Oleh Elvan De Porres
Pada 30 Agustus 2014 lalu, sebagian suporter klub sepakbola Middlesbrough membentangkan spanduk di tribun Stadion Riverside bertuliskan, “Being Poor is Not Entertainment. Fuck Benefit Street”.
Tulisan itu merupakan kritik terhadap stasiun televisi Channel 4 yang menayangkan program “Benefit Street” tentang kehidupan amburadul di kawasan Jalan James Turner, Kota Birmingham. Ultras bernama Red Faction tersebut menganggap “Benefit Street” telah menjadikan kemiskinan dan hidup kumuh sebagai objek kepentingan industri semata alih-alih sodorkan niat baik menjaring empati penonton ataupun kritik terhadap pemerintah yang semestinya bertanggung jawab.
Beberapa episode dalam acara realitas itu memang tampilkan pemukiman berserak sampah, kumuh, dan tidak terurus; sementara episode lainnya wedarkan visualitas orang minum alkohol dan mabuk, anak-anak kecil bermain (dengan) sampah, dan di antara itu terdapat teriakan; employed, employed, employed. Mereka merupakan orang-orang yang tenaga kerjanya tidak terserap, kemudian terjerumus ke dalam lubang kemiskinan dan menanggung etika konsumerisme dari masyarakat di sekitarnya.
Di Indonesia sendiri, program-program televisi yang coraknya sedikit sama, dalam arti menjadikan kemiskinan-kesedihan sebagai hiburan, bisa terlihat dalam program-program yang mungkin pernah kita tonton, seperti “Bedah Rumah” ataupun “Mikrofon Pelunas Utang”. Citraan visual-audial dalam tayangan itu dibuat sedramatis mungkin sehingga timbulkan efek haru untuk kita yang menikmatinya.
Bagi orang-orang pedesaan yang sumber hiburan dan informasinya bergantung pada televisi, acara seperti itu boleh jadi membuat mereka ikut bersedih, bahkan menangis, entah merasa senasib sepenanggungan ataupun merasa iba karena berpikir masih ada orang lain yang hidupnya jauh lebih melarat. Sejenak mereka, misalnya, melupakan hutang bank atau koperasi yang menumpuk pun biaya pendidikan anaknya yang masih belum lunas.
Tidak semua orang punya televisi, tetapi televisi juga media lainnya punya pengaruh besar dalam membentuk struktur berpikir masyarakat. Orang-orang kecil, kumuh, dan miskin dalam tayangan televisi tadi tentu tidak disalahkan sekenanya sebagai figur tak sadar yang sedang tereksploitasi, tetapi membicarakan bagaimana komodifikasi macam ini bekerja mungkin menjadi suatu wacana kecil, terutama dalam membaca kuasa budaya massa sekaligus merefleksikan bagaimana kita dibentuk menjadi konsumen.
Ini juga penting dalam melihat/membaca kelas-kelas sosial yang makin terdiferensiasi yang (mungkin) membuat sebagian kalangan merasa bahwa komodifikasi seperti itu merupakan hal berterima sebagai cara orang kaya memberi perhatian kepada orang miskin.
Dalam “On Television” (2011), Piere Bourdieau katakan bahwa televisi merupakan suatu industri yang mengatur dan mengarahkan visi dunia, membuat dunia jadi terklasifikasi dan membentuk visi-visi itu dalam cara tertentu. Seiring dengan itu, bagi Bourdieau, budaya (massa) merupakan suatu bentuk ekonomi-politik di mana orang terkooptasi untuk menikmati-melakoninya.
Tidak semua yang dikatakan Bourdieu benar, tetapi gagasan itu bisa dikerucutkan pula dalam ranah-ranah industri “gaya hidup” lainnya, seperti pariwisata, kesehatan-kecantikan, jenis pakaian, ataupun kebugaran tubuh; ini memberikan sumbangan besar bagi konsumerisme.
Adapun konsumerisme sendiri memang bisa dibaca dalam macam-macam perspektif. Namun, satu hal yang pasti, pengkondisian itu tidak turun begitu saja dari langit, sama seperti Bob Sadino tidak serta merta jadi penguasa hutan Indonesia atau Viktor Laiskodat tidak langsung dapat titah untuk jadi Gubernur NTT.
Konsumerisme – barangkali lebih tepatnya budaya konsumen – secara historis bisa terpetakan dalam gerakan kapitalisme menuju neokapitalisme pasca Perang Dunia II yang ditandai dengan invasi teknologi dan informasi besar-besaran. Produk-produk teknologi, seperti televisi, bioskop, saluran komunikasi, bahkan kartu kredit, tersebar secara massif untuk di-”konsumsi”. Film-film (Amerika) semakin banyak dibuat; sepakbola yang sebetulnya melekat erat dengan para pekerja pun dipatenkan dalam hak siar.
Era inilah yang secara tidak langsung menurut John O’Cornor (2011) sebagai pembelotan “manusia produsen” menjadi “manusia konsumen”, atau sebagaimana yang sering disebut dalam frasa mazhab Frankfurt; industri budaya lahirkan kesadaran palsu.
Dalam pembacaan simbolik, secara internal, di negara sangkar kapitalisme seperti Amerika (Utara), upaya tersebut merupakan bagian dari “penundukan” kelas pekerja lewat suguhan untuk “refreshing” dari kerja “berat” serentak membelanjakan uangnya demi perputaran atau stabilisasi ekonomi negara pascaperang – ini merupakan era “berjayanya” pekerja atau dalam mitos Keynisianisme, Golden Age, sebab relasi mereka dengan industri (pemilik modal) benar-benar diatur oleh Negara.
Sementara secara eksternal, persebaran teknologi dan budaya massa tersebut merupakan bagian dari proses imperialisme ideologi ke Negara-negara yang baru merdeka. Contoh nyatanya ialah film Ramboo yang dulu kita tonton waktu kecil di rumah tetangga yang ada TV dan VCD player dan seketika kita merasa bahwa militer Amerika sungguh luar biasa hebat, padahal film ini hanyalah propaganda Amerika guna tutupi urat malu akibat kalah dalam Perang Vietnam.
Palagan-palagan macam itulah yang dinamakan sebagai hegemoni, yakni dominasi nilai-nilai, moral dan ideologi terhadap budaya masyarakat lain; konsumen “dibuat” menerima begitu saja mekanisme penawaran dari produk budaya tertentu. Dalam konteks ini, mesiu besar yang saling campur baur tentu saja media dan pasar itu sendiri, yang kemudian tonjolkan watak produksi kapitalistik berbentuk ketergantungan serentak kesenjangan.
Orang-orang tidak lagi hanya didorong untuk memproduksi komoditas “tangible”, barang nyata/fisik, seperti sepeda motor dan televisi, tetapi juga bercabang menjadi produsen komoditas “intangible” atau “semitangible”, terutama dalam bidang jasa, seperti acara hiburan, tur wisata, wisata kuliner, jasa kecantikan, dan lain sebagainya. Kita sebagai konsumen diarahkan untuk mendapatkan kepuasan sosial, melampaui kebutuhan untuk subsisten.
Dalam pada itu, faktor produksi yang mendominasi pengkondisian ini adalah pikiran ataupun skill guna lahirkan pengembangan kreativitas dari produk-produk yang telah diciptakan sebelumnya. Persaingan antara satu industri dan industri lainnya jadi tidak terelakkan.
Kebutuhan terhadap pasar tenaga kerja pun timbulkan diferensiasi besar-besaran. Pekerja dipaksa harus punya skill; kalau tidak punya skill pasti tergusur dengan sendirinya. Atau jika ingin mendapatkan upah atau punya pekerjaan, orang harus berusaha menyesuaikan tenaganya dengan keinginan pemilik industri yang sudah terlena-lena dengan persaingan pasar, selain mode otomatisasi oleh mesin-mesin.
Di beberapa media atau perusahaan, ada yang bertugas khusus dalam divisi riset dan pengembangan (istilah ini adalah anak kandung neokapitalisme) untuk tahu apa maunya pasar atau bagaimana selera pasar. Tak pelak program yang terlihat konyol atau ekstrem yang berpotensi membahayakan nyawa manusia pun dibuat dan ditayangkan.
Acara-acara seperti itu tidak muncul begitu saja, atau tidak dibuat oleh orang-orang “bodoh”. Atas nama profesionalitas, mereka dituntut untuk melakukan kegiatan produksi apa saja entah itu bermanfaat atau tidak, mirip seperti yang David Graeber sebut sebagai “bullshit jobs”; pekerjaan konyol, atau baik dilakukan maupun tidak dilakukan, itu tetap tidak memberikan manfaat apa-apa. Mirisnya, sebagaimana disebutkan Graeber, beberapa dari para pekerja malah terkena dampak buruk, seperti gangguan psikologi, bahkan di beberapa posisi, ada yang menerima upah minim.
Makanya, sejumlah analisis terhadap acara semacam “Benefit Street” tadi menyebutkan terjadinya pusparagam bahkan dobel eksploitasi. Orang-orang miskin dan kumuh yang disorot kamera itu seyogianya merupakan korban ketersisihan, kalah saing alias tidak bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri, tapi mereka kemudian dijadikan bahan komersialisasi oleh industri itu sendiri.
Dengan kata lain, mereka ini sudah “menjadi miskin”, dibikin pula jadi hiburan. Eksploitasi lainnya, sebagaimana sempat disentil di atas, juga terjadi pada diri para pekerja media tersebut.
Dalam kapitalisme, kepuasan sosial adalah semu, yang abadi hanyalah akumulasi nilai lebih atau keuntungan. David Harvey (2007) menyebut itu sebagai destruksi (penghancuran) yang kreatif, atau dalam konteks ini bisa dibalik sebagai kreativitas yang destruktif.
Tulisan ini tidak membahas konsumerisme secara spesifik; lebih pada usaha menjelaskan bagaimana perkembangan industri gaya hidup lewat teknologi, termasuk media (televisi), menimbulkan sejumlah masalah mendasar bagi kehidupan manusia.
Tulisan ini juga tidak bermaksud mengkritik secara buta perkembangan teknologi – toh tulisan ini juga dibuat, dipublikasikan, bahkan disebarkan di atas produk teknologi itu sendiri – tetapi coba menunjukkan bahwa di atas produk-produk budaya massa yang kita konsumsi ada orang lain yang harus ditumbalkan. Mungkin juga kita sendiri adalah tumbalnya.
*Artikel ini pertama kali terbit di NTT Progresif, 1 Juni 2020.