Ada yang bikin film, ada yang bikin pameran, terus ada yang bikin buku, atau nyebarin VCD yang isinya musik-musik tradisional yang tersimpan di Tikar Pandan (komunitas, red.), terus ada juga pertunjukan teater. Temanku dia pergi ke wilayah yang punya story telling penangkapan… Yang masyarakatnya menyelam bisa lama banget terus dia tangkap paus atau apa, gitu. Dia bikin story telling-nya lalu dilihat oleh banyak orang. Nah itu kan jadi salah satu cara publik ngeh, “oh bisa jadi kayak gini karyanya.”
Atau kalau dari aku lihat, sekarang banyak cara untuk membawa arsip ke publik. Misalnya pameran. Teman-temanku di Pasir Putih Lombok, mereka tahun lalu bikin pameran arsip di masjid dan yang datang itu cukup banyak, ya. Maksudnya dari anak SD sampai ibu-ibu habis pulang solat, pada datang ke situ. Mereka jadi tahu, “oh ternyata ini ya kekayaan budaya di wilayah Lombok Utara? Ternyata sebanyak ini ya?” Ada medium audio visual juga, ada story telling versi komik, atau dari kain yang mereka lihat sendiri. Ternyata kain yang dijual ke turis sama kain khas Lombok cukup beda. Itu salah satu cara aja sih supaya masyarakat juga tahu bahwa kita punya arsip yang seperti ini.
Atau kayaknya cara belajar paling asik itu kan dengan terlibat langsung ya. Ini juga pertanyaanku sama Efi, kita udah sampai sini, terus habis ini mau ngapain? Apakah nanti kita akan melibatkan publik lebih jauh untuk bareng-bareng belajar di pengarsipan? Yuk, kita belajar tahu bedanya 16, 35, 70 (mm, red.) terus bagaimana merawat seluloid atau kalau punya keluarga masih dalam bentuk klise, gimana cara merawatnya, supaya image-nya nggak ilang, itu kan bisa ya dengan metode untuk ngajakin orang.
Efi: Atau kan biasanya keluarga-keluarga menyimpan arsip foto keluarga, dulu masih ada albumnya. Nah, mungkin bisa juga tuh, sharing gimana cara merawatnya supaya dia tidak rusak.
Aura: Pertanyaan buat Kak Efi, soal teknologi, tadi kan banyak banget hal-hal teknis. Memang sampai sekarang kalau bahas film erat banget kaitannya sama teknologi. Ketika bikin film, harus ngerti teknologi. Dalam upaya untuk memperbaiki arsip film-film lama itu memang harus ngerti ya? Pengen tahu, pengalamanmu gimana? Banyak nggak sih sebenarnya orang yang bisa handle yang kau handle di Kelas Liarsip ini?
Efi: Pertama, di Indonesia sendiri, source-nya sedikit banget. Bisa dihitung, sepuluh jari mungkin nggak ada, gitu, orang yang bisa dan punya pengalaman megang arsip film. Terutama soal reparasi film.
Menurutku itu penting banget untuk kita selalu update sama perkembangan teknologi karena sebetulnya antara arsip dan teknologi itu bisa saling membantu untuk kerja-kerjanya. Misalnya, waktu itu aku pernah ikut konferensi arsip Asia Tenggara, terus salah satu pembicaranya itu bilang bahwa mereka tuh lagi mengembangkan Artificial Intellegence untuk mengidentifikasi orang-orang atau lokasi. Kebayang nggak sih kalau misalnya itu ada, kerja-kerja peneliti atau arsiparis lebih dipermudah dengan teknologi. Jadi menurutku penting banget sih untuk update teknologi karena dia selalu berkembang. Jangan sampai kita juga nggak ikut berkembang, nanti malah ketinggalan. Padahal bisa banget kalau kita sama-sama mengerti.
Aura: Jadi emang susah ya cari orang buat melakukan hal yang sama. Ya workshop mungkin ya….
Efi: Nah iya, bener, workshop sih. Tapi memang walaupun ada workshop, tapi…. Dulu tuh aku juga belajarnya otodidak soal arsip ini. Waktu itu masih kerja di Indonesian Film Center. Aku ngerasanya saat itu, walaupun aku udah belajar praktik soal reparasi film, tapi ketika aku punya skill itu, kadang tempatnya juga nggak ada. Lapangan pekerjaannya juga nggak banyak. Jadi, ya…. Gitu deh.
Tika: Pertanyaan terakhir buat Kak Umi. Sebagai seorang peneliti sejarah film atau yang selama ini kerja-kerjanya bersama teman-teman dalam bidang film, arsip, dan cerita perempuan, karena di proyek Kelas Liarsip mengangkat soal film Ratna Asmara, apa pendapat Kak Umi soal pentingnya cerita perempuan dalam pengarsipan?
Umi: Sebelum ini, kan saya biasanya meneliti sosok-sosok yang minor dalam sinema Indonesia jadi memang ada kebutuhan untuk melakukan pembedaan dari kanon film Indonesia. Jadi, saya ngangkat tokoh-tokoh yang jarang dibicarakan dan ternyata saya bertemu sama sosok Ratna Asmara yang punya lapisan pengabaiannya lebih parah, lebih menyakitkan ketimbang sosok minor yang saya teliti sebelumnya.
Ketika Kelas Liarsip bersama-sama mengupayakan untuk mengadakan arsipnya Ratna Asmara, itu kan bisa dilihat sebagai sebuah tindakan yang cukup menantang bagi kanon, karena yang selama ini kamu abaikan, kami bisa kok untuk menghidupkan kembali. Jalan paling awal dari kerja kami kan sebenarnya melakukan validasi atas kerjanya Ratna sebagai sutradara, sebagai individu kreatif, sebagai orang di belakang layar, dan sebagai aktor.
Sebelumnya kan, kalau kamu mau melakukan validasi, butuh “bukti”. Terus buktinya Ratna hanya dilihat dari koran, dan koran pun kadang-kadang memandang dia secara bias, selalu menekankan bahwa mantan suaminya ada di depan sedangkan dia cuma dompleng nama. Ternyata setelah kami mengupayakan “Dr Samsi”, ternyata enggak.
Ratna punya strategi sendiri dalam penyutradaraan dan ini mungkin jadi PR saya selanjutnya untuk melakukan pembedaan. Pilihan-pilihan penyutradaraan Ratna, dibandingkan misalnya dengan karya Andjar Asmara atau Usmar Ismail, kayak gimana? Itu jadi cara kita untuk menghormati pionir perempuan yang sering nggak dianggap di film Indonesia.
Tika: Diskusi soal ini pun masih berlanjut ya, sama teman-teman Kelas Liarsip di berbagai forum? Siapa tokoh lain yang sedang atau akan diteliti oleh Kelas Liarsip, khususnya yang perempuan?
Umi: Sofia WD kali ya, habis ini? Kami latihan pelan-pelan, gitu. Kita sisir lagi nih, kira-kira ada nggak ya aktris-aktris atau pionir perempuan, meskipun dia nggak jadi sutradara, dia jadi sinematografer atau editing di industri film awal, itu kan jadi PR kita untuk mencari sosok itu dan memberikan validasi atas kerja mereka. Kalau dilihat-lihat kanonisasi di film Indonesia selalu bertumpu pada sutradaranya siapa nih? Yang keren selalu sutradaranya, padahal mungkin di belakang layar, kru-krunya yang lebih punya visi, mungkin ya…. Jadi kita lagi mencari kemungkinan-kemungkinan penulisan pionir lain.
Tika: Keren. Menarik!
Aura: Seru! Terima kasih ya, teman-teman. Kalian tuh kayak menyelamatkan dua hal. Bukan cuma menyelamatkan film, tapi juga menyelamatkan stigma atau opini publik tentang perempuan. Kalian kayak superhero!
Efi: Kayaknya kalau hero enggak deh, kita melakukan apa yang harus kita lakukan sih.
Umi: Gini nggak sih, kehadiran inisiatif untuk menuliskan sosok perempuan itu kan ternyata ada setelah reformasi. Reformasi pun makin meningkat lagi setelah 10 tahun pasca reformasi. Jangan-jangan reformasi itu sendiri masih banyak bolongnya. Kerja kita sebagai orang yang pengen tahu lebih banyak jadi dobel.