Mande Rubayah tak pernah membayangkan hidupnya akan bergelimang tragedi. Pertama-tama, atas nama tradisi merantau, suaminya hengkang dan tak pernah kembali. Sang suami terakhir terlihat menaiki geladak kapal, menyogsong segara sebelum lenyap dibawa angin. Bertahun tak ada kabar, tiada pula uang kiriman. Ini membuat Mande Rubayah harus pontang-panting membesarkan anak semata wayangnya seorang diri; ia jadi full time single mom. Ketika beranjak dewasa, sang anak mengikuti rekam jejak bapaknya: merantau naik kapal ke negeri seberang, menjemput sukses. Bursa kerja di kampung mereka tampaknya memang terbatas dan memprihatinkan. Agar buah hatinya punya hari esok yang lebih mantap secara finansial, Mande Rubayah harus kembali menghadapi perpisahan dengan hati nestapa. Alangkah betapa.
Akan tetapi, tak seperti bapaknya, sang anak tak lantas bernasib gaib. Kabar angin perihal anak itu terus tersiar ke kampungnya, terutama tatkala ia sukses gilang-gemilang meniti tangga karier sebagai saudagar. Suatu ketika, sang anak yang sukses jadi saudagar itu berlayar ke kampung halamannya. Tapi ini bukan perjalanan pulang, melainkan ekspedisi dagang semata, semacam perjalanan dinas. Bersama kapalnya yang megah dan penuh komoditas ekspor, ia membawa serta istrinya, yang tentu saja sangat fashionably elegant—maklum, dari kalangan old money. Kabar kedatangan saudagar ini tentu saja hinggap di radar pendengaran Mande Rubayah. Ia segera bergegas menuju pesisir.
Meski sudah bertahun lamanya terpisah, dua tubuh yang pernah manunggal itu tetap bisa saling mengenali satu sama lain. Mande Rubayah mengenali sang saudagar sebagai anaknya, darah dagingnya, betapa pun tampilan sang anak sudah berubah drastis karena mengalami semacam financial freedom, sudah tajir melintir—crazy rich kalau kata anak sekarang. Gelombang kangen bergolak dahsyat di hati Mande Rubayah. Ia menghambur dan hendak memeluk anaknya. Ia histeris. Kau akhirnya pulang, Nak! Kau akhirnya pulang! Ini aku, ibumu! Sang saudagar pun sebenarnya mengenali Mande Rubayah sebagai ibu yang telah melahirkan dan menyusuinya. Namun, gengsi membuatnya menampik kehadiran sang ibu. Di hadapan istri, awak kapal, dan tatapan warga, ia malu mengakui ibunya yang papa dan compang-camping. Saudagar tajir itu menghardik dan konon bahkan mendorong Mande Rubayah hingga terjengkang. Pergi kau, pengemis!
Hati Mande Rubayah tentu saja koyak. Ia barangkali kuat menghadapi perpisahan dan payahnya hidup dalam kesendirian, tetapi dilupakan dan dicampakkan? Ini sungguh tak tertanggungkan. Puncak tragedi terjadi tatkala Mande Rubayah merapal kaul. Jika benar saudagar itu anakku, aku tak sudi memaafkannya. O tumpaslah ia jadi karang! Penguasa langit dan laut segera mengabulkan kata-kata Mande Rubayah. Saat saudagar itu kembali berlayar, petir menyambar-nyambar, badai mengamuk. Kapal sang saudagar karam digulung gelombang. Sang saudagar terdampar di bibir pantai kampungnya, meregang nyawa. Tubuhnya perlahan membeku, menjadi batu. Kisah ini lalu diabadikan para perawi dan hinggap di telinga kita hari ini sebagai hikayat Malin Kundang Si Anak Durhaka.
Hikayat asal Sumatra Barat itu juga kondang di berbagai kawasan Semenanjung Melayu. Dalam esai “Stories of A People”, Colin Nicholas mencatat hikayat itu beralih rupa menjadi Si Tenggang di Malaysia. Walter William Skeat juga menemukan kisah serupa bertajuk Charitra Megat Sajobang, yang ia himpun dalam Malay Magic (2015). Kepopuleran hikayat ini, dalam berbagai versinya, juga ditopang oleh kerja alih wahana lintas zaman. Pada 1971, sutradara D. Djajakusuma melayar-lebarkan hikayat itu jadi film berjudul Malin Kundang (Anak Durhaka)—naskahnya ditulis sastrawan Asrul Sani. Wisran Hadi juga menggubahnya menjadi drama berjudul Malin Kundang (1978) dan Puti Bungsu (1979). Pada 1980-an, Dasril Bayras dan Ibenzani Usman bahkan merekonstruksi hikayat itu ke dalam relief batu di Pantai Air Manis, Padang Selatan. Karya duet seniman patung itu adalah instalasi legendaris di Kota Padang. Yang agak mutakhir, pada 2020, Galeri Indonesia Kaya mengolah hikayat itu menjadi tema dalam drama Musikal di Rumah Aja.
Semua itu setidaknya menunjukkan betapa hikayat Malin Kundang bukanlah pengantar tidur semata. Ia adalah hikayat hidup yang memuat pesan dan makna penting, terutama bagi masyarakat berbudaya rantau. Bagi anak-anak, kisah Malin Kundang adalah pengingat romantik tentang otoritas orangtua/ibu. Bagi orang muda yang hendak melanglang buana, kisah ini adalah alarm bagi niat-niat yang tak luhur–misalnya: ingin merantau ke kota biar bisa dugem. Sayangnya, resepsi personal semacam ini segera menjadi klise.
Lebih jauh, Malin Kundang bisa dilihat sebagai rambu sosial yang pas untuk menandai fenomena amnesia sejarah. Ritus rantau yang melatari kisah itu adalah prototipe gejala urbanisasi. Dan dalam gejala semacam itu, tubuh-tubuh kampung yang hijrah ke kota rentan mengalami pelupaan atas sejarah mereka. Bagi Malin Kundang, Mande Rubayah adalah masa silam, sejarah hidup yang tak lagi relevan dan karenanya berusaha keras ia tampik. Meminjam telaah Paul Ricoeur dalam Memory, History, Forgetting (2004), penyangkalan Malin Kundang atas ibunya adalah bentuk pelupaan yang disengaja. Menurut Ricoeur, pelupaan yang disengaja semacam itu adalah cara kerja kekuasaan untuk memanipulasi identitas kolektif. Mande Rubayah akan membuat Malin Kundang kembali pada identitas kolektifnya sebelum merantau: orang kampung, udik, miskin. Padahal, Malin Kundang sudah punya identitas baru: saudagar tajir, elit. Ia tak mau lagi dikenal dan diingat sebagai orang yang pernah susah, apalagi pernah menelantarkan ibunya. Bisa hancur reputasinya. Kekuasaan kelas, urbanisasi, dan modernisasi bekerja dalam benak Malin Kundang ketika sengaja melupakan Mande Rubayah.
Bagi Michel-Rolph Trouillot, sejarah bukan semata soal ingatan, tetapi juga soal apa yang dilupakan. Dalam Silencing the Past: Power and the Production of History (1995), Trouillot memapar kerja sistematis kekuasaan dalam memilah-milih peristiwa/nama untuk diingat sebagai sejarah. Dalam kerja sistematis itu, sejarah adalah hasil penyisihan atau pelupaan. Ketika menjadi saudagar tajir, Malin Kundang jelas punya kuasa untuk menyisihkan sejarahnya sebagai orang kampung, sebagai anak Mande Rubayah. Sejarah bagi Malin Kundang adalah periode ketika ia telah berkelimpahan, telah merengkuh urbanisasi dan modernisasi. Barangkali, masa silamnya yang udik menyisakan bekas sayat trauma bagi Malin Kundang. Melarat dan tak punya ayah saja sudah cukup berat dibayangkan.
Sebagai subjek yang bergerak merengkuh masa depan, Malin Kundang sangat mungkin bersengaja menampik anasir masa silamnya yang traumatik. Terkadang, manusia punya kecenderungan melupakan sejarah untuk melanjutkan hidup, sebagaimana dibahas Friedrich Nietzsche dalam On the Advantage and Disadvantage of History for Life (1980). Menurut Nietzsche, manusia bisa bersikap kritis pada sejarah untuk membebaskan diri dari pengaruhnya. Jika kita menggunakan perspektif Nietzsche itu, maka Malin Kundang Sang Saudagar bisa dilihat sebagai subjek urban-modern yang hendak ‘membebaskan’ dirinya dari pengaruh sejarah Mande Rubayah sebagai subjek rural-tradisional.
Nah, rangkaian tulisan yang muncul di Lau Ne edisi kali ini bisa kita baca menggunakan tamsil hikayat Malin Kundang. Kita akan berjumpa dengan tulisan-tulisan yang berusaha menjangkau berbagai sejarah kota melalui sudut-sudut yang mulai terlupakan. Dan sebagaimana hikayat Malin Kundang, tulisan-tulisan dalam edisi kali ini melibatkan latar serta peran kawasan pesisir.
Pada rubrik Jangkar, F Daus AR memapar masa kini Pangkajene, Sulawesi Selatan, yang diterpa dilema perihal air. Ibu kota Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) itu terendam banjir saat musim hujan dan kerontang pada musim kemarau. Padahal, Pangkep punya situs yang menyejarah berupa bandar dan perbukitan karst. Dalam tulisan berjudul Kota yang Dikepung Lalu Ditinggalkan Air ini, kita bisa melihat sejarah pembangunan Pangkep sebagai kerja pembentukan identitas urban-modern sekaligus kerja pelupaan atas tradisi maritim dan ekosistem karst. Ketimbang membangun tata kelola sungai dan area pesisir, pemda Pangkep lebih khusyuk membangun artefak seni rupa berupa patung dan monumen penanda kekuasaan, juga menimbun sawah jadi perumahan. Industri tambang pun melaju kencang menggerus ingatan purba tentang peran bukit kapur.
Tulisan Syahrani Said di rubrik Layar menunjukkan apa yang mungkin terjadi setelah sejarah terlupakan. Aksara Lontara, Bahasa, dan Makna yang Tak Menubuh mengudar pengalaman Syahrani ‘menghidupkan’ kembali aksara Lontara di Parepare, sebuah kota di pesisir Sulawesi Selatan. Aksara Lontara sendiri adalah perangkat linguistik suku Bugis yang kini tak lagi digunakan dalam lelaku bahasa keseharian. Padahal, aksara ini dipakai untuk menulis kitab La Galigo, sebuah karya sastra terpanjang yang mengalahkan kisah perang saudara Mahabarata (India). La Galigo menceritakan asal muasal kehidupan manusia, perang, mitos serta pengaruh Islam dalam kebudayaan masyarakat Bugis. Naskah asli La Galigo kini berada di Belanda.
Di rubrik Jala, terdapat dua tulisan yang sama-sama bicara soal lanskap pesisir di Jawa Timur. Keduanya bisa kita lihat menggunakan kacamata baca konsekuensial: apa yang sedang terjadi di satu kawasan pesisir bisa jadi adalah masa depan bagi kawasan pesisir yang lain. Menariknya, kedua tulisan di rubrik ini sama-sama memadukan catatan sejarah dan arsip konvensional dengan tuturan warga, keduanya diposisikan setara untuk menelisik masa kini dan masa silam. Ini penting sebab, di pesisir, sejarah dan ingatan warga timbul-tenggelam dihempas gelombang zaman.
Menyisir Pesisir, Menebak Ombak dari Gata Mahardika menyingkap bentuk-bentuk kerja pelupaan yang terjadi di pesisir Gersik. Tulisan ini menelusuri perubahan lanskap teritorial dan lanskap sosial yang berlangsung melalui amatan keseharian serta recalling ingatan. Dari amatan itu, kota sebagai panggung urban jadi niscaya tak bisa dilepaskan dari dramaturgi pembangunan yang terus-menerus ‘dimainkan’ oleh kekuasaan. Dalam tulisan Gata, kita bisa melihat bagaimana industrialisasi secara vulgar membangun batas tidak hanya antara darat dan laut, tetapi juga antara manusia dan alam, antara masa kini dan masa silam.
Sementara itu, Menangkap Ikan, Menyelami Sejarah Pelabuhan Muncar dari Hamdan T menawarkan lanskap sosial pesisir Banyuwangi, yang terdiri dari berbagai etnis dan karenanya juga terdiri dari berbagai sejarah. Sejarah pelabuhan dalam tulisan Hamdani adalah hasil dari peleburan berbagai identitas, juga kuasa. Dalam peleburan itu, anasir kampung dan kota, tradisi dan modernitas, masa kini dan masa silam hidup dalam satu tarikan napas yang sama. Di pesisir Muncar, contoh peleburan simultan itu bisa dilihat misalnya dalam koreografi sosial Petik Laut.
Mengisi rubrik Nahkoda, Carlin Karmadina mengajak Monika Bataona bercakap-cakap dalam Merawat Ekosistem Laut, Merawat Identitas. Percakapan ini akan membawa kita ke laut indah di Larantuka, Flores Timur. Monika Bataona, atau kerap disapa Monik, adalah seorang penyelam yang juga terlibat aktif dalam kerja-kerja konservasi ekosistem laut. Menariknya, Monik melihat relasi kuat antara pelestarian alam dan perawatan identitas kolektif. Kerja-kerja pelestarian alam adalah bagian dari kerja-kerja perawatan ingatan bersama, baik itu atas tradisi, adat, atau sejarah. Dengan kata lain, merusak alam adalah bentuk pengingkaran pada sejarah. Untuk mencegah dosa sosial semacam itu, Monik mengembangkan proyek pengarsipan cerita adat sebagai siasat artistik.
Rangkaian tulisan dalam edisi kali ini membawa kita melihat daerah-daerah yang warganya menujukkan gejala Malin Kundang: berubah seiring waktu. Bedanya, perubahan Malin Kundang terjadi karena perpindahan ruang secara ekstrem. Sementara itu, warga hari ini mengalami perubahan di ruang yang sama. Perpindahan telah bergeser dari ruang ke pengetahuan. Dan dalam pergeseran itu, ada kampung-kampung yang sedang bersolek menjadi kota; ada manusia yang mulai memunggungi tradisi, ada kekuasaan yang memilah dan memilih ingatan, dan—sebagaimana Mande Rubayah—sejarah senantiasa memanggil-manggil meski kita telah lama meninggalkannya. Ia tak meminta kita pulang kembali ke masa silam. Ia hanya minta kita mengakuinya: iya, kami berasal dari sejarah hidup semacam itu, kami telah tumbuh darinya. Apa yang bisa kami lakukan dengannya di masa depan?
Tulisan-tulisan dalam edisi ini juga menunjukkan bahwa pengingkaran pada sejarah kerap berdampak buruk. Urbanisasi dengan gejala amnesia sejarah membuat kita gegar arah, tak punya pijakan yang kokoh untuk menapaki hari ini dan hari esok. Ruang juga menjadi asing karena ingatan tentangnya senantiasa patah. Tubuh-tubuh kita limbung dan linglung di hadapan ruang yang terus-menerus bersolek menjadi baru, menjadi modern dan urban. Dalam situasi seperti itu, bencana arsitektural, degradasi ekologis, katastrofi industrial, dan berbagai macam tulah sosial muncul mengepung kita. Jika ini terus berlangsung, semua daerah mungkin akan mapan menjadi kota… Kota yang disesaki batu-batu tanpa nyawa.