Belajar SOGIESC: Bicara Tubuh Bukan Tabu

 

Setelah learning encounter (ruang temu) yang dilakukan di Kampung Wuring, biara frater Serikat Sabda Allah (SVD) Unit St. Yoseph Freinademetz, Rumah Bunda Vera Cruz (Ketua Perwakas) dan kantor redaksi Ekora NTT, partisipan platform Cerita-Cerita Keberagaman dari Maumere mengikuti workshop SOGIESC (Sex Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristic).

Workshop ini berlangsung di Aula Rumah Jabatan (Rujab) Bupati Sikka dari tanggal 7-11 Maret 2023. Kegiatan ini merupakan sebuah forum terbatas, dihadiri oleh 20 orang peserta. Komunitas KAHE sebagai fasilitator menghadirkan narasumber diantaranya Khanis Suvianita (peneliti dan pengajar di Universitas Gadjah Mada), Heni Hungan (aktivis TRuK-F), Pater Otto Gusti Madung, SVD dan Pater Ve Nahak, SVD, (Akademisi IFTK Ledalero),  dan Viktor Nekur (aktivis hukum adat). Ragam narasumber ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang SOGIESC dari berbagai sudut pandang yang berbeda, yaitu ilmu sosial, psikologi, HAM, kitab suci Katolik, dan kebudayaan lokal.

Kegiatan workshop SOGIESC  utamanya bertujuan untuk memberikan wawasan dan landasan dasar tentang konsep ketubuhan, orientasi seksual, identitas gender, dan karakteristik seks. Lebih spesifik, workshop ini adalah kebutuhan anggota Cerita-cerita Keberagaman dari Maumere untuk saling mengenal satu sama lain sebelum terjun dalam kerja-kerja riset keberagaman di Kabupaten Sikka, yang dilakukan secara kolaboratif.

“Di dalam ruang ilmiah tidak ada istilah tabu atau haram,” Khanis mengawali sesi workshop.  Kalimat tersebut dia lontarkan sebagai ajakan kepada para peserta agar tidak canggung ataupun sungkan menyampaikan pandangan dan pendapat mereka tentang SOGIESC.

Workshop hari pertama dimulai dengan memberikan tugas menggambar bagian-bagian tubuh. Tugas ini dilakukan berkelompok dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 4 orang. Salah satu anggotanya diminta untuk tidur di atas 6 kertas plano, yang sudah dibentangkan. Anggota lain menjiplak tubuh teman yang berbaring. Usai menggambar, masing-masing orang menceritakan bagian tubuh yang disukai dan yang tidak disukai. Metode ini dilakukan untuk mengenal bagian tubuh masing-masing, alasan, serta bagaimana tubuh yang dituntut untuk memenuhi ekspektasi dan konstruksi sosial.

Selain memberikan pengantar umum soal tubuh, gender, dan seksualittas, Khanis sendiri banyak menerangkan SOGIESC dari sudut pandang psikologi dan sosial. Menurutnya, pemahaman soal gender harus dibentangkan juga dalam struktur sosial dan kelas. Gender tidak pernah hanya bisa dilihat dari sisi psikologis semata. Gender juga perlu menimbang kelas sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Pemahaman lintas sekotoral penting untuk mencermati fenomena sosial dan terutama mengenal diri masing-masing secara menyeluruh dan kritis.

Workshop berlanjut dengan diskusi yang sontak menjadi sangat aktif dan interaktif. Para peserta mengajukan beragam pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menghasilkan sebuah pendapat bahwa adanya diskriminasi, persekusi, dan tindak kekerasan bagi minoritas gender dan seksualitas adalah akibat dari konstruksi sosial.

Di hari-hari selanjutnya, beberapa narasumber pun memaparkan materinya.

Heni Hungan seorang aktivis perempuan dan anak memaparkan soal kekerasan berbasis gender. “Kawal dan lawan,” ungkap Heni Hungan. Baginya, tindak kekerasan berbasis gender terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang SOGIESC. Dia pun menghimbau apabila para peserta menemukan kejadian tersebut, segeralah melapor ke TRUK-F (Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores) agar para korban diberikan perlindungan. Sebagai organisasi yang konsen pada isu kemanusiaan, TRUK-F mengadvokasi berbagai kebijakan berbasis gender, melakukan pendidikan publik, mendampingi korban untuk mengakses keadilan hukum, dan rehabilitasi sosial. Dia juga bercerita soal beberapa kasus tindak kekerasan berbasis gender yang sudah dan sedang ditangani di Kabupaten Sikka.

Pater Otto Gusti Madung, SVD membawakan materi tentang HAM. Dia menganggap bahwa munculnya tindak kekerasan (penolakan, ujaran kebencian, kekerasan fisik dan psikis) berbasis gender disebabkan oleh masalah advokasi struktural, paradigmatik, sehingga pelanggaran yang terjadi cenderung bersifat sistematik.

“Hierarki, dalam hal ini undang-undang maupun hukum agama bukan pemilik tapi fasilitator terpenuhnya hak-hak asasi manusia,” terangnya. Negara sepatutnya melindungi hak-hak setiap warga negara sebab harkat dan martabat manusia tidak dapat diganggu-gugat. Tugas tertinggi negara adalah melindungi dan menjamin keamanan hak-hak asasi tersebut. Dalam penjelasannya, Pater Otto Gusti Madung, SVD membagikan beberapa paradigma dasar dan pasal tentang HAM sebagai pedoman untuk meninjau pelanggaran-pelanggaran HAM yang berkaitan dengan kebebasan manusia menghidupi gendernya.

Dari sudut pandang gereja, Pater Ve Nahak, SVD mengatakan bahwa di dalam tubuh gereja kerap kali terjadi pelanggaran akibat klerikalisme. Penyalahgunaan atau perluasan otoritas terjadi jika para rohaniawan merasa mereka lebih tinggi kedudukannya sehingga jauh dari umat. Adanya ketimpangan relasi inilah yang menimbulkan pelanggaran. Ditambah lagi, apabila umat merasa kontribusi mereka pada gereja ada di posisi kedua. Untuk itu, perlu ada kontak antara umat dengan para klerus gereja, sehingga ada hubungan timbal balik yang setara.

Menyangkut gender dan seksualitas, P. Ve Nahak menyampaikan bahwa sampai saat ini, gereja Katolik masih memegang teguh asas heteronormativitas. Gereja dari masa ke masa mengubah cara pandangnya terhadap kaum LGBTIQ, berpedoman pada kitab suci dan kenyataan sosial yang berlangsung. Meski gereja Katolik menolak pernikahan sesama jenis dan berpegang pada keyakinan bahwa seksualitas yang berpijak pada perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, sikapnya terhadap kaum LGBTIQ berangsur-angsur mulai terbuka. Gereja pada dasarnya menerima seluruh umat Allah, apapun latar belakang dan kondisinya, sebagai sesama peziarah yang juga dilimpahi berkat serta kurnia ilahi.

Pater Ve juga menekankan pentingnya gereja secara kritis melihat dan mempraktikan konsensus-konsensus dogmatik dengan praktik-praktik pastoral terhadap kaum LGBTIQ. Dalam kasus lokal di Kabupaten Sikka, kenyataan bahwa banyak waria yang aktif dalam berbagai kelompok kategorial di gereja adalah fakta sosial-religus yang tidak bisa ditolak.

“Dalam kasus seperti ini, dogma bisa jadi hal yang paling belakang untuk dipertimbangkan. Yang utama adalah hal baik yang sudah teman-teman kita lakukan dan terutama cinta kasih, sebagai hukum tertiggi”, demikian Pater Ve.

Dalam sesi yang lain, Viktor Nekur menghantar para partisipan melihat SOGIESC dari perspektif adat.

“Orang yang punya adat berarti punya adab,” kata Viktor Nekur. Dia berpandangan bahwa dari sisi budaya, tindak kekerasan berbasis gender ada karena para pelaku tidak memahami adat. Menurutnya, di dalam hukum adat secara jelas ada pembagian peran gender. Dia mengkaji soal bahasa Sikka “Nara-Wineng” yang berarti saudara-saudari. Mereka memiliki posisi yang sama dalam status sosial di masyarakat adat. Jika kita memahami dan menerapkan hukum adat dengan taat, maka tidak akan terjadi pelanggaran. Masalahnya adalah anak muda zaman sekarang tidak mau belajar dan mengerti soal hukum adat.

Viktor menilai sulit untuk menerima gender yang lain, selain yang heteronormatif, dari sisi adat. Namun, seperti negosiasi yang dianjurkan Pater Ve, bagi Viktor masyarakat yang menjalankan norma sosial budaya (adat) tetap melihat sama saudara yang memiliki ekspresi gender berbeda sebagai bagian dari komunitas masyarakat yang wajib diperlakukan secara setara.

Masyarakat kerap terjebak dalam ukuran-ukuran ideal yang tunggal mengenai gender dan seksualitas. Diskriminasi dan tindak kekerasan berbasis gender salah satunya terwujud karena jebakan tersebut. Paradigma dasar SOGIESC adalah mengarahkan pembacaan dan pemahaman mengenai gender dan seksualitas, berpijak pada kenyataan personal dan sosial. Workshop ini sekurang-kurangnya bisa jadi kunci yang membuka pikiran para partisipan agar lebih mengenal diri dan sesama. Apabila pembahasan tentang SOGIESC masih dianggap hal tabu atau haram, lantas kapan kita bisa menerima diri kita dan sesama sebagai makhluk yang beragam? Lalu, sampai kapan kita mau terbelenggu dalam stigma dan konstruksi sosial yang membuat kita tertidur pulas dengan mimpi-mimpi buruk diskriminasi, persekusi, dan tindak kekerasan?

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th