Jurnalisme yang Ramah Gender dan Seksualitas

Suatu sore di ujung tahun 2018. Saat itu saya masih mahasiswa di salah satu universitas di Maumere. Saya dan beberapa teman mahasiswa dari kampus lain ikut nimbrung di obrolan Ferdy HY dan Khanis Suvianita. Khanis saat itu tengah mengerjakan disertasi untuk studi doktoralnya tentang waria di Maumere. Kami mengobrol tentang salah satu temuan risetnya: sebutan tradisional seperti kobek untuk laki-laki yang berekspresi seperti perempuan dan du’a ke’o la’i untuk perempuan yang berekspresi seperti laki-laki. 

Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan pada Khanis adalah pertanyaan khas (yang di kemudian hari saya dapatkan dari orang lain misalnya saat berbincang tentang gender dan seksualitas) seperti kenapa ada banci? Kenapa kampung di tempat saya dibesarkan ada banyak banci? Apakah ini karena gen? Dan pertanyaan lainnya. Perjumpaan pertama itu membuat saya pusing, karena obrolan itu berat dan tentu saja baru bagi saya. 

Kesempatan kedua datang lagi. Tahun 2019, saya mengikuti workshop “Keragaman Gender dan Seksualitas”, sebuah seminar tertutup yang berlangsung di Aula hotel Pelita. Waktu itu saya bertemu dengan Vera dan Mirna (Perwakas), Mayora (pendiri Fajar Sikka), Dede Oetomo (ketua GAYa Nusantara), dr. Elcid Lee dari IRGSC Kupang, dan aktivis HAM lainnya dari Maumere, juga sekali lagi Khanis Suvianita. Kegiatan itu berlangsung selama tiga hari, dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Saya pulang dengan pusing. Kepala saya penuh akan perdebatan akan nilai-nilai yang saya pegang. Beberapa pertanyaan kemudian muncul, apakah nilai yang saya pegang mendiskriminasi orang yang berbeda? Bagaimana saya sepatutnya melihat perbedaan?

Dua pengalaman itu adalah pengalaman awal saya bersinggungan langsung dengan orang-orang dengan identitas gender yang berbeda. Beberapa perjumpaan saya dengan teman-teman waria kemudian menjadi hal yang biasa, mengalir biasa saja. 

Dua perjumpaan yang saya lakukan itu menuntun saya untuk menulis skripsi mengenai pemberitaan tentang waria di media Maumere pada 2022. Saya mengajukan judul skripsi pada 2021, dan satu-satunya di angkatan saya yang menulis skripsi dengan analisis teks. Di kampus saya, tidak ada dosen yang melakukan penelitian spesifik tentang waria, sejarah, atau gerakannya di Maumere, meski tahun-tahun belakangan, Maumere menjadi kota kecil dengan ragam gerakan yang progresif. Pembacaan akan pemberitaan atas kelompok marginal menjadi penting.  

Alasan lain adalah kita sangat sering disuguhi dengan pemberitaan yang negatif tentang kelompok minoritas gender dan seksualitas. Hari ini, jika mencari berita dengan kata kunci “waria” di kolom pencarian google, kita tidak sulit menemukan pemberitaan negatif tentang waria. Banyak media di Indonesia yang mengemas pemberitaan minoritas gender dan seksualitas dengan judul yang bombastis, isi berita yang diskriminatif dan penuh stigma. Tak hanya media nasional, media lokal di NTT juga kerap memberitakan kelompok ini demi mendulang rating.

Salah satu media yang kemudian memberikan ruang yang bagi pemberitaan yang positif tentang waria adalah EKORA NTT, sebuah media yang berbasis di Maumere. 

Berita yang menjadi kajian skripsi saya adalah “Saya Perempuan yang Berkarya”. Berita ini ditayangkan di ekorantt.com pada 19 Juni 2019. Tahun 2019, dan tahun-tahun setelahnya, pemberitaan waria Maumere semakin masif tak hanya dari EKORA tetapi juga di media lainnya. Sebut saja Vice Indonesia, BBC, CNN, VoA (Voice of America) Indonesia, dan lain-lain. 

Teks berita “Saya Perempuan yang Berkarya” mengangkat kisah personal Mayora.  Seorang wartawan EKORA bertemu dan bercerita tentangnya, yang dengan berdandan sebagai waria, turut ambil bagian dalam ibadat Jumat Agung dan upacara Logu Senhor di kampung Sikka. Mayora aktif di Gereja. Ia ambil peran sebagai pemimpin ibadat, pembina sekami, MC (master of ceremony), dan penata rias. Hal tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap stigma yang dilekatkan pada waria. Bagi saya, tulisan ini memberikan ruang yang penuh untuk narasumbernya, Mayora; hidup serta pandangannya. Hasilnya adalah berita yang berspektif gender dengan tone yang positif.

Media punya andil besar terhadap cara masyarakat memahami kelompok minoritas gender dan seksualitas. Jika pemberitaan terhadap mereka diskriminatif, maka pandangan masyarakat pada kelompok ini rentan dengan stigma dan diskriminasi. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah kebijakan. 

Tindakan media ini dapat dipahami dengan teori representasi.  Representasi, menurut Stuart Hall (1997), adalah penggunaan bahasa, tanda, dan citra untuk mengkomunikasikan atau merepresentasikan pemahaman seseorang atas dunia kepada orang lain. 

Namun, representasi media sebenarnya melewati proses yang panjang dan kompleks, berulang-ulang, melegitimasi satu hal dan menciptakan hingga membentuk konsensus tertentu. 

Saya menelaah teks ini menggunakan pisau analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Wacana menurutnya, mempunyai tiga bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Teks merupakan hasil dari suatu praktek. Kognisi sosial adalah bagaimana makna, pendapat, dan ideologi dari si penulis (atau yang memproduksi teks tersebut) yang kemudian mempengaruhi suatu teks diproduksi. Sementara konteks sosial berkaitan dengan praktik kekuasaan yang berlangsung dan akses yang juga turut mempengaruhi wacana. 

Elemen sintaksis, salah satu elemen pada analisis teks ini memperhatikan kata ganti yang digunakan. Kata ganti menunjukan posisi yang digunakan oleh sang komunikator (dalam hal ini wartawan) kepada pembaca. Dalam teks ini, kata ganti yang digunakan adalah Gereja, umat, dan ia misalnya pada alinea 6-8 pada teks berita yang saya rujuk di atas: 

“Saat memasuki Gereja Sikka, timbul rasa was-was dalam diri Mayora tentang sikap orang terhadap dirinya sebagai seorang transgender. 

Dahulu, ia takut pada Gereja Katolik. Ia tidak tahu apakah Gereja mau menerima dirinya sebagai seorang transgender. 

Namun ternyata ia mengalami sesuatu yang sangat berbeda. Umat menerimanya. Ia pun langsung melibatkan diri bersama dengan anggota koor dan larut dalam doa.”

Gereja dan umat menunjukkan suatu komunitas masyarakat yang memandang dan memperlakukan waria menjadi bagian dari komunitas tersebut. Sedangkan kata ia menonjolkan posisi Mayora sebagai waria secara personal maupun komunitas minoritas gender dan seksualitas yang mengalami stigma. 

Elemen lainnya adalah elemen leksikon yang merujuk pada pemilihan diksi. Elemen leksikon dapat dilihat pada paragraf 24 (Namun, setelah keputusan yang berani, Mayora menjadi yakin, ia tidak salah menjadi seorang perempuan.) Frasa yang digunakan adalah menjadi seorang perempuan. Beberapa kemungkinan diksi yang dipilih oleh si wartawan adalah menjadi transpuan, atau waria. Diksi perempuan, transpuan, atau waria merujuk kepada gender. Kata perempuan yang dimaksud dalam teks adalah seks biologis dan gender sosial. Kata menjadi seorang perempuan yang dimaksudkan adalah mengambil peran sosial sebagai seorang perempuan dan berekspresi sebagai perempuan. Pemilihan diksi tersebut mau menonjolkan dan mempertegas identitas gender disertai dengan peran sosial yang dipilih oleh Mayora. 

Sementara pada elemen retoris, bagian yang diperhatikan adalah metafora yang digunakan pada teks. Elemen metafora tampak dari kalimat terakhir paragraf terakhir teks berita “Saya Perempuan yang Berkarya”. Namun, justru pada situasi batas inilah, iman Mayora pada Sehnor diuji dalam tanur api. Elemen ini memperkuat situasi yang kontras antara kebijakan di Indonesia dengan penerimaan serta perjuangan Mayora atas kesetaraan.

Saya juga turut mewawancarai sang wartawan, Silvano Kheo Bagi. Ia telah aktif menulis tentang HAM sejak menempuh gelar sarjana di SFTK Ledalero. Ia menjadi jurnalis di Ekora NTT selama kurang lebih 2 tahun. Ia menyadari bahwa media pada umumnya tidak pernah memberikan ruang pada kelompok minoritas gender dan termarjinalkan.

Perjumpaan Silvano dengan Mayora menjadi pengalaman pertama berjumpa dan bersinggungan dengan minoritas gender dan seksualitas secara personal. Silvano menyadari bagaimana penerimaan akan perbedaan gender ini selalu dimulai dari penerimaan jati diri personal tersebut. Cerita-cerita personal Mayora kemudian mendapat ruang secara penuh di dalam teks tersebut. 

Sebagai konteks sosial, beberapa gerakan waria sudah lama terbentuk di Maumere sejak 1970-an tetapi tak tercatat. Selain itu, pelibatan waria dalam acara hari ulang tahun STFK Ledalero yang ke-50 menjadi moment bahwa waria diterima. Ini seperti momentum di mana STFK Ledalero sebagai institusi pendidikan calon imam dapat melibatkan waria dalam acara tersebut. 

Minimnya pemberitaan terhadap minoritas gender dan seksualitas ini bisa terjadi oleh karena jumlah wartawan dan media dengan perspektif gender masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan pemberitaan tentang waria seringkali hanyalah straight news, bukan depth reporting yang berfokus pada akar masalah yang dihadapi oleh minoritas gender dan seksualitas. 

Setelah ujian skripsi di kampus, skripsi yang sama diobrolkan di forum Kulababong, platform diskusi Komunitas KAHE, yang kemudian saya sebut sebagai ujian skripsi kali kedua (yang ditutup dengan makan malam). Beberapa kritik untuk skripsi saya pun datang dan pandangan soal topik pun kemudian berkembang. Semisal saya masih menyebutkan nama baptis Mayora di latar belakang skripsi yang semestinya tidak perlu. Hal lainnya adalah saya menyebut diksi “penis” yang digunakan oleh wartawan sangat vulgar, sementara saya tak mengomentari diksi “vagina” yang dihadirkan dalam teks, padahal dua kata itu adalah kata yang tepat untuk menyebutkan alat kelamin laki-laki dan perempuan. 

Skripsi ini juga pernah jadi bahan obrolan di Kantor Redaksi Ekora dalam kunjungan partisipan program Cerita-Cerita Keberagaman dari Maumere. Kesimpulan saya tetap sama: bagaimana pun juga, minoritas gender dan seksualitas membutuhkan ruang aman untuk melindungi mereka dari stigma. Beberapa saran untuk pengembangan jurnalisme yang inklusif pun bermunculan, jurnalis harus punya spesifikasi pada tema liputan tertentu seperti minoritas gender dan seksualitas sehingga memiliki sebuah pandangan yang utuh tentang kelompok ini, memahami term-term yang akan digunakan di dalam teks berita, dan satu contoh kecil yang sering kali luput: menghargai nama dan sebutan identitas gender yang dipakai oleh sang narasumber.  

Saya masih percaya dan berharap bahwa jurnalisme yang ramah gender merupakan ruang penting untuk menciptakan wacana yang inklusif. 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] artikel berjudul Jurnalisme yang Ramah Gender dan Seksualitas Carlin Karmadina merefleksikan pengalamannya menelusuri pemberitaan media massa di Maumere mengenai […]

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th