Bahasa Kesunyian dan Jarak Antarkita

Di manakah saya bisa menemukan oase di tengah ramainya Kota Denpasar? 

Tempat yang tenang, tanpa suara knalpot dan suara binatang ternak atau peliharaan; tempat sunyi senyap agar suatu hari ketika Vesp menyerang, saya bisa bertahan hidup. Sebab mungkin, di belahan bumi lain, sekelompok ilmuwan sedang berusaha memetakan jalur baru gua yang tak pernah terjamah sebelumnya, kemudian mendapati gerombolan Vesp bersarang di situ. 

Imajinasi saya melantur. Ini gara-gara “The Silence”, sebuah film horor/thriller yang dirilis pada tahun 2019. Film ini disutradarai oleh John R. Leonetti dan dibintangi oleh Stanley Tucci, Kiernan Shipka, Miranda Otto, dan beberapa aktor lainnya. 

“The Silence” menceritakan kisah keluarga Andrews yang berjuang untuk bertahan hidup dalam situasi mencekam. Dunia diserang oleh makhluk mutan gua yang memburu dengan memanfaatkan indra pendengaran mereka. Vesp ditemukan dalam proses pemetaan jalur baru sebuah gua. Makhluk mirip kelelawar itu buta, tetapi mereka membunuh makhluk-makhluk yang membuat suara, termasuk manusia. 

“Mereka tak bisa melihat. Hanya bisa mendengar.” Ujar Hugh Andrews, sang ayah, dengan bahasa isyarat. Satu-satunya jalan untuk selamat adalah berkomunikasi dengan suara seminimal mungkin. Dunia menjadi sunyi senyap, beberapa hanya berkomunikasi menggunakan tulisan. Maka, keberadaan Ally Andrews, gadis remaja yang tuli adalah sudut pandang yang menarik. “Ayah, aku tahu cara hidup dalam keheningan. Kita semua tahu caranya.” 

Keluarga itu mencari-cari perlindungan dalam dunia yang sunyi. Mereka berusaha untuk menjaga keheningan agar tidak menjadi mangsa dari para Vesp. Dalam perjalanan mereka mencari tempat perlindungan, mereka harus menghadapi berbagai bahaya dan tantangan, termasuk serangan dari manusia yang bertekad untuk bertahan hidup dengan cara apa pun.

“The Silence” berpusat pada konflik alam dan konflik personal: antara usaha manusia bertahan hidup dalam kesunyian, sembari berupaya menghadapi dunia yang berubah cepat dan penuh dengan ancaman tak terduga. Bagi beberapa orang, kesunyian adalah anugerah, sementara bagi yang lain, kesunyian bisa menjadi tantangan atau pengalaman yang menakutkan.

Sebetulnya di banyak film kita bisa menemukan bahwa kesunyian sama kuatnya dengan dialog dan segala jenis keriuhan. Kesunyian bermakna banyak dan digunakan untuk menciptakan berbagai efek emosional, psikologis, dan naratif. Namun, “The Silence” tidak hanya menghadirkan kesunyian sebagai simbol. Ketegangan antara konflik personal dan dunia sejak awal sudah menciptakan ruang bagi plot untuk bergerak, menciptakan atmosfer tegang yang intensif. Kesunyian merupakan tujuan naratif dari film ini. 

Bahasa isyarat, sebagai sebuah sistem komunikasi visual-gestural yang digunakan oleh orang-orang tuli dan/atau bisu untuk berbicara, menjadi sentral dalam “The Silence”. Penonton dibuat menyadari tentang proses komunikasi manusia yang berevolusi. Perlu diingat bahwa bahasa isyarat bukanlah penciptaan tunggal atau keputusan yang sengaja dibuat pada suatu titik waktu, melainkan merupakan hasil evolusi alami dalam upaya untuk berkomunikasi di antara individu tuli dan/atau bisu di dalam masyarakat. 

Maka ketika manusia dijajah Vesp, bukan hanya keluarga Andrews yang bisa bertahan karena mereka menguasai bahasa isyarat, keluarga lain pun bisa bertahan dengan mempelajari bahasa isyarat, bahasa kesunyian itu. Jika sebelumnya orang-orang dengan kemampuan dengar hanya bisa mereka-reka apa yang terjadi pada dunia seorang tuli, maka dalam konflik film ini, mereka bisa mengalaminya, atau dituntut untuk mengalaminya sendiri. Persoalan personal seorang tuli yang seringkali sendiri, terisolasi, dan memiliki jurang emosional tertentu dengan orang lain, kemudian bergerak menjadi masalah bersama, masalah massal. 

Komunikasi dan bahasa adalah peneguh adanya jarak. Komunikasi memungkinkan individu untuk membentuk dan memelihara hubungan interpersonal. Melalui interaksi verbal dan non-verbal, orang dapat mengembangkan hubungan yang mendalam dan bermakna dengan orang lain. Sementara fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. 

Namun bahasa verbal punya berbagai problem. Ia membatasi ekspresi manusia. Bahasa verbal seringkali mereduksi isi pikiran atau perasaan. Beberapa konsep atau nuansa emosional mungkin sulit untuk diungkapkan secara verbal, terutama jika pembicara tidak memiliki kosa kata yang cukup atau kefasihan dalam bahasa verbal. Selain itu, dalam interaksi sosial, ada situasi tertentu di mana salah satu pihak memiliki kekuasaan atau otoritas yang lebih besar daripada yang lain. Hal ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan dalam penggunaan bahasa verbal, di mana pihak yang lebih kuat secara sosial dapat mendominasi percakapan dan menindas pihak lain.

Maka kesunyian memiliki kekuatan untuk menyampaikan berbagai pesan dan makna. Dalam hubungan interpersonal, kesunyian menjadi bentuk penghargaan dan kehormatan. Seseorang bisa saja merasa bahwa kata-kata tidak perlu diucapkan untuk mengungkapkan kehadiran, dukungan, atau cinta. Kesunyian dapat menjadi cara yang sangat kuat untuk menyampaikan perasaan-perasaan itu. 

Kesunyian menjadi cara untuk menerima dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Memberi orang lain ruang untuk berbicara tanpa interupsi atau tanpa memberikan tanggapan langsung juga merupakan bentuk komunikasi yang kuat. Kesunyian memberi ruang reflektif untuk memahami diri sendiri, mengumpulkan pikiran, atau mengevaluasi pengalaman. Kesunyian menciptakan jarak dengan liyan, sekaligus dengan diri sendiri.

Kesadaran akan jarak itulah yang pada era postmodern coba untuk dipanggil kembali. Di tengah dunia yang semakin merekatkan interaksi sosial; semakin mudah mempertukarkan informasi; dan semakin riuh, kita dituntut lagi untuk mengambil jarak, mempertimbangkan kesunyian. Idiom “diam adalah emas” digunakan oleh berbagai media seni untuk menyampaikan makna tertentu. 

Kesunyian di dalam karya 4′33″, misalnya, menjadi tonggak utama dalam komposisi modernis oleh komposer eksperimental Amerika, John Cage. Komposisi yang disusun pada tahun 1952 itu menginstruksikan pemain untuk tidak memainkan instrumen mereka selama keseluruhan durasi lagu selama tiga gerakan. 

Gerakan ini dibagi menjadi tiga gerakan, masing-masing berdurasi tiga puluh detik, dua menit, dan dua puluh tiga detik, dan satu menit empat puluh detik—meskipun Cage menyatakan bahwa durasi gerakan tersebut dapat ditentukan oleh musisi. Sesuai dengan judulnya, komposisi tersebut berdurasi empat menit tiga puluh tiga detik dan ditandai dengan masa hening.

Selain merupakan sebuah pernyataan radikal yang menentang konsep tradisional tentang musik, karya John Cage mengundang pendengar untuk merenungkan arti dari kehadiran dan keheningan dalam konteks musik dan kehidupan sehari-hari. Bagaimana keheningan dan ketiadaan suara juga bisa dianggap sebagai bagian dari pengalaman mendengarkan. Pendengar berpartisipasi aktif untuk mengisi ruang kosong dengan makna dan interpretasi pribadi mereka masing-masing.

Bagi saya, “The Silence” atau “4′33″” hanyalah satu dari sekian banyak turning point untuk membicarakan tentang kesunyian dan jarak antara liyan. Kesunyian adalah bahasa antarkita yang seringkali terlupakan di tengah dunia eksternal dan internal yang terus bergerak. Alam berubah, teknologi berkembang, menciptakan peristiwa-peristiwa alamiah tak terduga, global warming, kehancuran dan kelahiran makhluk-makhluk baru. Ideologi manusia berubah; pikiran, ucapan, dan tindakan terus berevolusi dalam diri seseorang. Kesunyian adalah bagian yang penting dari kehidupan yang bisa memberikan kedalaman, makna dan kebijaksanaan yang berharga bagi kita yang berubah itu. Dalam banyak kasus, kesunyian menawarkan kesempatan untuk pertumbuhan, pengembangan, dan pencarian makna yang mendalam dalam kehidupan manusia.

Dunia dan diri seperti roda gir yang bertaut satu sama lain. Hubungan manusia dan kesunyian bukan hanya perkara terciptanya perasaan tenang, damai, kekosongan ruang, atau kesendirian, tetapi menyiratkan ketidakhadiran dan kelupaan atas jarak dengan sesama. Bisa jadi, selama ini, kita terlalu ambisius pada kehadiran dan komunikasi dengan yang lain.

Para Vesp dalam “The Silence” ternyata tidak bisa hidup di daerah dingin. Daerah-daerah bersalju di bumi aman dari serangan mereka. Namun, Vesp terus beranak-pinak. Jumlahnya semakin banyak. “Vesp tidak menyukai hawa dingin, tapi akankah mereka berevolusi dan beradaptasi seperti sebelumnya? Akankah umat manusia berevolusi? Apa kami akan beradaptasi di dunia baru yang sunyi dan mempertahankan yang membedakan kami dari mereka?”

Kita begitu mudah menciptakan bahasa, membuatnya berevolusi agar dapat memahami satu sama lain. Ketika percakapan-percakapan mulai melenyapkan jarak antarkita, bukan tidak mungkin kita lupa hadir untuk diri kita sendiri.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Asmaradana dalam artikel berjudul Bahasa Kesunyian dan Jarak Antarkita berbagi pengalaman menonton dan cerapannya atas film ‘The Silence’ (2019). Artikel ini […]

Kalender Postingan

Senin, November 11th