Merancang (Ke)Ruangan

 

Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Jembatan menjadi tempat perlindungan
(Rhoma Irama – Gelandangan)

Lirik dari lagu Gelandangan (1975) oleh Rhoma Irama di atas adalah sebuah interpretasi atas makna spasial.

Sebagai desainer pameran dengan latar pendidikan desain interior, ruang adalah tempat saya mencari makan. Laksana kekasih mencari pundak untuk sandaran; seperti petani yang membutuhkan sawah sebagai media berlangsungnya kehidupan.

Sebagaimana dikatakan Giddens (1984), pemahaman tentang bagaimana aktivitas manusia didistribusikan dalam ruang adalah satu hal mendasar dalam analisis kehidupan sosial. Interaksi manusia terjadi pada ruang tertentu yang mengandung berbagai makna sosial. Kebutuhan manusia akan ruang tidak lagi hanya faktor fungsional saja akan melainkan pemenuhan kebutuhan ruang yang mampu membangkitkan emosi.

Tulisan ini adalah pengalaman pribadi saya dalam membangun dan mengelola ruang di sekitar.

Menyingkir dari Ibu Kota Jakarta, saya hijrah ke Yogyakarta. Berdasarkan arti leksikalnya, hijrah adalah meninggalkan satu tempat menuju tempat lain. Mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru. Perpindahan saya ke Yogyakarta dari Jakarta tidaklah 100 persen dadakan, 70 persennya sudah direncanakan dan dirancang. Pandemi menjadi momentum yang semakin masuk akal untuk keputusan hijrah. Vibes hijrah saya hampir mirip dengan H.O.S Tjokroaminoto saat menuju Kota Semarang pada tahun 1905. Tjokroaminoto ke Semarang lantaran kehilangan pekerjaannya di perkebunan karet milik pengusaha Hindia Belanda. Demikian pula saya, berhenti bekerja akibat wabah covid-19.

Hijrah artinya saya harus mencari ruang baru dan merancang tempat yang nyaman sesuai dengan kebutuhan fisik dan psikis. Menciptakan susunan suasana ruang yang mampu memberikan pengalaman lebih baik dari sebelumnya. Membentuk idiom-idiom baru yang saya harapkan mampu menjadi sebuah konstruksi yang rigid.

Proses memaknai ruang baru adalah dengan memahami masalah ruang yang sebelumnya. Itu adalah bagian yang dipahami betul oleh setiap desainer atau arsitek. Memahami setiap permasalahan secara detil, menjadikannya sebagai pondasi yang kuat dalam perancangan. Kemudian, fungsi desainer interior adalah mencari jalan keluar terbaik atas permasalahan-permasalahan ruang sebagai tempat berlindung manusia. Sementara rumah adalah suatu manifestasi dari investasi makna dalam ruang. Ia dibangun melalui relasi sosial yang bersifat internal dan eksternal dan terus-menerus berubah dalam konteks relasi kekuasaannya (Silverstone, 1994).

Memilih untuk tinggal dan membangun rumah di desa adalah impian saya. Meskipun sederhana, tetapi pada kenyataannya tidak sesederhana yang diucapkan. Ada kekhawatiran tinggal di desa, terutama asumsi-asumsi tentang keterbatasannya. Hal ini merupakan implikasi terhadap konsep kota sebagai simbol ekonomi utama, sebuah pandangan modernis tempat manusia melakukan urbanisasi. Manusia lari dari kontrol tradisi. Maka saya memilih untuk ruralisasi.

Saya membeli sebidang tanah dan membangun rumah bambu. Menciptakan ruang yang mewakili semangat saya yang sederhana. Rumah kecil tidak mengapa, asal pekarangannya luas. Arsitektur yang membaur dan bersahabat. Begitu kira-kira. Green architecture adalah salah satu variabel dalam perencanaan dan perancangan saya terhadap ruang di desa. Jangan berpikir bahwa saya anak orang kaya yang serba berkecukupan. I am an ordinary person, just like most people. Saya baru berhasil membeli sebidang tanah setelah menabung selama 15 tahun bekerja.

Arsitektur Bambu

Kita mulai dari rumah. Bambu sebagai material alam yang kokoh dan murah adalah material utama kabin saya. Struktur bangunan berdiri dengan pondasi di atas tanah, umpak. Saya memilih bambu sebagai material utama karena biaya produksinya murah jika dibandingkan dengan bangunan dari batu bata atau batako. Secara budgeting ini yang paling ramah untuk kantong saya. Bambu juga secara filosofis mewakili sosok yang memiliki akar kuat dan dalam, tetapi dapat tetap menjaga keseimbangan tubuhnya. Pun begitu dengan manusia. Dalam kehidupan, kita harus menjaga keseimbangan dalam segala hal: fisik dan mental, serta mampu menerima segala perubahan.

Sekitar tahun 2000, saat menjadi mahasiswa jurusan Desain Interior, saya pernah membuat tugas mebel bambu berjudul “Gubuk Derita” (diadopsi dari judul lagu dangdut Hamdan ATT). Karya itu berbentuk kursi dengan konstruksi bambu dan berbalut anyaman lokal berbahan mendhong. Bahan bambu signifikan sebagai interpretasi saya atas nilai kesederhanaan. Saya mengemas dan mendesain mebel dan ruang dengan bahan bambu karena desain juga layak hadir bagi kalangan masyarakat kelas bawah, tidak melulu untuk kaum borjuis.

Bagi saya, material alam seperti bambu bukan benda asing atau sekadar mengikuti tren. Saya suka segala kegiatan yang dekat dengan alam. Maka konsep arsitektur hijau menjadi konsep saya untuk hidup di desa, dekat perkebunan salak.

Di sekitar perkebunan, pemukiman tidak terlalu padat karena berjarak oleh kebun-kebun yang dimiliki setiap rumah. Udara yang sejuk, sehat, dan pepohonan hijau sejauh mata memandang. Di pagi hari burung-burung berkicau nyaring seraya membangunkan saya yang pulas untuk segera bergegas membuat kopi menyambut pagi. Ba’da maghrib dusun mulai sepi, keheningan malam dipecahkan suara-suara serangga malam.

Tahap selanjutnya adalah merencanakan dan merancang. Di atas tanah 800 meter persegi dengan kondisi tapak yang berkontur, saya hanya menggunakan 50 meter persegi untuk rumah kabin sebagai awalan. Saya menerapkan konsep rumah tumbuh, membangun secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan dilakukan bertahap. Master plan-nya sudah saya simpan rapi di dalam kepala. Pembagian ruang yang lain untuk kandang domba, kandang ayam, dan zona berkebun. Pembatas ruang pekarangan adalah sungai kecil mengitari sebagian halaman, sebagiannya lagi adalah perkebunan salak milik tetangga. Hanya ada satu akses menuju pekarangan dan buntu. Secara visual rumah saya tidak akan terlihat dari jalan kecil ataupun jalan besar, tertutup perkebunan salak dan mata hanya dapat memandang rumah ketika sudah dekat setelah menyusuri akses utama menuju rumah. Jadi pada prinsipnya perancangan arsitektur mengikuti kondisi lahan yang sudah ada. Aktivitas dan interaksi ini menjadi sebuah citra yang saya bangun sebagai sebuah pengalaman terhadap ruang.

Dalam menyiapkan bangunan rumah, saya terinspirasi oleh bangunan lumbung atau gudang pertanian “barn” ala Eropa. Secara ikonologi, barn bentuknya sama dengan rumah tradisional suku Sasak Lombok.

Layout rumah terdiri dari ruang keluarga, dapur, kamar mandi, dan ruang tidur bersama di lantai dua. Atap rumah menggunakan material modern galvalum, karena tekstur atap yang bergaris sehingga linier dengan garis-garis batang bambu yang ada di bawahnya. Dinding sebagai pembentuk ruang hanya berupa repetisi batang-batang bambu dan anyaman sehingga hembusan angin sepoi-sepoi leluasa masuk ke dalam ruang. Tembok di rumah ini adalah tembok yang bernapas.

Lantai rumah menggunakan kayu parquet untuk menghadirkan kesan natural yang kuat. Pembangunan kabin ini dikerjakan oleh tukang khusus yang biasa mengerjakan rumah bambu. Bambu yang digunakan adalah bambu apus dan bambu petung yang sebelumnya diolah terlebih dulu untuk pengawetan. Khusus area dapur, saya kerjakan sendiri dengan memanfaatkan material bekas. Dinding dari atap seng dan lantai menggunakan keramik bekas. Semua bahan itu adalah sisa-sisa bangunan tidak terpakai.

Foto: dokumentasi pribadi

Kabin ini berwarna hitam. Banyak yang bertanya apakah dengan warna hitam membuat rumah menjadi banyak nyamuk? Saya sudah membuktikan dengan hidup dan tinggal di kabin ini selama tiga tahun, saya tidak pernah merasakan gigitan nyamuk yang signifikan, yang ada justru digigit kerinduan. Kuncinya yaitu lingkungan yang bersih. Pemukiman padat penduduk, sampah di mana-mana, sudah pasti menjadi tempat yang nyaman untuk nyamuk berpesta pora.

Secara de facto rumah kabin ini merupakan naungan yang realistis untuk menjalankan kehidupan baru di desa (hijrah). Sementara de jure-nya adalah ikhtiar bersama atas makna ruralisasi tersebut. Tidak mudah menjalankan konsep ini tanpa dibekali hati yang ikhlas, menerima segala kekurangan yang sebelumnya begitu mudah kita temukan di kota. Saya belajar dan menerima keilmuan baru seperti bertani dan beternak, kemudian mengelolanya menjadi sebuah rejeki yang baru.

Dulu, saya bekerja dari sebuah ruangan kantor lalu membagi-bagi tugas ke anak buah lalu tinggal menunggu hasil. Sekarang, setiap pagi saya ke sawah mengecek kondisi tanaman atau mengambil rumput untuk pakan domba di rumah. Rutinitas fisik membuat saya menjadi lebih bugar dengan pola baru ini.

Jika orang-orang kota berlibur ke desa untuk 2-3 hari dan melakukan kegiatan ini mungkin terasa menyenangkan. Sementara saya sudah melakukan rutinitas ini 3 tahun lebih. Dalam filosofi Jawa, “urip iku sawang sinawang, sing ketok e luweh kepenak durung mesti kepenak, sing ketok e rekoso durung mesti rekoso”. Hidup adalah melihat terhadap orang lain, orang yang terlihat bahagia belum tentu bahagia, namun orang yang terlihat susah belum tentu susah.

Saya melakukan hal yang menurut saya menyenangkan. Rasa letih hanya bonus yang sudah terkonversi oleh kenyamanan. Sekali lagi, ini bukan pekerjaan mudah meskipun terlihat sederhana.

Foto: dokumentasi pribadi

Permakultur

Bertani, beternak, dan memasak adalah serangkaian kegiatan yang saya lakukan sejak tinggal di desa. Ini merupakan adaptasi keilmuan permakultur yang saya praktikkan secara sederhana. Permakultur dirumuskan oleh Bill Mollison dan David Holmgren di pertengahan tahun 1970. Saat itu, pengertian permakultur didefinisikan sebagai “sebuah sistem terintegrasi dan kian berevolusi yang terdiri dari spesies tanaman dan hewan yang hidupnya tahan lama (awet) dan berguna untuk umat manusia”. Kemudian permakultur berkembang sebagai lanskap yang dirancang secara sadar, yang mampu menirukan pola dan interaksi yang ada di alam, sembari menghasilkan makanan, serat, dan energi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal.

Permakultur mengintegrasikan tanah, sumber daya, manusia, serta lingkungan dalam relasi sinergi yang saling menguntungkan. Permakultur merupakan ilmu yang mempelajari kolaborasi antara desain dan teknik ekologis, serta desain lingkungan arsitektur lanskap berkelanjutan yang dikembangkan melalui sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam: “bekerjalah dengan alam, bukan melawannya”.

Saya menyewa 2 petak sawah. Petak pertama berfungsi sebagai bank pakan. Bank pakan adalah sawah/ladang yang difungsikan untuk ditanami rumput jenis tertentu sebagai makanan domba. Petak sawah lainnya saya gunakan untuk bertani, menanam palawija untuk memenuhi kebutuhan dapur sendiri. Target utamanya adalah mencukupi kebutuhan pangan pribadi, selebihnya hasil panen saya jual ke pengepul sayuran atau langsung saya jual ke warung sayur di sekitar desa.

Harga sewa lahan sawah di dusun terbilang cukup terjangkau, untuk lahan seluas 500 meter persegi harga sewanya 500 ribu untuk 1 tahun. Biasanya semakin luas tanah yang kita sewa, harganya lebih murah. Saya mulai dengan mengolah tanah, mencangkul dan membuang gulma-gulma, kemudian memberikan pupuk dasar. Saya menggunakan pupuk “kotoran hewan” (kohe) domba dari kandang yang ada di rumah. Memanfaatkan pupuk kandang jelas menghemat biaya pertanian jika dibandingkan harus membeli pupuk di toko. Pupuk subsidi dengan harga murah sulit didapatkan, entah karena stoknya yang terbatas atau memang pupuk murah hanya bisa diakses oleh pemilik modal yang menyamar menjadi petani. Wallahualam…

Foto: dokumentasi pribadi

Pemahaman permakultur menekankan pada kemandirian pangan dan keberlanjutan pertanian guna meningkatkan produktivitas. Saya mempraktikkannnya secara sederhana di lingkungan rumah tangga dengan mengolah hasil panen menjadi produk makanan kemasan. Ternyata, hal itu menjadi daya tarik bagi warga-petani di desa. Misalnya timun lalap (timun baby) yang saya awetkan dengan bumbu rempah tradisional menjadi acar. Setelah menjadi produk kemasan, harga jualnya jauh lebih signifikan ketimbang harga timun mentah yang kita jual ke pengepul. Mungkin sebagian dari kita sudah tidak asing lagi, tetapi ini asing bagi warga-petani di desa, bahkan untuk hal-hal yang terlihat sederhana seperti ini. Pengolahan hasil pertanian dengan pengawetan atau menjadikannya beragam produk sudah pasti meningkatkan nilai ekonomis dan nilai tambah sosial.

Jika masa panen besar-besaran, harga hasil bumi menjadi anjlok. Dengan pengolahan hasil pertanian, tingkat kerugian bisa dikurangi, bahkan memberi keuntungan berkali-kali lipat bagi warga-petani. Memang, dibutuhkan effort lebih untuk setiap pengolahan. Menjual hasil panen pertanian segar jauh lebih cepat dan praktis.

Foto: dokumentasi pribadi

Beternak domba dan ayam adalah pelengkap aktivitas kedesaan yang juga menjadi penghasilan tambahan. Menjelang Lebaran tempo hari saya cukup diuntungkan dari hasil ternak ayam. Dari hasil pekarangan saya berhasil menjual 13 ekor ayam kampung dengan harga 100 ribu sampai 150 ribu per ekor. Menjelang lebaran harga memang cenderung tinggi. Ternak domba konsep breeding (pembesaran) dari hasil anakan itu saya jual secara online atau dari mulut ke mulut. Bank pakan menjadi strategi utama ketika ingin beternak domba dan kambing.

Bank pakan dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Peternak tradisional biasanya ngarit mencari rumput di berbagai tempat. Artinya, peternak butuh waktu cukup lama untuk mengumpulkan 1 karung rumput jika dibandingkan mengambil rumput yang sudah tersedia di bank pakan. Jumlah domba yang saya ternak sekarang ada 10 ekor, untuk sekali makan domba-domba saya menghabiskan 2 karung penuh rumput. Dalam sehari makan 2 kali, setidaknya butuh 4 sampai 5 karung. Kalau saya harus mengarit secara tradisional, mungkin bisa setengah hari waktu saya habis untuk mencari rumput saja. Belum lagi kalau musim hujan, atau saat musim kemarau ketika tidak semua rumput bisa tumbuh subur. Pengelolaan pakan ternak memang kunci paling utama, jika Anda ingin beternak domba maka terlebih dulu siapkan bank pakannya.

Foto: dokumentasi pribadi

Kandang domba menghasilkan pupuk organik yang saya kembalikan lagi ke bank pakan sebagai media tanam dan pupuk pertanian. Selebihnya pupuk kandang saya olah menjadi produk kemasan yang menarik pasar umum. Dengan sedikit sentuhan desain, saya berhasil mengeluarkan 2 produk kemasan pupuk dari kandang sendiri. Pupuk organik cair (POC) saya racik dari fermentasi urin domba dan pupuk kohe domba murni.

Foto: dokumentasi pribadi

Ayam-ayam yang saya ternak pun demikian, sebagian saya konsumsi sendiri dan selebihnya untuk men-support kebutuhan memasak pangan yang dijual. Memasak masakan bertema tradisional dengan memadukan ambience desa dan rumah kabin adalah kolaborasi yang paling linier pun menyenangkan. Untuk saat ini menu utama yang saya masak adalah ayam bakar Taliwang, makanan khas Lombok NTB. Kenapa harus ayam bakar Taliwang? Alasan mendasar adalah saya dibesarkan di Lombok, ada semacam ikatan emosional. Ayam bakar Taliwang adalah makanan otentik yang tidak terlalu familiar bagi masyarakat di Jawa sehingga bagi saya merupakan tantangan untuk memperkenalkannya kepada warga Jawa khususnya Jogja akan variasi makanan dari Indonesia timur.

Black Taliwang adalah sensasi baru makanan yang saya modifikasi dari resep yang sudah ada dengan menggunakan ayam hitam Cemani. Cemani adalah kategori ayam dengan harga di atas rata-rata, tetapi tetap terjangkau bagi siapa saja yang ingin merasakan eksklusivitasnya. Ayam Cemani berasal dari Temanggung Jawa Tengah, satu jenis dengan ayam Kedu. Karakteristik hitam yang melekat di ayam Cemani serta sebagai ayam endemik Indonesia inilah yang membuat saya jatuh cinta dan kemudian memadunya dalam resep ayam bakar Taliwang khas Lombok. Otentiknya biar menjadi ulti.

Foto: dokumentasi pribadi

Fossali (dalam Inori, 2017) mendefinisikan gastronomi sebagai ilmu yang mempelajari tentang keterkaitan antara budaya dan makanan. Makanan adalah salah satu produk budaya. Masalahnya adalah, makanan pada manusia tidak sesederhana memasukkan makanan ke dalam mulut dan membuat perut kenyang. Lebih dari itu, makanan memiliki fungsi sosial-budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Dengan kata lain, makanan merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan di sekitarnya. Sebagai produk budaya, makanan tidak hanya dilihat secara fisik saat dihidangkan, melainkan dipelajari secara menyeluruh di setiap proses pembuatannya, mulai dari penyediaan dan pemilihan bahan baku, memasak, sampai menghidangkannya di meja makan sebagai rangkaian kegiatan budaya. Saya, Taliwang, dan rumah bambu adalah serangkaian tanda dalam romantisme lokal. Think global, eat local.

Desainer Desa

Dalam kondisi ketidakpastian sekarang ini sangatlah sulit untuk memberi pandangan definitif mengenai peran desainer di masa mendatang atau bahkan di masa kini. Sejak pandemi menghantam segala industri, ternyata ketahanan pangan menjadi sosok yang manunggaling. “Soal pangan adalah soal hidup matinya Bangsa,” kata Soekarno.

Urusan perut memang sepatutnya menjadi yang utama, soal desain-desainan nanti dulu. Hijrah adalah bentuk kompromi saya dalam memetakan ruang baru sebuah kehidupan. Kreativitas bisa kita maknai dengan cara melatih keseimbangan antara berpikir secara lurus dan bercabang sesuai dengan situasi. Masalah ketahanan pangan saya anggap sebagai target atau tujuan. Saya mencapainya dengan menjalankan praktik tani dan ternak. Desain sebagai ilmu terapan saya tempelkan ke dalam produk sebagai citra yang dibangun oleh konsep kedesaan itu sendiri.

Tantangan saya ke depan adalah bagaimana menciptakan peluang-peluang baru dengan mengkolaborasikan unsur-unsur kedesaan dalam desain sehingga bermanfaat bagi saya sendiri dan masyarakat di sekitar desa. Kami menanggapi realitas bersama-sama, seperti yang saya ceritakan: mengolah hasil kandang domba yaitu berupa urin dan pupuk menjadi produk yang dikemas secara layak untuk kebutuhan pasar milenial. Penduduk desa yang mayoritas petani belum maksimal mengelola sumber alam yang ada di sekitar. Wawasan yang terbatas serta aplikasi nyata sebagai contoh empiris sangat diperlukan guna menggerakkan aktivitas-aktivitas kebaruan.

Di setiap perkumpulan warga desa sedapat mungkin saya mendiskusikan berbagai hal yang menarik minat warga tentang desain. Pemahaman visual yang estetik akan menjadi modal dasar mempromosikan sebuah produk serta membangun citra sebuah desa yang bersinergi dengan kebutuhan global.

Semuanya perlu dirintis. Alon-alon asal kelakon.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th