We shape our buildings; thereafter they shape us.
– Winston Churcill
Sebagai medan yang dipenuhi dengan berbagai tanda, mengidentifikasi, menafsirkan, dan menghubungkan tanda-tanda yang terdapat dalam konteks ruang tertentu dapat menjadi sarana untuk memasuki dinamika politik pada kelompok atau komunitas tertentu. Meskipun demikian, bentuk, makna, dan fungsi dari sebuah tanda juga senantiasa ada dalam tegangan antara retensi dan inovasi. Antara upaya mempertahankan nilai-nilai luhur tradisi atau beradaptasi dengan berbagai perubahan situasi. Dari sekian banyak tanda dan tegangan itu, Lau Ne edisi kali ini mengajak pembaca untuk merefleksikan ruang-ruang yang dekat dengan diri manusia: rumah, tetangga, dan pasar.
Rumah sebagai tempat tinggal memiliki jalinan lapisan-lapisan yang tidak terbatas pada material dan arsitektur bangunan. Proses pemilihan bahan, tahapan pengerjaan, hingga pemilihan perabot di dalam rumah merupakan pilihan-pilihan yang dimotivasi oleh tegangan antara mempertahankan atau menyesuaikan. Karena itu, orang bisa saja membangun rumah yang berbeda sekali dari rumah-rumah di sekitarnya atau orang bisa memilih untuk tinggal di rumah yang bentuk, warna, dan perabotnya sama sekali tidak mencerminkan siapa dirinya. Keterasingan bisa menjadi pilihan yang disadari sebagai bagian dari pilihan mengenai rumah yang akan ditinggali.
Konsep ‘tetangga’, masih menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia masih menggunakan sistem Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang digunakan sejak masa pendudukan Jepang. Uniknya, makna dan peran tetangga pasti berbeda antara mereka yang tinggal di perkampungan tradisional, kompleks perumahan yang lebih modern, dan apartemen pencakar langit di metropolitan. Perjumpaan dengan tetangga dan konsep ‘tetangga’ ini kemudian menawarkan ketegangan-ketegangan lain: ikut serta dalam kehidupan bertetangga atau berfokus pada kehidupan sendiri; individualisme vs komunalisme.
Di pasar, orang-orang datang dari rumah masing-masing. Mereka yang saling kenal atau bertetangga dan mereka yang asing dengan satu sama lain berbelanja di pasar. Pasar sebagai tempat kumpul tidak saja mempertemukan manusia yang satu dengan yang lain, di pasar juga terjadi penyebaran dan pertukaran informasi, pengetahuan, dan kebudayaan. Di sisi lain, letak pasar, arsitektur pasar, dan hari pasar senantiasa ada dalam kontestasi dengan wacana mengenai pasar itu sendiri: siapa menggerakkan dan mengatur pasar, bagaimana pasar dijalankan, jenis transaksi macam apa yang digunakan, hingga apa saja yang diperjualbelikan di sana.
Dalam proposal risetnya, Hari-hari Pasar di Wilayah Kepulauan Timur Asia Tenggara, Anitha Silvia di rubrik Jangkar menunjukkan keberadaan para pedagang perempuan dan hari pasar di kepulauan Timur Asia Tenggara. Riset itu memperlihatkan bagaimana kontestasi antara konstruksi bangunan dan wacana mengenai pasar kemudian berdampak pada pergeseran peran para pedagang perempuan yang secara historis adalah aktor utama di pasar. Kolonisasi dan agama ‘baru’ dengan peraturan yang eksploitatif dan diskriminatif kemudian menempatkan para pedagang perempuan pada posisi marginal.
Proses kreatif Yuga Anggana dalam menciptakan sebuah lagu diceritakan secara kontekstual dalam “Bale Mengina”, Hidupkan Imaji Rumah Tradisi. Satu lagi fragmen budaya yang menunjukkan kesigapan tradisi terhadap mitigasi bencana gempa, seperti yang pernah dibahas dalam edisi Warga dan Arsitektur. Karya Bale Mengina dan segala proses kreatifnya adalah upaya pencarian cerita dan penanda identitas untuk masyarakat kemudian melabuhkan diri. Dari situ kelak, tercipta keterikatan pada rumah sebagai ruang hidup dan tempat yang nyaman, yang tak lain berfungsi memelihara identitas masyarakat.
Savitri Sastrawan mengungkapkan sebagian kecil dari pengalaman hidupnya berkaitan dengan Reformasi 1998 dalam konteks mengkurasi karya seni. Dalam tulisan Mencari Ingatan: Catatan Proses Pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi”, ia berkisah bahwa pameran seni itu menjadi batu lompatan untuk mengenal peristiwa sejarah dari berbagai sudut pandang, dengan berbagai cara melalui karya dan aktivitas seni yang interaktif. Pembaca bisa membayangkan bagaimana seni hendak bermain-main dengan ingatan sejarah dan ruang.
Dalam resensi buku Ruang dan Peralihan dalam “Nyanyi Sunyi” di rubrik Jala, Aura Asmaradana menyajikan tafsir pembacaannya atas karya Uly Siregar. Selain memperlihatkan tegangan antara ruang fisik dan ruang mental, kumpulan esai personal itu menurutnya menyajikan peralihan dari satu ruang ke ruang lain, serta pemaknaannya terhadap hal-hal yang ditinggalkan atau dibawa serta. Peralihan dari kota ke kota; negara ke negara itu dapat memperkuat identitas seseorang.
Dalam rubrik Nahkoda, Aktivisme Seni TrotoArt dan Politik Ruang di Penjaringan merangkum wawancara dengan Bang Joni dan Mbak Rina dari kolektif TrotoArt. Percakapan itu memberikan gambaran tentang rekam jejak Penjaringan, sebuah sudut di kota Jakarta, berdialektika dengan politik ruangnya sendiri. Demi membangun keterikatan dengan tempat tinggal dan berkarya, manusia terus memikirkan cara-cara kreatif yang diam-diam juga merupakan cara bertahan pada kerasnya kehidupan perkotaan.
Cara-cara kreatif itu pula yang dibutuhkan untuk menajamkan identitas sekaligus menghadapi berbagai persoalan dalam masyarakat, termasuk seperti yang bisa dibaca dalam Berjumpa ‘Wajah’ Waria Maumere di Rumah Mami Vera dan Berita Media Lokal. Artikel itu menjabarkan pelaksanaan program learning encounter (ruang temu) bersama Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas) dan para jurnalis di kantor Redaksi EKORA NTT. Dalam pertemuan-pertemuan itu, tumbuh perbincangan dengan perspektif baru mengenai kelompok minoritas gender dan seksualitas.
Ruang, dibaca lebih dari sekadar bentuk fisiknya, mencakup apa yang terjadi di dalamnya, pengalaman baik atau buruk yang dibagikan oleh penghuninya, mulai membentuk identitas komunal. Meski identitas, baik pribadi maupun kolektif itu sesuatu yang bisa berubah, bergeser, berkembang, tetapi di dalam perubahan itu terdapat karakteristik, sejarah, atau ingatan tertentu, yang terus-menerus memperlihatkan kan identitas yang berkembang.
Semoga Lau Ne edisi ini menjadi sebuah upaya untuk menemani pembaca memahami ruang, yang berarti pula memahami identitas diri.
Selamat membaca dan sampai jumpa di ruang temu berikutnya!