Aksara Lontara, Bahasa, dan Makna yang Tak Menubuh

Peserta workshop Kaligrafi Aksara Lontara. Sumber: Dok. Mursyidin.
Peserta workshop Kaligrafi Aksara Lontara. Sumber: Dok. Mursyidin.

Penghujung tahun 2022 merupakan hari-hari yang sibuk bagi saya. Itu adalah masa di mana saya menjalankan program Aksara Lontara yang terdiri dari beberapa bentuk kegiatan seperti “Sikola Bugis”, “Kaligrafi Lontara” dan “Festival Aksara Lontara”. Seluruh program harus berjalan dalam rentang waktu setahun. 

“Sikola Bugis” misalnya, membutuhkan waktu sekitar enam bulan pelaksanaan, kemudian dilanjutkan dengan roadshow “Kaligrafi Lontara” selama dua bulan, dan ditutup dengan gelaran Festival Aksara Lontara. Jam masuk sekolah adalah penanda bagi kami tim fasilitator program Kaligrafi Lontara untuk memulai aktivitas, berkunjung ke seluruh sekolah tingkat menengah pertama (SMP) se- Kota Parepare yang merupakan mitra pelaksanaan program atau penerima manfaat program “Kaligrafi Lontara”. Selama dua pekan kami seperti kembali menjadi murid yang pergi ke sekolah bertemu guru dan teman-teman, membuat saya memiliki “kenormalan” baru di periode tersebut. 

Aksara Lontara merupakan sebuah program budaya sebagai upaya penyadaran dan meningkatkan pengetahuan Aksara Lontara bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Program ini secara khusus menyasar anak muda sebagai penerima manfaat program dan juga sebagai fasilitator. Aksara Lontara diinisiasi oleh Dompet Dhuafa Sulsel sebagai salah satu lembaga filantropi yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan dengan menghimpun dan mengelola dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (Ziswaf) dari masyarakat Indonesia. 

Dompet Dhuafa secara garis besar memiliki 5 pilar program, salah satu di antaranya adalah pilar dakwah dan kebudayaan. Kebudayaan dianggap menjadi tonggak penyebaran nilai-nilai spiritual dalam perkembangan masyarakat Islam, utamanya di Sulawesi Selatan yang didominasi oleh Suku Bugis sebagai pemilik aksara Lontara. Suku Bugis juga memiliki kitab La Galigo, sebuah karya sastra terpanjang yang mengalahkan kisah perang saudara Mahabarata (India). 

La Galigo menceritakan asal muasal kehidupan manusia, perang, mitos, serta beberapa bagian menarasikan pengaruh Islam dalam kebudayaan masyarakat Bugis. Naskah asli La Galigo berada di Belanda, seluruh teksnya tertulis menggunakan Aksara Lontara dengan bahasa Bugis kuno. Program Aksara Lontara oleh Dompet Dhuafa Sulsel adalah upaya untuk mempelajari kembali nilai-nilai yang tertanam dalam pengetahuan-pengetahuan yang termuat dalam teks tersebut.

Memulai Aksara Lontara

Pada 2022 saya masih menjadi seorang amil (pegawai) di Dompet Dhuafa Sulsel penempatan Kota Parepare bersama dengan seorang teman bernama Soraya, sementara kantor cabangnya berada di Kota Makassar. Ide program Aksara Lontara dicetuskan oleh Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Sulsel waktu itu, yakni, Rahmat HM. Proposal program disusun oleh beliau serta melibatkan saya dan Soraya dalam beberapa pertimbangan, termasuk pemilihan lokasi program yang awalnya akan dilaksanakan di Kota Makassar, namun karena terdapat perbedaan bahasa dan suku dengan Bugis, maka diputuskan lokasi program akan berlangsung di Kota Parepare. 

Kendati Parepare menjadi kota kedatangan banyak etnis dan suku, namun suku Bugis-lah yang kehadirannya mendominasi di kota ini. Selain itu, kabupaten-kabupaten yang mengapitnya juga adalah penutur bahasa Bugis, seperti Kabupaten Barru, Pinrang, dan Sidenreng Rappang. Aksara Lontara dimulai pada bulan Januari 2022 dengan program awal “Sikola Lontara” yang berjalan selama enam bulan. Program ini merupakan kelas pertemuan setiap pekan yang diikuti oleh mahasiswa sejumlah 15 orang. Pengampu “Sikola Lontara” bernama Andi Oddang To Sessungriu atau akrab disapa Opu. Beliau adalah seorang budayawan, penerjemah dan penyalin naskah-naskah Lontara dari Tanah Luwu, tanah kelahiran kitab La Galigo. Sikola Lontara berisi kegiatan penguasaan bahasa Bugis, membaca, dan menulis Lontara. 

Program berikutnya di tahun yang sama adalah roadshow “Kaligrafi Lontara”, merupakan program pengenalan metode belajar aksara Lontara menggunakan medium seni di tingkat pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam program ini, saya dan Soraya menjadi fasilitator yang mengatur seluruh rangkaian program hingga terlaksana, termasuk mengajak salah seorang seniman rupa di Kota Parepare bernama Henro atau biasa kami sapa Endo sebagai guru gambar Kaligrafi Lontara. 

Dokumentasi kegiatan sangat penting untuk diarsipkan, maka dari itu kami juga mengajak Mursyidin (Ciding) menjadi dokumentator selama program Kaligrafi Lontara berjalan. Jauh hari sebelum program Kaligrafi Lontara berjalan, Dompet Dhuafa Sulsel telah menjalin komunikasi dengan Ikatan Guru Bahasa Daerah (IGBD) Kota Parepare sebagai mitra program. Langkah ini dimaksudkan agar terjadi pertukaran pengetahuan dari guru-guru yang menggeluti bahasa daerah sehari-hari dan kami sebagai fasilitator yang juga belajar menawarkan cara-cara kreatif serta menyenangkan dalam mempelajari bahasa Bugis serta aksara Lontara kepada siswa. 

Kendala pertama saat program hendak dilaksanakan adalah menemukan guru gambar yang akan menjadi ujung tombak program Kaligrafi Lontara. Hal ini menjadi sulit karena secara spesifik belum ada sama sekali seorang seniman di Kota Parepare yang fokus berkarya menggunakan aksara Lontara. Sebelum kami menghubungi Endo, ada dua orang yang sebelumnya kami tawarkan menjadi guru gambar, namun mereka menolak karena tidak yakin bisa menghadapi anak sekolah (siswa) dan tidak percaya diri mampu berbahasa Bugis dengan baik. Oleh seorang teman, kami direkomendasikan untuk mengajak Endo yang tak lain adalah kenalan saya juga, tapi tidak terpikirkan untuk mengajaknya. 

Pengalaman Endo yang waktu itu baru saja menyelesaikan program “Gerakan Seniman Masuk Sekolah” membuat kami tidak kesulitan mengajaknya menjadi fasilitator guru gambar. Endo menerima ajakan tanpa pikir panjang dan penuh rasa percaya diri. Dalam program ini, Endo berkewajiban mengarahkan siswa lebih imajinatif dalam menggambar aksara Lontara dengan memberikan beberapa contoh sebagai referensi bagi siswa. 

Usaha Menubuhkan Kembali Bahasa Bugis

Perjalanan roadshow Kaligrafi Lontara membuat saya bisa mengintip bagaimana dunia pendidikan di luar rumah bekerja. Mata pelajaran Bahasa Daerah sudah menjadi muatan lokal dalam jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Asumsinya, secara efektif penguasaan bahasa dan tulisan aksara Lontara mampu siswa aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari atau paling tidak pada kesempatan tertentu saat diberi tugas oleh guru misalnya. Namun, siswa SMP yang kami bersamai selama dua hari itu rasa-rasanya baru belajar bahasa Bugis. 

Di dalam kelas, fasilitator kaligrafi terlebih dahulu memaparkan materi mengenai kaligrafi secara singkat dibantu dengan slide show. Rata-rata jumlah siswa yang mengikuti kelas Kaligrafi Lontara sekitar 30-40 orang setiap sekolah. Fasilitator menjelaskan sejarah kaligrafi hingga penerapannya menggunakan aksara Lontara beserta contoh gambarnya. Ide membuat kaligrafi Lontara dalam penerapan pembelajaran merupakan hal yang baru bagi guru-guru Bahasa Daerah dan siswa, sehingga butuh waktu sedikit lebih lama untuk memberi pemahaman pada siswa sampai mampu membuat karya kaligrafinya. Salah satu proses yang cukup lama adalah memilih kosakata bahasa Indonesia lalu diartikan ke dalam bahasa Bugis. Maka saat proses kelas Aksara Lontara, pertanyaan yang paling sering ditemui adalah “Apa bahasa Bugisnya ini, Bu?” 

Pertanyaan ini sepintas biasa-biasa saja, tetapi seharusnya siswa tidak lagi kesulitan menemukan satu kosakata untuk ditulis. Secara kurikulum meskipun mata pelajaran Bahasa Daerah hanya pilihan, akan tetapi pembelajarannya sudah dimulai sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Asumsinya, sistem itu membuat mereka sudah bisa berbahasa Bugis, serta membaca dan menulis aksara Lontara. Namun, kenyataan berlawanan dengan harapan, siswa SMP yang menjadi sasaran program masih menemui kendala terkait bahasa dan penulisan aksara Lontara. 

Tidak hanya sampai di situ, penulisan aksaranya pun masih terdapat banyak kekeliruan penggunaan huruf dan tanda baca, sehingga menyulitkan ketika dibaca. Aksara Lontara yang keliru penulisannya akan kehilangan makna dan sulit diartikan. Kondisi ini kami temui hampir di seluruh sekolah mitra pelaksana. Hasil dari kaligrafi Lontara ini nantinya akan dipamerkan pada Festival Aksara Lontara, sehingga menjadi penting untuk memperhatikan kesesuaian tulisan aksara Lontara siswa satu per satu. 

Aksara Lontara terdiri dari 26 huruf dan 5 tanda baca, namun tak memiliki tanda baca viram atau huruf pemati vokal, sehingga sangat penting menguasai bahasa Bugis terlebih dulu sebelum menggunakan huruf Lontara untuk dibaca atau dituliskan kembali. Mampu membacanya saja belum cukup, butuh kekayaan kosakata bahasa Bugis dan penguasaan bahasa untuk memahami makna dari teks Lontara. 

Dalam proses menulis satu paragraf saja dalam aksara Lontara, penulis yang belum menguasai bahasa Bugis harus merangkai cerita dalam imajinasinya kemudian menerjemahkannya dalam bahasa Bugis, barulah bisa dituliskan menggunakan aksara Lontara. Penguasaan bahasa menjadi kunci membaca dan menulis agar aksaranya tak hanya sampai pada tahap penghafalan saja, melainkan mampu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru dari hasil olah bahasa Bugis melalui Aksara Lontara.

Fasilitator dan guru Kaligrafi Aksara Lontara bersama dengan beberapa murid peserta workshop. Sumber: Dok. Mursyidin.

Faktor Keluarga dan Pengajar

Saya yakin bahwa bukan hanya pada aksara Lontara saja penguasaan bahasa menjadi kunci, namun seluruh bahasa ibu yang memiliki aksara sendiri hanya akan efektif ketika penggunanya aktif menggunakannya sehari-hari. Tentu perihal menguasai bahasa ibu bukanlah hal yang dapat terjadi dalam waktu singkat, butuh banyak faktor pendukung untuk mencapai hal tersebut, salah satunya seperti lingkungan keluarga yang suportif sebagai ruang untuk aktif menuturkan bahasa itu. 

Ada salah satu sekolah yang letaknya jauh dari pusat kota, berada di hulu Sungai Karajae, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare, yang hampir seluruh siswanya bisa berbahasa Bugis. Mereka rata-rata memiliki orang tua yang berprofesi sebagai petani dan penggarap lahan perkebunan palawija. Sehari-hari masyarakat di sana masih menggunakan bahasa Bugis, mulai dari orang tua hingga anak-anaknya. Semua anak di sekolah tersebut bisa dan fasih berbahasa Bugis, namun tidak dalam penulisan serta membaca aksara Lontara. 

Belakangan kami baru diberitahu bahwa gurunya bukan orang Bugis melainkan suku lain (Enrekang) yang masih dalam rumpun suku-suku besar di Sulawesi Selatan. Kendati demikian, bahasa Enrekang dan bahasa Bugis memiliki perbedaan yang cukup signifikan, termasuk juga suku Enrekang tidak memiliki aksara sendiri. 

Sementara itu, sekolah-sekolah yang berada di pusat Kota Parepare memiliki latar belakang siswa yang cukup berbeda dari mereka yang berada di Bacukiki Barat, dari segi bahasa sehari-hari di lingkup keluarga maupun kesehariannya. Masyarakat yang bermukim di daerah perkotaan cenderung lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi masyarakat Parepare yang heterogen kemudian mendorong mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Bugis. 

Beberapa teman dalam obrolan di sela-sela program mengatakan hanya akan menggunakan bahasa Bugis ketika berada dalam keadaan terdesak, misalnya lawan bicaranya orang tua paruh baya yang hanya bisa bercakap dan mengerti bahasa Bugis. Laju masyarakat yang semakin modern dengan semua kemudahan tak terasa telah menggerus kebudayaan termasuk bahasa Bugis dan aksara Lontara. Meski demikian selalu ada upaya dari berbagai pihak yang punya perhatian lebih pada aksara Lontara.

Tantangan modernitas ini mampu dijawab oleh salah seorang tenaga pengajar Bahasa Daerah dari salah satu sekolah peserta Kaligrafi Lontara, Ibu Rahmaniar atau sering saya sapa dengan panggilan Kak Niar. Beliau adalah seorang guru Bahasa Daerah di SMP Negeri 2 Kota Parepare. Kegigihannya dalam meningkatkan kesadaran melestarikan bahasa Bugis mampu beliau terjemahkan dalam perilaku sehari-hari. Beliau lebih sering berbahasa Bugis setiap berbicara dengan siapapun yang juga menguasai bahasa itu. Bu Rahmaniar juga menginisiasi beberapa event terkait peningkatan kesadaran berbahasa ibu melalui IGBD Kota Parepare dengan melibatkan kolaborasi dari berbagai pihak. 

Kegigihannya dalam upaya mempertahankan bahasa ibu kemudian mengantar beliau meraih penghargaan guru inovatif tingkat kota dan berbagai penghargaan lainnya hingga ke tingkat nasional. Berbagai model  pembelajaran bahasa daerah yang inovatif beliau terapkan pada siswanya. Beberapa di antaranya adalah siswa diminta membuat liputan menggunakan bahasa Bugis dan memadukan karya kaligrafi Lontara dengan membuat karya seni rupa menggunakan bahan-bahan daur ulang. 

Di sekolah yang diasuh oleh Ibu Rahmaniar, saya bertemu seorang murid yang samar tak kuingat lagi namanya, namun kedua orang tuanya adalah perantau Jawa yang sudah tinggal puluhan tahun di Parepare. Saat kelas “Kaligrafi Lontara” berjalan, murid tersebut yang paling fasih berbahasa Bugis dan sekilas siapapun tak akan percaya bahwa dia dilahirkan oleh orang tua berdarah Jawa. Kendati demikian, ketika pulang ke rumah, dia kembali menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dalam lingkup keluarganya. 

Gambaran seperti ini kemudian menjadi refleksi bahwa lingkungan yang baik pasti akan membentuk hal-hal yang senantiasa berjalan mendekati tujuannya. Kecakapan guru sebagai pengajar tak hanya sebatas ketentuan-ketentuan kurikulum, namun mesti juga mendorong kreativitas anak untuk mengeluarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya.

Roadshow Kaligrafi Lontara telah memberikan nuansa baru bagi sekolah, guru dan murid. Mata pelajaran Bahasa Daerah yang terkesan membosankan bagi murid hanya butuh sedikit sentuhan suasana belajar baru dan yang lebih menyenangkan. Terbukti selama proses pelaksanaan “Kaligrafi Lontara”, semua murid yang kami temui menyambut dengan riang. Mereka membuat karya tak hanya satu gambar saja, beberapa di antaranya bahkan menyetorkan 2-3 gambar yang diselesaikan selama dua jam. Selain itu, beberapa murid juga lebih berani berekspresi dengan memindahkan media gambar dari kertas ke kanvas atau ke media-media lainnya. 

Guru-guru Bahasa Daerah memberikan respon yang baik kepada kami, mereka bahkan meminta file slideshow yang dibuat oleh Endo untuk digunakan sebagai bahan presentasi kepada siswa-siswanya yang tidak sempat mengikuti “Kaligrafi Lontara”. Hasil akhir dari “Kaligrafi Lontara” ini adalah seluruh hasil karya peserta akan dipamerkan saat gelaran “Festival Aksara Lontara”. Pameran ini juga merupakan hal baru bagi siswa dan gurunya. Mereka jadi punya gambaran lain mengenai metode mengajar dan belajar untuk subjek ini.

Bagi kami sebagai fasilitator program, di sela-sela waktu roadshow, kami kerap kali berdiskusi mengenai pengalaman pertama kami mengerjakan kegiatan yang berkaitan dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara. Tentu lewat program ini kami mendapatkan lebih banyak lagi pengalaman yang kompleks, bukan sekadar baca tulis aksara Lontara, namun juga bersentuhan dengan kultur pengajaran bahasa yang tidak “menyeluruh” dipraktikkan.

Salah satu kondisi yang kami temui adalah sikap pihak sekolah yang lebih mementingkan segelintir anak cemerlang dan berprestasi dalam mengikuti kompetisi-kompetisi prestisius. Terbukti ada beberapa sekolah mitra yang memilih peserta program ini berdasarkan urutan ranking, pengalaman lomba, atau memang dinilai bisa menggambar dengan baik. Jauh hari sebelum kami menyambangi sekolah, kami hanya meminta untuk mengikutkan siswa yang punya minat saja, tanpa ada catatan prestasi atau batasan lainnya.

Pameran Aksara Lontara

Roadshow Kaligrafi Lontara menghasilkan sekitar 340 karya dari seluruh siswa yang mengikuti program. Karya ini kemudian dikurasi oleh fasilitator dari segi penulisan serta kesesuaian gambar dengan pesan aksara yang dimuat. Apa yang terjadi kemudian adalah kebanyakan karya keliru menempatkan tanda baca, sehingga menyulitkan kami untuk membacanya. Padahal saat kegiatan berlangsung guru Bahasa Daerah juga berada di dalam kelas. Ada juga yang menuliskan huruf terbalik, maka ketika aksaranya dibaca ia tak berarti apapun. 

Hadirnya gambar pada karya menjadi penolong saat kami “tersesat” memaknai setiap kata yang dituliskan oleh siswa. Beberapa tulisan kami perbaiki sebelum ditampilkan pada pameran. Hal ini cukup penting untuk kami lakukan karena yang ingin dicapai adalah bagaimana membuat semua pengunjung yang hadir dapat membaca kaligrafi Lontara dengan benar. Saat pameran, panitia menyiapkan panduan membaca teks aksara Lontara agar siapapun bisa terbantu membaca karya yang dipamerkan. Sebagian besar pengunjung pameran mengaku pernah lancar membaca aksara Lontara saat bersekolah, akan tetapi setelah dewasa kemampuannya berkurang karena sudah tak ada lagi tuntutan untuk mempelajarinya. Ditambah dengan sangat jarang ditemui teks Lontara dalam keseharian yang setidaknya mampu melanggengkan kemampuan kita membaca teks Lontara.

Aksara Lontara belakangan hanya menjadi ornamen kedaerahan yang ditempatkan pada desain seragam batik siswa dan guru yang rata-rata tak mengandung kata apapun. Aksara Lontara hanya disusun secara acak dan hanya menjadi penanda identitas saja. Di Kota Parepare penggunaan Aksara Lontara dapat ditemui pada papan nama-nama jalan yang ukurannya tak begitu besar dan mungkin juga tak ada yang peduli. Bagi kami, menanamkan nilai-nilai keluhuran dan etos hidup orang Bugis juga tak kalah penting dengan mempelajari cara baca dan menulis aksara Lontara dalam hidup sehari-hari. 

Menanamkan nilai-nilai budaya seperti ini bukanlah pekerjaan mudah, tugas ini menjadi tanggung jawab bersama. “Kaligrafi Lontara” hanya sebagian kecil dari upaya itu. Namun, gerakan-gerakan kecil seperti ini jika dilakukan terus menerus tentu akan memberi dampak yang lebih besar. Ada banyak hal yang perlu dibenahi sebelum kita bertemu penutur terakhir bahasa Bugis. Jika penuturnya sudah tiada, maka aksara Lontara dan beragam pengetahuan yang dibawa oleh bahasa ini hanya akan menjadi sejarah. 

Pengunjung pameran Aksara Lontara. Sumber: Dok. Mursyidin.

Editor: Margareth Ratih Fernandez

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Syahrani Said di rubrik Layar menunjukkan apa yang mungkin terjadi setelah sejarah terlupakan. Aksara Lontara, Bahasa, dan Makna yang Tak Menubuh mengudar pengalaman Syahrani ‘menghidupkan’ kembali aksara Lontara di Parepare, sebuah kota di […]

Kalender Postingan

Kamis, Februari 13th