Bahasa dalam Medan Produksi Kebudayaan

Ada ilustrasi menarik soal bahasa, dikisahkan oleh Seno Gumira Ajidarma.

Di suatu pagi yang cerah, seseorang datang dan mengetuk pintu rumah Anda. Anda bangun, membuka pintu dan mendapati tiga orang bertubuh tegap-kekar, berseragam militer berkata:

‘Selamat pagi, Anda kami amankan’

Apakah Anda merasa sungguh-sungguh ‘aman’ setelah mendengar kalimat tersebut?

Bahasa pada dasarnya adalah alat komunikasi yang memuat gagasan dan ekspresi tertentu, terwujud dalam tanda dan simbol, disampaikan oleh seorang pemberi pesan kepada penerima pesan. Ia sejak awal politis karena fungsi dan tujuannya. Sebagai alat, ia berpeluang digunakan untuk ragam tujuan. Sistem tanda dan lambang dalam bahasa tentu tidak pernah stabil. Ia terdistorsi di level pemaknaan, dengan subjek juga konteks yang berbeda-beda ketika ia dipresentasikan. 

Labilitas pemaknaan dalam bahasa berusaha distabilkan dalam konteks tertentu, misalnya dalam bahasa hukum atau bahasa medis. Dalam disiplin-disiplin ini, makna sebisa mungkin tunggal dan arbiter. Di lain sisi, labilitas bahasa justru dimanfaatkan untuk membangun makna-makna yang ambigu dan otoritatif sebagai alat kontrol oleh yang dominan terhadap yang subaltern. 

Pierre Bourdieu menempatkan bahasa sebagai unsur penting dalam kajian filosofis tentang struktur sosial dan medan produksi kebudayaan. Bagi Bourdieu, ada tiga karakter penting dari bahasa, yaitu sebagai kapital budaya, praktik sosial, dan medan pertarungan kekuasaan.

Sebagai kapital budaya, bahasa pada dasarnya adalah kemampuan spesifik yang diperoleh manusia karena karakter sosialnya. Manusia hanya mampu berbahasa karena ia belajar dari interaksi dengan manusia lain erta lingkungannya. Melalui bahasa, manusia bisa melakukan pemaknaan-pemaknaan simbolik. Dengan demikian, penguasaan terhadap bahasa memungkinkan seseorang mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam medan pertarungan sosial. 

Menurut Bourdieu, semua praktik sosial memiliki kepentingan di baliknya. Bahasa tak luput dari ‘kepentingan’ tersebut, sebab ia memuat asumsi, nilai-nilai, dan ideologi sebagai hasil interaksi antara struktur sosial yang objektif dengan habitus linguistik yang dimiliki pelaku sosial. Teks dan wacana sebagai bentuk paling sosial-performatif dari bahasa memuat logika ini.

Dengan demikian, bahasa tentu adalah alat paling jitu yang bisa dipakai dalam pertarungan kekuasaan demi mencapai keuntungan yang paling tinggi bagi manusia yaitu terengkuhnya kapital simbolik kehormatan dan pengakuan atas posisinya di dalam hirarki sosial. Bagi Bourdieu, interaksi sosial pada dasarnya adalah perebutan dominasi yang amat menentukan identitas individu dan sosial serta kapital simbolik.

Oleh kekuasaan, bahasa bisa digunakan untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan melalui bentuk-bentuk sensor dan eufemisme yang disebut Bourdieu dengan mecornraissance. Ketika itu terjadi, kekuasaan sebenarnya sedang mengoperasikan kekerasan simbolik sebagai upaya opresi atau pengkonstruksian kesadaran palsu pada medan sosial tertentu. 

Artikel-artikel dalam jurnal Lau Ne edisi kali ini membahas dan berefleksi tentang bahasa yang hadir dan berkontestasi dalam berbagai konteks sosial yang beririsan dengan penggunaan kapital simbolik sebagai alat kontrol juga opresi oleh kekuasaan tertentu, terutama negara. 

Dimas Radjalewa dalam artikel berjudul Hegemoni dan Legitimasi Linguistik dalam Kebijakan Revitalisasi Bahasa Daerah di Indonesia menyoal tentang logika dominasi yang kolonialistik dari salah satu program unggulan Kemendikbudristek,  Merdeka Belajar 17: Revitalisasi Bahasa Daerah. ‘Program ini sekilas terlihat sangat menjanjikan dan menjadi harapan di tengah ancaman kepunahan berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia saat ini. Namun, investigasi lanjutan terutama pada politik dan ideologi  di balik kebijakan ini justru menunjukkan ancaman yang jauh lebih mengerikan, yaitu legitimasi dan hegemoni linguistik di Indonesia.’

Dalam artikel berjudul Jurnalisme yang Ramah Gender dan Seksualitas, Carlin Karmadina merefleksikan pengalamannya menelusuri pemberitaan media massa di Maumere mengenai para waria. Bagi Carlin, ini adalah bagian kecil dari seluruh upayanya mempelajari serta terutama dalam membangun pemahaman yang komprehensif dan setara tentang keragaman gender dan seksualitas. Catatan penting dari Carlin adalah ‘media punya andil besar terhadap cara masyarakat memahami kelompok minoritas gender dan seksualitas. Jika pemberitaan terhadap mereka diskriminatif, maka pandangan masyarakat pada kelompok ini rentan dengan stigma dan diskriminasi. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah kebijakan.’

Aura Asmaradana dalam artikel berjudul Bahasa Kesunyian dan Jarak Antarkita berbagi pengalaman menonton dan cerapannya atas film ‘The Silence’ (2019). Artikel ini menekankan kesunyian sebagai bagian penting dari sebuah pemaknaan. Kritik tajam dilontarkan atas kecenderungan verbalisme yang miskin refleksi dan kerap ditemui dalam kenyataan sehari-hari. Aura menulis demikian, ‘kita begitu mudah menciptakan bahasa, membuatnya berevolusi agar dapat memahami satu sama lain. Ketika percakapan-percakapan mulai melenyapkan jarak antarkita, bukan tidak mungkin kita lupa hadir untuk diri kita sendiri.’

Wawancara dengan Ari Dwianto menegaskan soal operasi teks dan wacana oleh kekuasaan sebagai alat opresi dan kontrol sosial dalam ruang-ruang publik dan domestik turut berpengaruh pada pemahaman serta pemaknaan diri seseorang. Sebagai performer, Ari Dwianto membangun disiplin keaktorannya lewat tiga kata kunci personal-biografis: tubuh, memori, dan trauma. Ketiganya dilatari oleh konteks ia dibesarkan: zaman Orde Baru. Kisahnya bisa dibaca dalam artikel berjudul “Saya Takut Bapak!”: Tubuh, Memori, dan Trauma dalam Perjalanan Keaktoran Ari Dwianto.

Sidhi Vhisatya menambahkan gugatan yang sangat penting atas penggunaan bahasa oleh negara dan media di Indonesia sebagai alat opresi dan kontrol sosial, lewat riset arsip berjudul ‘Menolak Tunduk!’, Ragam Kunjungan Komunitas Transpuan sebagai Bentuk Protes dan Solidaritas. Berangkat dari penelitian bersama Perwakas dan Komunitas KAHE tentang sejarah solidaritas transpuan di Maumere, ia menelusuri kembali arsip media massa di koleksi Queer Indonesia Archive (QIA) untuk mendapatkan lebih banyak konteks gerakan transpuan di Indonesia. Seperti halnya anggota Perwakas, komunitas transpuan di daerah lain juga berulang kali melakukan kunjungan ke berbagai lembaga. Beberapa di antaranya terekam dalam artikel media massa sejak tahun 60-an. Kunjungan-kunjungan ini kebanyakan dilakukan secara kolektif, baik untuk menyampaikan protes, memastikan pelibatan komunitas dalam program-program yang diinisiasi oleh pemerintah maupun untuk memproklamasikan diri.

Di akhir risalahnya tentang bahasa, Bourdieu mencatat, kesadaran bahwa bahasa adalah kapital budaya dalam praktik sosial yang digunakan dalam seluruh pertarungan kekuasaan menuntun kita untuk tetap kritis serta dialektis ketika berhadapan dengan wacana-wacana dominan yang secara sadar atau tidak hadir serta diterima sebagai sesuatu yang lazim dan terberi.

Selamat membaca. 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st