Komoditas dan instrumen tidak saja memiliki makna yang berbeda. Makna yang berbeda itu juga kemudian memunculkan distingsi implikasi antara menyebut atau menjadikan suatu objek sebagai komoditas atau instrumen. Namun, dalam praktik, terutama sekali yang berkaitan dengan karya seni dan kerja-kerja kesenian sebagai sebuah ekspresi politis, distingsi antara karya seni atau kerja kesenian sebagai sebuah komoditas atau sebagai instrumen sering tidak dibicarakan secara terbuka, atau kalaupun dibicarakan, tidak dibicarakan dengan serius. Meskipun memiliki implikasi yang berbeda, baik komoditas dan instrumen sama-sama diarahkan untuk menghasilkan benefit. Benefit yang dimaksud di sini tidak terbatas pada benefit finansial, tetapi juga barang, jasa, dan relasi.
Ada tiga aspek yang menjadi bagian inheren dari sebuah komoditas: produk, pasar, dan pemasaran. Produk berkaitan dengan bagaimana sebuah objek direncanakan, diciptakan, dievaluasi, dan dikembangkan. Perencanaan dan penciptaan produk lebih merupakan aspek internal, yang lebih berkaitan dengan pemilik komoditas. Sementara evaluasi dan pengembangan produk merupakan aspek eksternal karena evaluasi dan pengembangan mempertimbangkan pengguna atau konsumen produk tersebut. Dalam banyak kasus, sebuah produk tidak dapat menghasilkan benefit atau menjadi produk gagal karena produk tersebut tidak dievaluasi dan dikembangankan sesuai dengan kebutuhan pengguna atau konsumen.
Di pasar ada banyak produk dijual, baik itu produk dari komoditas yang sama, maupun komoditas yang berbeda. Karena itu, aspek pasar berkaitan dengan kompetisi atau kontestasi berbagai produk. Pasar itu sendiri beroperasi dengan logika kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan dan keinginan menjadi presuposisi bagi kemunculan pasar. Tidak mungkin ada pasar jika tidak ada kebutuhan atau keinginan konsumen untuk mendapatkan produk tertentu. Kebutuhan dan keinginan bisa diciptakan dan dimanipulasi sebagaimana produk itu sendiri. Bahkan, penciptaan kebutuhan dan keinginan adalah acuan dasar bagi penciptaan dan pengembangan produk. Jadi, kebutuhan dan keinginan mesti ada sebelum pasar, bahkan sebelum produk dan pasar ada.
Untuk bersaing dengan produk-produk lain di pasar, evaluasi dan pengembangan saja tidak cukup. Distribusi produk di pasar juga mesti dipersenjatai dengan strategi pemasaran untuk memastikan produk tersebut dapat menjadi pilihan para pembeli. Strategi pemasaran yang mampu menghasilkan transaksi paling tidak menjanjikan sesuatu yang akan diperoleh atau diterima dari produk yang dibeli. Ada masalah etis melekat dengan praktik pemasaran produk, tetapi tulisan ini tidak akan berfokus pada aspek tersebut.
Ketika karya seni dan kerja kesenian menjadi komoditas, maka ketiga aspek di atas, produk, pasar, dan pemasaran, adalah kunci utama untuk mengahasilkan benefit. Berfokus hanya pada salah satu aspek saja seperti produk akan membuat karya seni dan kerja kesenian kesulitan mendapat benefit. Masalah utama yang sering dihadapi oleh para seniman atau pekerja seni adalah pasar. Produk direncanakan dan dikembangkan, tetapi tanpa menciptakan keinginan dan kebutuhan akan produk tersebut. Akibatnya, ketika berada di pasar, produk tersebut kesulitan menemui pembelinya. Kalaupun ada pembeli, sangat terbatas pada kalangan yang membeli karena kenal atau memiliki relasi dengan seniman dan pekerja seni, bukan karena dimotivasi kebutuhan akan produk tersebut.
Sementara itu, ketika menempatkan karya seni dan kerja kesenian sebagai sebuah instrumen, perhatian lebih diarahkan pada karya seni dan produk kesenian sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Supaya sebuah instrumen dapat berfungsi dengan baik ada tiga aspek yang mesti diperhatikan pengguna instrumen tersebut: kompetensi, efisiensi, dan modifikasi.
Kompetensi berkaitan dengan kemampuan menggunankan sebuah instrumen. Untuk mampu menggunakan sebuah instrumen, perlu ada pembelajaran dan pelatihan. Pembelajaran tidak terbatas pada pengenalan terhadap suatu instrumen beserta fitur-fiturnya, tetapi juga pada sejarah penggunaan dan perkembangan instrumen tersebut. Pengetahuan mengenai historiografi instrumen memungkinkan pengguna sebuah instrumen untuk melihat kemungkinan yang lebih luas dari fitur-fitur yang ada. Dengan berbekal pengetahuan mengenai instrumen yang digunakan, pelatihan harus dialokasikan sehingga para pengguna memiliki keterampilan yang memadai untuk memakai sebuah instrumen. Pelatihan yang intensif dan berkelanjutan juga memungkinkan inovasi penggunaan instrumen.
Dengan berbekal pengetahuan dan pelatihan, penggunaan instrumen dapat mengarahkan orientasi kepada bagaimana instrumen itu dapat bekerja untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Karena itu, penggunaan instrumen harus selalu memperhatikan aspek efisiensi. Siapa sasaran penggunaan sebuah instrumen? Apakah penggunaan sebuah instrumen mampu mencapai sasaran tersebut? Berapa lama? Dan bagaimana memastikan pencapaian tersebut?
Menggunakan instrumen secara efisien masih belum cukup untuk menghasilkan benefit yang maksimal. Manusia dan konteks sosiokultural di mana mereka hidup terus berubah dan beradaptasi dengan perubahan global. Karena itu, penggunaan instrumen juga mesti dibarengi kesadaran modifikasi. Perjumpaan dan interaksi dengan kelompok atau komunitas tertentu selain memberikan gambaran mengenai karakteristik dan situasi sosiokultural, juga menginformasikan bagaimana kelompok atau komunitas tersebut merespon perubahan yang terjadi. Dari situ, dapat dipikirkan bagaimana memodifikasi penggunaan sebuah instrumen sehingga mampu menjawab kebutuhan sasaran penggunaan instrumen tersebut, dan juga pada saat yang sama mampu menghasilkan benefit yang maksimal. Modifikasi instrumen dan penggunaan instrumen dapat dianggap sebagai puncak karena modifikasi akan mungkin apabila aspek kompetensi dan efisiensi sudah terpenuhi. Dengan kata lain, kompetensi dan efisiensi adalah presuposisi bagi kompentensi.
Menempatkan karya seni dan kerja kesenian sebagai suatu instrumen berarti juga menempatkan para seniman dan pekerja seni tidak saja sebagai pemakai atau pengguna tetapi dalam arti tertentu sebagai pencipta instrumen. Implikasi ini yang masih kurang disadari. Penggunaan karya seni dan kerja kesenian sebagai instrumen dalam banyak kasus hanya sampai pada tahap kompetensi dan efisiensi, bahkan ada juga yang hanya berfokus kompetensi saja, tetapi itupun dilakukan tanpa evaluasi yang serius. Padahal, karya seni dan kerja kesenian sebagai instrumen, apapun bentuknya, memiliki basis wacana. Sebagaimana sifat wacana yang dinamis dan terdiri atas banyak lapisan, karya seni dan kerja kesenian sebagai instrumen juga merupakan wacana yang senantiasa bergerak dari satu lapisan ke lapisan lain dan menuntut penggunanya untuk memodifikasi penggunaannya.
Pada bagian terakhir dari edisi Ruang dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi, Lau Ne ingin mengajak pembaca melihat lebih jauh mekanisme yang barangkali tidak tidak disadari kehadirannya, tetapi justru memiliki pengaruh dalam menggerakkan dinamika Ekspresi Politik/Politik Ekspresi, yaitu Ekonomi Ruang.
Dalam tulisannya “Paradoks Monumen Publik: Hasrat Individual dan Upaya Merawat Memori Kolektif”, Aura Asmaradana menyoroti bagaimana cara kita melihat monumen-monumen yang bertebaran di lingkungan tempat kita tinggal. Dengan menggunakan perbandingan dua konsep yang berbeda dalam melihat monumen dan ruang publik dari Ayn Rand dan Maurice Halbwachs, Aura mengajak kita melihat bagaimana monumen dapat digunakan oleh rezim yang berkuasa sebagai bentuk komodifikasi wacana sebagai produk yang benefitnya dapat membuat segelitir elit terus berkuasa dengan atas dasar narasi yang yang masif dikonsumsi masyarakat. Sementara itu, monumen juga adalah sebuah instrumen di mana memori, sejarah, dan pengetahuan yang menandai jejak-jejak peradaban berusaha “dikekalkan”.
Dalam “Trunojoyo, Di Antara Arsip dan Ingatan”, kita dapat melihat bagaimana sejarah tidak saja dapat digunakan tidak saja sebagai instrumen naratif untuk melegitimasi posisi kelompok tertentu, tetapi juga sebagai instrumen kreatif untuk memproduksi pengetahuan mengenai Trunojoyo. Di sisi lain, sejarah juga dapat dijadikan sebagai komoditas. Pertanyaan Syamsul Arifin, “mengapa pelajaran sejarah minim peminatnya?” merupakan pertanyaan yang bisa dijawab dengan pendekatan pasar dan pemasaran. Dengan menempatkan sejarah Trunojoyo sebagai produk kebudayaan, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membuat produk tersebut “laku” di pasar? Siapakah target pasar dari produk sejarah tersebut?
Agus Iswahyudi menceritakan proses hijrahnya ke Yogyakarta dalam “Merancang (Ke)Ruangan“. Berlatar pendidikan desain interior, kini ia merintis peluang-peluang hidup bersama alam dan masyarakat desa. Ia memodifikasi dan menggunakan instrumen kolaboratif antara green architecture dan permakultur sedemikian rupa sehingga menghasilkan benefit maksimal bagi dirinya dan masyarakat sekitar.
Mekanisme yang kurang lebih sama juga terjadi dengan gerakan komunitas pejalan kaki sebagaimana digambarkan Barda Gemilang dalam “Potensi dan Kontroversi Aktivitas Jelajah Gang Kota“. Komunitas pejalan kaki yang semula merupakan kelompok yang menginisiasi gerakan jalan kaki sebagai sebuah instrumen advokasi hak-hak pejalan kaki, kemudian menjadi produk berupa tren untuk menelusuri gang-gang sempit dan kumuh di pinggir kota-kota besar. Lewat tulisan Barda, kita diajak untuk merefleksikan lebih jauh mengapa instrumen advokasi kemudian dapat berubah menjadi produk pembeda kelas sosial lewat romantisisme kemiskinan?
Dalam “Dunia Mogus Mulyana”, bincang-bincang Lau Ne bersama dengan Mang Moel membawa kita kepada dunia Mogus. Mogus menjadi hal yang sangat lentur sebagaimana hewan gurita yang senantiasa dapat menyesuaikan bentuk tubuhnya dengan lingkungan atau ruang di mana di berada. Lewat Mogus, kita melihat bagaimana Mang Moel memanfaatkan kesenian tidak saja sebagai instrumen ekspresi estetik tetapi sebagai siasat bertahan seorang Mang Moel dengan persentuhannya dengan lingkungan sosial.
Di rubrik Cerita-cerita Keberagaman dari Maumere, “Belajar SOGIESC: Bicara Tubuh Bukan Tabu” menyuguhkan gambaran workshop dan pemahaman soal SOGIESC (Sex Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristic). Melihat SOGIESC dari sudut pandang psikologis, HAM, Kitab Suci, dan kebudayaan lokal berpotensi membuka pikiran masyarakat agar lebih mengenal diri sendiri dan sesama di tengah nuansa tabu pembahasan tentangnya.
Ekonomi ruang penting untuk disadari karena di dalamnya komodifikasi dan instrumentalisasi ekspresi memiliki implikasi yang berbeda. Berhasil atau tidaknya pesan dari sebuah ekspresi tersampaikan sangat ditentukan oleh bagaimana kita menempatkan ekpresi-ekspresi tersebut: sebagai komoditas atau instrumen. Namun, yang tidak kalah penting untuk selalu kita kritisi adalah politik di balik pilihan untuk menjadikan sebuah ekspresi sebagai produk atau alat. Selamat membaca dan selamat berefleksi!