Mendengarkan yang Maha Kecil

 

And the air was full of Thoughts and Things to Say. But at times like these, only the Small Things are ever said. Big Things lurk unsaid inside.” (The God of Small Things, Arundhati Roy)

Judul Buku         : Perempuan yang Menambatkan Hatinya di Laut (Antologi Tulisan Forum Susur Selubung Kampung Wuring: Merekam Cerita Perempuan Pesisir)

Penulis                : Peserta Forum Susur Selubung Kampung Wuring: Merekam Cerita Perempuan Pesisir

Editor                  : Eka Putra Nggalu

Tahun Terbit     : 2022

 

Dalam sebuah wawancara dengan David Barsamian dari The Progressive Magazine, Arundhati Roy, penulis The God of Small Things, mengatakan dengan nada kelakar bahwa mungkin dia adalah satu-satunya perempuan di India yang dilarang menikah oleh ibunya sendiri. Hal ini bukan tanpa alasan. Ibu Roy adalah seorang perempuan Kerala dan ayahnya berasal dari kalangan Hindu-Benggali. Ayahnya kemudian menceraikan sang ibu. Hal ini membuat Roy menjadi seorang anak tanpa tharawad (garis keturunan), tanpa kasta, tanpa kelas, tanpa agama, dan tanpa identitas kultural yang jelas. Roy menyebut keadaannya itu sebagai “A person without an address”. 

Kondisi yang disebutkan Roy tentang dirinya bukan sesuatu yang sama sekali asing dengan konteks masyarakat Indonesia. Ada banyak sekali stereotipe-stereotipe negatif yang selalu disematkan pada perempuan-perempuan yang diceraikan atau ditinggalkan suaminya. Ideal keluarga yang mesti terdiri dari ayah, ibu, dan anak bagi sebagian orang justru menjadi hal yang menakutkan karena konsep keluarga ideal tersebut menjadi ukuran bersama yang digunakan untuk menilai baik dan buruknya kehidupan seseorang. 

Sebagai bagian dari kebudayaan yang dihidupi sebuah kelompok masyarakat, apa yang dialami Roy dan juga perempuan-perempuan lainnya di banyak tempat tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat masyarakat itu hidup. Maka dari itu, memahami tradisi, nilai, atau norma yang dihidupi masyarakat tertentu akan membantu kita untuk melihat dengan jelas apa yang sebetulnya mendasari nilai-nilai tersebut dan bagaimana perempuan bernegosiasi dengan keadaan tersebut. Dalam konteks di mana perempuan tidak memiliki posisi yang setara dengan laki-laki, suara mereka menjadi kecil[1], bahkan tidak terdengar sama sekali. Karena itu, usaha untuk memahami posisi perempuan dalam konstelasi budaya patriarki yang represif mesti dimulai dengan “mendengarkan”. 

Perempuan yang Menambatkan Hatinya di Laut (Antologi Tulisan Forum Susur Selubung Kampung Wuring: Merekam Cerita Perempuan Pesisir) merupakan kumpulan kisah perjumpaan dan pertukaran antara seniman dan aktivis perempuan dari berbagai daerah di Indonesia dengan perempuan di Maumere, khususnya di Kampung Wuring.

Wuring adalah sebuah desa di pesisir utara kabupaten Sikka, berjarak 5 Km dari Maumere. Wuring secara geopolitik dan sosio-kultural adalah kelompok minoritas di kabupaten Sikka. Masyarakat yang mendiami Wuring adalah para pendatang dari suku Bajo, Bugis, Sulawesi, Bima, dan Jawa yang mayoritas adalah muslim. Meskipun sudah lama menjadi bagian dari Kabupaten Sikka, tidak banyak hal yang diketahui tentang Wuring selain bahwa ada pasar ikan segar dan masyarakat Bajo dan Bugis yang mendiami Wuring. Berangkat dari konteks ini, para peserta forum SSKW ingin mendengarkan cerita-cerita dari perspektif perempuan-perempuan di Wuring.

Tulisan-tulisan dalam antologi ini merupakan upaya mendengarkan “suara-suara kecil” tentang perempuan di Wuring dan daerah lainnya di Maumere sebagaimana yang ditulis Kartika Solapung, “ketika mendengarkan, seseorang ditarik untuk keluar dari konstruksi pikirannya sendiri ke gagasan dan emosi yang dibicarakan orang lain.” (hlm. 51). Sejak riset praresidensi, para peserta forum SSKW telah sadar akan betapa minimnya kesempatan yang bisa diakses oleh perempuan di Wuring untuk membuat suara mereka terdengar dengan jelas. Bahkan, dalam sebuah forum yang diikuti komunitas KAHE dengan beberapa warga Wuring, tidak ada seorang perempuan yang mengutarakan pendapat. Peristiwa ini memberikan kesan bahwa suara perempuan di Wuring sama sekali tidak penting. Meskipun demikian, anggapan ini perlu ditunda. 

Perjumpaan dengan perempuan-perempuan di Kampung Wuring menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang berdaya secara ekonomi. Perempuan di Wuring selalu terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang menghasilkan uang seperti melaut, menjual ikan di pasar, atau menjual jajanan pasar seperti gogos, kue, dan pangan lokal lainnya. Jarang sekali ditemukan ada perempuan yang menganggur di Wuring.

Meskipun pendidikan formal yang ditempuh hanya sebatas Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, perempuan-perempuan di Wuring selalu menemukan cara untuk menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarga mereka. Bahkan, seorang nelayan perempuan, Tina, mengajukan pertanyaan yang tidak mudah dijawab perihal sekolah. Bagi Tina, pergi ke sekolah berarti menghabiskan uang, sedangkan pergi melaut dapat menghasilkan uang. Tina tentu saja memilih melaut karena melaut membuat dia dan keluarganya dapat bertahan hidup. Apa yang diungkapkan Tina tidak sederhana. Ia mengajukan pertanyaan yang paling eksistensial perihal pentingnya pendidikan formal melalui sekolah bagi masyarakat Wuring yang bergantung pada laut untuk hidup. 

Pilihan untuk melaut demi bertahan hidup memiliki implikasi pada bagaimana masyarakat Wuring melihat pentingnya kemampuan literasi dasar seperti membaca dan menulis dan juga kewajiban agama seperti mengaji dan sholat. Di tengah situasi ini, sosok Bibi Wati menjadi unik dan penting. Bibi Wati adalah sosok yang mememulai Taman Pendidikan Al Quran di Kampung Wuring (hlm. 240).

Bibi Wati pada awalnya secara sukarela mengajar anak-anak untuk membaca, menulis, mengaji, dan salat. Namun, dalam perkembangannya, ada juga orang-orang dewasa yang belajar dengan Bibi Wati. Bibi Wati bahkan menjadi wali untuk lebih dari 10 anak yang tidak disekolahkan oleh orang tua mereka. Selama hampir 14 tahun sudah Bibi Wati konsisten mengajar dan membimbing mereka.

Sosok Bibi Wati, dalam istilah yang belakangan ini popular di kalangan guru di Indonesia, dapat dianggap sebagai “guru penggerak”. Bibi Wati memulai apa yang sebelumnya tidak dilakukan di Wuring. Ia menjadi pelopor bagi sebuah upaya literasi dasar dengan sarana yang ada padanya. Sekalipun tidak memiliki gelar sarjana, Bibi Wati telah menjadi guru yang sangat berjasa bagi masyarakat Wuring. Bibi Wati adalah “Mercusuar” di pelabuhan Wuring.

Dalam serba keterbatasan pilihan dan ruang untuk membuat suara mereka didengarkan, beberapa perempuan dan waria di Wuring memilih untuk menjadi kader Posyandu. Pekerjaan sebagai kader Posyandu pada dasarnya adalah sebuah bentuk voluntarisme. Mereka sama sekali tidak dibayar secara profesional. Meskipun demikian, status sebagai kader posyandu memberikan semacam keleluasaan dan juga privilese bagi perempuan dan kaum waria untuk terlibat di dalam masyarakat.

Suara kader Posyandu adalah suara yang didengarkan, sebab mereka menjadi agen bagi masuknya berbagai program pemerintah terutama yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak, kesehatan seksual-reproduksi, dan gizi. Menjadi kader Posyandu memberikan posisi tawar yang tinggi bagi suara perempuan dan waria. Ia menjadi sebuah bentuk negosiasi. Sekalipun perempuan atau waria, tidak berpendidikan tinggi, tidak menghasilkan banyak uang, bukan berasal dari keturunan yang dihormati, suara kader Posyandu cenderung didengarkan dan ajakan mereka akan dilaksanakan warga.

Posisi sebagai kader Posyandu juga menunjukkan penerimaan terhadap kaum waria di Wuring. Di tengah masyarakat muslim dan budaya patriarki, keberadaan kelompok waria di Wuring tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak tahun 1980-an melalui program pemerintah dan juga geliat yang diupayakan Haji Mona melalui kelompok Melati Putih, waria diberdayakan melalui program pengembangan keterampilan seperti menjahit, memasak, dan salon. Karena itu, selain berdaya secara ekonomi, kelompok waria di Wuring diterima dengan baik karena mereka menjadi tulang punggung keluarga.

Kelompok waria di Wuring juga aktif terlibat dalam berbagai acara atau kegiatan masyarakat, misalnya memasak saat hajatan atau merias pengantin saat pernikahan. Sementara di tempat lain di Indonesia, kelompok waria masih mengalami diskriminasi, kekerasan, dan berbagai bentuk pelecehan, di Wuring waria memberikan kontribusi yang penting bagi masyarakat. Kehadiran mereka menjadi warna membuat Wuring terlihat lebih indah, seperti pelangi yang mewarnai langit sehabis hujan.

Selain perjumpaan dengan perempuan dan kelompok waria di Wuring, perjumpaan dengan ibu asuh di SOS Children’s Village dan sosok Rosvita di sanggar Watubo juga memberikan perspektif unik mengenai perempuan di Maumere. Ibu-Ibu pengasuh di SOS Children’s Village mendekonstruksi konsep keluarga ideal yang mesti terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang memiliki hubungan biologis. Di tengah ketegangan antara kebutuhan personal dan tuntutan profesional, ibu-ibu pengasuh ini memilih untuk mengembangkan cinta pada anak-anak yang mereka asuh melampaui yang personal dan profesional, cinta yang mungkin tidak bisa dipahami dengan logika manusia yang terbatas.

Di Sanggar Watubo, sosok Rosvita menunjukkan kecintaannya pada warisan budaya melalui cara unik. Rosvita tidak melihat warisan budaya dan tradisi sebagai hal yang kaku dan tidak dapat dinegosiasikan. Kebudayaan adalah sesuatu yang terus bergerak dan berkembang. Pada titik tertentu ia harus menentukan pilihannya, tetap bertahan tanpa perubahan, atau memodifikasi dirinya tanpa kehilangan elemen-elemen yang esensial.

Inilah yang dilakukan Rosvita dan mama-mama di sanggar Watubo di Sanggar Watubo. Mereka mencoba membuat produk-produk kreasi dari tenun ikat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar tanpa kehilangan identitas mereka yang direpresentasi melalui motif-motif tenun ikat yang dihasilkan. Apa yang dilakukan Rosvita dan mama-mama di sanggar Watubo menegaskan posisi perempuan sebagai sosok penting dalam proses konservasi, modifikasi, dan distribusi pengetahuan dan tradisi.

Tulisan-tulisan dalam Perempuan yang Menambatkan Hatinya di Laut berusaha memperdengarkan pada kita suara-suara kecil tentang kehidupan perempuan-perempuan Maumere, khususnya di Kampung Wuring dan juga konteks yang melingkupi kehidupan mereka. Bagi orang-orang yang sudah lama tinggal di Maumere, suara-suara itu bahkan tidak pernah didengar sebelumnya.

Kecilnya suara perempuan-perempuan yang dijumpai selama forum SSKW bisa jadi disebabkan bisingnya suara kondisi struktural masyarakat, politik, institusi agama, dan pemerintah yang sangat maskulin. Di sinilah posisi antologi tulisan ini menjadi signifikan sebagai alternatif atas suara bising yang sangat maskulin itu. Antologi tulisan ini bukanlah suara tandingan (oposisi) terhadap suara yang selama ini terus diperdengarkan melalui nilai-nilai agama dan budaya serta kebijakan pemerintah.

Antologi tulisan ini dapat menjadi tambahan pada “playlist” yang selama ini dimainkan. Ia tidak saja menjadi pintu masuk untuk kajian yang lebih mendalam terhadap isu-isu perempuan di Maumere dan Wuring. Namun, ia juga dapat didengarkan sebagai bahan refleksi atas suara perempuan di berbagai tempat di Indonesia dan juga di belahan dunia lainnya. 

Novel The God of Small Things adalah upaya Roy untuk memperdengarkan suara-suara yang selama ini tidak pernah dianggap penting di India. Roy juga, melalui karakter Ammu dan Velutha, menegaskan bahwa kebudayaan, termasuk nilai-nilai di dalamnya, adalah konstruksi manusia. Ia bukan keniscayaan yang kekal, yang tidak bisa diubah.

Sebagaimana Ammu dan Velutha meruntuhkan kesucian konsep kasta melalui hubungan percintaan mereka, kondisi-kondisi represif terhadap suara perempuan juga dapat dibongkar dan dapat memiliki versi alternatif yang tentunya akan semakin memperkaya pemahaman kita. Oleh karena itu, pertanyaan Spivak[2] yang dikutip Kartika Solapung dalam tulisannya menjadi penting untuk direfleksikan. Pertanyaan itu bisa dirumuskan dengan cara lain menjadi: bagaimana menemukan suara-suara kecil itu dan membuatnya terdengar? Dan apakah kita bersedia mendengarkan suara-suara yang Maha Kecil itu?

 


 

Catatan:

“Yang Maha Kecil” merupakan terjemahan Indonesia dari The God of Small Things. Edisi terjemahan Indonesia ini diterjemahkan oleh A. Rahartati dan Bambang Haryo dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (2002)

[1]Konsep suara kecil (“small voice”) merujuk pada esai Ranajit Gupta “The small voice of history” dalam kumpulan esai Subaltern Studies IX: Writings on South Asian History and Society (Oxford University Press, 1994).

[2]Bdk. Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can the Subaltern Speak?” Marxism and the Interpretation of Culture. Ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg. Basingstoke: Macmillan, 1988. 271-313.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 30th