Solidaritas Anak Kampung Wuring

Oleh Rio Nuwa –

Senin, 17 Februari 2020, pukul  18.48 WITA, saya menyusuri kampung ujung di sisi sebelah timur daerah Wuring. Motor Revo bekas yang saya pinjam dari bapak terparkir di sisi sebelah barat perkampungan. Amir (24) -seorang pemuda Wuring yang sempat terlibat dalam workshop riset dan penciptaan bersama Teater Garasi Yogyakarta- tidak saya temui. Ibunya katakan bahwa dia sedang tidak berada di rumah.

Sehari-hari ibu Amir memang biasa duduk mengaso di beranda rumah apung dan menjual jajanan. Sebelumnya, kalau saya datang untuk menemui Amir, ibunya akan langsung mengarahkan saya ke kamar belakang milik putranya. Kamar itu,-meskipun berada dalam satu bangunan rumah- letaknya agak terpisah dari ruangan lain yang menjadi penanda inti kehidupan keluarga itu.

Tidak mendapatkan informasi tentang keberadaan Amir, saya lantas memarkir motor di depan rumahnya. Dua ekor kambing yang sedang memakan kardus tiba-tiba datang mendekati saya, tetapi saya abai, melepaskan helm dan memutuskan pergi seorang diri ke sisi sebelah timur di ujung perkampungan.

Tidak ada yang berubah dari kampung itu sebagaimana hari-hari sebelumnya saat saya datang bertandang. Masjid apung, bangunan rumah dengan lintasan bambu yang menghubungkan daratan juga labuhan kapal motor ikan merupakan beberapa hal yang melekat kuat dalam memori saya. Beberapa saat kemudian, di antara siluet petang, saya perhatikan tampak seorang bapak muncul dari balik pintu salah satu rumah  apung dan tiga remaja wanita berdiri sambil bertukar cerita. Mereka tak jauh dari saya dan sesekali mereka melirik, barangkali mengira saya orang baru.

Identitas diri orang-orang Wuring umumnya dapat dikenali dengan mudah. Struktur wajah, cara berjalan dan dialek yang diucapkan sebagai hasil pola hidup dan relasi sosial selama ini tampak agak berbeda dari orang-orang Maumere kebanyakan. Dalam berbagai kesempatan bertemu dan membangun komunikasi dengan orang-orang Wuring, saya mendapatkan cerita bahwa mereka cenderung mengidentifikasi diri  sebagai keturunan suku Bajo. Itu sebabnya, perbedaan yang kasat mata hampir selalu menjadi semacam pertanyaan bagi orang-orang yang datang ke kampung itu. Selain karena memang latah, orang-orang dari luar juga jarang melawati kampung bagian tengah dan ujung. Umumnya, mereka datang mengunjungi Wuring hanya untuk penuhi kebutuhan rumah tangga di pasar Wuring yang terletak di kampung bagian atas.

Saya masih duduk di tempat itu; dari sore hingga malam hari. Saya lihat, selain kaum muda, para orangtua juga tampak duduk berkelompok di sisi kampung sebelah timur. Malam itu kampung agak sepi ketimbang biasanya. Barangkali karena ini musim barat sehingga kampung kelihatan sepi. Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Sikka sempat merilis berita tentang gelombang tinggi dan angin kencang pada akhir Februari. Mungkin karena informasi ini  warga juga urung melaut, meskipun masih tampak beberapa pria dewasa sedang siapkan diri untuk berlayar. Dengan linting rokok di jari dan lampu senter yang diikat pada kepala, mereka bergerak ke arah kapal-kapal motor pada area tambatan perahu. Hal ini boleh jadi bisa dipahami; selain sebagian besar orang Wuring menggantungkan hidupnya pada sektor ekonomi maritim, laut bagi mereka punya ikatan sejarah dan kebudayaan yang sangat panjang.

Saya kemudian bepindah ke sisi timur dari bagian kampung ujung Wuring. Di sepanjang jalan, tampak kumpulan ikan setengah kering yang disatukan dalam sebuah bakul panjang. Ikan-ikan itu dikumpulkan dan dijemur. Bau ikan dan aroma laut menguap sepanjang jalan. Tiga orang wanita sedang duduk menempati teras rumah dan menghancurkan ikan-ikan menggunakan alat yang terbuat dari kayu seperti palu. Sesekali bunyi dentum keluar dari benturan palu dan alas di mana tempat ikan-ikan dihancurkan. Bunyi semacam itu tentu tidak menimbulkan kebisingan yang mengganggu istirahat warga. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul 19.13 WITA, kampung ujung Wuring masih tampak sedikit ramai. Warga Wuring sepertinya punya kebiasaan untuk duduk berkelompok pada malam hari.

Setelah menyusuri sisi timur kampung itu, saya menuju ke tambatan perahu. Segerombolan anak bermain sambil bercengkerama satu sama lain. Di antara keramaian anak-anak, terlihat beberapa pria dewasa sedang melepaskan kail penangkap ikan. Di sini saya bertemu Tandy -anak Paman Rony- juga dua rekannya bernama Aldy dan Mansya. Paman Rony sendiri merupakan seorang nelayan yang sempat menjadi narasumber kunci dalam penggarapan video dokumenter tim Maumere TV tahun 2018 lalu. Dia bercerita soal dampak pembangunan tambatan perahu Wuring yang mana hempasan ombak yang terpantul dari tembok bangunan berisiko bagi kuda-kuda dan ikatan rumah sejumlah besar warga.

Tandy rupanya baru saja kembali dari kantor polisi. Ia mesti berurusan dengan pihak kepolisian setelah terlibat perseteruan dengan kelompok pemuda dari kampung lain. Ia berseteru dengan mereka yang tinggal di kampung baru di sisi sebelah atas dan timur Kampung Wuring. Menurut Tandy, perseteruan dimulai saat salah seorang saudaranya diancam dan dipukul oleh orang-orang dari kampung itu. Tidak terima saudaranya mendapat perlakuan kasar, Tandy dan beberapa temannya datang membantu. Kejadian bertambah rusuh saat mereka terlibat di dalam perseteruan itu.

“Saya tidak terima, Abang, kalau saudara saya mereka buat begitu. Makanya, saya bantu. Kami akhirnya berkelahi,” pungkasnya.

Tandy katakan, anak-anak di kampung ujung punya solidaritas yang tinggi. Apabila di antara mereka ada yang menemui kesulitan, yang lain akan datang membantu. Tidak sungkan-sungkan, aksi solidaritas yang tampak heroik itu berujung di kantor polisi. Karena persitiwa itu, Tandy mesti membayar denda sebesar tiga juta rupiah.

Menurut Tandy, anak-anak muda di kampung ujung sangat menghargai siapa pun yang datang berkunjung ke wilayah itu. Hanya saja mereka tidak suka apabila ada gerombolan anak muda yang datang dan membuat keributan di kampung itu.

“Mereka sering reseh dengan motor. Kami kejar. Anak-anak dari kota. Ada juga dari Kampung Atas. Padahal di masjid sedang ada ibadah. Kami usir dan kejar mereka,” begitu keluh dia.

Di tempat ini konflik memang rentan dan sering terjadi. Tidak hanya dengan anak-anak muda dari kota Maumere, sesama warga Wuring pun sering berkonflik. Pemicu konfliknya beragam, seperti masalah asmara, sensitivitas akibat beda pendapat, hingga salah ucap, juga karena mabuk. Selain soal-soal di atas, sepintas kilas bisa terbaca ada batas-batas geografis dalam pergaulan anak muda di kampung itu. Masing-masing wilayah di kampung itu mempertahankan identitas dan karakteristik kelompok sesuai wilayahnya. Hal tersebut bisa menjadi pemicu konflik meski pebedaan tidak menyangkuti  hal-hal besar.

Meskipun demikian, anak-anak seusia Tandy sangat peduli kepada orangtua mereka. Tandy, misalnya, pernah punya rencana untuk menjual kapal motor, tetapi niat itu dibatalkan setelah ia mengingat jasa kedua orangtuanya. Adapun aktivitas anak-anak seusia Tandy adalah melaut. Di waktu senggang, jika tidak melaut, mereka biasanya bermain musik, berkumpul dengan kawan seusia dan mencari jaringan wifi. Biasanya di sela-sela waktu berkumpul, mereka akan menenggak minuman moke, alkohol tradisional masyarakat Maumere.

Mereka akan turun ke laut pada malam hari dan baru kembali pada waktu subuh. Hasil tangkapan itu dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Maumere. Dalam sehari, mereka bisa mendapat seratus hingga dua ratus ribu rupiah dari hasil penjualan ikan. Mungkin itulah yang menjadi salah satu penyebab mereka merasa tidak perlu melanjutkan pendidikan karena sudah mendapat uang dari hasil penjualan ikan. Meskipun begitu, Paman Rony, dalam salah satu kesempatan obrol, sempat menyentil bahwa buat apa bersekolah tinggi kalau ujung-ujungnya menipu masyarakat kecil dan menjadi egois. Dan malam itu, saya belum juga bertemu Amir.

*Gee Mario, bergiat di Komunitas KAHE Maumere. Pernah bekerja sebagai redaktur Harian Umum Flores Pos. 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Qikan
Qikan
4 years ago

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 16th