Nostalgia Kangen Band: Dari Playlist Angkot hingga Hiburan Kaum Rantau

 

Beberapa waktu lalu, sebelum gunjing di media sosial soal youtuber yang memparodikan cara bernyanyi Andika Kangen Band jadi heboh, saya intens mendengar lagu-lagu grup musik asal Lampung itu. Awalnya, saya memirsa sesi jamming Kangen Band bersama Padi Reborn di NET TV. Kedua grup band itu saling menyanyikan lagu satu sama lain dengan versi masing-masing.

Selain lagu-lagu dari dua grup band beda generasi itu terasa amat akrab di telinga saya, anak generasi ‘90an, saya juga seolah menemukan sebuah pengalaman yang berbeda ketika mendengarkan lagu-lagu yang hits dari beberapa dasawarsa yang lalu dibawakan dengan pendekatan, aransemen, dan sound saat ini. Setelah menyaksikan acara itu, saya lantas melakukan sesuatu yang tak pernah saya lakukan sebelumnya: dengan sengaja menelusuri diskografi Kangen Band.

Menelusuri diskografi Kangen Band adalah perjalanan yang penuh dengan kejutan. Ada perasaan nikmat tersendiri ketika mendengarkan kembali lagu-lagu band ini, yang kental dengan nuansa Melayu, suara parau dan sedikit fals dari vokalisnya, hingga nada meliuk-liuk seperti jalan Maumere-Ende di akhir lirik.

Lagu-lagu Kangen Band juga mengingatkan saya pada grup-grup band negeri jiran yang ngetop di tahun-tahun ’90an: Exist, Slam, Amy Search, Iklim, hingga Stings. Selain warna Melayu, lagu-lagu dari grup-grup band ini juga sangat ahli dalam membangun suasana dan nuansa melankolis nan syahdu. Sedikit gerimis, hujan, senja, dan cerita tentang cinta yang patah: manis di bibir memutar kata, malah kau tuduh akulah segala penyebabnya. 

Mendengarkan Kangen Band di sela-sela zoom meeting atau makan siang di bawah pohon mangga di studio Komunitas KAHE juga membangkitkan ingatan afeksi saya tentang masa SMP  yang lucu, ceria, dan penuh energi. Saat-saat ketika mengirim surat cinta lewat sopir angkutan kota (angkot) sama mendebarkannya dengan menanti lagu-lagu kiriman kekasih mengudara lewat radio lokal. 

Di masa-masa itu, awal tahun 2000 di Maumere, angkot menjadi transportasi publik yang paling ramai digunakan. Sementara itu, anak sekolah adalah salah satu ‘penumpang dasar’ yang amat diperhitungkan. Para sopir dan kondektur mau tidak mau harus pandai bersiasat untuk menarik perhatian para remaja SMP yang baru akil balik, hingga anak-anak SMA yang mulai gaul dan membangun gengsi juga selera sendiri-sendiri dalam hal apapun. 

Ada tiga siasat jitu yang harus diperhatikan dengan teliti dan seksama oleh para sopir dan kondektur untuk menarik penumpang, khususnya anak sekolah. (Yang ketiga bikin Anda tercengang). 

Pertama. Berpenampilan nyentrik dan menarik. Biasanya, para sopir dan kondektur yang memikirkan dengan serius sisi marketing jasa mereka amat menjaga kebersihan dan kerapian diri mereka. Kacamata gelap, sandal topsy, parfum harum menyengat, dan rambut klimis adalah salah satu setelan penampilan yang pernah popular di kalangan para sopir dan kondektur. Tisu Tessa harus selalu sedia di mobil, pelengkap sapu tangan yang ditaruh di saku belakang jin, yang sesekali digunakan untuk menyeka keringat tetapi lebih sering diperlakukan sebagai aksesoris. 

Kedua. Mobil yang modis dan artistik. Mobil angkutan kota harus di-make over sedemikian rupa sehingga tampil menawan. Istilah ban radial, velg cepak, hingga bumper ala Nascar jadi bahan obrolan para remaja laki-laki. Stiker-stiker dengan berbagai pilihan font yang membentuk frasa hingga quote menarik, lampu-lampu hiasan hingga boneka-boneka lucu (tentu tidak hanya boneka anjing geleng-geleng kepala) di dashboard mobil dan bangku penumpang adalah pilihan artistik yang lain, yang diupayakan semaksimal mungkin untuk membuat para penumpang nyaman ketika mobil melintasi jalanan Maumere yang terik.

Ketiga dan yang juga amat menentukan adalah sound system. Tak ada kata-kata ‘sound system jelek’ bagi remaja SMA kala itu. Sebuah angkutan umum akan digandrungi jika dan hanya jika ia memiliki perangkat pemutar musik kelas wahid dan memainkan lagu-lagu terbaru yang sedang hits di radio-radio lokal. Album-album terbaru band-band papan atas akan diputar di angkot-angkot terlebih dahulu, dinilai dan diseleksi oleh para penumpang yang adalah anak-anak remaja sekolah menengah, baru kemudian mendapat legitimasinya di lingkungan pergaulan. Begitulah kira-kira prosesnya. 

Peralatan sound sendiri mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Mulai dari kaset pita dan radio dengan pemutar musik tape recorder, mini VCD player yang memutar CD, hingga pemutar MP3 yang bisa menyimpan lagu langsung pada perangkat atau memutar file dari flash disk pun kartu memori. Pernah pada suatu masa, televisi/monitor portable menjadi amat popular di angkot-angkot. Beberapa angkot awal yang punya fasilitas itu menjadi buah bibir di kalangan kawula muda Maumere.

Dari sejumlah angkot yang parkir di depan sekolah, menunggu jam pulang para siswa, mereka menjadi pilihan utama. Angkot-angkot yang punya tivi jadi rebutan. Kondektur bisa-bisa kewalahan meleraikan para pelajar fanatik musik yang ribut adu mulut karena berebut angkot keren yang jika ditumpangi, seketika menaikkan gengsi lantas strata sosial mereka di lingkungan pergaulan.

Angkot menjadi penghubung antara industri musik yang ada di Jakarta, toko kaset/VCD original di Maumere yang bisa dihitung dengan jari, para penjual kaset terutama VCD bajakan dari Jawa dan Sulawesi, dan para pendengar di kalangan akar rumput.”

Ia menjadi tempat promosi sekaligus ruang apresiasi dan hiburan, ketika MTV Ampuh atau acara-acara serupa yang menampilkan tangga lagu terpopular di Indonesia dan barat hanya dinikmati oleh segelintir keluarga yang bisa mengakses siaran televisi swasta karena punya uang untuk membeli (mungkin kebanyakan kredit) parabola Winersat atau yang dari tahun ke tahun berevolusi menjadi Venus, Matrix, hingga Indovision. Di dalam angkot yang kerap sesak dan panas, demokratisasi musik tercipta. Kangen Band, diputar bersama dengan White Lion, Firehouse, MLTR, Linkin Park, Aqua, Vengaboys, Ratih Purwasih, Meriam Belina, Pance Pondaag, Sheila Majid, Deijeh Emil, Papache, Padi, Dewa, Ruth Sahanaya, Katon Bagaskara, hingga Bob Marley juga tembang-tembang Nanaku dan Dodi Latuharhari. Tak ada kelas-kelas. Intinya bagus dan enak di telinga penumpang. Sudah.

Kembali ke Kangen Band. Popularitas Kangen Band tak hanya terbentuk di angkot. Lagu-lagu band ini juga mendapat tempat spesial di radio-radio lokal. Di masa-masa itu di Maumere, ada tiga radio yang intens beroperasi. Radio Pemerintah Daerah (RPD) Sikka, Radio Bambu, dan sebuah radio swasta, Sonia FM. Sonia FM, salah satu yang hits dan bertahan selama beberapa belas tahun itu punya acara khusus memutar lagu-lagu pop di siang hari. Kangen Band punya tempat khusus di sesi Mules (Musik Lepas Siang). Pada bagian ini, lagu-lagu Kangen Band mengingatkan saya pada suara Mrs. Rilex, Lule, juga almarhumah Nay yang beberapa tahun setelahnya menjadi rekan dan sahabat saya di Komunitas KAHE (semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan). Betapa suara-suara ini menjadi teman setia generasi kami yang jauh dari tradisi juga canggung menghadapi evolusi modernitas yang tertatih-tatih dan tak selesai.

Lagu-lagu Kangen Band menjadi salah satu yang sering diminta untuk diputar, terutama oleh teman-teman perempuan untuk anak-anak seminari atau asrama frateran yang dengan sadar melawan aturan tidak membawa peralatan elektronik ke asrama. Dengan bantuan teman-teman sekolah atau kerabat, mereka menyelundupkan radio mini ke asrama. Ketika itu, radio mini yang dilengkapi dengan headset bisa diperoleh di pasar, dengan harga yang ramah di kantong. Ia jadi alat ajaib yang menghibur kesepian teman-teman yang tinggal di asrama dan harus berpisah jauh dari keluarga. 

Salam dari teman-teman, terutama yang perempuan kepada anak-anak asrama yang semuanya adalah laki-laki merupakan sesuatu yang spesial. Bersembunyi dari para pembina, diam-diam, anak-anak asrama itu mendengar suara teman-temannya di ujung telepon, saling bertanya kabar dan berbasa-basi bersama penyiar radio lalu mengirim salam dan meminta sebuah lagu diputar: hai pujaan hati, apa kabarmu, ku harap kau baik-baik saja.

Di balik selimut, di jam tidur siang, anak-anak asrama itu tersenyum salah tingkah mendengar nama mereka disebut plus lagu diputarkan untuk mereka. Nama yang disebut bisa sangat besar kepala di antara teman-temannya. Sisa jam tidur siang bakal dihabiskan sambil berpikir tentang syair Kahlil Gibran yang mana yang akan diberikan sebagai imbalan bagi si penelepon ketika mereka berjumpa lagi keesokan harinya di sekolah. Itu adalah masa-masa ketika Mito, Evercross, Nokia, Samsung Galaxy, apalagi Iphone belum hadir secara masif dan mengubah cara manusia berimajinasi. Dan anak-anak asrama, dengan segala keterbatasannya adalah segelintir orang yang bisa mengakses karya-karya sastra bagus dari para penulis terkenal.

Penelusuran atas diskografi Kangen Band juga membuat saya terkejut dengan diri sendiri, betapa lagu-lagunya secara tidak sadar amat lekat di ingatan saya. Saya awalnya tak menduga kalau minimal lebih dari lima puluh persen lagu-lagu grup band yang pertama kali berdiri tahun 2005 itu saya ingat. Tidak hanya lirik tetapi juga riff gitar dan melodi, lengkap dengan alunan nada dari strings bernuansa mini orkestra dari keyboard. 

Di album pertama, Tentang Kau, Aku dan Dia yang rilis tahun 2007, saya sukses menyanyikan syair-syair Tentang Bintang; Tentang Kau, Aku, dan Dia; Selingkuh, Menunggu, Bidadari Surgaku, Jika, dan Penantian yang Tertunda dengan lancar.

Lagu-lagu ini adalah senjata awal Kangen Band yang meruntuhkan tembok stereotipe yang mengurung mereka sebagai ‘band kampungan’ hingga mereka bisa punya tempat di hati anak-anak muda kala itu. Beberapa lagu mereka bahkan dibawakan oleh band-band lokal di gelaran festival band pada masa itu. Riff dan akord gitar Tentang Kau, Aku, dan Dia; kerap dijadikan lagu latihan gitar di kalangan anak-anak muda, sepopular lagu Yang Terdalam dan Tentang Kita punya Peterpan.

Di album kedua yang rilis pada 2008, Bintang 14 Hari, lebih banyak lagi lagu yang lekat di kepala saya. Yolanda, Doy, Kembali Pulang, Dengar dan Rasakan, Bintang 14 Hari, Jangan Menangis Lagi, Sayang, hingga Tentang Jen adalah pengisi skuad utama album ini yang masih saya ingat.

Jika kalian tahu lagu-lagu ini, ikutlah bersenandung bersama saya. Kamu di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa? Di sini aku menunggumu dan bertanya. Sungguh syair yang cocok buat kekasih yang penuh perhatian, sedikit posesif dan mudah cemas. Meski demikian, hal ini bisa masuk akal karena ia telah rela menunggu dan menanti selama empat belas hari. Sungguh menggiris hati. 

Di Album ketiga, lagu-lagu hits seperti Terbang Bersamaku, Nilailah Aku, Pujaan Hati, Juminten, Kau Tipu Aku, Cinta Tak Bersalah, hingga Mei adalah nomor-nomor yang lalu lalang dari sesi ke sesi di radio lokal. Syair lagu Juminten bagi saya sarat dengan spirit nasionalisme. Cepat-cepatlah Pulang ke Indonesia, Ku sudah tak tahan ingin jumpa. Indonesia Raya merdeka, sekali merdeka tetap merdeka.

Ia memberi inspirasi bagi talenta-talenta berbakat yang berkuliah di luar negeri atau luar daerah untuk kembali pulang ke kampung halaman dan bikin sesuatu untuk tanah kelahiran. Sebab, negara kepulauan yang dikenal dengan Nusantara ini butuh semakin banyak orang pintar dan berkualitas untuk membangun lokal-lokal di berbagai tempat.

Selain karena sistem sentralisme dan monopoli yang sempat menubuh di perpolitikan Indonesia, Jakartasentrisme dan Jawasentrisme tidak pernah akan jadi problem kalau orang-orang dari daerah yang sudah sukses dan punya akses pada modal, pengetahuan, dan keterampilan, bisa meredistribusi surplus mereka ke daerah-daerah. Yang paling nyata misalnya dengan pulang dan membangun kampung halaman sendiri. (Solusi ini bisa jadi keliru juga ya gaes, kalau sampai di kampung, yang berpotensi dan punya skill tetap kalah dengan yang punya ‘orang dalam’).

Yang juga amat jadi perhatian saya adalah Kangen Band, siapa sangka juga sangat teliti memikirkan struktur pada bangunan syair-syairnya. Lihat saja contoh syair Kau, Aku dan Dia di bawah ini.

Selayaknya engkau tahu

Betapa ku mencintaimu

Kau tenangkanku dari mimpi burukku

Pada bagian ini, lirik memunculkan kondisi awal relasi ‘aku’ dengan ‘kau’. Lirik ini bisa dilihat sebagai sebuah perkenalan agar pendengar tahu situasi seperti apa yang terjadi antara ‘aku’ dan ‘kau’. Aku mencintai kau, karena pernah ada masa dan sejarah bahwa kau menenangkanku dari mimpi burukku.

Selayaknya kau mengerti

Betapa engkau ku kagumi

Kau telah tinggal di dalam palung hati

Pada bagian ini, aku lirik mempertegas posisi dan perspektif juga perasaannya tentang hubungan ‘aku’ dan ‘kau’. Alasan serta motif dari rasa cinta ‘aku’ terhadap ‘kau’ dimunculkan di sini: kau telah tinggal di dalam palung hati. 

Lirik selanjutnya mulai memunculkan masalah dari relasi ‘aku’ dan ‘kau’. Ada konflik yang dihadirkan. Kehadiran ‘dia’ seperti pada pengalaman banyak pasangan yang diselipi orang ketiga, sungguh benar-benar merusak hubungan yang telah terjalin.

Betapa hancur hatiku

Melihat engkau bersamanya

Namun ku mencoba tuk tegar menghadapinya

 

Ketegaran ‘aku’ seolah tak cukup dalam situasi ini. Ia tetap realistis dan tegas pada prinsipnya. Meski luka dan tersayat hatinya, ia harus tegar dan penuh perhitungan. Keputusan, ia tawarkan pada ‘kau’. 

Jangan kau menangis lagi

Tak sanggup aku melihatnya

Sekarang kau pilih diriku atau dirinya

Lagu ini diakhiri dengan bridge dan refrain yang saling mengulang syair, menegaskan cerita dari awal lagu ditutup dengan ‘sudah, sampai di sini!’ Ini semacam jadi keputusan yang sifatnya solutif terhadap kepelikkan konflik yang dialami jalinan relasi ‘aku’ dan ‘kau’.

Kau tuliskan cerita tentang engkau dan dia

Yang membuat hatiku semakin terluka

Sudah usai sudah cerita engkau dan aku

Ku anggap sebagai bingkisan kalbu 

……

Kurasa sampailah di sini kasih

Meski sampai sekarang saya masih bingung dengan apa yang sebenarnya dimaksud pencipta lagu dengan frasa ‘bingkisan kalbu’, satu hal yang harus digarisbawahi adalah syair-syair Kangen Band dirangkai dengan struktur yang cukup baik untuk membuat sebuah cerita. Ada setidaknya tiga pilar penting dalam syair-syair Kangen Band, yang bisa dibilang membentuk semacam pola dramaturgi tertentu: pengantar/perkenalan, konflik, dan respons/situasi yang terjadi pasca konflik. Pola yang sama seperti di atas misalnya bisa kita temukan dalam syair berikut:


Kemarin kau datang menemui aku

Saat aku ragu, saat aku layu

Canda tawamu tenangkan aku, Yolanda

 

Kubawa cinta sebesar dunia

Agar engkau tahu besarnya cintaku

Apa kau tak rasa, kau tak meraba, Yolanda

 

Aku menunggumu di tempat biasa

Kuharap kau datang menemui aku

Jangan terlambat, kuharap cepat, Yolanda

 

Lelah hati ini mencari dirimu

Lelah kaki ini untuk ‘ku melangkah

Untuk temui dirimu, kasih, Yolanda

 

Kamu di mana, dengan siapa

Semalam berbuat apa

Kamu di mana, dengan siapa

Di sini aku menunggumu dan bertanya

(sila menggunakan kerangka di atas untuk buat analisis sendiri).


Pilihan diksi yang lugas dan langsung menjurus ke inti soal yang ingin dibicarakan juga amat mendukung resepsi dan apresiasi di kalangan kebanyakan pendengar. Kata orang-orang zaman ini, easy listening, tanpa terlalu banyak busa dan bumbu di sana-sini. Meski kerap, kata-kata tertentu dipakai secara berulang-ulang untuk menampilkan efek puitis. Jika kalian punya waktu misalnya, sila menghitung penggunaan kata bintang, terbang, sayap, pelangi, dengar, rasakan dari lagu-lagu Kangen Band yang hits dan mewabahi publik. Banyak, asli!

Begitulah Kangen Band. Perjalanan menelusuri diskografinya terhenti di album ketiga. Itu saja sudah membuat saya berpikir banyak hal tentang bagaimana lagu-lagu grup band ini bisa begitu membekas dan tinggal dalam memori saya, mungkin personal, mungkin juga kolektif. Tanpa sadar, tanpa pernah peduli sebelumnya, tanpa perlu militan mengikuti perjalanan band ini seperti  layaknya Army mengikuti idola mereka, dan bahkan tanpa mendengarkan secara serius lagu-lagu band yang kerap dipandang sebelah mata oleh orang di lingkaran tertentu ini, saya serta merta bisa hafal syair-syairnya dan ingat lagu-lagunya, bahkan setelah satu dasawarsa berlalu.

Seorang teman, anak Jakarta merasa aneh melihat saya menggandrungi Kangen Band. Kangen Band, jauh dari masa remajanya yang lebih akrab dengan Kotak, Rumahsakit, Club Eighties, White Shoes and The Couples Company, atau Goodnight Electric. Hal yang juga membuat saya merasa dia aneh.

Di Jakarta, pilihan menonton gigs bisa jadi sama banyaknya dengan pilihan makan nasi goreng di mana. Mendengarkan musik tertentu juga jadi legitimasi untuk diterima dalam kelompok pergaulan tertentu. Namun, di Maumere, tren musik pada titik tertentu ditentukan oleh sopir dan para penumpangnya. Sopir memberi tawaran lagu, penumpang (mayoritas) memutuskan akan mendengar yang mana. Sopir jadi untung, sementara penumpang nyaman.

Jika sehari saya minimal harus dua kali naik angkot, pulang dan pergi sekolah, dengan rata-rata waktu tempuh 20-30 menit (bukan karena jauh tapi karena harus putar keliling kota), bayangkan berapa banyak kemungkinan saya mendengar lagu Kangen Band sehari, ketika ia begitu hits dan digemari hampir seluruh anak muda yang sama menjadi penumpang di angkot-angkot yang saya naiki. Itu belum termasuk yang diputar di warung makan, kios-kios di pasar, tetangga di sekitar kompleks, bapa-bapa yang sedang masak moke hingga gitaran di tongkrongan dan masih banyak lagi.

Seperti halnya yang diyakini Foucault, kekuasaan jadi begitu bertenaga bukan karena dia kuat tetapi dia datang dari segala arah. Mungkin ini alasan yang sama untuk menjawab pertanyaan mengapa tanpa sadar saya dirasuki oleh lagu-lagu Kangen Band yang saya dengar lebih dari satu dasawarsa sebelumnya? Saya terjebak dalam sebuah masyarakat yang memperdengarkan lagu-lagu Kangen Band dari segala penjuru mata angin.

Satu kekuatan Kangen Band, bisa jadi, seperti yang juga disadari terjadi pada Didi Kempot adalah ia bisa menjangkau dan mungkin mewakili perasaan-perasaan rakyat kelas menengah ke bawah. Putus cinta, patah hati, diselingkuhi, masa lalu, cinta sejati yang dibungkus dalam novelet, sinetron, lagu adalah hal-hal yang akrab dengan golongan ini. Mereka mungkin tak bicara lantang soal dialektika Hegel, seni dalam perspektif Adorno, persaingan Mark Zuckerberg dan Elon Musk atau kolonialisme Indonesia di Papua Barat. Sebab kesedihan begitu akrab dan kesejahteraan begitu absurd bagi kebanyakan mereka. Yang toxic dan menindas telah begitu biasa dan menjadi sehari-hari sehingga hiburan-hiburan yang kerap dianggap receh seperti lagu-lagu cinta yang sederhana dan mengajak meratapi kesedihan sendiri bisa jadi katarsis untuk meluapkan ideal-ideal yang tidak tercapai dan melepaskan rasa sakit yang kian menjadi teman sehari-hari.

Latar belakang personil Kangen Band yang pernah menjadi buruh bangunan, penjual es cendol, dan pekerja serabutan lainnya pernah dirayakan sebagai simbol roda yang berputar, simbol perjuangan dan kesuksesan. Kangen Band menjadi simbol kebangkitan band-band Melayu yang coba menembus belantika musik Indonesia. Mereka membuktikan bahwa ‘anak daerah’ bisa masuk dan berkarya di industri musik Indonesia yang tampaknya seperti hutan Kalimantan: lebat dan menyesatkan bagi orang asing.

Pada satu kesempatan, saya ingat, Kangen Band pernah jadi cameo di film Minggu Pagi di Victoria Park. Mereka memerankan sebuah band yang menghibur para tenaga kerja Indonesia, khususnya para tenaga kerja wanita (TKW) di sebuah taman, di luar negeri. Di mata saya kala itu, tampilan ini sungguh pas. Anak rantau yang dicap kampungan dan kemudian sukses di Ibu Kota tentu cocok memberi penghiburan sekaligus mewakili orang-orang yang tak patah semangatnya memperjuangkan kehidupan yang lebih baik di negeri-negeri yang jauh dari kampung halaman. Meski industri tak selalu adil dan ramah pada pekerja, meski ekonomi tak selalu bisa toleran dengan nilai dan moralitas, meski stereotipe kerap jadi santapan sehari-hari kelompok-kelompok minoritas dan marginal.

Untuk segala tudingan tentang Kangen Band, yang menganggap band ini norak dan tidak berkualitas, satu perumpamaan dari Paulo Coelho bisa jadi pesan moral yang cukup baik: bahkan jam yang rusak pun benar dua kali dalam sehari. Karya jelek bisa jadi politis. Dan itu bagus.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th